BAB VI KESIMPULAN. Setelah melakukan penelitian terhadap upacara adat Mappoga Hanua

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sebagai sebuah teks sastra yang bersifat kanonik, yaitu yang dikukuhkan

BAB IV ANALISIS. Mitos memang lebih dikenal untuk menceritakan kisah-kisah di masa

NILAI BUDAYA DALAM UPACARA ADAT MAPPOGAU HANUA DI KARAMPUANG, KABUPATEN SINJAI, PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap etnik (suku) di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

Prosesi Dan Makna Simbolik Upacara Tradisi Wiwit Padi di Desa Silendung Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

Kajian Folklor Tradisi Nglamar Mayit di Desa Sawangan, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Konsep dasar yang digunakan dalam Perancangan Sekolah Seni

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Makanan Jepang dikenal dengan istilah washoku atau nihon shoku.

Tradisi Menguras Sumur Di Pemandian Air Panas Krakal Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen

BAB V PENUTUP. membangun rumah tidak dapat diketahui secara pasti, karena tradisi dilaksanakan

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

Bab I PENDAHULUAN. sesamanya. Hubungan sosial di antara manusia membentuk suatu pola kehidupan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BENTUK DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM TRADISI GUYUBAN BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA PASIR AYAH KEBUMEN

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum melangkah lebih jauh membahas mengenai Ritual Malem Minggu

Kajian Folklor dalam Tradisi Nyadran di Desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan

TRADISI SEDHEKAH LAUT DI DESA KARANG DUWUR KECAMATAN AYAH KABUPATEN KEBUMEN ( ANALISIS MAKNA DAN FUNGSI)

MARADEKA TO WAJO E, NAJAJIANG ALENA MARADEKA, TANAEMI ATA, NAIYA TO MAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADEK ASSIAMATURUSENNAMI NAPOPUANG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Bersama Nasional, 27 Desember 2010 Senin, 27 Desember 2010

BAB I PENDAHULUAN. istiadat. Wujud kedua, adalah sistem sosial atau social sistem yang berkaitan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan Bab IV terdahulu, maka peneliti rumuskan

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini

BUPATI MESUJI PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MESUJI NOMOR 02 TAHUN 2017 TENTANG

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan aturan yang harus di patuhi untuk setiap suami, istri, anak, menantu, cucu,

Bab 5. Ringkasan. Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat

GOTONG ROYONG DARI PERSPEKTIF BUDAYA SUKU DAYAK DAN SUKU ASMAT: REFLEKSI MULTIKULTURAL DALAM NOVEL ETNOGRAFIS INDONESIA

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

Bab IV. Analisa. pemberian dari nenek moyang atau leluhur dari suku tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB V AIN NI AIN SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 01 TAHUN 2001 TENTANG LAMBANG DAERAH

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Tumbuhan merupakan salah satu jenis makhluk hidup yang ada di alam

TRADISI UPACARA ADAT MAPPOGAU HANUA KARAMPUANG DI KABUPATEN SINJAI (STUDI KEBUDAYAAN ISLAM)

BAB IV ANALISIS DATA. dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 115

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. orang yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakannya dari

DISKRIPSI KARYA. Pameran Keragaman Seni Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa Judul Karya: Keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB VI HASIL RANCANGAN. dalam perancangan yaitu dengan menggunakan konsep perancangan yang mengacu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB V PENUTUP. keluarga serta orang lain atau anggota masyarakat yang lain. Salah satu tradisi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kota Nanga Bulik (ibu kota Kabupaten Lamandau). Adapun desa-desa yang berbatasan dengan Desa Cuhai adalah :

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat suku Batak yang berada di daerah Sumatera Utara, khususnya sebagai asal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

BAB V PENUTUP. selamatan dan hajatan. Dalam pelaksanaan hajatan dan selamatan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian terhadap upacara adat Mappoga Hanua dengan melakukan interpretasi terhadap simbol-simbol ritual yang digali dari tiga dimensi maknanya, maka ditemukan bahwa setiap materi-materi ritual, sesaji ritual, tahapan dan prosesi upacara adat Mappogau Hanua masing-masing memiliki simbol, makna, dan tujuan tersendiri. Pada dimensi eksegetik upacara adat, makna-makna simbolik yang ditampilkan dalam setiap ritual umumnya diasosiasikan dengan hal-hal yang sakral, suci, dan bersifat vertikal. Sesuatu yang sakral dan suci adalah entitas gaib yang menguasai gunung, hutan, dan sungai. Oleh karena itu, ritual-ritual yang diadakan oleh masyarakat adat Karampuang di tiga tempat tersebut terlebih dahulu mereka harus melakukan ritual mappaota, mangngampo dan maddupa. Bahan-bahan ritual tersebut hampir sama, yakni terdiri dari daun sirih, dupa, bara api, lilin tradisional, beras dan bubuk pedupaan. Maknanya pun juga sama, yakni melalui simbol-simbol tersebut, warga berharap agar Tuhan selalu menerima atau mengabulkan setiap doa dan permintaan mereka, dan juga agar Tuhan selalu menyinari, menjaga, memelihara, dan membimbing kehidupan mereka sehari-hari. Selain diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat sakral dan transendental, simbol-simbol yang dilekatkan pada materi-materi ritual juga diasosiasikan dengan hubungan horizontal yang meliputi nilai-nilai pribadi, sosial dan sistem kelembagaan adat. Melalui simbol api, beras ketan warna hitam, ayam jantan berkaki hitam, Arung diharapkan memiliki sifat-sifat kewibawaan, 167

168 kebijaksanaan, keadilan, keteguhan, ketegasan dan kebersahajaan. Begitu pula simbolisasi tanah, beras ketan warna merah, dan ayam jantan berwarna merah, dilekatkan kepada Gella agar dia tetap memiliki sifat keberanian, ketegaran, keterbukaan, mengayomi rakyatnya, dan rela menerima siapa saja dengan tangan terbuka. Demikian halnya dengan Sanro dan Guru, keduanya disimbolkan dengan air dan angin, serta warna putih dan kuning. Simbol-simbol tersebut bermakna bahwa baik Sanro dan Guru harus memiliki sifat lemah lembut, ikhlas, sabar, suci dan menyejukkan. Makna yang lebih luas lagi terlihat pada simbolisasi dalam kue bali sumange, halaja dan hempong. Ketiga unsur tersebut memiliki makna yang saling terkait di mana kue bali sumange merupakan wujud dari nilai-nilai kekeluargaan, kerukunan, dan perdamaian. Melalui kue bali sumange ini, masyarakat adat diingatkan kembali akan Karampuang sebagai tempat asal nenek moyang mereka. Pada dimensi operasional ritual, makna tindakan-tindakan ritual seperti mappaota, maddupa, mangngampo dan marrahung umumnya dimaknai sebagai permohonan untuk melakukan ritual adat serta penghormatan kepada Dewata penguasa dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Permohonan dan penghormatan kepada penguasa alam tersebut diwujudkan dalam tindakantindakan ritual di setiap tempat yang sakral dan bersejarah. Namun selain penghormatan kepada para dewata dan leluhur, tindakan-tindakan ritual seperti maddupa dan mangngampo di setiap tempat ritual diasosiasikan dengan keberadaan keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Begitu juga halnya ritual marrahung sebagai gambaran keberadaan dewan adat (ade eppae) yang menjaga dan mengontrol nilai-nilai Pangngaderreng dalam kehidupan masyarakat adat Karampuang. Adapun tindakan-tindakan ritual

169 massulo beppa, mabbessi, dan mabbacce, merupakan simbolisasi pengharapan warga akan kesatuan dan persatuan, kekeluargaan, kesejahteraan, kesehatan, dan kedamaian. Makna setiap ritual upacara adat Mappogau Hanua dapat dipahami secara utuh setelah menggali makna dari dimensi posisionalnya, yaitu dengan menelusuri relasi antarsimbol yang ada dalam setiap tahapan ritual, tempat pelaksanaan ritual, materi-materi ritual dan tindakan-tindakan ritual. Relasi antarsimbol dalam setiap tahapan ritual upacara adat Mappogau Hanua menunjukkan bahwa simbol-simbol itu bersifat multivokal atau memiliki lebih dari satu arti. Dalam hal ini, makna simbol dapat terungkap lebih jelas setelah melihat kapan simbol-simbol tersebut digunakan dan kapan tidak, sesuai dengan tujuan ritual diadakan. Atau dengan kata lain, relasi antarsimbol dalam setiap tahapan ritual upacara Mappogau Hanua akan memberikan makna yang berbeda sesuai dengan tujuan setiap ritual diadakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan upacara dapat dibagi menjadi dua, yakni tujuan yang bersifat vertikal yang berhubungan dengan dunia atas, serta tujuan yang bersifat horizontal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat adat Karampuang. Hubungan vertikal manusia dengan dunia atas dapat dilihat setiap tahapan ritual. Ritual di puncak gunung, di hutan dan di sungai, adalah ritual untuk menghormati Dewata Cinna Bolongnge, Dewata ri Tuli, dan Dewata Cinna Gaue. Selain itu 9melalui simbol-simbol materi dan tindakan ritual, makna ritual di setiap tempat menjadi berbeda. Ritual di Puncak gunung, selain untuk mengingatkan warga tentang tujuh tomanurung yang pernah memimpin tanah Karampuang, ritual yang dilakukan di tempat ini adalah untuk memperingati tahap-tahap penguburan dari masa tomanurung sampai sekarang.

170 Adapun tujuan ritual yang bersifat horizontal dapat dilihat dalam ritual di hutan atau barugae, dan ritual massulo beppa di rumah adat. Dalam ritual-ritual tersebut keberadaan lembaga adat, struktur pemerintahan adat, dan Pangngaderreng, ditegaskan kembali. Ritual marrahung dan cara penyajian sesaji menunjukkan adanya struktur kepemimpinan dewan adat yang mengontrol dan menjalankan Pangngaderreng. Setiap individu harus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan adat yang berlaku, khususnya warga yang menetap di wilayah Karampuang. Adapun masyarakat adat yang berada di luar wilayah Karampuang, mereka harus tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan Karampuang, sebab Karampuang adalah ibarat ibu kandung yang telah memberikan penghidupan kepada seluruh masyarakat adat sejak dulu sampai saat ini. Masyarakat adat yang ada di luar wilayah Karampuang diingatkan melalui simbolisasi kue bali sumange agar tetap menjaga dan melindungi Karampuang seperti halnya anakanak yang wajib menjaga orang tuanya. Penelitian ini akhirnya menemukan bahwa simbol-simbol dan makna yang melekat pada setiap tahapan ritual upacara adat Mappogau Hanua berkaitan dengan pandangan kosmologi orang Bugis. Dalam pandangan orang Bugis semesta alam terdiri dari 3 (tiga) lapis; yakni Boting Langi (dunia atas atau langit), Ale Kawa (dunia tengah atau bumi), dan Peretiwi (dunia bawah tanah/laut). Ketiga lapisan alam semesta tersebut bukan hanya sekedar pembagian tempat dalam kisah-kisah atau mitos-mitos penciptaan, tetapi lebih dari itu ia memiliki fungsi yang signifikan dalam kehidupan orang Bugis. Pandangan kosmologi orang bugis yang disebut juga dengan konsep Sulapa Eppa Walasuji (segi empat belah ketupat) adalah filsafat tertinggi orang Bugis yang menjadi seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya.

171 Dalam upacara adat Mappogau Hanua, dunia atas diasosiasikan dengan Dewata Cinna Bolongnge, Gunung, ayah, sumange, ammula-mulang, ade, Arung dan api. Sedangkan dunia tengah diasosiasikan dengan Dewata ri Tuli, Hutan, Ibu, atuo-tuong, addeppareng, Pangngaderreng, Gella dan tanah. Adapun dunia bawah diasosiasikan dengan Dewata Cinna Gaue, sungai, anak, asseddisedding, ancajing, ana ade, sanro dan air. Dalam pandangan kosmologi di atas maka dunia tengah (mikrokosmos Karampuang) harus tunduk dan patuh terhadap tatanan yang ada dalam dunia makrokosmos Karampuang agar dunia atas dan dunia bawah dapat memberikan kemakmuran bagi dunia tengah. Ketiga lapisan makrokosmos dan mikrokosmos tersebut harus terjalin hubungan yang harmonis secara terus-menerus agar tidak terjadi ketidakberuntungan, penyakit, bencana alam maupun kemiskinan, yang merupakan akibat dari pengabaian akan keberadaan penguasa alam. Oleh sebab itulah upacara adat Mappogau Hanua dilaksanakan. Selain memiliki tujuan seperti yang disebutkan di atas, upacara adat Mappogau Hanua juga memiliki efek atau fungsi sosial yang signifikan bagi masyarakat adat Karampuang. Fungsi upacara adat bagi masyarakat adat Karampuang diantaranya adalah; Upacara adat Mappogau Hanua mampu mengintegrasikan dan menyatukan masyarakat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan, atau dengan kata lain, upacara adat merupakan alat penyatu dan alat integrasi. Upacara adat juga dapat mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas masyarakat, seperti yang terlihat dalam kegiatan mabbahang dan mabbaja-baja. Melalui upacara adat Mappogau Hanua, warga Karampuang mendapat sebuah kekuatan dan motivasi baru untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari lagi. Fungsi ini dapat dilihat pada saat ritual mallohong

172 dan mappaleppe di Emba e, ritual massulo beppa di rumah adat, dan ritual mabbacce di buhung lohe (sumur tua). Penghormatan masyarakat Karampuang pada dewata penguasa alam dan leluhur adalah salah satu fungsi menjaga keseimbangan hubungan antara dunia sini yang nyata dengan dunia sana yang tak terlihat namun memiliki kekuatan di luar dari kekuatan manusia. Akhirnya, upacara adat berfungsi menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat adat Karampuang. Dalam hal ini, masyarakat adat diingatkan kembali akan nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan oleh nenek moyang, atau dengan kata lain, nilai-nilai masyarakat adat diperbaharui kembali melalui upacara adat. Nilai-nilai yang tercermin dalam upacara adat Mappogau Hanua dapat dilihat dalam hubungannya antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan diri sendiri. Nilai-nilai budaya yang menunjukkan hubungan antara masyarakat adat Karampuang dengan alam tergambar pada penghormatan mereka terhadap lingkungan dan alam sekitar. Masyarakat adat Karampuang memandang bahwa alam dan seisinya harus diperlakukan dengan baik agar kehidupan di dunia ini menjadi baik. Hubungan ini harus dijaga agar tidak terjadi musibah dan malapetaka. Begitu pula nilai-nilai yang menunjukkan hubungan manusia dan Tuhannya dapat dilihat dari tindakan-tindakan ritual yang mereka lakukan dalam setiap ritual upacara adat. Setiap tahapan ritual, sesaji dan tindakan ritual, baik di puncak gunung, hutan, sungai dan di rumah adat, seluruhnya dipersembahkan kepada Tuhan, dewa-dewa penguasa alam, serta para leluhur. Mereka benar-benar memperlakukan entitas spiritual dan entitas gaib dengan perlakuan yang sebaikbaiknya dengan cara melakukan ritual massorong, mappaleppe, mapanre, dan lain sebagainya.

173 Nilai-nilai upacara adat yang berhubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang terdapat dalam upacara adat Mappogau Hanua dapat dilihat pada kekuatan solidaritas dan kerja sama warga dalam segala aktivitas individual atau komunal. Nilai solidaritas dan kerjasama mereka sangat jelas terlihat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di Karampuang, khususnya upacara adat Mappogau Hanua. Dalam pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua, setiap warga Karampuang bekerja sukarela dan saling membantu dengan warga lainnya demi terlaksananya hajatan besar ini. Tidak salah jika dalam setiap kegiatan di Karampuang terlihat sangat ramai meski hanya menarik potongan kayu (maddui). Adapun Nilai-nilai upacara adat yang berhubungan dengan manusia dan diri sendiri dapat dilihat pada nilai-nilai pribadi yang melekat pada setiap masyarakat adat. Diantara nilai-nilai pribadi tersebut adalah nilai siri atau nilai yang menyangkut segala sesuatu yang peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Selain itu terdapat nilai kamase-mase atau hidup sederhana, dan berkecukupan. Ada pula nilai-nilai kepemimpinan yang harus dimiliki oleh para pemangku adat seperti nilai kebijaksanaan, keadilan dan kedamaian yang dimiliki oleh Arung. Nilai keberanian, ketegaran dan ketegasan yang dimiliki oleh Gella, nilai kesucian, kesehatan dan kesejahteraan, yang dimiliki oleh Sanro, serta nilai kedamaian dan ketenangan yang dimiliki oleh Guru. Selain itu, pesan-pesan leluhur menganjurkan agar dalam memimpin raknyatnya, Arung harus memiliki nilai-nilai sipakainge (mengingatkan), siparappe (membantu), sipaumba (melayani), sipakatau (manusiawi). Begitu juga Gella harus memiliki nilai-nilai

174 sipatuo (menghidupi), sipakalebbi (menghormati), sipakaraja (menghargai), sipatokkong (menolong). Dari sekian banyak nilai-nilai pribadi yang tergambar dalam upacara adat Mappogau Hanua, nilai ketundukan, kepasrahan, ketaatan dan kepatuhan merupakan nilai-nilai pribadi yang sangat penting. Nilai-nilai ini tidak hanya diwariskan kepada para pemangku adat, melainkan juga kepada seluruh masyarakat adat Karampuang di mana pun mereka berada. Seluruh masyarakat adat Karampuang tunduk, patuh, serta taat pada aturan adat dan tentunya tunduk, patuh serta taat kepada Tuhan dan para leluhurnya.