3.1 Kerangka Pemikiran Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di era otonomi daerah terdiri dari: (1) Pendapatan; (2) Belanja; dan

dokumen-dokumen yang mirip
V. RANCANGAN PROGRAM

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

TINJAUAN PUSTAKA PENDAPATAN BELANJA PEMBIAYAAN. Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III METODE KAJIAN

RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2007

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI. masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

Lampiran 1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun (Juta Rupiah).

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

KAJIAN PENGARUH BELANJA DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI JAMBI. Oleh: N U R D I N Dosen STIE Muhammadiyah Jambi ABSTRAK

D A F T A R I S I Halaman

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi)

Kabupaten / Kota PE(%)* DAU (Rp) ** DAK (Rp) ** PAD (Rp) **

ANALISIS KEMANDIRIAN DAERAH SUBOSUKAWONOSRATEN DALAM PELAKSANAAN SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH ( TINJAUAN KEUANGAN DAERAH )*

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP BELANJA PEMERINTAH DAERAH

8.1. Keuangan Daerah APBD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional secara keseluruhan dengan tujuan akhir untuk. daerah, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi beorientasi pada

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GUNADARMA JAKARTA 2016

BAB VII PENUTUP KESIMPULAN

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

Kebijakan Alokasi Anggaran Kabupaten Kepulauan Selayar

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

INNEL ROSA APRINELITA FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

SKRIPSI. Oleh : PURNOMO NIM: B

BAB I PENDAHULUAN. dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang. Umumnya

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah

NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

APBD KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANGGARAN 2018

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

III. METODOLOGI KAJIAN

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2014 Bupati Bogor, RACHMAT YASIN

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL

Transkripsi:

III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di era otonomi daerah terdiri dari: (1) Pendapatan; (2) Belanja; dan (3) Pembiayaan. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Komponen pendapatan daerah terdiri atas : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2) Dana perimbangan; dan (3) Lain-lain pendapatan yang sah. Pada dana perimbangan di dalamnya terdapat dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan sumber utama pendapatan dari tiap-tiap daerah. Dengan demikian penerapan otonomi daerah mengakibatkan peningkatan pendapatan daerah (APBD) melalui dana perimbangan. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah terdiri dari belanja publik (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Bedasarkan jenisnya, belanja daerah dirinci menjadi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial. Pembiyaan daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan terdiri atas penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pembiayaan merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah (Mardiasmo, 2002 : 187). Peningkatan pendapatan daerah akan meningkatkan belanja daerah. Peningkatan belanja daerah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari adanya peningkatan pendapatan per kapita (PDRB per kapita) dan indeks pembangunan manusia. Di sisi lain rasio antara anggaran publik dan anggaran aparatur yang diukur melalui rasio aktifitas keuangan daerah juga dapat mempengaruhi tingkat

22 kesejahteraan masyarakat. Disamping itu penerapan otonomi daerah dan pemekaran wilayah, selain dapat meningkatkan anggaran pendapatan daerah juga dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang diakibatkan oleh peningkatan pendapatan daerah (APBD). Hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik terhadap kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui indikator PDRB per kapita dan IPM selanjutnya dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan strategi alokasi belanja aparatur dan belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Strategi tersebut, selanjutnya dijadikan sebagai feedback bagi penyusunan APBD berikutnya. Kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas dapat diringkas dalam diagram alir (Gambar 8) sebagai berikut : APBD Pendapatan Belanja Pembiayaan Otda dan Pemekaran Wilayah Aparatur Publik Rasio Aktifitas KESEJAHTERAAN PDRB per kapita IPM SRATEGI ALOKASI BELANJA Gambar 8. Kerangka Pikir Kajian Strategi Alokasi Belanja Daerah untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian Lokasi pelaksanaan kajian Strategi Alokasi Anggaran Belanja Publik untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi kajian di tempat ini didasarkan

23 pada pertimbangan bahwa peneliti bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Kota Bekasi dan bertempat tinggal di Kota Bekasi. Pelaksanaan kajian direncanakan selama empat bulan mulai dari bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Nopember 2006. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Sasaran Penelitian Unit analisis yang menjadi sasaran penelitian adalah Pemerintah Daerah Kota Bekasi dengan sasaran kajian : Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah, Bagian Keuangan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perekonomian Rakyat dan Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Kantor BPS. Aspek yang dikaji meliputi : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Pendapatan per kapita (PDRB per kapita) per tahun berdasarkan harga konstan tahun 1993 dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 3.3.2 Metode Pengumpulan Data Untuk mencapai tujuan kajian, maka data yang digunakan adalah data sekunder tingkat Kota Bekasi dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2004 dan tahun 2005. Jenis data sekunder yang dibutuhkan dalam kajian ini, sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.

24 Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Sekunder Bahan Kajian Alokasi Anggaran Belanja untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat No Jenis Data Karakteristik Data Periode Data Sumber Data 1 PDRB PDRB berdasarkan 1983-2004 BPS Kota Harga Berlaku dan Bekasi, BPS Harga konstan 1993 Kab. Bekasi, Bappeda Kota Bekasi. 2 Jumlah Penduduk 1983-2004 BPS Kota Penduduk pertengahan tahun Bekasi, BPS Kab. Bekasi 3 PDRB per PDRB per Kapita 1983-2004 BPS Kota Kapita berdasarkan Harga Bekasi, Berlaku dan Bappeda Kota Harga konstan 1993 Bekasi. 4 APBD Belanja aparatur 1983-2004 BPS Kota (rutin) dan Belanja dan tahun Bekasi, BPS publik. 2005 Kab. Bekasi, Bappeda Kota Bekasi. 5 IPM Komponen IPM 1999-2005 BPS Kota Indeks Pendidikan, Bekasi, Indeks Kesehatan, Bappeda Kota dan Indeks Daya Beli Bekasi. masyarakat. Selain data sekunder kajian ini juga menggunakan data primer berupa hasil angket Ekstenal Faktors Analysis (EFA) dan Internal Faktors Analysis (IFA) yang diperoleh dari Stakeholders pembangunan di Kota Bekasi. Stakeholders pembangunan tersebut terdiri dari unsur Pemerintah Daerah Kota Bekasi (Bappeda, Dinas Perekonomian Rakyat dan Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan), Panitia anggaran DPRD Kota Bekasi, unsur masyarakat/lsm, unsur swasta/kadin/pelaku usaha dan unsur perguruan tinggi yang ada di Kota Bekasi.

25 3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data kajian strategi alokasi belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk tolok ukur pendapatan per kapita (PDRB per kapita) dan indeks pembangunan manusia menggunakan metode analisis kuantitatif yaitu analisis ekonometrika. Ekonometrika secara harfiah berarti pengukuran ekonomi (Widarjono, 2005 : 3). Ekonometrika dapat menjelaskan seberapa besar pengaruh belanja pemerintah daerah sebagai variabel dependen terhadap kesejahteraan masyarakat sebagai variabel independen. Untuk menjawab pertanyaan utama yaitu penyusunan strategi/rancangan program, metode analisis yang digunakan adalah analisis situasi. Analisis ini menggunakan data-data faktor internal sebagai kekuatan dan kelemahan (strength and weakness) dan faktor ekstenal sebagai peluang dan tantangan (opportunity and treath ). Metode pengolahan dan analisis data kajian untuk menjawab tujuan penelitian tersaji dalam Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Kaitan Antara Tujuan, Data dan Metode Analisis No Tujuan Data Metode analisis 1 Menganalisis pengaruh APBD terhadap pendapatan per kapita. 2 Menganalisis pengaruh otonomi daerah terhadap pendapatan per kapita 3 Menganalisis pengaruh pemekaran wilayah terhadap pendapatan per kapita 4 Mengkaji rasio alokasi belanja aparatur dan belanja publik. Belanja publik, Belanja aparatur, PDRB per kapita PDRB per kapita, otonomi daerah (dummy factor) PDRB per kapita, pemekaran wilayah (dummy factor Belanja publik, Belanja aparatur, APBD Ekonometrika (Regresi dan Elastisitas) Ekonometrika (Regresi dan Elastisitas) Ekonometrika (Regresi dan Elastisitas) Deskriptif dan Kuantitatif

26 Lanjutan Tabel 5. No Tujuan Data Metode analisis 5 Menganalisis pengaruh APBD terhadap Indeks Pembangunan Manusia 6 Srategi alokasi belanja publik untuk Peningkatan kesejahteraan masyarakat Belanja publik, Belanja aparatur, IPM KSF, Faktor Internal (kekuatan, kelemahan). Faktor Eksternal (Peluang, Tantangan) Ekonometrika (Regresi) Analisis Situasi (SWOT) 3.3.3.1 PDRB Per Kapita Sebagai Fungsi dari Belanja Publik dan Belanja Aparatur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai fungsi dari belanja publik dan belanja aparatur pemerintah daerah dapat ditunjukkan pada persamaan (1) PDRB Perkapita t = ß 0 + ß 1 Belanja Publik t + ß 2 Belanja Aparatur t + ß 3 D 1t + ß 4 D 2t+ e t... (1) Dimana : PDRB Perkapita t Belanja Publik t Belanja Aparatur t ß i ; i = 1,2,3 D 1t D 2t e t = Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Tahun ke-t. = Belanja Publik Tahun ke-t. = Belanja Aparatur Tahun ke-t. = Parameter regresi. = Variabel boneka (dummy) untuk menangkap pengaruh penerapan otonomi daerah, D 1t = 1 untuk tahun 2001-2004 dan D 1t = 0 untuk tahun 1983-2000. = Variabel boneka (dummy) untuk menangkap pengaruh pemekaran wilayah, D 2t = 1 untuk tahun 1997-2004 dan D 2t = 0 untuk tahun 1983-1996. = Error Term

27 Terlihat dari persamaan (1) bahwa PDRB per kapita disusun sebagai fungsi dari belanja publik dan belanja aparatur. Spesifikasi tersebut disusun dengan alasan bahwa komponen utama belanja pemerintah daerah adalah belanja publik dan belanja aparatur yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, sedangkan PDRB perkapita merupakan salah satu indikator yang dipergunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Penerapan otonomi daerah dan pemekaran wilayah dijadikan sebagai variabel boneka (dummy) masingmasing untuk menangkap pengaruh penerapan otonomi daerah yang mulai diterapkan pada tahun 2001 dan pemekaran wilayah yang mulai terjadi pada tahun 1997. Pemekaran wilayah Kota Bekasi dari Kabupaten Bekasi berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi. Namun penyelenggaraan pemerintahan Kotamadya Bekasi secara efektif pelaksanaannya mulai tahun 1997. Wilayah Kabupaten Bekasi sebelum dimekarkan terdiri dari 22 kecamatan dengan luas wilayah 148.437 hektar. Sedangkan wilayah Kotamadya Bekasi terdiri dari empat kecamatan eks- Kota Administratif (Kotif) Bekasi yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan Bekasi Utara serta tiga kecamatan lainnya yakni Kecamatan Pondokgede, Jatiasih, dan Bantargebang dengan luas wilayah 21.049 hektar. Dengan adanya pemekaran wilayah maka potensi ekonomi dari Kabupten Bekasi yang meliputi PAD, dana bagi hasil dan penerimaan daerah lainnya menjadi berkurang. Sebaliknya bagi Kotamadya Bekasi (selanjutnya menjadi Kota Bekasi) adanya pemekaran wilayah merupakan awal dari kepemilikan dan pengelolaan potensi ekonomi wilayah secara mandiri untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Diharapkan bahwa ß 1 > 0, ß 2 > 0, ß 3 > 0 dan ß 4 > 0, artinya peningkatan belanja publik dan belanja aparatur dapat memicu peningkatan output (PDRB per kapita /kesejahteraan masyarakat). Begitu juga penerapan otonomi daerah dan pemekaran wilayah diharapkan dapat mendongkrak p eningkatan kesejahteraan masyarakat.

28 Belanja publik dan belanja aparatur yang digunakan dalam analisis PDRB per Kapita (kesejahteraan masyarakat) ini menggunakan belanja publik riil dan belanja aparatur riil. Belanja publik riil diperoleh dari hasil perkalian antara belanja publik dengan indeks deflator. Begitu juga belanja aparatur riil merupakan hasil dari perkalian antara belanja aparatur dan indeks deflator. Indeks deflator diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB berdasarkan harga konstan 1993 dan PDRB berdasarkan harga berlaku. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sofware Microsoft Excel. Elastisitas belanja aparatur dan belanja publik terhadap PDRB per Kapita adalah persentase perubahan PDRB per Kapita dibagi perubahan belanja aparatur dan belanja publik. Analisis yang digunakan untuk mengetahui besarnya elastisitas ditunjukkan pada persamaan (2 dan 3).? = ß 1 x (Rata -rata Belanja Publik / Rata-rata PDRB per Kapita)... (2) Dimana :? = Elastisitas Belanja Publik Terhadap PDRB per Kapita. ß 1 = Koefisien Regresi Belanja Publik. Rata-rata Belanja Publik = Periode tahun 1983-2004. Rata-Rata PDRB per Kapita = Periode tahun 1983-2004.? = ß 2 x (Rata -rata Belanja Aparatur / Rata-rata PDRB per Kapita)...(3) Dimana :? = Elastisitas Belanja Aparatur Terhadap PDRB per Kapita.? 2 = Koefisien Regresi Belanja Aparatur. Rata-rata Belanja Aparatur = Periode tahun 1983-2004. Rata-Rata PDRB per Kapita = Periode tahun 1983-2004. Diharapkan bahwa? > 1 artinya Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur bersifat elastis. Semakin elastis maka pengaruh

29 perubahan belanja publik dan belanja aparatur terhadap PDRB per kapita semakin besar. 3.3.3.2 Indeks Pembangunan Manusia Sebagai Fungsi dari Belanja Pemerintah Daerah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan indeks komposit dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli sebagai fungsi dari belanja pemerintah daerah (APBD) yang terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur dapat ditunjukkan pada persamaan (4). IPM t = ß 0 + ß 1 Belanja Publik t-1 + ß 2 Belanja Aparatur t-1 + ß 3 D t+ e t... (4) Dimana : IPM t Belanja Publik t-1 Belanja Aparatur t-1 ß i ; i = 1,2,3 D t e t = Indeks Pembangunan Manusia Tahun ke-t. = Belanja Publik Tahun ke t-1. = Belanja Aparatur Tahun ke t-1. = Parameter regresi. = Variabel boneka (dummy) untuk menangkap pengaruh penerapan otonomi daerah, D t = 1 untuk tahun 2001-2005 dan D t = 0 untuk tahun 1999-2000. = Error Term Terlihat dari persamaan (3) bahwa IPM disusun sebagai fungsi dari APBD. Spesifikasi tersebut disusun dengan alasan bahwa IPM merupakan indikator yang bersifat agregat dan akumulatif antara dimensi kesehatan, pendidikan dan kemampuan daya beli sehingga pengukurannya tidak dapat dilakukan pada tahun yang bersangkutan, tetapi pada tahun berikutnya (t-1) hal ini sejalan dengan perbandingan pola pertumbuhan APBD riil dan IPM (Gambar 2) yang memiliki pola pertumbuhan yang sama tetapi pada kurun waktu yang berbeda (t-1). Argumen berikutnya adalah bahwa belanja pemerintah daerah (APBD) baik belanja publik maupun belanja aparatur akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baik dari indikator indeks pendidikan, kesehatan maupun kemampuan daya beli masyarakat. Penerapan

30 otonomi daerah dijadikan sebagai variabel boneka (dummy) untuk menangkap pengaruh penerapan otonomi daerah yang mulai diterapkan pada tahun 2001. Diharapkan bahwa ß 1 > 0, ß 2 > 0 dan ß 3 > 0, artinya peningkatan belanja pemerintah daerah (APBD), baik belanja publik maupun belanja aparatur dapat memicu peningkatan output (IPM) dan penerapan otonomi daerah juga dapat mendongkrak peningkatan IPM. Belanja publik dan belanja aparatur yang digunakan dalam analisis IPM ini menggunakan belanja publik riil dan belanja aparatur riil. Belanja publik riil diperoleh dari hasil perkalian antara belanja publik dengan indeks deflator. Begitu juga belanja aparatur riil merupakan hasil dari perkalian antara belanja aparatur dan indeks deflator. Indeks deflator diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB berdasarkan harga konstan 1993 dan PDRB berdasarkan harga berlaku. Pengolahan data menggunakan sofware Microsoft Excel. Elastisitas belanja aparatur dan belanja publik terhadap IPM adalah persentase perubahan IPM dibagi perubahan belanja aparatur dan belanja publik. Analisis yang digunakan untuk mengetahui besarnya elastisitas ditunjukkan pada persamaan (5 dan 6).? = ß 1 x (Rata -rata Belanja Publik / Rata-rata IPM)... (5) Dimana :? = Elastisitas Belanja Publik Terhadap IPM. ß 1 = Koefisien Regresi Belanja Publik. Rata-rata Belanja Publik = Periode tahun 2001-2005. Rata-Rata IPM = Periode tahun 2001-2005.? = ß 2 x (Rata -rata Belanja Aparatur / Rata-rata IPM)... (6) Dimana :? = Elastisitas Belanja Aparatur Terhadap IPM.? 2 = Koefisien Regresi Belanja Aparatur.

31 Rata-rata Belanja Aparatur = Periode tahun 2001-2005. Rata-Rata IPM = Periode tahun 2001-2005. Diharapkan bahwa? > 1 artinya Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur bersifat elastis. Semakin elastis maka pengaruh perubahan belanja publik dan belanja aparatur terhadap IPM semakin besar. 3.3.3.3 Rasio Alokasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Rasio alokasi belanja aparatur dan belanja publik yang dikenal dengan rasio keserasian ditunjukkan pada persamaan (7a dan 7b). Rasio Belanja Aparatur terhadap APBD = Total Belanja Aparatur... (7a) Total APBD Rasio Belanja Publik terhadap APBD = Total Belanja Publik... (7b) Total APBD Rasio di atas menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dana untuk belanja publik maupun belanja aparatur secara optimal. Semakin tinggi rasio belanja apratur terhadap APBD, maka semakin kecil dana yang dipergunakan untuk pembangunan ekonomi wilayah dan akan semakin kecil dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Hakim, 2006 : 28). Sebaliknya, semakin kecil rasio belanja apratur terhadap APBD, maka semakin besar dana yang dipergunakan untuk pembangunan ekonomi wilayah dan akan semakin besar pula dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Diharapkan bahwa prersentase rasio belanja aparatur cenderung semakin kecil dan rasio belanja publik semakin meningkat sehingga alokasi dana untuk pembangunan ekonomi wilayah akan semakin besar dan

32 dampaknya terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat cenderung semakin tinggi. 3.4. Metode Perancangan Program Perancangan program merupakan bagian dari kegiatan kajian strategi alokasi belanja aparatur dan belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Data-data hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik terhadap kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui indikator PDRB per kapita dan IPM selanjutnya dikomunikasikan kepada stakeholders untuk bersama-sama menyusun rancangan program yang aplikatif. Metode analisis yang digunakan adalah analisis situasi. Analisis situasi adalah kegiatan untuk menemukan gambaran kondisi lingkungan internal-eksternal yang berpengaruh terhadap organisasi dan kemudian melakukan analisis terhadapnya sehingga dapat ditentukan apakah kondisi tersebut merupakan kekuatan, kelemahan, peluang atau ancaman (Tripomo dan Udan, 2005:88). Secara umum tahapan analisis situasi terdiri dari : (1) Identifikasi faktor kunci keberhasilan (key success factors/ksf); (2) Identifikasi situasi internal dan eksternal; dan (3) Analisis SWOT. Key success factors (KSF) adalah faktor-faktor internal organisasi (sumberdaya dan kompetensi) yang paling kritis atau yang paling penting yang mungkin digunakan oleh suatu organisasi sebagai alat utama untuk menangani peluang dan ancaman agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan (meningkatkan posisi persaingan). KSF potensial yang telah teridentifikasi selanjutnya jumlahnya dibatasi agar organisasi dapat mengkonsentrasikan usahanya pada beberapa hal yang benar-benar berpengaruh besar pada keberhasilan organisasi. KSF terpilih kemudian diberikan skor/pembobotan untuk menetapkan ranking besarnya pengaruh terhadap keberhasilan organisasi. Identifikasi situasi internal dan eksternal bukanlah kegiatan untuk menetapkan kekuatan, kelemahan, peluang atau anacaman tetapi kegiatan yang hanya sampai memberikan deskripsi. Indentifikasi situasi

33 eksternal merupakan kegaitan analisis untuk menentukan isu-isu strategis dan indentifikasi situasi internal dipergunakan untuk mengetahui situasi internal yang penting (isu internal) saat ini. Analisis SWOT adalah penilaian (assessment) terhadap hasil identifikasi situasi, untuk menentukan apakah suatu kondisi dikategorikan sebagai kekuatan, kelemahan, peluang atau ancaman. Kekuatan (strength) adalah situasi internal organisasi yang berupa kompetensi/ kapabilitas/sumberdaya yang dimiliki organisasi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk menangani peluang dan ancaman. Kelemahan (weakness) adalah situasi internal organisasi dimana kompetensi/ kapabilitas/sumberdaya organisasi sulit digunakan untuk menangani kesempatan dan ancaman. Peluang (opportunity) adalah situasi eksternal organisasi yang berpotensi menguntungkan. Ancaman (threat) adalah suatu keadaan eksternal organisasi yang berpotensi menimbulkan kesulitan. Dalam analisis SWOT penentuan pembobotan/score faktor internal baik sebagai faktor kekuatan maupun kelemahan ditentukan bersamasama oleh stakeholders. Begitu juga untuk menentukan pembobotan/score faktor eksternal baik sebagai faktor peluang maupun tantangan ditentukan bersama-sama oleh stakeholders. Stakeholders yang terlibat dalam penyusunan perancangan program ini terdiri dari unsur Pemerintah Daerah Kota Bekasi (Bappeda 5 orang, Dinas Perekonomian Rakyat dan Koperasi 2 orang, Dinas Perindustrian dan Perdagangan 1 orang, Dinas Pendidikan 2 orang, dan Dinas Kesehatan 1 orang), unsur DPRD Kota Bekasi 4 orang, unsur masyarakat/lsm 2 orang, unsur swasta/kadin/pelaku usaha 1 orang dan unsur perguruan tinggi yang ada di Kota Bekasi 3 orang. Jumlah stakeholders yang terlibat dalam penyusunan perancangan program sebanyak 21 orang. Unsur Pemerintah Kota Bekasi yang akan dijadikan sebagai responden analisis SWOT adalah para kepala SKPD atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala SKPD. Hasil analisis SWOT tersebut, selanjutnya dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan rancangan program untuk peningkatan

34 kesejahteraan masyarakat yang akan direkomendasikan kepada Pemerintah Daerah Kota Bekasi. Mekanisme penyusunan rancangan program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi belanja publik dipaparkan dalam Gambar 9. REGRESI Hasil Analisis Regresi dan Elastisitas ANALISIS SWOT Hasil Analisis SWOT dari IFA dan EFA (Hasil Analisis Regresi, Analisis Rasio Aktifitas dan Hasil Pengamatan Lapangan) STRATEGI/ PROGRAM Strategi/Program yang akan direkomendasikan TUJUAN Kesejahteraan Masyarakat RASIO AKTIFITAS HasilAnalisis Alokasi Belanja Gambar 9. Mekanisme Penyusunan Rancangan Program Gambar 9 menunjukkan hasil analisis regresi pengaruh belanja publik terhadap kesejahteraan masyarakat dan hasil analisis alokasi belanja publik periode tahun 1983-2005 dan tahun 1997-2005 selanjutnya dimasukkan sebagai IFA (Internal Factors Analysis) dan EFA (External Factors Analysis). Kedua faktor tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan SWOT dengan melibatkan stakeholders. Dari hasil analisis SWOT tersebut diperoleh strategi/program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan direkomendasikan kepada Pemerintah Kota Bekasi.