BAB VI KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian terhadap upacara adat Mappoga Hanua dengan melakukan interpretasi terhadap simbol-simbol ritual yang digali dari tiga dimensi maknanya, maka ditemukan bahwa setiap materi-materi ritual, sesaji ritual, tahapan dan prosesi upacara adat Mappogau Hanua masing-masing memiliki simbol, makna, dan tujuan tersendiri. Pada dimensi eksegetik upacara adat, makna-makna simbolik yang ditampilkan dalam setiap ritual umumnya diasosiasikan dengan hal-hal yang sakral, suci, dan bersifat vertikal. Sesuatu yang sakral dan suci adalah entitas gaib yang menguasai gunung, hutan, dan sungai. Oleh karena itu, ritual-ritual yang diadakan oleh masyarakat adat Karampuang di tiga tempat tersebut terlebih dahulu mereka harus melakukan ritual mappaota, mangngampo dan maddupa. Bahan-bahan ritual tersebut hampir sama, yakni terdiri dari daun sirih, dupa, bara api, lilin tradisional, beras dan bubuk pedupaan. Maknanya pun juga sama, yakni melalui simbol-simbol tersebut, warga berharap agar Tuhan selalu menerima atau mengabulkan setiap doa dan permintaan mereka, dan juga agar Tuhan selalu menyinari, menjaga, memelihara, dan membimbing kehidupan mereka sehari-hari. Selain diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat sakral dan transendental, simbol-simbol yang dilekatkan pada materi-materi ritual juga diasosiasikan dengan hubungan horizontal yang meliputi nilai-nilai pribadi, sosial dan sistem kelembagaan adat. Melalui simbol api, beras ketan warna hitam, ayam jantan berkaki hitam, Arung diharapkan memiliki sifat-sifat kewibawaan, 167
168 kebijaksanaan, keadilan, keteguhan, ketegasan dan kebersahajaan. Begitu pula simbolisasi tanah, beras ketan warna merah, dan ayam jantan berwarna merah, dilekatkan kepada Gella agar dia tetap memiliki sifat keberanian, ketegaran, keterbukaan, mengayomi rakyatnya, dan rela menerima siapa saja dengan tangan terbuka. Demikian halnya dengan Sanro dan Guru, keduanya disimbolkan dengan air dan angin, serta warna putih dan kuning. Simbol-simbol tersebut bermakna bahwa baik Sanro dan Guru harus memiliki sifat lemah lembut, ikhlas, sabar, suci dan menyejukkan. Makna yang lebih luas lagi terlihat pada simbolisasi dalam kue bali sumange, halaja dan hempong. Ketiga unsur tersebut memiliki makna yang saling terkait di mana kue bali sumange merupakan wujud dari nilai-nilai kekeluargaan, kerukunan, dan perdamaian. Melalui kue bali sumange ini, masyarakat adat diingatkan kembali akan Karampuang sebagai tempat asal nenek moyang mereka. Pada dimensi operasional ritual, makna tindakan-tindakan ritual seperti mappaota, maddupa, mangngampo dan marrahung umumnya dimaknai sebagai permohonan untuk melakukan ritual adat serta penghormatan kepada Dewata penguasa dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Permohonan dan penghormatan kepada penguasa alam tersebut diwujudkan dalam tindakantindakan ritual di setiap tempat yang sakral dan bersejarah. Namun selain penghormatan kepada para dewata dan leluhur, tindakan-tindakan ritual seperti maddupa dan mangngampo di setiap tempat ritual diasosiasikan dengan keberadaan keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Begitu juga halnya ritual marrahung sebagai gambaran keberadaan dewan adat (ade eppae) yang menjaga dan mengontrol nilai-nilai Pangngaderreng dalam kehidupan masyarakat adat Karampuang. Adapun tindakan-tindakan ritual
169 massulo beppa, mabbessi, dan mabbacce, merupakan simbolisasi pengharapan warga akan kesatuan dan persatuan, kekeluargaan, kesejahteraan, kesehatan, dan kedamaian. Makna setiap ritual upacara adat Mappogau Hanua dapat dipahami secara utuh setelah menggali makna dari dimensi posisionalnya, yaitu dengan menelusuri relasi antarsimbol yang ada dalam setiap tahapan ritual, tempat pelaksanaan ritual, materi-materi ritual dan tindakan-tindakan ritual. Relasi antarsimbol dalam setiap tahapan ritual upacara adat Mappogau Hanua menunjukkan bahwa simbol-simbol itu bersifat multivokal atau memiliki lebih dari satu arti. Dalam hal ini, makna simbol dapat terungkap lebih jelas setelah melihat kapan simbol-simbol tersebut digunakan dan kapan tidak, sesuai dengan tujuan ritual diadakan. Atau dengan kata lain, relasi antarsimbol dalam setiap tahapan ritual upacara Mappogau Hanua akan memberikan makna yang berbeda sesuai dengan tujuan setiap ritual diadakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan upacara dapat dibagi menjadi dua, yakni tujuan yang bersifat vertikal yang berhubungan dengan dunia atas, serta tujuan yang bersifat horizontal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat adat Karampuang. Hubungan vertikal manusia dengan dunia atas dapat dilihat setiap tahapan ritual. Ritual di puncak gunung, di hutan dan di sungai, adalah ritual untuk menghormati Dewata Cinna Bolongnge, Dewata ri Tuli, dan Dewata Cinna Gaue. Selain itu 9melalui simbol-simbol materi dan tindakan ritual, makna ritual di setiap tempat menjadi berbeda. Ritual di Puncak gunung, selain untuk mengingatkan warga tentang tujuh tomanurung yang pernah memimpin tanah Karampuang, ritual yang dilakukan di tempat ini adalah untuk memperingati tahap-tahap penguburan dari masa tomanurung sampai sekarang.
170 Adapun tujuan ritual yang bersifat horizontal dapat dilihat dalam ritual di hutan atau barugae, dan ritual massulo beppa di rumah adat. Dalam ritual-ritual tersebut keberadaan lembaga adat, struktur pemerintahan adat, dan Pangngaderreng, ditegaskan kembali. Ritual marrahung dan cara penyajian sesaji menunjukkan adanya struktur kepemimpinan dewan adat yang mengontrol dan menjalankan Pangngaderreng. Setiap individu harus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan adat yang berlaku, khususnya warga yang menetap di wilayah Karampuang. Adapun masyarakat adat yang berada di luar wilayah Karampuang, mereka harus tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan Karampuang, sebab Karampuang adalah ibarat ibu kandung yang telah memberikan penghidupan kepada seluruh masyarakat adat sejak dulu sampai saat ini. Masyarakat adat yang ada di luar wilayah Karampuang diingatkan melalui simbolisasi kue bali sumange agar tetap menjaga dan melindungi Karampuang seperti halnya anakanak yang wajib menjaga orang tuanya. Penelitian ini akhirnya menemukan bahwa simbol-simbol dan makna yang melekat pada setiap tahapan ritual upacara adat Mappogau Hanua berkaitan dengan pandangan kosmologi orang Bugis. Dalam pandangan orang Bugis semesta alam terdiri dari 3 (tiga) lapis; yakni Boting Langi (dunia atas atau langit), Ale Kawa (dunia tengah atau bumi), dan Peretiwi (dunia bawah tanah/laut). Ketiga lapisan alam semesta tersebut bukan hanya sekedar pembagian tempat dalam kisah-kisah atau mitos-mitos penciptaan, tetapi lebih dari itu ia memiliki fungsi yang signifikan dalam kehidupan orang Bugis. Pandangan kosmologi orang bugis yang disebut juga dengan konsep Sulapa Eppa Walasuji (segi empat belah ketupat) adalah filsafat tertinggi orang Bugis yang menjadi seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya.
171 Dalam upacara adat Mappogau Hanua, dunia atas diasosiasikan dengan Dewata Cinna Bolongnge, Gunung, ayah, sumange, ammula-mulang, ade, Arung dan api. Sedangkan dunia tengah diasosiasikan dengan Dewata ri Tuli, Hutan, Ibu, atuo-tuong, addeppareng, Pangngaderreng, Gella dan tanah. Adapun dunia bawah diasosiasikan dengan Dewata Cinna Gaue, sungai, anak, asseddisedding, ancajing, ana ade, sanro dan air. Dalam pandangan kosmologi di atas maka dunia tengah (mikrokosmos Karampuang) harus tunduk dan patuh terhadap tatanan yang ada dalam dunia makrokosmos Karampuang agar dunia atas dan dunia bawah dapat memberikan kemakmuran bagi dunia tengah. Ketiga lapisan makrokosmos dan mikrokosmos tersebut harus terjalin hubungan yang harmonis secara terus-menerus agar tidak terjadi ketidakberuntungan, penyakit, bencana alam maupun kemiskinan, yang merupakan akibat dari pengabaian akan keberadaan penguasa alam. Oleh sebab itulah upacara adat Mappogau Hanua dilaksanakan. Selain memiliki tujuan seperti yang disebutkan di atas, upacara adat Mappogau Hanua juga memiliki efek atau fungsi sosial yang signifikan bagi masyarakat adat Karampuang. Fungsi upacara adat bagi masyarakat adat Karampuang diantaranya adalah; Upacara adat Mappogau Hanua mampu mengintegrasikan dan menyatukan masyarakat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan, atau dengan kata lain, upacara adat merupakan alat penyatu dan alat integrasi. Upacara adat juga dapat mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas masyarakat, seperti yang terlihat dalam kegiatan mabbahang dan mabbaja-baja. Melalui upacara adat Mappogau Hanua, warga Karampuang mendapat sebuah kekuatan dan motivasi baru untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari lagi. Fungsi ini dapat dilihat pada saat ritual mallohong
172 dan mappaleppe di Emba e, ritual massulo beppa di rumah adat, dan ritual mabbacce di buhung lohe (sumur tua). Penghormatan masyarakat Karampuang pada dewata penguasa alam dan leluhur adalah salah satu fungsi menjaga keseimbangan hubungan antara dunia sini yang nyata dengan dunia sana yang tak terlihat namun memiliki kekuatan di luar dari kekuatan manusia. Akhirnya, upacara adat berfungsi menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat adat Karampuang. Dalam hal ini, masyarakat adat diingatkan kembali akan nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan oleh nenek moyang, atau dengan kata lain, nilai-nilai masyarakat adat diperbaharui kembali melalui upacara adat. Nilai-nilai yang tercermin dalam upacara adat Mappogau Hanua dapat dilihat dalam hubungannya antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan diri sendiri. Nilai-nilai budaya yang menunjukkan hubungan antara masyarakat adat Karampuang dengan alam tergambar pada penghormatan mereka terhadap lingkungan dan alam sekitar. Masyarakat adat Karampuang memandang bahwa alam dan seisinya harus diperlakukan dengan baik agar kehidupan di dunia ini menjadi baik. Hubungan ini harus dijaga agar tidak terjadi musibah dan malapetaka. Begitu pula nilai-nilai yang menunjukkan hubungan manusia dan Tuhannya dapat dilihat dari tindakan-tindakan ritual yang mereka lakukan dalam setiap ritual upacara adat. Setiap tahapan ritual, sesaji dan tindakan ritual, baik di puncak gunung, hutan, sungai dan di rumah adat, seluruhnya dipersembahkan kepada Tuhan, dewa-dewa penguasa alam, serta para leluhur. Mereka benar-benar memperlakukan entitas spiritual dan entitas gaib dengan perlakuan yang sebaikbaiknya dengan cara melakukan ritual massorong, mappaleppe, mapanre, dan lain sebagainya.
173 Nilai-nilai upacara adat yang berhubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang terdapat dalam upacara adat Mappogau Hanua dapat dilihat pada kekuatan solidaritas dan kerja sama warga dalam segala aktivitas individual atau komunal. Nilai solidaritas dan kerjasama mereka sangat jelas terlihat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di Karampuang, khususnya upacara adat Mappogau Hanua. Dalam pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua, setiap warga Karampuang bekerja sukarela dan saling membantu dengan warga lainnya demi terlaksananya hajatan besar ini. Tidak salah jika dalam setiap kegiatan di Karampuang terlihat sangat ramai meski hanya menarik potongan kayu (maddui). Adapun Nilai-nilai upacara adat yang berhubungan dengan manusia dan diri sendiri dapat dilihat pada nilai-nilai pribadi yang melekat pada setiap masyarakat adat. Diantara nilai-nilai pribadi tersebut adalah nilai siri atau nilai yang menyangkut segala sesuatu yang peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Selain itu terdapat nilai kamase-mase atau hidup sederhana, dan berkecukupan. Ada pula nilai-nilai kepemimpinan yang harus dimiliki oleh para pemangku adat seperti nilai kebijaksanaan, keadilan dan kedamaian yang dimiliki oleh Arung. Nilai keberanian, ketegaran dan ketegasan yang dimiliki oleh Gella, nilai kesucian, kesehatan dan kesejahteraan, yang dimiliki oleh Sanro, serta nilai kedamaian dan ketenangan yang dimiliki oleh Guru. Selain itu, pesan-pesan leluhur menganjurkan agar dalam memimpin raknyatnya, Arung harus memiliki nilai-nilai sipakainge (mengingatkan), siparappe (membantu), sipaumba (melayani), sipakatau (manusiawi). Begitu juga Gella harus memiliki nilai-nilai
174 sipatuo (menghidupi), sipakalebbi (menghormati), sipakaraja (menghargai), sipatokkong (menolong). Dari sekian banyak nilai-nilai pribadi yang tergambar dalam upacara adat Mappogau Hanua, nilai ketundukan, kepasrahan, ketaatan dan kepatuhan merupakan nilai-nilai pribadi yang sangat penting. Nilai-nilai ini tidak hanya diwariskan kepada para pemangku adat, melainkan juga kepada seluruh masyarakat adat Karampuang di mana pun mereka berada. Seluruh masyarakat adat Karampuang tunduk, patuh, serta taat pada aturan adat dan tentunya tunduk, patuh serta taat kepada Tuhan dan para leluhurnya.