BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baju, celana, aksesoris, sepatu, tas merupakan satu dari sekian banyak produk fashion yang bisa disebutkan. Produk fashion merupakan suatu pasar yang sangat dinamis dan berumur pendek. Newman dan Patel (2004) mengatakan bahwa consumer behavior dalam market ini bekarakter pembeli impulsif dan tidak tetap. Kualitas fungsional dan atribut secara psikologis yang membentuk pemikiran customer, dimana membantu mendeferensiasikan dan memelihara competitive advantage dari para pengecer fashion. Berbelanja yang dilakukan di Jakarta kini menjadi sangat mengundang selera dengan semakin banyaknya tawaran-tawaran berbagai brand yang berdatangan dari berbagai penjuru negara luar Indonesia. Hal ini terbukti dengan makin maraknya department store yang ada di Jakarta. Seperti saat ini yang bisa dikategorikan sebagai department store kelas atas adalah Metro, Seibu, Sogo, dan Debenhams. Metro bernaung di bawah PT Metropolitan Retailmart. Seibu, Sogo, dan Debenhams berada di bawah kelolaan PT Mitra Adiperkasa. Selain itu The Parisian, pemain baru lain dan Harvey Nichols dari 1
Inggris yang akan segera membuka gerai mereka. (www.kontan-online.com / Juli 2005) Masuknya pemain baru tersebut membuat persaingan semakin ketat memperebutkan ceruk pasar yang sedikit. Untuk itu sejumlah pengecer mulai melancarkan strategi untuk menawarkan kepada konsumennya suatu pengalaman berbelanja yang berbeda di department store-nya. Parisian yang diusung Lippo Group menciptakan suasana bernuansa Paris, negara acuan perkembangan mode dunia. Lippo juga menghadirkan musik hidup lewat dentingan piano di dalam toko. Merk department store lain yang sudah makan asam garam di industri eceran pada busana dan aksesoris kelas menengah atas di Indonesia adalah Sogo, Debenhams, dan Metro. Metro juga tengah bersiap untuk menyuguhkan nuansa toko yang lebih mewah lagi di Mal Pacific Place. Sementara itu,seibu menghadirkan interior karya desainer ternama yang berkesan mewah. Setiap lantai Seibu dilengkapi satu set sofa kulit yang nyaman digunakan konsumen. Berbeda lagi dengan Harvey Nichols. Pengecer asal Inggris ini menjanjikan toko berselera tinggi. Di Inggris, Harvey Nichols memang menjadi ajang menjual barang mewah untuk kelas atas (web.bisnis.com/19 Maret 2008). Munculnya department store golongan A dan A+ tidak lepas dengan makin maraknya shopping centre papan atas yang semakin banyak. (web.bisnis.com) Setelah Plaza Indonesia dan Plaza Senayan berduet mendulang sukses menghadirkan konsumen papan atas, kini memiliki pesaing baru. Belum berselang lama Senayan City beroperasi diikuti Grand Indonesia 2
dan Pacific Place. Berikutnya segera muncul Mal Gandaria, yang sekarang tengah dibangun. Kini bukan lagi pengecer hanya mengelola kemampuan konsumen membeli, tapi bagaimana menciptakan keinginan membeli. Persepsi masyarakat modern sendiri tentang makna berbelanja sudah berbeda, dimana berbelanja bukan hanya kegiatan mencari sesuatu yang dibutuhkan tapi juga sebagai kegiatan hiburan (entertainment). Hal ini disebabkan karena gaya hidup (lifestyle) orang-orang terutama di Jakarta yang sering bekerja larut malam, dan hanya mempunyai sedikit waktu untuk bersenang-senang (Soars 2003). Karena hal itu dapat kita amati bahwa department store sendiri kini membawa konsep menawarkan pengalaman dan suasana berbelanja yang eksklusif, personal, dalam lingkungan yang modern, dengan store environment sebagai lingkungan, tidak mendominasi tapi secara keseluruhan menyatu dengan produk yang ditawarkan sehingga tampil sebagai alat komunikasi informatif. Kalau ditelusuri dari kegiatannya sendiri, berbelanja yang kini trendnya disebut shopping, dapat kita artikan sebagai sebuah pengalaman mengkonsumsi. Berbelanja (shopping) sendiri dapat dikatakan hampir seluruhnya merupakan aktivitas dan selalu melibatkan wanita. Sehingga berbelanja diidentikan sebagai aktivitas utama wanita (Underhill, 2000: 113). Umumnya wanita berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya, paling tidak sebulan sekali meluangkan waktunya untuk berbelanja. Namun karena berbelanja sendiri sekarang sudah menjadi sebuah pilihan utama gaya hidup 3
dan leisure activity (Bayley dan Nancarrow 1998), ini dapat menjelaskan bagaimana seringnya wanita berbelanja hanya untuk memenuhi hasrat atau dorongan dari dalam dirinya. Berbeda dengan pria, wanita merupakan konsumen yang selalu melibatkan aspek psikologis dan emosional pada kegiatan berbelanja-nya, mereka menjadi terserap dalam suatu ritual mencari dan membandingkan, membayangkan ketika merchandise digunakan (Underhill, 2000: 116). Contohnya apabila seorang wanita membeli sebuah baju untuk merasa dirinya menjadi lebih cantik, ataupun lipstik yang membuat bibirnya lebih indah, atau lampu yang membuat rumah menjadi tempat yang lebih elegan. Underhill (2000) mengatakan bahwa wanita menuntut shopping environment lebih dibanding pria. Pria biasa membeli barang yang dibutuhkannya tanpa perlu melakukan browsing terhadap hal-hal yang lain, berbeda dengan wanita dimana wanita lebih sabar,dan ingin mengetahui,sehingga mereka membutuhkan store environment yang nyaman untuk mereka membuang waktu lebih lama lagi di situ dan bergerak secepat dan sesuka hati mereka. Dari pengalaman kenyamanan inilah memungkinkan timbulnya keinginan membeli barang-barang yang menggoda mata yang sebenarnya tidak dibutuhkan sehingga memicu gaya berbelanja spontan, tanpa perencanaan, sehingga timbul pembelian secara impulsif (impulse purchase). Pembelian impulsif (impulse purchase) sering dianggap sebagai tanda ketidak dewasaan, dan kurangnya pengontrolan diri, atau tidak rasional, beresiko, dan tak berguna. Hausman (2000) mengatakan hampir 90 persen konsumen membeli secara impulsif di waktu tertentu dan diantara 30 persen 4
dan 50 persen dari keseluruhan pembelian, konsumen sendiri menyadari bahwa dia telah melakukan belanja impulsif. Belanja impulsif ini ternyata tidak terjadi dengan sendirinya. Berbagai indikasi dihubung-hubungkan dengan belanja impulsif. Seperti misalnya saat periode Sale (price reduction) dianggap sebagai penyebab belanja impulsif. Namun hubungan price (harga promosi) ternyata tidak selalu menjadi jawaban utama yang mendorong terciptanya belanja impulsif. Belanja impulsif ternyata merupakan sesuatu yang bersifat pengalaman emosional dibanding pengalaman rasional (Bayley dan Nancarrow 1998) Beragam aspek dapat mempengaruhi perilaku seorang konsumen ketika sedang berbelanja. Soars (2003) mengatakan bahwa pengecer mampu menciptakan suatu surga atau neraka untuk kegiatan berbelanja (shopping) merupakan sebuah hubungan simbiosis antara konsumen dan lingkungan (environment). Jika tidak mendapat hubungan yang baik, dapt dikatan pengecerlah yang gagal. Konsumen suka merasa bahwa mereka telah memilih produk yang telah diputuskannya. Jika seseorang melakukan shopping trip, membeli apa yang telah mereka rencanakan membeli lebih cepat dan kemudian mengantisipasi seolah segala sesuatunya telah dikuasai, maka mereka akan berada pada mood yang positif, dan biasanya sebagai reward bagi pengecer mereka akan melakukan browsing dan membeli lagi. Dari sini kita dapat melihat bagaimana simbiosis terjadi antara hubungan environment dengan konsumen. 5
Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) mengatakan, merupakan suatu hal yang umum apabila kita keluar dari sebuah gerai dengan maksud membeli merk tertentu dan keluar dengan merk yang lain. Banyak hal ketika seseorang berada di dalam gerai yang dapat mempengaruhi keputusan membeli di tempat (in-store decision). Peter dan Olson (2008: 471) mengatakan bahwa store atmosphere paling utama mempengaruhi emosi seseorang saat konsumen berada di dalam gerai dimana konsumen tidak sepenuhnya menyadari ketika mereka sedang melakukan aktifitas berbelanjanya. Perasaan seperti kesenangan (pleasure), ketertarikan (arousal), mendominasi (dominance) ikut mempengaruhi keputusan membeli suatu produk di dalam gerai. Peter dan Olson (2008) mengatakan bahwa kesenangan sangat berpengaruh bagi konsumen untuk menimbulkan keinginan membeli. Sedangkan ketertarikan sangat berpengaruh meningkatkan waktu untuk menjelajah di dalam gerai. Maka dari itu peneliti mengelompokkannya menjadi faktor yang dipengaruhi pengecer dan faktor internal konsumen. Faktor-faktor yang dapat dipengaruhi oleh pengecer ketika konsumen berada di dalam gerai (in-store stimulation) antara lain suasana toko (store environment) yang dipadu dengan atribut di dalamnya seperti staff gerai (sales people), tanda dan informasi harga (signs and price information), warna(color), musik, pencahayaan (lightning), dan display (Peter dan Olson, 2008: 478). Misalnya warna yang hangat dan musik yang mendayu-dayu membuat konsumen merasa rileks untuk menjelajah gerai. Kesemuanya itu akan mempengaruhi keputusan dan keinginan konsumen dalam membeli 6
ketika berada di dalam gerai. Faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk membeli produk fashion, adalah bagaimana karakteristik konsumen terhadap kecepatan mengadopsi suatu produk atau servis. Asumsi dasarnya yaitu kesuksesan dari jenis produk fashion yang baru bergantung ada penerimaan konsumen yang memiliki karakter Fashion Innovator (Goldsmisth et al, 1999; Gorden et al, 1985; Kaiser, 1990). Memahami kondisi semacam itu tentu sangat menarik dan berguna bagi pemasar serta pengecer. Mereka perlu mengetahui bagaimana dan kapan konsumen terutama wanita terstimulasi untuk melakukan belanja impulsif terutama untuk produk-produk fashion. Maka dari itu penulis akan meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya belanja impulsif pada produk fashion yang ada di department store di Jakarta dan apakah konsumen yang impulsif juga merupakan fashion Innovator. 1.2 Rumusan Masalah Berbelanja produk fashion, merupakan hal yang selalu dilakukan oleh kaum wanita. Produk fashion sendiri tak pernah ada habisnya, sehingga life cycle produknya terbilang cepat karena selalu berganti seiring dengan perkembangan dunia fashion sendiri. Namun sering kali ketika berbelanja banyak hal-hal yang mempengaruhi keputusan berbelanja kita. Mungkin menemukan barang yang cocok, atau ada promosi yang menguntungkan, atau mungkin kita membutuhkannya. 7
Berdasarkan pengalaman di atas, maka secara umum rumusan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut : Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi wanita melakukan belanja impulsif untuk produk-produk fashion dan karakteristik konsumen seperti apakah yang datang ke Department Store. 1.3 Ruang Lingkup Penulis membatasi penelitian sebagai berikut : Penelitian dilakukan di area luar department store Membatasi hanya 2 mall saja dan hanya mall kelas A dan A+ di Jakarta Membahas konsumsi produk fashion saja (tidak termasuk kosmetik). 1.4 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong wanita melakukan belanja impulsif untuk produk-produk fashion di Department Store. 2. Untuk mengetahui karakteristik konsumen yang berbelanja di Department Store. 3. Memberikan masukan bagi pemasar atau pengecer untuk dapat meningkatkan penguatan produk-produk fashion dalam menyasar kelompok perempuan yang terbiasa berbelanja tanpa rencana (impulsif). 4. Sebagai salah satu syarat untuk kelulusan program pasca sarjana di Binus Business School. 8
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah: Dengan mengetahui pengaruh store environment pada pembelian impulsif dan karakteristik konsumennya, maka dapat disusun strategi pemasaran yang handal dalam memasarkan produk fashion secara efektif untuk meningkatkan pembelian secara impulsif. 9