PERKEMBANGAN RUMAH JAWA (Hamah Sagrim)

dokumen-dokumen yang mirip
VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO

Tugas I PERANCANGAN ARSITEKTUR V

RUMAH ADAT TULUNGAGUNG

Rumah Jawa adalah arsitektur tradisional masyarakat Jawa yang berkembang sejak abad ke- 13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok) yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

KAJIAN OBJEK ARSITEKTUR JAWA TIMUR

(Analisa Objek Arsitektur Vernakular Jawa: Joglo Lambangsari)

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad

Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta

Jawa Timur secara umum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten

by NURI DZIHN P_ Sinkronisasi mentor: Ir. I G N Antaryama, PhD

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR...

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya

Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN. Rumah toko Cina Malabero Bengkulu yang dikelompokkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli

RUMAH TRADISIONAL BANYUWANGI

A. GAMBAR ARSITEKTUR.

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta terletak antara 70 33' LS ' LS dan ' BT '

Observasi Citra Visual Rumah Tinggal

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN. 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang

Arsitektur Dayak Kenyah

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB IV: PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ARSITEKTURAL KALIANDRA (PASURUAN)

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA

BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.2

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I Pendahuluan. Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

KONSTRUKSI RANGKA ATAP

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan

Bayanaka Canggu. tentang sebuah rumah peristirahatan di Bali, 2007 oleh: Fransiska Prihadi 1

BAB I PENDAHULUAN. 1 ( balai pustaka Kamus Bahasa Indonesia 1988 ) 2 Ibid 3 Ibid

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pembentukannya setiap budaya yang dimunculkan dari masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

Tabel 4.2. Kesesuaianan Penerapan Langgam Arsitektur Palladian Pada Istana Kepresidenan Bogor.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

Elemen Fisik Masjid Baiturrahman Banda Aceh sebagai Pembentuk Karakter Visual Bangunan

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada

BAB VI HASIL PERANCANGAN. simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB V KAJIAN TEORI. Tema desain yang digunakan pada proyek Komples Wisata Budaya di Kota

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Adat merupakan ciri khas bangunan suatu etnik di suatu wilayah

BAB 5 KESIMPULAN. 88 Universitas Indonesia. Gereja Koinonia..., Rinno Widianto, FIB UI, 2009

IDENTIFIKASI RUMAH TRADISIONAL DI LORONG FIRMA KAWASAN 3-4 ULU, PALEMBANG

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Studi Tipologi Bangunan Pabrik Gula Krebet. Kawasan Pabrik gula yang berasal dari buku, data arsitek dan sumber-sumber lain

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

Udang di Balik Batu. Parahita Galuh Kusumaningtyas

Perkembangan Arsitektur 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Perkembangan pembangunan yang sangat pesat, juga diikuti munculnya

BAB III TINJAUAN BENTUK DALAM ARSTEKTUR DAN ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA

BAB 1 PENDAHULUAN. bangunan masjid. Masjid merupakan bangunan yang penting dan tidak dapat

KONSEP RANCANGAN. Latar Belakang. Konteks. Tema Rancangan Surabaya Youth Center

BAB III ELABORASI TEMA

PEDOMAN PEMBANGUNAN BANGUNAN TAHAN GEMPA

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

KHM 203 ONLINE PR SEKSI 10. NAMA : SRI CICI KURNIA NIM : TEMA BLOG : WARNA WARNI YOGYAKARTA :

+ 3,63 + 2,60 ± 0, ,00

87 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan dan kesatuan suatu bangsa dapat ditentukan dari aspek- aspek

TUGAS SENI BUDAYA ARTIKEL SENI RUPA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu daerah yang

Omah Dhuwur Gallery merupakan bangunan yang ada di Kawasan Cagar Budaya

UTS SPA 5 RAGUAN

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

DINDING DINDING BATU BUATAN

KISI-KISI PEDOMAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

Wilangan 17 Kota Emas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya.

DATA RUMAH ADAT DI JAWA BARAT

Transkripsi:

PERKEMBANGAN RUMAH JAWA (Hamah Sagrim) A. PERJALANAN RUMAH JAWA Tinjauan Histors 1. Asalmuasal Rumah Jawa Dari asal usulnya, para ahli sejarah belum mempunyai kesatuan pendapat tentang hal ini. Sebagian riwayat menceriterakan bahwa betapa sukarnya menentukan wujud bentuk rumah orang Jawa pada mulanya. Ada yang mengatakan bahwa perkembangan rumah orang Jawa hanya diceriterakan dari mulut ke mulut (lisan), dari kakek ke cucu, cicit, dan sterusnya. Akan tetapi ada pula yang mengatakan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu. Dari pendapat yang bermacam-macam itu, dapat diambil kesimpulan bahwa hal itu masih gelap dan belum berhasil ditemukan bentuknya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa beberapa orang yang ahli telah membuktikan bahwa teknik penyusunan rumah Jawa seperti teknik menyususnan batu-batu candi yang cukup banyak. Tetapi menurut para ahli, bukan rumah orang Jawa yang meniru bentuk candi, melainkan candi yang meniru rumah orang Jawa. Mengapa demikian? Karena candi yang kita saksikan sekarang ini seperti candi Dieng, Borobudur, Pawon, Mendut, Gedongsongo, dan lain-lain pada umumnya berdiri pada abad ke18, sedangkan sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa, sebenarnya nenekmoyang orang Jawa pasti sudah mempunyai tempat tinggal yang cukum permanen untuk melindungi diri dan keluarganya. Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tentang hal-hal tersebut diatas dengan pasti, dan yang menjadi saksi bisu pastilah relief-relief yang terdapat pada batu candi. Tapi dugaan yang paling kuat diperoleh dari sebuah naskah kuno yang ditulis dengan tangan, yang menyebutkan bahwa rumah orang Jawa terbuat dari bahan kayu, serta dimulai dari jaman Prabu Jayabaya berkuasa di Memenang ibukota Kediri. Sekitar abad ke-11, baik adipati Harya Santang maupun Prabu Jayabaya, sendiri menyetujui untuk membuat rumah dari bahan kayu. Dan orang tidak usah khawatir lagi bahwa rumah batu mereka akan dikikis habis oleh air hujan, atau oleh sebab-sebab yang lain. Tetapi kalau dibuat dari bahan kayu, hal ini dikarenakan bahan kayu merupakan bahan yang ringan, mudah dikerjakan, mudah dicari dan kalau rusak mudah untuk menggantikannya. Di istana Raja, barisan pekerja yang berada di wilayah pimpingan Adipati Harya Santang juga mendapat order memperbaiki istana raja. Menurut tulisan yang sama, pada jaman Prabu Wijayaka berkuasa di medangkemulan, ia telah melakukan berbagai perubahan terutama pada departemen perumahan yang sejak saat itu diurus oleh pejabat perumahan yang berpangkat Bupati. Mereka terdiri dari: 1. Bupati Kalang Blandhong ahli menebang pohon 2. Bupati Kalang Obong ahli pembersihan hutan 1

3. Bupati Kalang Adeg ahli perencana bangunan 4. Bupati Kalang Abrek Semua pembangunan rumah Jawa, disesuaikan dengan budaya Jawa. 2. Bagaimana Tempat Tinggal Nenek Moyang Orang Jawa Dahulu? Diatas telah disebutkan bahwa rumah leluhur orang Jawa terbuat dari bahan batu. Namun hal itu hanya perkiraan semata, dan sejak semula, orang beranggapan bahwa rumah batu tersebut baru ada sekitar abad ke-10 dan itupun terbatas pada tempat-tempat tertentu. Tapi, pada jaman sebelumnya, orang-orang juga membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarganya dari hujan dan panas. Mau tidak mau mereka berpikir praktis sehingga dengan berbagai usaha telah ditempuh untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, maka pada jaman kuno, orang-orang memanfaatkan gua-gua abris sous roche. Gua-gua itu sebenarnya lebih mirib dengan ceruk-ceruk di dalam batu karang yang dapat dipakai untuk berteduh. Kini penelitian terhadap gua-gua semacam itu terus ditingkatkan. Limapuluh tahun yang lalu, tepatnya antara tahun 1928-1931, seorang peneliti yang pertama melakukan penelitian di gua-gua tersebut adalah Van Stein Callenfels, di daerah Gua lawa dekat Sampung Ponorogo, Madiun. Lambat laun berkembang menjadi semacam ekspedisi, yaitu gabungan dari puluhan orang yang masing-masing memiliki keahlian khusus (spesialis) di samping didukung oleh dana yang besar. Banyak benda-benda unik yang ditemukan disana. Bagi para peneliti yang berasal dari negeri barat seperti Belanda, Inggris maupun orang Eropa lainnya, cukup mengencangkan alat-alat batu, ujung panah dan flakes (kepingan senjata tajam), batu, penggalian, kapak-kapak yang sudah diasah (neolithikum), alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Disamping itu juga ditemukan alat-alat perunggu dan besi. Selain temuan-temuan tersebut yang diiedntifikasikan, termasuk identifikasi benda tersebut menunjukkan bahwa manusia yang pertama hidup di Jawa dalah jenis manusia Papua-melanesoid. Sehingga dipastikan bahwa ceruk-ceruk tersebut telah lama ditempati oleh nenek moyang. Setelah membuktikan secara ilmiah kapan benda-benda tersebut mulai ada di sana, maka muncullah istilah sampung bone-culture yang berarti alat-alat tukang dari sampung. 3. Populasi Jenis-Jenis Arsitektur Rumah Adat Jawa Arsitektur atau Seni Bangunan yang terdapat di daerah Provinsi Jawa Tengah dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Arsitektur Tradisional, yaitu Seni Bangunan Jawa asli yang hingga kini masih tetap hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa. Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Yang merupakan bangunan pokok dalam seni bangunan Jawa ada 5 (lima) macam, ialah : - Panggang-pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi. - Kampung, yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja. - Limasan, yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan de tengahnya. - Joglo atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. 2

- Tajug atau Masjid, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing. Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan variasi yang bukan hanya berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja, melainkan juga dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Dari kelima macam bangunan pokok rumah Jawa ini, apabila diadakan penggabungan antara 5 macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah Jawa. Sebagai contoh : gedang selirang, gedang setangkep, cere gencet, sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain. Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah itu mempunyai sifat dan penggunaan tersendiri. Misalnya bentuk Tajug, itu selalu hanya digunakan untuk bangunan yang bersifat suci, umpamanya untuk bangunan Masjid, makam, dan tempat raja bertahta, sehingga masyarakat Jawa tidak mungkin rumah tempat tinggalnya dibuat berbentuk Tajug. Rumah yang lengkap sering memiliki bentuk-bentuk serta penggunaan yang tertentu, antara lain : - Pintu gerbang : bentuk kampong - Pendopo : bentuk joglo - Pringgitan : bentuk limasan - Dalem : bentuk joglo - Gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang - Dapur : bentuk kampong, dll. Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian. Dengan sendirinya rumah yang berbentuk doro gepak (atap bangunan yang berbentuk mirip burung dara yang sedang terbang mengepakkan sayapnya) misalnya bagian-bagiannya dipergunakan untuk kegunaan yang tertentu, misalnya : emper depan : untuk Pendopo ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga emper kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan emper yang lain : untuk gudang dan dapur. Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang berkolong. Hal tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila ada banjir.dalam Seni Bangunan Jawa karena telah begitu maju, maka semua bagian kerangka rumah telah diberi nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur, brunjung, usuk peniyung, usuk ri-gereh, reng, blandar, pengeret, saka guru, saka penanggap, umpak, dan sebagainya.bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati. Arsitektur tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa sendiri tetapi sampai menjangkau manca negara. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura dan Malaysia juga Bandar Udara Soekarno-Hatta mempunyai arsitektur tradisional Jawa. Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas pernyataan hidup yang bertolak dari tata krama meletakkan diri, norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi alam lingkungannya. Arsitektur ini pada galibnya menampilkan karya swadaya dalam kebersamaan yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos). Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa sebagaimana halnya Bali dan daerah lain adalah arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar. Yang disebut rumah yang utuh seringkali bukanlah satu bangunan dengan dinding yang pejal melainkan halaman yang berisi sekelompok unit bangunan 3

dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling mengimbas tanpa pembatas yang tegar. Struktur bangunannya merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan payung yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai pembatas, bukan dinding pemikul. Yang sangat menarik pula untuk diungkap adalah struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar dan jujur tanpa ada usaha menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan bangunannya, semua dibiarkan menunjukan watak aslinya. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup handal terhadap gempa. Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang sangat melindungi ruang beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang dan struktur yang demikian sungguh cocok untuk daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional. Sumber utama untuk mengenal seni bangunan Jawa untuk untuk daerah Jawa Tengah adalah Kraton Surakarta dan Kraton Mangkunegaran. Juga peninggalan-peninggalan bangunan makam kuno serta masjid-masjid kuno seperti Masjid Demak, Masjid Kudus dengan menaranya yang bergaya khusus, Makam Demak, Makam Kadilangu, Makam Mengadeg, dll. Di samping seni bangunan Jawa asli yang berupa bangunan rumah tempat tinggal, terdapat juga seni bangunan Jawa peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça, semasa berkuasa di daerah Jawa Tengah. Bangunan semasa itu biasanya menggunakan bahan bangunan batu sungai, ada juga yang menggunakan batu merah, bahan kayu yang peninggalannya tidak kita jumpai lagi, tetapi kemungkinan dahulunya ada. Fungsi bangunan-bangunan itu bermacam-macam : sebagai tempat pemujaan, tugu peringatan, tempat pemakaman, tempat bersemedi, dan sebagainya. Corak bangunan-bangunan agama itu ada yang agama Budha Mahayana, misalnya : Borobudur. Yang bercorak Trimurti, misalnya : Dieng. Sedangkan yang bercorak campuran dengan kepercayaan daerah setempat, misalnya : Candi Sukuh dan Çeta. Bentuk Rumah Panggang-pe : Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lainlainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda, tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya. Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal. Bentuk Rumah Limasan : Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal. Perkembangannya dengan penambahan emper atau serambi, serta beberapa ruangan akan tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk gambang, lambang gantung, trajumas, dan lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan sebagai tempat tinggal. Bentuk Rumah Tajug : Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandarblandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan 4

sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal. Bentuk Rumah Joglo : Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (ndalem). 4. Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa Rumah merupakan sesuatu yang penting karena mencerminkan papan (tempat tinggal), disamping dua macam kebutuhan lainnya yaitu sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Karena rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungannya. Selain itu rumah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan utamanya saja. Tetapi dipergunakan untuk mewadahi semua kegiatan dan kebutuhan yang ada di dalam rumah tersebut. Rumah Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan moral kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam satu kesatuan. Semakin lama tuntutan masyarakat dalam keluarga semakin berkembang sehingga timbullah tingkatan jenjang kedudukan antar manusia yang berpengaruh kepada penampilan fisik rumah suatu keluarga. Lalu timbulah jati diri arsitektur dalam masyarakat tersebut. Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga menyimpan rahasia tentang kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan sarana pemiliknya untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya sehingga dapat dimengerti dan dinikmati orang lain. Rumah Jawa juga menyangkut dunia batin yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu : - Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri. - Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan. Kedua pendekatan itu akhirnya menjadi satu kesatuan. Kedua pendekatan mempunyai perannya masing-masing, situasi dan kondisi yang menjadikan salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan bentuk yang berbeda bila salah satu peranannya lebih kuat. Rumah Jawa merupakan kesatuan dari nilai seni dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya manusia yang dapat dijabarkan secara keilmuan. Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi: 1. Rumah Bentuk Joglo 2. Rumah Bentuk Limasan 3. Rumah bentuk Kampung 4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub 5. Rumah bentuk panggang Pe - Rumah JOGLO Dibanding 4 bentuk lainnya, rumah bentuk joglo merupakan rumah joglo yang dikenal masyarakat pada umumnya. 5

Rumah Joglo kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya diperkenankan Foto : 1. Joglo jompongan Foto : 2. Joglo kepuh lawakan untuk rumah kaum bangsawan, - Sumber Peneliti - 2010 istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah joglo digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor. Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki. Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh, terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya menjadi melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya. Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan. Selain itu bentuk denah juga mengalami perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi. Dari perubahan-perubahan tersebut timbulah bentuk-bentuk rumah joglo yang beraneka macam dengan namanya masing-masing. Adapaun, jenis-jenis joglo yang ada, antara lain : joglo jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom apitan, joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo wantah apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat. 6

A. ARSITEKTUR ndalem PANGERAN cross cutting Karaton story 1. Sejarah Arsitektur ndalem Pangeran Ngadi Winatan Suryoputran Yogyakarta Dalam Perjalanan Karaton Ngayogyakarta. Dibawah bayangan gunung setinggi 2.914 meter, yang disebut Gunung Merapi, berdiri Ngayogyakarto Hadiningrat, salah satu kerajaan Mataram di Jawa. Kini disebut sebagai Yogyakarta (Jogja) mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, dan beliau menggunakan keraton sebagai pusat Foto: 3. Logo keraton daerah paling berpengaruh di Jawa sejak abad ke-17. Keraton Yogyakarta tetap menjadi pusat kehidupan tradisional dan meskipun ada modernisasi di abad ke-20, keraton tetap memancarkan semangat kemurnian, yang ditandai dengan kebudayaannya selama berabad-abad. Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Musik gamelan merupakan pandangan dari masa lalu, klasik dan sejaman, pertunjukan tari-tarian Jawa yang sangat indah dan memabukkan, pertunjukkan wayang kulit dan ratusan Foto : 4. Tampak Depan kesenian tradisional yang membuat para pengunjung terpesona. Keraton Yogyakarta Semangat kehidupan yang luar biasa dan kehangatan kota Hadiningrat ini sendiri yang hampir tidak pernah pudar. Seni kontemporer juga tumbuh dalam suburnya kebudayaan dan masyarakat Yogyakarta. ASRI, Akademi Seni Rupa, sebagai contoh, merupakan pusat kesenian di sini, dan Yogyakarta telah mencatatkan namanya sebagai sebuah sekolah seni lukis modern penting di Indonesia, yang mungkin bisa dicontohkan dalam sosok pelukis impersionis, Affandi. Foto: 5. Budaya Garebeg Propinsi ini merupakan salah satu daerah padat penduduk di Indonesia dan merupakan pintu gerbang utama menuju pusat Jawa dimana secara geografis tempat ini berada. Membentang dari Gunung Merapi di sebelah utara menuju Samudera Hindia di sebelah selatan. Penerbangan harian menghubungkan Yogyakarta dengan Jakarta, Surabaya, Papua dan Bali, juga Foto: 6. Budaya Jathilan kereta api dan angkutan bis menawarkan perjalanan darat dengan rute sama. Sumber Dinas Kebudayaan DIY 7

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (disingkat dengan Jogja), merupakan salah satu dari 34 propinsi di Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Luas Yogyakarta sekitar 3.186 km persegi, dengan total penduduk 3.226.443 (Statistik Desember 1997). Propinsi ini terkenal sebagai kota kebudayaan dan pendidikan dan merupakan daerah tujuan wisata. Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Gianti (Palihan Nagar) pada 1755, mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat. Kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Pada tahun 1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan Mataram terjadi untuk ketiga-kalinya. Pangeran Notokusumo, putra dari Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran Paku Alam I. Kerajaannya terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualaman menyatu sebagai salah salah satu propinsi di Indonesia dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai gubernur dan Sri Paku Alam VIII sebagai wakil gubernurnya. Meskipun propinsi DIY mempunyai wilayah yang relatif kecil, namun kaya akan daya tarik wisata. Pengunjung dapat menemukan berbagai macam hasil seni dan pertunjukan kesenian yang sangat menarik dan menakjubkan. Sebagai pusat seni dan budaya di Jawa, terdapat beberapa macam daya tarik wisata di Yogyakarta. Hal ini menjadi alasan mengapa orang mereferensikan Yogyakarta sebagai tempat lahirnya kebudayaan Jawa. Dan untuk pecinta gunung, pantai atau pemandangan indah, Yogyakarta juga menyediakan beberapa tempat untuk itu. Propinsi ini juga diakui sebagai tempat menarik untuk para periset, ahli geologi, ahli speleogi dan vulkanologi merujuk pada adanya gua-gua di daerah batuan kapur dan gunung berapi yang aktif. Di selatan kabupaten Gunung Kidul merupakan ujung laut, dimana terdapat beberapa fosil biota laut dalam batuan kapur Foto : 8. Gedong kaca. Museum hamengkubuono IX Foto : 9. Budaya Numplak Wajik Foto: 10. Budaya Pekchun Foto : 12. Budaya Imogiri Foto : 13. Budaya Karawitan Sumber Dinas Kebudayaan DIY & Peneliti 2010 8

sebagai buktinya. Untuk para arkeolog, Yogyakarta sangat menarik sebab setidaknya ada 36 candi / situs-situs sejarah disini. Ada beberapa peninggalan peradaban dari abad ke-9. Salah satunya, candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan paling terkenal di Indonesia. Borobudur, candi Budha terbesar, tercatat sebagai salah satu tujuh keajaiban di dunia. Borobudur dapat dicapai selama 1 jam dari kota, hanya 42 km sebelah barat laut Yogyakarta. Dalam perjalanan ke Borobudur, dapat mengunjungi Candi Mendut dan Candi Pawon. Candi Mendut merupakan tempat untuk pemujaan, dengan adanya arca Budha Gautama didalamnya. Beberapa upacara ritual juga masih berlangsung di Yogyakarta, dan masih dilaksanakan sampai sekarang. Lingkungan yang indah, arsitektur tradisional, kehidupan sosial, dan upacara-upacara ritual membuat Yogyakarta menjadi tempat paling menarik untuk dikunjungi. Seni dan budaya tradisional seperti musik gamelan dan taritarian tradisional akan selalu mengingatkan penonton akan kehidupan Yogyakarta beberapa abad yang lalu. Pembangunan teknologi modern berkembang di Indonesia dan di Yogyakarta, ini berkembang secara harmoni dengan adat dan upacara tradisional. Sesuai namanya, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang benar-benar istimewa. Orang-orangnya sangat ramah. Hal ini membentuk kehidupan dan kelakuan mereka. Mereka menyukai olahraga tradisional, panahan sebagai hobi dan juga sangat menyukai permainan burung perkutut. Mereka juga percaya bahwa orang dapat menikmati hidup dengan mendengarkan kicauan burung. Kompetisi panahan tradisional selalu diselenggarakan untuk memperingati kelahiran raja, yang disebut dengan Wiyosan Dalem. Dan pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono X lahir, tradisi ini juga dilaksanakan. Dengan adanya berbagai macam kesenian adat dan upacara tradisional yang masih berlangsung, Yogyakarta juga dikenal sebagai museum hidup Jawa, yang dicerminkan dalam segala bentuk hal-hal tradisional berupa kendaraan, arsitektur, pasar, pusat cindera mata, museum, dan banyak pilihan atraksi wisata di Yogyakarta. Dengan berdirinya Karaton ngayogyakarta, maka selanjutnya didirikanlah bangunan-bangunan Pangeran, termasuk ndalem Ngadiwinatan Suryoputran yang berada di alun-alun Selatan Yogyakarta. Foto : 15.a. Budaya Ramayana Foto : 15.b. Budaya Ramayana Foto : 16.a. Budaya Gerebeg Foto : 16.b. Budaya Gerebeg Sumber Dinas Kebudayaan DIY 9

2. Inovasi Birokrasi di Dalam Keraton Hadiningrat Keraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata ka+ratu+an= keraton. Juga disebut kadaton, yaitu ka+datu+ an = kedaton, tempat datu-datu atau ratu-ratu. Bahasa Indonesianya adalah istana, keraton ialah sebuah istana, tetapi istana bukanlah keraton. Keraton ialah istana yang mengandung arti, baik arti keagamaan, arti filsafat dan arti kultural (kebudayaan). Keraton Yogyakarta memiliki arti-arti tersendiri. Arsitektur bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, hiasannya, sampai warna gedungnya mempunyai arti, pohon yang ditanamnya pun bukan sembarang pohon. Semua yang terdapat di sana seakan-akan memberi nasehat kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah laku kita sehari-hari dan lain-lain. Arsitek dari keraton tersebut adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I, waktu masih muda, baginda bergelar Pangeran Mangkubumi. Kompleks keraton terletak di tengah-tengah, tetapi daerah keraton membentang antara sungai Code dan sungai Winanga, dari utara ke selatan, dari Tugu sampai Krapyak. Nama kampung-kampung jelas memberi bukti kepada kita, bahwa ada hubungannya antara penduduk kampung itu dengan tugasnya di keraton pada waktu dulu, misalnya Gandekan=tempat tinggal gandek-gandek (koerir) dari Sri Sultan, Wirobrajan tempat tinggal para prajurit keraton Wirabraja, Pasindenan tempat tinggal pesinden-pesinden keraton. Daerah keraton terletak di hutan Garjitawati, dekat Desa Beringin dan Desa Pacetokan. Karena daerah ini dianggap kurang memadai untuk membangun sebuah keraton dengan bentengnya, maka aliran sunagai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran sungai Winanga sedikit ke barat. Kerton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan sebuah condrosengkolo memet di pintu Gerbang Pemagangan dan di pintu Gerbang Melati berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa Jawa: dwi naga rasa tunggal. Artinya dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=1 (dibaca dari belakang : 1682). Warna naga hijau, hijau adalah simbol dari pengharapan. Tahunnya sama, tetapi dekorasinya tidak sama. Ini tergantung dari arsitektur, tujuan dan sudut yang dihiasinya. Warna naga merah, dimana sebagai simbol dari keberanian. Di halaman Kemagangan ini dahulu dijadikan ujian-ujian bela diri memakai tombak antar calon Foto : 18. Pakualaman Fotoa : 19. Tugu Yogyakarta Foto : 20.a. Karaton Yogyakarta Foto : 20.b. Karaton Yogyakarta Foto : 21. Budaya Wayang Sumber Dinas Kebudayaan DIY 10

prajurit-prajurit keraton. Mestinya mereka pada waktu itu mereka sedang marah dan berani. Luas keraton Yogyakarta adalah 14.000 meter2. di dalamnya terdapat banyak bangunanbangunan, halaman-halaman, dan lapangan-lapangan. Dimulai dari halaman keraton ke utara: 1. Kedaton atau prabayeks. 2. Bangsal Kencana 3. Regol Danapratapa (pintu gerbang) 4. Sri manganti 5. Regol Sri Manganti (pintu gerbang) 6. Bangsal Ponconiti (dengan halaman Kemandungan) 7. Regol Brajanala (pintu gerbang) 8. Siti Inggil 9. Tarub Agung 10. Pagelaran (tiangnya berjumlah 64) 11. Alun-alun utara (dihias dengan pohon beringin 62 batang) 12. Pasar (Beringharja) 13. Kepatihan 14. Tugu, angka 64 manggambarkan usia Nabi Muhammad 64 tahun Jawa atau 62 tahun Masehi. Sedangkan dari halaman keraton ke selatan maka dapat terlihat: 1. Regol Kemagangan (pintu gerbang) 2. Bangsal Kemagangan 3. Regol Gadung mlati (pintu gerbang) 4. Bangsal Kemandungan 5. Regol Kemandungan (pintu gerbang) 6. Siti Inggil 7. Alun-alun Selatan 8. Krapyak Perhatian : 1. Regol = pintu gerbang 2. Bangsal = bangunan terbuka 3. Gedong = bangunan terturtup 4. Plengkung = pintu gerbang benteng 5. Selogilang = lantai tinggi dalam sebuah bangsal semacam poium rendah tempat duduk Sri Sultan atau tempat singgasana Sultan 6. Tratag = bangunan, biasanya tempat berteduh, beratap anyaman-anyaman bambu dengan tiang-tiang tinggi, tanpa dinding. Di pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII semua tratag kraton dimuliakannya dan diberi atap seng, tetapi arsitekturnya tetap tidak berubah. 11

Ditengah-tengah halaman Kemandungan Kidul berdiri sebuah bangsal, yang dinamakan Bangsal Kemandungan. Bangsal ini bekas pesanggrahan Sri Sultan Hamengku Buwono I di Desa Pandak Karangnangka waktu Perang Giyanti (1746-1755). Krapyak ialah sebuah podium tinggi dari batu bata untuk Sri Sultan, kalau baginda sedang memperhatikan tentara atau kerabatnya memperlihatkan ketangkasannya mengepung, memburu, dan menangkap rusa. Kompleks keraton dikelilingi oleh sebuah tembok lebar, benteng yang panjangnya 1 km, berbentuk empat persegi, tingginya 3,5 m, lebarnya 3 sampai 4 m. Di beberapa tempat di benteng itu ada gang atau jalan untuk menyimpan senjata dan amunisi, Di keempat sudutnya terdapat bastion dengan lubang-lubang kecil dindingnya untuk mengintai musuh. Tiga dari bastion itu saat ini masih dapat dilihat. Benteng Dui sebelah luar dikelilingi oleh parit lebar dan dalam. Kaitannya antara inovasi dalam keraton, kami mengangkat tema inovasi birokrasi dalam keraton. Dalam pengertian ini inovasi menunjuk pada suatu proses kreativitas yaitu kombinasi dari dua konsep atau lebih, sehingga melahirkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Dalam pengertian ini inovasi, diartikan sebagai proses pengambilan dan internalisasi atau proses memasarkan ide-ide baru. Inovasi menurut Barnet (1953) adalah semua pemikiran, perilaku, atau hal-hal yang baru karena hal itu secara kualitatif berbeda dengan bentuk-bentuk yang telah ada. Menurut Zaltman, dkk, inovasi adalah semua ide, praktek-praktek atau artefak yang oleh individu-individu dalam masyarakat yang bersangkutan dianggap baru. Zaltman, dkk. (1973 : 32) mengelompokkan inovasi dalam tiga kategori besar yaitu (1) Berdasarkan keberadaanya dalam sistem; (2) Berdasarkan pada fokus sasaran; (3) Berdasarkan pada hasil atau pengaruh inovasi. Merujuk pada teori Zaltman, dkk. bentuk inovasi birokrasi pada keraton dalam kategori kesatu temasuk kategori inovasi yang tidak diprogramkan. Contohnya semenjak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri dan Yogyakarta menyatakan diri menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara otomatis kedudukan Raja sebagai petinggi keraton Yogyakarta merangkap sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini menyebabkan dalam menjalankan pemerintahannya sebagai seorang gubernur dibantu oleh staf gubernur (di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sedangkan dalam menjalankan pemerintahannya sebagai raja dalam lingkungan keraton, raja dibantu oleh abdi dalem. Inovasi dalam kategori kedua yaitu inovasi struktural contohnya adanya pembagian pangkat dan golongan pada abdi dalem. Kedudukan abdi dalem di dalam keraton disamakan dengan pegawai negeri, di mana mereka juga digaji sesuai dengan pangkat dan golongan mereka. Masing-masing bagian di kepalai oleh kepala bagian, yang bertanggung jawab penuh atas kinerja anggota di bawahnya. Kinerja anggota dititik beratkan pada nilai-nilai kejawen, diantaranya tata karma, sikap, tutur kata, perilaku, dan kepribadian yang mencerminkan orang Jawa yang sesungguhnya. Abdi dalem di dalam keraton dibagi menjadi dua belas kelompok, yang masingmasing kelompok bekerja dalam dua belas hari sekali. Gaji yang mereka terima disesuaikan dengan pangkat dan golongan yang jumlahnya sangat sedikit. Berdasarkan informan yang kami wawancarai, mengaku bahwa gaji beliau tidak seberapa, seorang abdi dalem namung angsal gaji sekawan ewu rupiah. Menurut beliau gaji abdi dalem sekarang berbeda dengan gaji abdi dalem pada saat pemerintahan Hamengku Buwono VIII. Pada saat pemerintahan Hamengku Buwono I- 12

3. 4. VIII gaji abdi dalem masih bisa untuk menghidupi keluarganya. Mereka bekerja sebagai abdi dalem semarta-mata sebagai wujud pengabdian terhadap Sultan, dan untuk nguri-uri budaya Jawa (melestarikan budaya Jawa). Semenjak Hamengku Buwono VIII mangkat, terjadi perubahan yang besar dalam keraton yang mana bentuk perubahan tersebut dapat kita kategorikan dalam bentuk inovasi birokrasi dalam keraton. Contohnya adalah dihapuskannya sistem upeti karena sudah terbentuk karisedenan-karisedenan di Surakarta dan tidak digunakannya Patih dalam keraton karena pada masa sekarang lebih mementingkan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan (semua permasalahan ditangani langsung oleh Raja) sedangkan pada jaman dahulu kekuasaan Raja adalah mutlak contoh yang lain adalah adanya perbedaan antara kegiatan raja yang dahulu dengan sekarang. Pada jaman dahulu, kegiatan raja semata-mata hanya di kerajaan sedangkan kegiatan Raja pada jaman sekarang merupakan perpaduan antara kegiatan di kantor Gubernuran dan kegiatan di keraton. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan radikal pada keraton mulai dari perubahan fungsi-fungsi pejabat-pejabatnya yang mengalami perubahan nama saja sampai pada adanya proses difusi dalam sistem pemerintahan yang mengalami percampuran dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun terjadi percampuran antara Negara Kesatuan republik Indonesia, diharapkan fungsi keraton sebagai pusat budaya Jawa tetap dijaga keasliannya sebagai pusat budaya Jawa. Profile Berdirinya ndalem Ngadiwinatan Suryoputran ndalem Ngadiwinatan Suryoputran Yogyakarta, berdiri Pada tahun 1927, di daerah Alunalun Selatan, didirikan oleh SriS Sultan, yang semulanya ditempati oleh Pangeran, kemudian ditempati oleh SMKI, sebelum tahun 1977, atau ± 1970-an. Kemudian ditempati Bidang Pemuda (BIMUD) Propinsi Daerah Iatimewa Yogyakarta, pada tahun 1990-an, setelah itu digantikan dan ditempati oleh Balai Pengembangan Pemuda Olahraga (BPPO) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2001-2009, setelah itu ditempati oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2009 sekarang, sebagai Perkantoran kerja. Bentuk Bangunan ndalem Ngadiwinatan Suryoputran a. Macam Bentuk Atap Bentuk atap ndalem adalah atap gabungan antara atap limasan dan joglo, dimana atap Joglo berada dibagian tengah (central) dan diapit oleh atap limasan di sekeliling kiri, kanan, dan muka belakang. Bentuk Joglo, sebagai penutup ruang bagian tengah. Dalam nilai rumah Jawa, bahwa ruang tengah atau ruang bagian dalam ini disebut dengan gedongan, dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai Foto : 22. Bentuk atap ndalem tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. 13

Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktuwaktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anakanaknya. Fungsi ruang tengah kini difungsikan sebagai ruang perkantoran staf Kepemudaan dan Olahraga Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semenjak tahun 2009-sekarang. Rumah adat jawa tengah berbentuk rumah joglo, Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di Gambar: 3. Proyeksi. antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Sumber Peneliti 2010 Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang. Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional. Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu. Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini. Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan. b. Macam Bentuk Kolom Bentuk kolom pada ndalem menggunakan kolom ompak. Dengan bentuk hiasannya yang diambil dari urutan huruf arab: mim -, ha, mim, dan dhal (mohamad) yang distilisasikan sedemikian rupa sehingga berbentuk hiasan bermotif padma, pada umpak, sebagai sitilisasi songkok pada umpak, menjadi motif sorotan pada tiang bangunan Foto : 23. Bentuk kolom Dalem Sumber peneliti 2010 14

Foto. 25. Ruang Penyeimbang. Sumber peneliti 2010 Gambar. 4. Proyeksi ruang penyeimbang sumber peneliti.2010 ndalem, yang mana kesemuanya itu untuk mengagungkan kuasa Nabi Mohamad. Rangkaian huruf Arab: mim, ha, mim, dhal, serta huruf : ra, sin, wau, lam, aiif, lam, lam dan ta simpul, dimaksudkan untuk menyebutkan : Mohammad Rasul Allah. Tulisan ini distilisasikan sedemikian rupa sehingga berbentuk hiasan dengan motif putri mirong pada tiang. Kolom pada rumah ndalem berjumlah genap. Hal ini merupakan tata aturan dalam mendirikan rumah adat Jawa. Bahwa setiap rumah adat Jawa, jumlah kolom bangunan harus genap, tidak boleh ganjil. Kolom rumah ndalem tersebut disusun sesuai dengan titik sudut, sebagai keseimbangan. Karena bangunan ndalem ini merupakan aliran arsitektur Jawa yang keseluruhannya merupakan hasil dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, sehingga sistem keseimbangannya dibentuk dengan kolom yang genap, dengan 4 kolom utama sebagai struktur di tengah sebagai soko guru. Soko guru atau juga bisa disebut saka guru, kedua sebutan ini juga mempunyai makna yang sama. c. Macam Bentuk Bukaan Foto : 25. Bentuk Pintu kantor Foto : 26. Bentuk Pintu Kamar Mandi/WC Sumber Peneliti 2010 15

Pintu, berbentuk memanjang vertikal dengan bahan pintu terbuat dari kayu. Setiap pintu, selain pintu kayu diluar, bagian dalamnya dilapisi dengan pintu kaca dengan bingkai dari kayu. Pola bentuk pintu, berbentuk kotak, pada bagian atas membentuk segi empat memanjang, sedangkan bagian bawa berbentuk segi empat pendek. Jumlah keseluruhan pintu pada bangunan ndalem Ngadiwinatan Suryo Putran; 16 buah, dengan bentukkan yang berbeda-beda, antara pintu pada ruang dalam bangunan berbeda dengan pintu di kamar mandi/wc, maupun sebuah pintu yang di bagian kiri bahannya terbuat dari kaca dengan bingkainya dari kayu, pintu tersebut hanya berbeda dari bahannya, namun bentuk tipenya menyerupai bentuk pintu dalam bangunan lainnya. Pada bagian atas pintu kamar mandi/wc, berbentuk pelangi dengan ujung-ujungnya menyerupai anak panah, ini melambangkan pelangi dengan bagian sebelah menyebelah Foto : 27. Bentuk Jendela menuju ke titik tertentu yang menghubungkan adanya Sumber Peneliti 2010 kunjungan antara penguasa laut yang satu dengan penguasa laut yang lain. Bentuk jendela yang asli pada bangunan ndalem ini adalah berbentuk segi empat memanjang, dengan bahan adalah bagian lapisan luar dengan bahan utama kayu, yang mana tidak tertutup semua, tetapi disusun dengan bercelah, dengan tujuan sebagai ventilase. Selain dibagian luar yang memakai kayu, pada lapisan dalammya menggunakan bahan kaca dengan bingkai dari kayu. Foto : 28. Gerbang Utama Total jendela pada bangunan pangeran ndalem Sumber Peneliti 2010 Ngadiwinatan Suryo Putran adalah; 8 buah, dengan bentuknya yang sama, namun pada bagian sisi kanan, telah mengalami perubahan ketika terjadi gempa, sehingga telah digantikan bahannya dengan kaca. Pintu Gerbang utama ada satu buah. Letak pintu utama langsung berhadapan dengan Jalan utama alun-alun selatan. Penutup pintu menggunakan kayu yang di rakit dengan baut sehingga kuat. Umur pintu ini seumur dengan umur bangunan, dan bahan-bahannya pun juga masih tetap Foto: 29. Gerbang sayap kiri dan Kanan awet hingga sekarang. Hanya saja perawatannya yang selalu di cat, namun Sumber peneliti 2010 warna cat yang dipakai tetap mengikuti 16

warna awal yang di pakai semenjak didirikan bangunan tersebut. Selain itu, dibagian sayap kiri dan kanan terdapat pintu gerbang. Pintu gerbang pada sayap kiri dan kanan di apit dengan tembok yang dihubungkan langsung dari antara dinding bangunan dan tembok pagar. Bahan pintu terbuat dari kayu jati. Semu pintu ndalem terdiri atas dua daun pintu yang berbentuk kupu tarung (kupu yang sedang kelai) jika dibuka. Kedua gerbang tersebut salah satunya, yang terletak di sayap kanan telah mengalami perbaikan pasca gempa, sedangkan gerbang pada sayap kiri tetap seperti bentuk terdahulu lengkap dengan daun pintu dan bahanbahannya. Walaupun mengalami patahan pada bagian dindingnya, namun sudah di perbaiki/renovasi. d. Macam Bentuk Ventilasi Foto : 30. Bentuk-Bentuk Ventilasi. Sumber Peneliti 2010 Bentuk-bentuk ventilasi pada bangunan ndalem pangeran Ngadiwinatan suryoputran, membentuk lengkung, persegi empat dengan dihiasi bentukkan ornament, dan bergaris. e. Macam Bentuk Motif 1. Motif Dinding Foto : 31. Bentuk Motif Dinding. Sumber Peneliti-2010 Pada umumnya dinding ndalem Ngadi Winatan berbentuk polos, dan mengalami relief pada bagian puncak atas yang berbatasan dengan plafond, dan batasan bawah dengan lantai dan pondasi, sedangkan bentuk yang lain dengan relief yang menonjol ke dalam dengan berbentuk garis horizontal dan vertikal pada bagian bukaan (Pintu, Jendela, Ventilasi). 17

2. Motif Kolom Motif-motif kolom ada yang polos dan ada yang bermotif. Kebanyakan kolom yang bermotif pada bagian kaki, dengan berwarna kehitaman, umpak. Sedangkan pada bagian yang lain, dapat kita jumpai dibagian tengah dan bagian atas/kepala dengan warna putih. Foto : 32. Bentuk Motif Kolom. - Sumber Peneliti-2010 3. Motif Langit-langit Foto : 33. Bentuk Motif plafond. - Sumber Peneliti 2010 Motif lagnit-langit didominasi oleh persegi empat untuk plafond ruang lainnya, yang dibatasi dengan gari-garis vertikal dan horizontal dan berbentangan dengan garis finis pada bagian ujung dinding. Sedangkan pada ruang penyeimbang, bentuk plafondnya persegi empat yang diapit oleh Brunjung, motifnya berbentuk Bintang di bagian tengah sebagai sentral, dan dibagi dengan tumpang sari serta dikelilingi oleh garis dan motif bunga pada ujung akhir 4 sisi. Bentuk ini terdiri atas dua plafond, yang mana pada bagian tengah dibagi oleh penangkur, yang diukir berbentuk gugungan atau Kayon. Bentuk bintang tersebut masing-masing yang berada dibagian kiri dilihat dari depan, tertuliskan tahun, sedangkan pada bagian kanan dituliskan huruf arab. 18

4. Motif Kuda-kuda Foto : 34. Bentuk Motif Kuda-Kuda. f. Sumber Peneliti-2010 Macam Bentuk Ornament 1. Ornament Langit-langit Foto : 35. Bentuk ornament plafond. Sumber Peneliti-2010 2. Tidak semua langit-langit diberi ornament. Kita hanya dapat menjumpai ornament pada langit-langit ruang penyeimbang, yang ditutupi dengan atap Joglo. Baik plafond maupun brunjung, diberi ornament. Ornament Tembok Pagar Ornament pagar diistilasi dari ragam hias semacam kaligrafi yang diambil dari huruf Arab yang dirangkum menjadi wujud hiasan Foto : 36. Bentuk ornament Pagar. ornament. Pada bagian tembok Sumber Peneliti-2010 ndalem, kita akan temukan ornament yang berwujudkan bunga padma sebagai symbol 4 penjuru angin dan buah labuh (labu) sebagai lambang kata Allah. Kata Allah diambil dari kata waluh atau 19

waloh yang sebutannya mirib seperti sebutan Allah dalam bahasa Arab. Hiasan tersebut ditempatkan sebagai ujung pilar pada bangunan pagar (tembok) dilingkungan halaman ndalem. 3. Ornament Gerbang Foto : 37. Bentuk ornament Pintu. 4. Ornament Kolom Foto : 38. Bentuk ornament Koloum. 5. Sumber Peneliti-2010 Sumber Peneliti-2010 Ornament Listplank Foto : 39. Bentuk ornament listplank. Sumber Peneliti-2010 20

g. Bahan bahan Bangunan 1. Bahan Atap Foto : 40. Bahan Atap. Sumber Peneliti-2010 Bahan utama penutup atap ndalem Ngadiwinatan Suryoputran adalah Genteng, dan ditambahkan dengan atap senk pada bagian sosoran pematah sinar matahari dibagian jendela dan ventilasi. 2. Bahan Dinding Bahan dinding ndalem, menggunakan tembok yang tersusun dari bahan Bata, semen, pasir, dan cor-coran. 3. Bahan Lantai Foto : 41. Bahan Lantai. Sumber Peneliti-2010 21

4. Bahan Plafond B Foto : 42. Bahan Plafond. Sumber Peneliti-2010 Bahan plafond menggunakan kayu, pada ruang penyeimbang yang beratap Joglo, sedangkan pada bagian ruang lainnya menggunakan bahan plafond dari Triplek. 5. Bahan bukaan Foto : 43. Bahan bukaan. Sumber Peneliti-2010 Bahan bukaan pintu, Jendela dan Ventilasi, terdiri atas Kayu, Kaca dan beton. Untuk pintu dan Jendela, menggunakan kayu dan kaca, sedangkan untuk ventilasi ada yang menggunakan Beton dan ada yang menggunakan kaca. h. Bentuk Bangunan ndalem Ngadiwinatan Suryoputran Bentuk denah ndalem Ngadiwinatan Suryoputran adalah persegi empat memanjang. Bentuk tata ruang terdiri atas dua belas (12) kamar yang kini digunakan oleh BPPO Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut lihat Pada Gambar Denah. 22

Foto: 44 Tampak Samping Kiri Foto: 45 Tampak Belakang Foto: 46 Tampak Samping Kanan Gambar: Denah Foto: 47 Tampak Depan Sumber: Peneliti, 2010 Foto: 48 Bentuk Ornament Pada Sosoran Bagian Kiri Organisasi Ruang 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Teras depan Ruang tengah penyeimbang/ruang staf Ruan sidang Ruang staf kepala Ruang staf dan magang Ruang seksi pemuda dan olahraga Rung Kepala Pemuda dan Olahraga 8. Ruang Kepala 9. Ruang Kabag. TU. 10. Ruang Kasub. TU. 11. Ruang Kepala Umum 12. Teras Belakang 13. Teras Kanan 14. KM/WC B. ARSITEKTUR RUMAH RAKYAT 1. Rumah Rakyat Bentukkan Joglo Bangunan rumah tradisional Jawa termasuk diklasifikasikan sesuai dengan stratifikasi kedudukan. Pada bagian awal, telah kita bahas tentang rumah ndalem Ngadiwinatan Suryoputran, 23

sebagai bangunan kelas menengah. Berikut ini kita akan uraikan bangunan rumah tradisional Jawa khusus hunian rakyat biasa. Perbedaan utama pada bangunan rumah rakyat biasa dan rumah hunian bagi strata menengah sebagai berikut: Tata ruang lebih banyak untuk rumah strata menengah, bentuk dan ukuran bangunan lebih besar untuk rumah menengah, untuk bangunan strata menengah lebih komplit dan elit dibanding dengan rumah rakyat, jenis dan mutu bahan bangunan untuk rumah strata menengah lebih mahal dibanding rumah rakyat biasa. Foto 49. Bangunan Rumah Rakyat Rumah ini berlokasi di jl. Laksda Adi Sucipto Biasa - Sumber Peneliti - 2011 Yogyakarta berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi barang-barang antik yang salah satunya terlihat didepan rumah tersebut yaitu lesung. Rumah ini didirikan tahun 2007 dengan menyusun beberapa elemen dari berbagai rumah yang ditata sedemikian rupa sehingga menjadi utuh dan membentuk sebuah rumah dengan gaya klasik jawa. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan secara visual antara tiang yang berada diteras dengan dinding bagian depan. Terlihat dengan jelas bahwa usia kayu tersebut Foto : 51. Tampak Kontradiksi antara terpaut jauh. bangunan Tradisional dengan Demikian juga jika dilihat dari bentuk lisplanknya moderen Sumber data Peneliti - 2010 menunjukkan perbedaan waktu pembuatannya, karena lisplanknya terlihat lebih using dibandingkan dengan dinding bagian depan rumah. Foto 52. Konstruksi Pengaku dan ukiran Sumber data Peneliti 2011 Foto 53. Kolum dan Ukiran Sumber data Peneliti 2011 Foto 54. Pedestal Sumber data Peneliti 2011 24

Rumah berikut ini terletak di Jl. Ngeksigondo Yogyakarta Dibangun sekitar tahun 1921. Seluruh kayu yang dipakai Adalah kayu jati dengan Kualitas yang sangat bagus. Terbukti meskipun usianya Sudah 90 tahun namun rumah tersebut tetap kokoh. Langgam arsitektur jawa Sangat kental terlihat pada bentuk atap joglo dan ornamen-ornamen yang ada pada tiang dan bubungan atap. Jika diperhatikan ornamen pengaku pada tiang hampir sama dengan ornamen pada tiang rumah yang berada di Jl. Laksda Adi Sucipto. Kemungkinan ornamen seperti itu sedang populer pada jamannya. Foto : 56. Bentuk arsitektur Jawa yang kental. Lihat atap sumber peneliti 2011 Menurut pemiliknya, rumah ini sudah dihuni oleh tiga gnerasi dan belum pernah mengalami renovasi yang berarti termasuk saat terjadi gempa tahun 2006. Berdasarkan survey memang rumah kayu lebih tahan terhadap gempa dibanding dengan rumah yang Foto. 57. Dinding dari Kayu Jati. terbuat dari batu bata. Sumber data penelti - 2011 Dinding dari kayu jati dibiarkan tanpa finishing cat maupun politur. Lantai rumah dibiarkan terbuat dari tanah tanpa penyelesaian layaknya rumah-rumah pada masa sekarang yang kebanyakan menggunakan perkerasan. Foto. 58. Tumpang Sari pada Langit-Langit dengan ukiran. Sumber data peneliti, 2011 Tumpang sari yang bersusun tujuh trap dengan ukiran terbuat dari kayu jati dan sudah dipolitur. Biasanya jumlah susunan tumpang sari dapat menunjukkan status sosial dari pemiliknya. Semakin banyak susunannya maka semakin kaya pemiliknya. 25

2. Rumah Rakyat Berbentuk Limasan Rumah tinggal ini terletak di Dukuh Kledokan Desa Catur tunggal Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Menurut pemiliknya, Bapak Sumarto, rumah ini didirikan pada tahun 1956 dan telah mengalami perbaikan dua kali. Yang pertama adalah pada tahun 1972 perbaikan terhadap dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Mengingat anyaman bambu jika dipakai untuk dinding luar dan tidak diberi pengawet akan cepat rusak. Perbaikan yang kedua yaitu pada tahun 2006 saat gempa melanda Yogyakarta. Perbaikan yang kedua kalinya meliputi dinding dan usuk serta reng yang semuanya terbuat dari bambu. Tidak terdapat ornamen-ornamen khusus pada rumah ini dikarenakan pemiliknya menjaga keaslian dari Foto. 59. Rumah Rakyat Bentuk bentuk semula yang mempunyai arti sejarah yang Limasan Sumber data Peneliti 2011 sangat berkesan ketika rumah tersebut masih dihuni bersama orang tua Bapak Sumarto. Disamping rumah terdapat tambahan ruangan dengan inding seng untuk dijadikan dapur dan kamar mandi. Bentuk atapnya limasan, kuda- kuda pelana. Konstruksi utama terbuat dari kayu jati dan kayu glugu. Bentuk arsitektur tradisional Jawa semacam ini, kebanyakan ditemukan di desa-desa dan pemiliknya adalah masyarakat yang tergolong ekonomi lemah, atau kadang disebut sebagai masyarakat miskin dan masyarakat kampong. bentuk-bentuk bangunan khas Jawa yang kental, tidak dijumpai pada wajah tata ruang kota, akan tetapi kebanyakan tersembunyi dibalik cengkeraman dan kemegahan gedung-gedung bergaya asing yang berdiri megah mendominasi wajah perkotaan di Jawa. Mungkin sebaiknya konsep penataan ruang Jawa harus menampilkan sebanyak-banyaknya citra Jawa dengan arsitektur Jawa. Walaupun kelihatannya terlambat, namun setidaknya di daerah-daerah perkampungan yang baru beranjak menuju perkembangan, sudah harus diterapkan konsep ini sebagai fondasi awal menuju daerah pemerdekaan karakter sendiri yang diharapkan menambah citra kejawaan. Disadari bahwa, semakin manusia berkeinginan untuk maju, disaat itulah ia mulai melakukan halhal yang menunjukkan kemajuannya. Masyarakat Jawa kini sedang dan sudah dalam proses semacam ini. Oleh karena itu, maka terjadilah perubahan dalam perkembangan berarsitektur mereka. Orang Jawa sudah melakukan sedikit demi sedikit perubahan, dan kelihatan jelas pada arsitektur yang begitu terlupakan. Dengan kecenderungan ingin mengikuti gaya hidup bangsa lain terutama gaya hidup kebarat-baratan, maka kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa kini dalam proses Penetrasian. Secara Sadar dan tidak sadar, hal ini sedang berjalan dan sedang menyusup masuk kedalam jantung sosial budaya Jawa, dan kelihatannya sudah merasuki pemikiran masyarakat Jawa sebagai Manusia Jawa yang berkarakter Jawa sedang mengalami penurunan hakekat Kejawaannya. Ini akan berakibat pada kehilangan bentuk dan gaya, baik bagi masyarakat Jawa maupun masyarakat tradisional lainnya di Nusantara bahkan suku bangsa di benua lainnya. Untuk perkembangan arsitektur Jawa, lihat perkembangan dan perubahannya pada analisis berikut. 26

Perkembangan Bentuk-bentuk arsitektur tradisional Jawa dan perubahan sumber analisis peneliti 2011 Foto 60: Bentuk Asli Rumah Joglo menggunakan bahan Kayu Foto 61: Bentuk Transisi Rumah Joglo. Mengalami perubahan pada bahan, warna dan tata ruang. Foto 62: Bentuk Moderen Rumah Joglo. Mengalami Perubahan pada bahan bangunan dari kayu dan warna tradisional menjadi bentuk yang inofatif. PERKEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA Foto 63: Bentuk Asli Rumah Limasan menggunakan bahan Bambu (gedeg) Foto 64: Bentuk Transisi Rumah Limasan. Mengalami perubahan pada bahan, warna dan tata ruang. Foto 65: Bentuk Moderen Rumah Limasan. Mengalami Perubahan pada bahan Bangunan dari kayu dan warna tradisional menjadi bentuk yang inofatif 27

DAFTAR PUSTAKA Atmadi, P. 1979. Beberapa patokan perencanaan bangunan candi. Yogyakarta: Universitas gajah Mada, Disertasi, Fakultas Teknik, 1984. Apa yang Terjadi Pada Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Lembaga Javanologi. Dakung, S. 1981. Arsitektur tradisional daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan dankebudayaan. Eliade, M. 1959. The Sacred and the Profane.The nature of the religion. Diterjemahkan oleh Willard R.Trask.A. New York: Harvest Book, Harcourt, Brace& World,Inc. Hamzuri,..., Rumah tradisional Jawa. Proyek Pengembangan Permusiuman DKI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Ismunandar, K.R. 1986. Joglo,Arsitektur rumah tradisional Jawa. Semarang: Dahara Prize. Lombard, D. 1999. Nusa Jawa: Silang budaya, warisan kerajaan-kerajaan konsentris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Munitz, M.K. 1981. Space, Time and Creation: Philosophical aspects of scientific cosmology. New York: Dover. Priyotomo, J. 1984. Ideas and forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Santosa, R.B. 2000. Omah, membaca makna rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Selosumarjan. 1962. Social changes in Yogyakarta. Ithaca: Cornell University Press. Suseno, M.F. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Setiawan, A.J. 1991. Rumah tinggal orang Jawa;Suatu kajian tentang dampak perubahan wujud arsitektur terhadap tata nilai sosial budaya dalam rumah tinggal orang Jawa di Ponorogo. Jakarta: Universitas Indonesia, Tesis. Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design. Fausch, D. (1997). Ugly and Ordinary: The Representation of the Everyday. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Lefebvre, H. (1997). The Everyday and Everydayness. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Catanese, A. J. & Snyder, J. C. (1991). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Penerbit Erlangga O Gorman, J. F. (1997). ABC of Architecture. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. 28

Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture. Cambridge: The MIT Press. Shepheard, P. (1999). What is Architecture? Cambridge: The MIT Press. Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design. Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press. Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design. http://juanfranklinsagrim.blogspot.com http://www. Hamah.socialgo.com Google terjemahan bebas, tentang kebudayaa, arsitektur, kota. 29

TENTANG PENULIS Juan Frank Hamah Sagrim, Lahir di lembah perbukitan Hamah Yasib, Kampung Sauf, Distrik Ayamaru, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, pada 06 April 1982. Ayah Nixon Sagrim (alm) dan Ibu Marlina Sagrim/Sesa. Orang tua bekerja sebagai Penginjil di lingkungan Klasis GKI Maybrat, dan tenaga Medic Klasis GKI Maybrat. Hamah adalah anak Kedua dari empat Bersaudara, (Jeremias, Daud Itas, dan Desi Sah Bolara). Pendidikan: SD Bethel Sauf, SLTP N1 Ayamaru, SMA YPK 1 Ebenhaezer Sorong. Melanjutkan Kuliah di Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya ITATS Jurusan Teknik Arsitektur, pindah dan Melanjutkannya di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, 2006, pada Jurusan yang sama. Aktivitas Ekstra: Menjadi Tutor Pelatihan Mengetik 10 jari bersama Missionaris Jerman Tn. Hesse dkk. Di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, Tehit, thn.2000. Sekretaris Ikatan Mahasiswa Papua sejawa timur Surabaya, 2004, Menjabat Ketua Ikatan Mahasiswa Papua sejawa Timur 2005. Anggota Ikatan Arsitektur Asia Pacific 2003. Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) 2004. Team Perumusan Metode Belajar Mengajar Nusantara bersama Dirjen Pendidikan Tinggi RI 2006. Menjabat Koordinator Mahasiwa Arsitektur Asia Pacific Rayon II Indonesia Bagian Tengah DIY 2006-2008. Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) 2008. Menjabat Ketua Asrama Mahasiswa Papua 2008. Menjabat Direktur Program Lembaga Study Papua (LSP) 2007-2008. Anggota Luar Biasa University Harytake program UNESCO 2007-2008. Menjabat Sekretaris Umum Lembaga Intelektual Tanah Papua 2009-sekarang. Peneliti Tamu bidang lintas Budaya (researcher of cross culture) pada Yayasan Pondok Rakyat (YPR) DIY 2008-2009. Civitas Yayasan STUBE-hemat Yogyakarta 2007-sekarang. Tenaga Pengarah kerja pada perkumpulan seniman rantau di Yogyakarta 2009-sekarang. Agen Informan GRIC dan Pax Roman 2008-2010. Anggota International Working Group (IWG) for Asia Africa to Globalization 2009sekarang. Staf Ahli pada Team Peneliti dan Pemerhati Arsitektur Tradisional Nusantara UWMY, 2010. Peneliti Lepas dan Penulis. Ketika Menulis Buku ini, masih aktif Sebagai Mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Berkeinginan besar sebagai Peneliti dan Ilmuwan Muda. Beberapa Karya Tulis adalah: Makalah Ilmiah Kajian Tentang Keterkaitan Seni Budaya Etnic Negro Melanesoid Papua Dan Negroid Afrika, 2009. Karya ini merupaka karya yang luarbiasa baginya daripada karya yang lain Karya yang sudah diterbitkan adalah: 30