LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Dewa K. S. Swastika Herman Supriadi Kurnia Suci Indraningsih Juni Hestina Roosgandha Elizabeth PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peran yang sangat penting, baik dalam sumbangannya terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja, maupun penghasil devisa non-migas. Oleh karena itu, sudah selayaknya sektor ini mendapat prioritas dalam pembangunan ekonomi. 2. Sebagian besar petani di Indonesia adalah petani kecil yang dicirikan oleh terbatasnya penguasaan sumberdaya, sangat menggantungkan hidupnya pada usahatani, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya akses terhadap sumber modal. 3. Semua keterbatasan tersebut menyebabkan rendahnya penerapan teknologi, sehingga produktivitas sumberdaya dan pendapatan petani juga rendah. Akibatnya, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga hanya dari usahatani. Di pihak lain, masih terdapat peluang perbaikan efisiensi usahatani (dalam bentuk usahatani terpadu), dan peluang memperoleh kesempatan kerja di luar usahatani sendiri. 4. Penelitian ini bertujuan: (1) mengkaji model usahatani yang diterapkan petani ; (2) mengukur efisiensi pemanfaatan sumberdaya ; (3) mengevaluasi tingkat efisiensi usahatani; (4) mengkaji keberagaman usaha rumah tangga ; (5) mengevaluasi kontribusi pendapatan usahatani terhadap pendapatan rumahtangga ; (6) mengukur keeratan hubungan antara penguasaan lahan, tingkat pendidikan petani, tingkat pendapatan, ukuran rumahtangga (family size) terhadap keberagaman usaha rumahtangga dan (7) mengkaji potensi dan peluang kesempatan kerja di luar usahatani sendiri, terutama non-farm. Metoda Penelitian 5. Penelitian dilakukan di tiga agro-ekosistem, yaitu sawah tadah hujan (Jawa Barat), lahan kering (Bali) dan lahan pasang surut (Kalimantan Barat). Tiap provinsi dipilih 4 desa, dan tiap desa diambil 15 petani untuk wawancara secara individu dan 1 kelompok masyarakat petani untuk wawancara kelompok. 6. Untuk mengukur keberagaman usaha rumahtangga, digunakan indeks Entropy. Dalam mengevaluasi efisiensi sistem usahatani, indikator yang digunakan adalah tingkat pendapatan usahatani, perimbangan pendapatan dengan biaya (B/C), dengan menggunakan analisis finansial usahatani (partial budget analysis). Selain itu, juga dilakukan perhitungan rasio pengusahaan dan penguasaan sumberdaya, dan intensitas tanam. Hasil analisis usahatani digunakan untuk mengevaluasi kontribusi usahatani terhadap pendapatan rumahtangga. vi
7. Untuk mengukur keeratan hubungan antara penguasaan sumberdaya, tingkat pendidikan petani, pendapatan dan ukuran rumahtangga (family size) terhadap keberagaman usaha rumahtangga, digunakan analisis korelasi. Selain itu, analisis SWOT digunakan untuk mengkaji kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman kinerja rumah tangga dalam memperoleh kesempatan usaha baik on-farm, off-farm, maupun non-farm. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Rumahtangga 8. Sebagian besar kepala keluarga contoh mempunyai pekerjaan utama sebagai petani, yaitu 95% di Jawa Barat, 87% di Bali, dan 98% di Kalimantan Barat. Perbedaan ini dipengaruhi oleh adanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang lebih menjanjikan. 9. Secara keseluruhan luas pemilikan lahan di tiga lokasi penelitian berkisar antara 0,10-3,0 ha. Dari sisi rata-rata pemilikan, di Jawa Barat pemilikan sawah tadah hujan rata-rata 0,49 ha. Di Bali pemilikan lahan kering rata-rata 0,50ha, sedangkan di Kalimantan Barat pemilikan sawah pasang surut ratarata 1,20 ha. Luasnya rata-rata pemilikan lahan di Kalimantan Barat karena petani contoh adalah transmigran yang saat datang ke lokasi memperoleh jatah lahan 2 ha/kk. Model dan Efisiensi Usahatani 10.Model usahatani di sawah tadah hujan Jawa Barat adalah usahatani tanaman pangan dan sayuran dataran rendah secara parsial dan monokultur. Pola tanam yang umum adalah Padi-Padi-Palawija/sayuran. 11.Model usahatani di lahan kering Bali adalah Usahatani terpadu antara tanaman pangan dan ternak sapi dan babi. Limbah tanaman digunakan untuk pakan sapi dan babi, serta kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik. Untuk tanaman, sebagin petani mengkombinasikan tanaman pangan dengan jeruk. Pola tanam pangan yang umum adalah Padi Gogo Kacang Tanah atau Jagung Kacang Tanah. 12.Model usahatani di lahan pasang surut adalah usahatani tanaman pangan dan sayuran dataran rendah secara parsial. Ternak sapi dan tanaman diusahakan masing-masing secara terlepas (tidak terpadu). Pola tanam semusim yang umum adalah Padi Jagung atau Padi Sayuran. Jenis jagung yang banyak ditanam adalah jagung manis (sweet corn). 13. Keuntungan usahatani dari tanaman semusim (pangan dan sayuran) tertinggi di sawah tadah hujan (Jawa Barat), diikuti oleh lahan pasang surut (Kalimantan Barat) dan lahan kering (Bali). Namun pendapatan rumahtangga dari seluruh usahatani (onfarm), termasuk ternak, tertinggi di lahan kering (Bali) diikuti oleh sawah tadah hujan (Jawa Barat) dan lahan pasang surut (Kalimantan Barat). Pemeliharaan ternak sapi dan babi di lahan kering (Bali) vii
mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap pendapatan usahatani rumahtangga di Bali. 14.Usahatani tanaman semusim di tiga agro-ekosistem tergolong efisien, dicerminkan oleh nilai B/C yang positif, bahkan lebih besar dari 1,00. Selain itu, pemanfaatan sumberdaya lahan juga tergolong efisien. Efisiensi tertinggi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan adalah di sawah tadah hujan Jawa Barat (94%) diikuti lahan kering Bali (92%) dan lahan pasang surut Kalimantan Barat (79%). Keberagaman Usaha 15.Usaha rumahtangga petani di tiga agro-ekosistem cukup beragam. Keberagaman ini didorong oleh keinginan anggota rumahtangga untuk meningkatkan pendapatan dari luar usahatani sendiri. 16.Di Jawa Barat ada kecenderungan makin tinggi tingkat pendidikan dan luas lahan yang diusahakan, makin terfokus pekerjaan pada satu atau dua bidang usaha. Namun kecenderungan tersebut tidak dijumpai di dua agro-ekosistem lainnya. 17.Kecenderungan yang sama dijumpai di tiga agro-ekosistem adalah bahwa makin banyak anggota rumahtangga yang berumur 15 tahun keatas makin beragam bidang usaha yang dilakukan oleh anggota rumahtangga petani. Jenis Usaha dan Struktur Pendapatan Rumahtangga 18.Sumber pendapatan utama rumahtangga petani di tiga agro-ekosistem adalah dari usahatani sendiri (on-farm), dengan kontribusi masing-masing 52% di Jawa Barat, 53% di Bali dan 69% di Kalimantan Barat. 19.Usaha di luar sektor pertanian (non-farm) merupakan sumber pendapatan terbesar kedua, dengan kontribusi masing-masing 40% di Jawa Barat, 46% di Bali dan 25% di Kalimantan Barat. 20.Di agro-ekosistem sawah tadah hujan (Jawa Barat), tiga terbesar jenis usaha non-farm yang dilakukan anggota rumahtangga adalah: berdagang (28%), menjadi tukang bangunan (25%), dan sebagai buruh industri (16%). 21.Pada agro-ekosistem lahan kering (Bali), tiga terbesar jenis usaha non-farm yang dilakukan anggota rumahtangga adalah: usaha industri rumahtangga atau kerajinan (77%), berdagang (37%), dan sebagai buruh bangunan (18%). 22.Untuk agro-ekosistem lahan pasang surut (Kalimantan Barat), jenis usaha non-farm yang paling banyak dilakukan adalah: berdagang (48%), usaha jasa seperti tukang ojeg dan sebagainya (17%), dan usaha industri rumahtangga seperti membuat rengginang, marning, VCO, gula merah, dan sebagainya (13%). viii
Pengeluaran Rumahtangga 23.Di sawah tadah hujan Jawa Barat dan di lahan kering Bali sebagian besar pengeluaran rumahtangga, yaitu masing-masing 54% dan 64%, digunakan untuk kebutuhan non-makanan. Hal ini mencerminkan bahwa kesejahteraan rumahtangga di dua agro-ekosistem ini relatif sudah baik. Adalah fenomena umum bahwa makin tinggi pendapatan rumahtangga, maka makin beragam pengeluarannya dan proporsi pengeluaran untuk makanan akan makin kecil. 24.Untuk lahan pasang surut Kalimantan Barat, sebagian besar (62%) pengeluaran rumahtangga digunakan untuk makanan. Kondisi ini mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan rumahtangga di agro-ekosistem ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan dua agro-ekosistem lainnya. Hal ini konsisten dengan tingkat pendapatan rumahtangga di agro-ekosistem ini terendah diantara tiga agro-ekosistem yang diteliti. Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga 25.Berdasarkan standar garis kemiskinan perdesaan (BPS) tahun 2006, maka rumahtangga contoh yang masih berada dibawah garis kemiskinan di tiga agro-ekosistem yang dikaji adalah 8% di sawah tadah hujan Jawa Barat, 5% di lahan kering Bali dan 10% di lahan pasang surut Kalimantan Barat. Angka ini jauh dibawah angka kemiskinan nasional, baik secara total (17,75%) maupun di perdesaan (21,90%) 26.Berdasarkan rataan pendapatan dan pengeluaran, maka secara agregat di tiga wilayah agro-ekosistem, rumahtangga contoh mampu memenuhi kebutuhan rumahtangga, baik untuk makanan maupun non-makanan. Hal ini dicerminkan oleh rasio pendapatan terhadap pengeluaran rumahtangga yang berkisar antara 1,21 (Jawa Barat) sampai 1,36 (Kalimantan Barat). Dengan kata lain, secara umum rumahtangga contoh di tiga lokasi penelitian tergolong sejahtera. Dari ketiga lokasi, ternyata rumahtangga di lahan pasang surut Kalimantan Barat mempunyai rasio pendapatan dan pengeluaran paling tinggi, meskipun tingkat pendapatannya paling rendah. Hal ini disebabkan oleh standar pengeluaran rumahtangga yang juga lebih rendah dibanding dengan dua daerah lainnya. 27.Berdasarkan sebaran per rumahtangga, masih ditemukan rumahtangga yang pendapatannya dibawah total pengeluaran, yaitu 18% di Jawa Barat, 20% di Bali, dan 25% di Kalimantan Barat. Total pengeluaran rumahtangga sangat bervariasi antar daerah, yang dipengaruhi oleh selera, pola konsumsi, ukuran rumahtangga, dan kultur/budaya masyarakat setempat. 28.Semua rumahtangga contoh di tiga daerah penelitian mampu memenuhi kebutuhan untuk makanan. Di Jawa Barat, rasio pendapatan dengan pengeluaran untuk makanan berkisar antara 1,23 sampai 7,13, dengan rataan 3,23. Di lahan kering Bali, rasio tersebut berkisar antara 1,02 sampai 16,09, dengan rataan 4,14. Sedangkan untuk lahan pasang surut Kalimantan Barat, rasionya berkisar antara 1,32 sampai 9,59, dengan rataan 3,11. Ini berarti bahwa tidak ada masalah pemenuhan kebutuhan pangan pada semua rumahtanga contoh. ix
Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Rumahtangga 29.Berdasarkan hasil analisis SWOT, bahwa peta kinerja (potensi dan peluang) pengembangan usaha rumahtangga petani di lahan tadah hujan Jawa Barat berada pada posisi kuadran II, yaitu pada koordinat 0,2;-0,35. Ini berarti bahwa pengembangan usaha rumahtangga di lahan sawah tadah hujan Jawa Barat mempunyai kekuatan, namun lebih besar tantangannya. Strategi yang dapat ditempuh adalah strategi diversifikatif dengan memanfaatkan kekuatan intrenal dan menekan ancaman eksternal yang ada. 30.Peta kinerja pengembangan usaha rumahtangga di lahan kering Bali berada pada posisi kuadran I dengan koordinat 0,2;1,35. Artinya pengembangan usaha rumahtangga di wilayah ini sangat prospektif, karena didukung oleh dominasi kekuatan internal dan peluang eksternal. Oleh karena itu, strategi agresif untuk memanfaatkan kekuatan dan peluang yang ada dapat ditempuh. 31.Di lahan pasang surut Kalimantan Barat, peta kinerja pengembangan usaha rumahtangga berada pada posisi kuadran II dengan koordinat 0,05;-0,9. Seperti halnya di Jawa Barat, disinipun pengembangan usaha rumahtangga masih dihadapkan pada ancaman eksternal, meskipun terdapat sedikit kekuatan internal. Strategi yang dapat ditempuh adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan yang ada dengan menekan sekecil mungkin ancaman yang ada. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 32.Dari tiga lokasi penelitian, model usahatani terpadu baru diterapkan di Bali. Dari sisi pendapatn usahatani (on-farm) ternyata pendapatan tertinggi diperoleh dari usahatani terpadu di Bali, terutama dari ternak sapi dan babi. 33.Untuk menambah pendapatan, rumahtangga berupaya mencari sumber pendapatan lain, sehingga jenis usaha rumahtangga sangat beragam. Namun demikian, tidak diperoleh korelasi positif yang kuat antara keberagaman usaha dengan tingkat pendapatan rumahtangga. 34.Pendapatan dari usahatani sendiri (on-farm) masih merupakan sumber pendapatan utama bagi rumahtangga petani, diikuti oleh sumber non-farm dan off-farm. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya sektor pertanian di perdesaan. 35.Berdasarkan standar garis kemiskinan BPS (2006), rumahtangga contoh yang masih dibawah garis kemiskinan masing-masing 8% di Jawa Barat, 5% di Bali, dan 10% di Kalimantan Barat. Angka ini masih jauh dibawah angka kemiskinan perdesaan tingkat nasional (17,75%). 36.Berdasarkan rata-rata pendapatan dan pengeluaran, secara umum rumahtangga contoh mampu memenuhi kebutuhan, baik makanan maupun non makanan. Namun demikian, secara individu rumahtangga, masih ada sebagian rumahtangga yang pendapatannya lebih rendah dari pengeluaran. x
37.Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa kinerja pengembangan usaha rumahtangga di Jawa Barat dan Kalimantan Barat masih mempunyai prospek, tetapi lebih besar tantangan dari faktor eksternal. Di lahan kering Bali, prospeknya lebih baik, karena disukung oleh kekuatan faktor internal dan peluang eksternal. 38.Dari hasil analisis SWOT tersebut, srategi yang dapat ditempuh adalah bagaimana memanfaatkan peluang dan kekuatan yang masih ada dengan menekan serendah mungkin tantangan dari luar. 39.Implikasi dari masih pentingnya sektor pertanian ialah bahwa sektor ini harus dibangun secara terpadu, baik dari sisi teknologi pertanian, penyediaan sarana produksi dan modal, maupun pembangunan infrastruktur. 40.Investasi di bidang agro-industri di perdesaan perlu dipacu melalui berbagai kemudahan dan insentif bagi investor. Perkembangan agro-industri di perdesaan diharapkan menciptakan pasar bagi produk primer pertanian dan sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi rumahtangga perdesaan. Dengan demikian, diharapkan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga di perdesaan meningkat. xi