1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi jalar sangat berpotensi untuk diolah lebih lanjut menjadi bahan baku industri makanan, antara lain tepung ubi jalar. Menurut Syarief dan Irawati (1986), tepung ubi jalar biasanya diperoleh dari ubi jalar yang telah dikeringkan dan digiling kemudian diayak. Tepung ubi jalar tersebut dapat digunakan sebagai pensubtitusi terigu pada industri makanan seperti bihun dan mie. Pengaplikasian tepung ubi jalar dalam mensubtitusi tepung terigu pada pembuatan mie dan bihun masih memiliki beberapa kekurangan. Menurut Sugiyono et al. (2011), mie yang dibuat dari tepung ubi jalar tanpa fermentasi menghasilkan mie dengan aroma, warna dan kekenyalan yang kurang disukai. Selain itu, Rizal (2012) melaporkan bahwa penambahan tepung ubi jalar dalam pembuatan bihun akan menghasilkan warna produk yang kurang cerah dan hal tersebut sedikit menurunkan preferensi konsumen. Berdasarkan penelitian Fortuna (2009), tepung terigu yang disubtitusikan dengan tepung ubi jalar sebanyak 20% menghasikan
2 mie kering dengan tingkat kekenyalan yang masih rendah jika dibandingkan dengan mie berbahan dasar tepung terigu. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu dilakukan suatu modifikasi dalam proses pembuatan tepung ubi jalar untuk merubah karakteristik tepung ubi jalar sehingga dapat mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan mie. Menurut Zubaidah dan Irawati (2013), salah satu modifikasi tepung yang dapat dilakukan adalah fermentasi dengan memanfaatkan BAL. BAL yang biasa digunakan dalam proses fermentasi antara lain Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc mesenteroides. L. plantarum merupakan bakteri homofermentatif yang akan memfermentasi karbohidrat dan hanya menghasilkan asam laktat sebagai produk satu satunya (Fardiaz, 1992). Leuconostoc merupakan bakteri heterofermentatif yang dapat memecah glukosa dan menghasilkan 50% asam laktat, etanol, asam asetat, gliserol, manitol, dan CO 2 (Gibbons and Westby, 1986). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan fermentasi ubi jalar menggunakan starter Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc mesenteroides. Hasil penelitian Amethy (2014) menunjukkan bahwa fermentasi ubi jalar dengan menggunakan Lactobacillus plantarum, dan BAL dari cairan pikel ubi jalar mampu merubah sifat fisik dan kimia tepung ubi jalar antara lain meningkatkan kadar amilosa, derajat putih, dan volume kembang adonan. Akan tetapi pada penelitian tersebut belum dilakukan analisis kelarutan (solubility) dan pembengkakan granula (swelling power), persen transmitan. Hasil penelitian Margareta (2010) menunjukkan bahwa penggunan starter Leuconostoc mesenteroides dapat memperbaiki aroma pikel ubi jalar kuning namun pada
3 penelitian tersebut belum diolah lebih lanjut menjadi tepung. Zubaidah dan Irawati (2013) melaporkan fermentasi BAL dengan starter L. plantarum mampu meningkatkan swelling power pada tepung mocaf. Hasil penelitian Dewi (2014) menunjukkan bahwa ubi jalar yang difermentasi selama 7 hari menggunakan L.plantarum menghasilkan tepung ubi jalar dengan nilai swelling power dan solubility yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa fermentasi mampu merubah karakteristik tepung ubi jalar. Akan tetapi pada penelitian tersebut, tidak dikombinasikan dengan lama fermentasi. Lama fermentasi merupakan salah satu faktor yang juga memiliki pengaruh cukup besar terhadap hasil fermentasi. Semakin lama fermentasi maka semakin banyak aktifitas yang dilakukan oleh mikroorganisme yang berperan dan konsentrasi asam akan meningkat terutama asam laktat (Wulan, 2004). Berdasarkan penelitian Amethy (2014), tepung ubi jalar yang difermentasi dengan starter L. plantarum selama 96 jam memiliki derajat putih dengan skor tertinggi yaitu 3. Hasil penelitian Pratiwi (2014) menunjukkan bahwa pembengkakan granula yang dihasilkan semakin tinggi sampai hari ke-4 kemudian mengalami penurunan setelah hari ke-4. Sejauh ini belum diketahui jenis starter dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan tepung ubi jalar putih terfermentasi dengan karakteristik yang sesuai untuk bahan baku mie. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan fermentasi ubi jalar putih menggunakan Lactobacillus plantarum, Leuconostoc mesenteroides yang dikombinasikan dengan berbagai lama fermentasi yaitu 0, 24, 48, 72, 96 jam. Hal ini untuk mengetahui jenis starter dan lama fermentasi yang tepat untuk merubah
4 karakteristik tepung ubi jalar seperti kelarutan (solubility) dan pembengkakan granula (swelling power), dan persen transmitan sehingga cocok digunakan sebagai bahan baku mie. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan karakteristik tepung ubi jalar putih yang difermentasi dengan starter Lactobacillus plantarum, Leuconostoc mesenteroide, serta perubahannya. 2. Mendapatkan karakteristik tepung ubi jalar putih pada berbagai lama fermentasi dan perubahannya. 3. Mengetahui kombinasi antara Lactobacillus plantarum, Leuconostoc mesenteroides dan lama fermentasi yang terbaik untuk karakteristik tepung ubi jalar putih sebagai bahan baku mie. C. Kerangka Pemikiran Prinsip fermentasi asam laktat adalah memodifikasi sel bahan dengan cara fermentasi menggunakan BAL. Selama proses fermentasi berlangsung, BAL akan memproduksi enzim amilase dan selulase yang dapat menghidrolisis beberapa bagian pati menjadi monosakarida dan polimer rantai pendek lainnya sehingga dapat memperbaiki karakteristik tepung dan selanjutnya monosakarida tersebut akan diubah menjadi asam-asam organik terutama asam laktat seperti yang terjadi pada tepung MOCAF (Salim, 2011).
5 BAL yang biasa digunakan dalam proses fermentasi antara lain Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc mesenteroides. Lactobacillus plantarum merupakan salah satu bakteri asam laktat yang dominan pada proses fermentasi pikel dan banyak digunakan sebagai starter untuk memodifikasi tepung fermentasi (Yuliana dkk., 2014). L. plantarum merupakan bakteri homofermentatif yang bersifat amilolitik yang dapat menghidrolisis pati (Outtara et al.,2008), sedangkan Leuconostoc mesenteroides merupakan bakteri heterofermentatif yang dapat memecah glukosa menjadi asam laktat, etanol, dan CO 2 (Buchanan and Gibbons 1986). Perbedaan lainnya dari L. plantarum dan Leuconostoc mesenteroides adalah jenis enzim yang dihasilkan selama fermentasi. L. plantarum dan Leuconostoc mesenteroides mampu menghasilkan enzim α- amilase mampu memutus ikatan α-1,4 glikosidik pada bagian dalam rantai pati secara acak baik pada amilosa maupun pada amilopektin (Fogarty, 1983). Kerja α - amilase pada molekul amilosa menyebabkan amilosa terurai menjadi maltosa dan maltotriosa. Pada tahap selanjutnya maltotriosa terurai kembali menjadi maltosa dan glukosa, sedangkan pada amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α - limit dekstrin (Winarno, 1983). L. plantarum tidak hanya menghasilkan enzim α-amilase, tetapi juga menghasilkan enzim glukoamilase (Lacerda et al, 2005). Enzim glukoamilase mampu menghidrolisis ikatan α-1,6 glikosidik dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis ikantan α-1,4 glikosidik (Judoamidjojo, et al., 1990). Berbeda dengan L. plantarum, Leuconostoc mesenteroides menghasilkan enzim selulase khususnya β-glukosidase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi glukosa (Paul et al., 2013). Berdasarkan perbedaan tersebut, diduga penggunaan jenis
6 starter yang berbeda akan menghasilkan karakteristik tepung yang berbeda pula, seperti pembengkakan granula, kelarutan, dan persen transmitan. Selain jenis starter, faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil fermentasi adalah lama fermentasi. BAL yang tumbuh selama fermentasi akan menghasilkan enzim amilase dan selulase yang dapat menghancurkan dinding sel bahan. Akibatnya, terjadi liberalisasi granula pati, dan selanjutnya ada granula pati yang dihidrolisis oleh BAL menjadi monosakarida yang nantinya akan dikonversi menjadi asam laktat (Subagio, 2006). Oleh karena itu, semakin lama fermentasi jumlah asam laktat yang dihasilkan semakin meningkat, dan menyebabkan ph larutan fermentasi dan ph tepung semakin menurun (Octarini, 2010; Setiawan, 2012; Margareta, 2010; Amethy, 2014). Whitaker (1996) menyatakan bahwa semakin asam larutan fermentasi, aktivitas enzim PPO (Polifenoloksidase) yang merupakan penyebab pencoklatan enzimatis dapat terhambat, karena ph optimum enzim PPO berkisar 5-7 sehingga memperkecil terjadinya pencoklatan enzimatis. Selain meningkatnya asam-asam organik, semakin lama fermentasi juga akan semakin banyak enzim yang dihasilkan BAL yang mendegradasi pati. Degradasi pati tersebut menghasilkan rantai pati yang semakin pendek sehingga jaringan internal granula pati akan semakin melemah dan mudah menyerap air, selanjutnya granula pati mengembang dan akan meningkatkan pembengkakan granula (swelling power) (Odedeji and Adeleke, 2010). Amilosa rantai pendek dan gulagula sederhana hasil degradasi pati merupakan karbohidrat dengan bobot molekul kecil yang mudah keluar dari granula yang dipanaskan sehingga mempengaruhi kelarutan (Singh et al., 2006). Menurut Otegbayo et al. (2009), banyaknya
7 amilosa rantai pendek hasil degradasi yang keluar dari granula juga dapat mempengaruhi persentase transmitan, karena molekul amilosa mempunyai kecenderung untuk melakukan retrogradasi sehingga menimbulkan warna keruh. Penurunan nilai transmitan menunjukkan kecenderungan retrogradasi dari pasta pati. Hasil penelitian Dewi (2014) menunjukkan bahwa fermentasi ubi jalar menggunakan starter L. plantarum selama 7 hari menghasilkan nilai swelling power dan solubility tepung ubi jalar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi penelitian tersebut hanya melakukan pengamatan pada hari ke-7 fermentasi dan hanya diaplikasikan pada roti tawar. Hasil penelitian Pratiwi (2014) juga menunjukkan nilai swelling power granula pada tepung ubi jalar suhu 60 o C tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi garam 1% dengan lama fermentasi 4 hari, sedangkan nilai terendah swelling power granula diperoleh pada semua konsentrasi garam (1,3,dan 5%) dengan lama fermentasi 0 hari. Hasil penelitian Amethy (2014), menunjukkan bahwa fermentasi ubi jalar putih menggunakan L. plantarum hingga ke-96 jam dapat pula menghasilkan warna tepung semakin putih dan meningkatkan keasaman tepung, akan tetapi pada penelitian tersebut tidak dilakukan analisis pembengkakan granula, kelarutan, dan persen transmitan. Sejauh ini belum diketahui jenis starter dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan tepung ubi jalar yang memiliki karakteristik yang sesuai untuk dijadikan bahan pensubtitusi tepung terigu pada pembuatan mie. Berdasarkan uraian tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan proses fermentasi bakteri asam
8 laktat (BAL) dengan menggunakan Lactobacillus plantarum, Leuconostoc mesenteroides dengan lama fermentasi (0, 24, 48, 72, 96 jam). Kombinasi antara jenis starter dan lama fermentasi yang tepat diduga akan menghasilkan karakteristik tepung ubi jalar terbaik untuk bahan baku mie. D. Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah 1. Karakteristik tepung ubi jalar putih yang difermentasi dengan starter Lactobacillus plantarum berbeda dengan Leuconostoc mesenteroides. 2. Lama fermentasi akan mempengaruhi karakteristik tepung ubi jalar putih untuk bahan baku mie, dan terdapat titik optimum karakteristik terbaik. 3. Terdapat kombinasi antara Lactobacillus plantarum, Leuconostoc mesenteroides dengan lama fermentasi yang dapat menghasilkan karakteristik tepung ubi jalar putih terbaik untuk bahan baku mie.