BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
3 BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelum penggunaan MRP biaya yang dikeluarkan Rp ,55,- dan. MRP biaya menjadi Rp ,-.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. berharga bagi yang menerimanya. Tafri (2001:8).

BAB V MATERIAL REQUIREMENTS PLANNING

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bidang manufaktur, suatu peramalan (forecasting) sangat diperlukan untuk

Manajemen Persediaan. Perencanaan Kebutuhan Barang (MRP) PPB. Christian Kuswibowo, M.Sc. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Manajemen

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

MATERIAL REQUIREMENT PLANNING (MRP)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN PERSEDIAAN. Perencanaan Kebutuhan Barang (MRP) -EOQ. Prepared by: Dr. Sawarni Hasibuan. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Manajemen

MATERIAL REQUIREMENT PLANNING (MRP)

BAB II LANDASAN TEORI

MATERIAL REQUIREMENT PLANNING (MRP)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III. Metode Penelitian. untuk memperbaiki keterlambatan penerimaan produk ketangan konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 Landasan Teori

Manajemen Persediaan. Perencanaan Kebutuhan Barang_(MRP) Lot for Lot. Dinar Nur Affini, SE., MM. Modul ke: 10Fakultas Ekonomi & Bisnis

BAB II KAJIAN LITERATUR. dengan tahun 2016 yang berkaitan tentang pengendalian bahan baku.

BAHAN AJAR : Manajemen Operasional Agribisnis

BAB 2 LANDASAN TEORI

MANAJEMEN PERSEDIAAN (INVENTORY)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB V MATERIAL REQUIREMENTS PLANNING

Perencanaan Kebutuhan Komponen Tutup Ruang Transmisi Panser Anoa 6x6 PT PINDAD Persero

MATERIAL REQUIREMENT PLANNING (MRP)

TUGAS AKHIR ANALISA PERSEDIAAN MATERIAL PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEKS PASAR TRADISIONAL DAN PLASA LAMONGAN. Oleh : Arinda Yudhit Bandripta

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN. penggerakan, dan pengendalian aktivitas organisasi atau perusahaan bisnis atau jasa

Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.6, Mei 2013 ( ) ISSN:

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 5 ANALISIS 5.1. Analisis Forecasting (Peramalan)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MANAJEMEN PERSEDIAAN (INVENTORY)

BAB 1 PENDAHULUAN. ditandai dengan banyaknya perusahaan yang berdiri. Kelangsungan proses bisnis

BAB 3 METODOLOGI. Kerangka kerja yang digunakan oleh tim penulis adalah dengan mengkombinasikan

PERENCANAAN KEBUTUHAN MATERIAL (MATERIAL REQUIREMENTS PLANNING) (MRP) BAB - 8

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam jadwal produksi induk. Contoh dari depended inventory adalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dan menurut Rangkuti (2007) Persediaan bahan baku adalah:

BAB V ANALISIS PEMECAHAN MASALAH

Berupa persediaan barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi. Diperoleh dari sumber alam atau dibeli dari supplier

Jurnal String Vol.1 No.2 Tahun 2016 ISSN : PENENTUAN TEKNIK PEMESANAN MATERIAL PADA PROYEK STEEL STRUCTURE MENGGUNAKAN WINQSB

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan suatu sistem. Menurut Jogiyanto (1991:1), Sistem adalah

BAB II LANDASAN TEORI

Manajemen Persediaan. Perencanaan Kebutuhan Barang (MRP) Lot for Lot. Christian Kuswibowo, M.Sc. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Manajemen

BAB II KONSEP PERSEDIAAN DAN EOQ. menghasilkan barang akhir, termasuk barang akhirnya sendiri yang akan di jual

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III METODE ECONOMIC ORDER QUANTITY DAN PERIOD ORDER QUANTITY

SISTEM PRODUKSI MODUL PERENCANAAN KEBUTUHAN MATERIAL OLEH WAHYU PURWANTO

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

Jurnal Distribution Requirement Planning (DRP)

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara

MANAJEMEN PERSEDIAAN Modul ini akan membahas tentang gambaran umum manajemen persediaan dan strategi persdiaan barang dalam manajemen persediaan

BAB II LANDASAN TEORI. yang ada pada perusahaan ini. Pembahasan pada bagian ini dimulai dari landasan

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 6 MANAJEMEN PERSEDIAAN

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS PERENCANAAN PENGENDALIAN BAHAN BAKU MENGGUNAKAN TEKNIK LOTTING DI PT AGRONESIA INKABA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan pengendalian persediaan. Render dan Heizer (2001:314) merencanakan untuk persediaan bahan baku pada perusa haan.

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus mencari usaha dan cara untuk mampu bersaing dan memiliki. persaingan, yaitu harga, mutu, dan layanan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Having inventory is cost company money and not having inventory is cost company money (

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

MRP(MATERIAL REQUIREMENT PLANNING ) OLEH YULIATI, SE, MM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mencapai tujuan usahanya, perusahaan sebagai suatu organisasi

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak luput

Metode Pengendalian Persediaan Tradisional L/O/G/O

LOGO. Anggaran Produksi.

BAB II LANDASAN TEORI

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. optimal sesuai dengan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. secara lebih baik, karena dalam era perdagangan tanpa batas tersebut mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat ini ditandai dengan menjamurnya

BAB III METODE PENELITIAN. Indonesia yaitu PT. Indosat, Tbk yang beralamat di jalan Daan Mogot KM 11

UAS Manajemen Operasi - 12 Juni ,5 jam Closed book, boleh menggunakan kalkulator

MANAJEMEN PERSEDIAAN

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan antar perusahaan akhir-akhir ini tidak lagi terbatas secara lokal,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Sistem Produksi Organisasi industri merupakan salah satu mata rantai dari sistem perekonomian, karena ia memproduksi dan mendistribusikan produk (barang dan/atau jasa). Produksi merupakan fungsi pokok dalam setiap organisasi, mencakup aktivitas yang bertanggung jawab untuk menciptakan nilai tambah produk yang merupakan output dari setiap organisasi industri itu. Produksi adalah bidang yang terus berkembang selaras dengan perkembangan teknologi, dimana produksi memiliki suatu jalinan hubungan timbal-balik (dua arah) yang sangat erat dengan teknologi. Produksi dan teknologi saling membutuhkan. Kebutuhan produksi untuk beroperasi dengan biaya yang lebih rendah, meningkatkan kualitas dan produktivitas, dan menciptakan produk baru telah menjadi kekuatan yang mendorong teknologi untuk melakukan berbagai terobosan dan penemuan baru. Produksi dalam sebuah organisasi pabrik merupakan inti yang paling dalam, spesifik serta berbeda dengan bidang fungsional lain seperti: keuangan, personalia, dll. Sistem produksi merupakan sistem integral yang mempunyai komponen struktural dan fungsional. Dalam sistem produksi modern terjadi suatu proses transformasi nilai tambah yang mengubah input menjadi output yang dapat dijual dengan harga kompetitif di pasar.

Proses transformasi nilai tambah dari input menjadi output dalam system produksi modern selalu melibatkan komponen structural dan fungsional. Sistem produksi memiliki beberapa karakteristik berikut : 1. Mempunyai komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini berkaitan dengan komponen struktural yang membangun sistem produksi itu. 2. Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya, yaitu menghasilkan produk (barang dan/atau jasa) berkualitas yang dapat dijual dengan harga kompetitif di pasar. 3. Mempunyai aktivitas berupa proses transformasi nilai tambah input menjadi output secara efektif dan efisien. 4. Mempunyai mekanisme yang mengendalikan pengoperasiannya, berupa optimalisasi pengalokasian sumber-sumber daya. Sistem produksi memiliki komponen atau elemen structural dan fungsional yang berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional system produksi itu. Komponen atau elemen structural yang membentuk sistem produksi terdiri dari: bahan (material), mesin dan peralatan, tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah dan lain-lain. Sedangkan komponen atau elemen fungsional terdiri dari: supervise, perencanaan, pengendalian, koordinasi, dan kepemimpinan, yang kesemuanya berkaitan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem produksi selalu berada dalam lingkungan, sehingga aspek-aspek lingkungan seperti perkembangan teknologi, sosial dan ekonomi, serta kebijakan pemerintah akan sangat mempengaruhi keberadaan sistem produksi itu.

Secara skematis sederhana, sistem produksi dapat digambarkan seperti dalam contoh gambar 2.1 INPUT PROSES OUTPUT - Tenaga Kerja - Modal - Material - Energi - Tanah - Informasi - Manajerial PROSES TRANSFORMASI PRODUK (Barang dan/atau Jasa) Umpan Balik unt uk Pengendalian Input,Proses, Gambar 2.1 Contoh Alur Proses Sistem Produksi Dari gambar 2.1 tampak bahwa elemen-elemen utama dalam sistem produksi adalah : input, proses, dan output, serta adanya suatu mekanisme umpan balik untuk pengendalian sistem produksi itu agar mampu meningkatkan perbaikan terus-menerus (continuous improvement). Beberapa contoh sistem produksi dapat dilihat dalam tabel 2.1 Tabel 2.1 Contoh-contoh Sistem Produksi No Sistem Input Output

1 Bank Karyawan, fasilitas gedung dan peralatan kantor, modal, energi, informasi, manajerial, Pelayanan financial bagi nasabah deposito, pinjaman, dll) dll 2 Rumah Sakit Dokter, perawat, karyawan, Pelayanan medik bagi pasien fasilitas gedung dan peralatan medik, laboratorium, modal, energi, informasi, manajerial, dll 3 Universitas Dosen, asisten, mahasiswa, Pelayanan akademik bagi karyawan, fasilitas gedung dan mahasiswa untuk 4 Transportasi Udara peralatan kuliah, perpustakaan, laboratorium, modal, energi, informasi, manajerial, dll Pilot, Pramugari, tenaga mekanik, karyawan, pesawat terbang, fasilitas gedung dan peralatan kantor, energi, informasi, manajerial, dll menghasilkan Sarjana (S1), Magister (S2), Doktor (S3), dll Transportasi udara bagi orang dan barang dari satu lokasi ke lokasi lain 5 Manufaktur Karyawan, fasilitas gedung Barang jadi, dl dan peralatan pabrik, material, modal, energi, informasi, manajerial, dll

Suatu proses dalam sistem produksi dapat didefinisikan sebagai integrasi sekuensial dari tenaga kerja, material, informasi, metode kerja, dan mesin atau peralatan, dalam suatu lingkungan, guna menghasilk an nilai tambah bagi produk, agar dapat dijual dengan harga kompetitif di pasar. Proses itu mengkonversi input terukur kedalam output terukur melalui sejumlah langkah sekuensial yang terorganisasi. Definisi lain dari proses adalah suatu kumpulan tugas yang dikaitkan melalui suatu aliran material dan informasi yang mentransformasikan berbagai input ke dalam output yang bermanfaat atau bernilai tambah tinggi. Suatu proses memiliki kapabilitas atau kemampuan untuk menyimpan material (yang diubah menjadi barang setengah jadi) dan informasi selama transformasi berlangsung. Sebagai contoh tentang proses, bayangkan sebuah pabrik perakitan mobil yang menggunakan bahan baku dalam bentuk parts dan komponen. Material ini secara bersama-sama dengan peralatan, modal, tenaga kerja, energi, informasi, manajerial, dan lain-lain, ditransformasikan menjadi mobil. Transformasi ini disebut sebagai perakitan akhir (final assembly) dan outputnya berupa sebuah mobil. Sebuah restoran menggunakan input dalam bentuk produk-produk pertanian yang belum diproses atau semi proses, energi, informasi, tenaga kerja, peralatan masak, manajerial, dan lain-lain, untuk selanjutnya ditransformasikan menjadi makanan yang siap dihidangkan. Salah satu cara yang umum dipergunakan untuk menggambarkan proses dari sistem produksi adalah diagram alir proses ( process flow diagram). Diagram alir dari suatu proses hipotesis ditunjukkan dalam gambar 2.2.

Perlu diperhatikan bahwa proses dari setiap sistem produksi memiliki spesifikasi yang berbeda. Misalnya, proses produksi semen berbeda dengan proses produksi ban. Kendati demikian, secara umum terdapat tiga kategori untuk semua aktivitas dalam proses. Ketiga kategori itu adalah : tugas-tugas (tasks), aliran-aliran (flows), dan penyimpanan (storage). Suatu tugas atau aktivitas dikatakan memiliki nilai tambah apabila penambahan beberapa input pada tugas itu akan memberikan nilai tambah produk (barang dan/atau jasa) sesuai yang diinginkan konsumen. Beberapa contoh dari tugas yang memiliki nilai tambah : (1) pengoperasian peralatan bor untuk mengubah sepotong logam tanpa cacat, (2) pengujian material untuk meyakinkan bahwa material itu sesuai dengan standar yang ditetapkan, (3) menerbangkan sebuah pesawat terbang dengan baik, (4) pembiusan dengan tepat terhadap pasien sebelum operasi, (5) pendaftaran kembali mahasiswa secara tepat pada awal masa perkuliahan, dan lain-lain. Untuk menjalankan suatu tugas sering dibutuhkan penambahan tenaga kerja pada produk dengan atau tanpa penggunaan modal. Dalam beberapa kasus, apabila bentuk otomatisasi dari proses telah terjadi, modal dan/atau material sering mensubtitusi tenaga kerja dalam tugas tertentu. Terdapat dua jenis aliran yang perlu dipertimbangkan dari setiap proses dalam sistem produksi, yaitu : aliran material atau barang setengah jadi dan aliran informasi. Aliran material terjadi apabila material dipindahkan dari satu tugas ke tugas berikutnya, atau dari beberapa tugas ke tempat penyimpanan, atau sebaliknya. Selama aliran material berlangsung, terjadi penambahan tenaga kerja

dan/atau modal, karena dibutuhkan tenaga kerja dan/atau peralatan untuk memindahkan material atau barang setengah jadi itu. Perbedaan antara aliran (flows) dan tugas (tasks) adalah bahwa aliran mengubah posisi dari barang dan/atau jasa (tidak memberikan nilai tambah), sedangkan tugas megubah karakteristik (memberikan nilai tambah) pada barang dan/atau jasa. Aliran informasi mengawali dan membantu dalam proses produksi suatu barang dan/atau LINGKUNGAN

Tugas A Tugas B INPUT Inventori Bahan Inventori Work -in Tugas Inventori Barang OUTPUT Tugas Tugas D Catatan Dan Keterangan : Pesanan Konsumen Atau = Aliran Material = Aliran Informasi Gambar 2.2 Contoh Proses Sistem Produksi jasa. Instruksi-instruksi yang diberikan dalam proses produksi merupakan contoh dari aliran informasi. Kategori ketiga dari aktivitas dalam proses produksi adalah penyimpanan (storage). Suatu penyimpanan terjadi apabila tidak ada tugas yang dilakukan serta barang dan/atau jasa itu sedang tidak dipindahkan. Dengan kata lain, penyimpanan adalah segala sesuatu yang bukan tugas atau aliran, penyimpanan juga dianggap sebagai pemborosan (waste) karena tidak memberikan nilai tambah pada produk. Karena itu, penyimpanan perlu dihilangkan atau diminimumkan. Dari ketiga kategori aktivitas dalam proses dari sistem produksi, yaitu: tugas, aliran, dan penyimpanan, tampak bahwa hanya tugas yang memberikan

nilai tambah pada produk, sedangkan aliran dan penyimpanan tidak memberikan nilai tambah pada produk. Aktivitas aliran dan penyimpanan dalam proses diusahakan untuk dihilangkan atau diminimumkan melalui perbaikan terus menerus (continuous improvement) pada proses produksi itu. 2.2 Persediaan Pada dasarnya persediaan mempermudah atau memperlancar jalannya operasi perusahaan pabrik yang harus dilakukan secara berturut-turut untuk memproduksi barang-barang serta selanjutnya menyampaikannya pada langganan atau konsumen. Persediaan memungkinkan produk-produk dihasilkan pada tempat yang jauh dari langganan dan/atau sumber bahan mentah. Dengan adanya persediaan, produksi tidak perlu dilakukan khusus buat konsumsi, atau sebaliknya tidak perlu konsumsi didesak supaya sesuai dengan kepentin gan produksi. Adapun alasan diperlakukannya persediaan oleh suatu perusahaan pabrik adalah karena : 1. Dibutuhkannya waktu untuk menyelesaikan operasi produksi untuk memindahkan produk dari suatu tingkat ke tingkat proses yang lain, yang disebut persediaan dalam proses dan pemindahan. 2. adanya unsur ketidakpastian permintaan (permintaan yang mendadak) 3. adanya unsur ketidakpastian dari pasokan supplier 4. adanya unsur ketidakpastian tenggang waktu pemesanan Sedangkan persediaan yang diadakan mulai dari yang bentuk bahan mentah sampai dengan barang jadi, antara lain berguna untuk dapat :

1) menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan. 2) menghilangkan resiko dari material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan. 3) untuk menumpuk bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat digunakan bila bahan itu tidak ada dalam pasaran. 4) mempertahankan stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi 5) mencapai penggunaan mesin yang optimal 6) memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan sebaik -baiknya dimana keinginan pelanggan pada suatu waktu dapat dipenuhi atau memberikan jaminan tetap tersedianya barang jadi tersebut. 7) membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penggunaan atau penjualannya Persediaan adalah merupakan salah satu unsur yang paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara continue diperoleh, diubah, yang kemudian dijual kembali. Sebagian besar dari sumber-sumber perusahaan juga sering dikaitkan didalam persediaan yang akan digunakan dalam perusahaan pabrik. Nilai dari persediaan harus dicatat, digolongkan menurut sejenisnya yang kemudian dibuatkan perincian dari masing-masing barangnya dalam suatu periode yang bersangkutan. Pada akhir suatu periode, pengalokasian biaya-biaya dapat dibebankan pada aktivitas yang terjadi dalam periode tersebut dan untuk aktivitas

mendatang juga harus ditentukan atau dibuat. Dalam mengalokasikan biaya -biaya, biasanya setiap perusahaan mengenal pusat-pusat biaya untuk mengukur hasil yang telah dicapai dalam suatu periode tertentu sehubungan dengan penentuan dari posisi keuangan perusahaan sebagai suatu unit usaha. Kegagalan dalam mengalokasikan biaya akan dapat menimbulkan kegagalan dalam mengetahui posisi keuangan dan kemajuan yang telah dicapai oleh suatu perusahaan secara layak. Dari keterangan diatas dapatlah diketahui bahwa persediaan adalah sangat penting artinya bagi suatu perusahaan pabrik karena berfungsi menghubungkan antara operasi yang berurutan dalam pembuatan suatu barang dan menyampaikannya kepada konsumen. Hal ini berarti dengan adanya persediaan memungkinkan terlaksananya operasi produksi, karena faktor waktu antara operasi itu dapat dihilangkan sama sekali, walaupun sebenarnya dapat diminimumkan. Persediaan dapat diminimumkan dengan mengadakan perencanaan produksi yang lebih baik, serta organisasi bagian produksi yang lebih efisien. Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum, diperlukan jawaban atas dua pertanyaan yang mendasar sebagai berikut: (1) kapan melakukan pemesanan dan (2) berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus melakukan pemesanan kembali. Kedua pertanyaan tersebut sangat bermanfaat bagi manajer persediaan dalam mengevaluasi keadaan persediaan sekarang dan memutuskan apakah penambahan persediaan diperlukan. Keputusan mengenai kapan dan berapa jumlah yang harus dipesan, sangat tergantung kepada waktu dan tingkat persediaan. Jika unsur ketidakpastian permintaan dan waktu tunggu pemesanan

diperkenalkan dalam manajemen persediaan, keputusan kapan melakukan pemesanan dan berapa banyak masih merupakan dasar manajemen persediaan yang baik. Untuk menjawab pertanyaan kapan melakukan pemesanan, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu: 1. Pendekatan titik pemesanan kembali (reorder point approach) 2. Pendekatan tinjauan periodic (periodic review approach) 3. Material requirement planning approach (MRP) 2.2.1 Reorder Point (ROP) Dalam pendekatan ROP menghendaki jumlah persediaan yang tetap setiap kali melakukan pemesanan. Apabila persediaan mencapai jumlah tertentu, maka pemesanan kembali harus dilakukan. ROP dilakukan apabila persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan selama tenggang waktu (lead time). Jumlah yang harus dipesan berdasarkan pada economic order quantity (EOQ) yang mempunyai konsep tersendiri. Pendekatan ROP juga menghendaki pengecekan secara fisik ataupun penggunaan kartu catatan secara teratur untuk menentukan apakah pemesanan kembali harus dilakukan. 2.2.2 Periodic Review Dalam pendekatan tujuan periodic, tingkat persediaan ditinjau pa da interval waktu yang sama. Pada setiap tinjauan dilakukan pemesanan kembali agar tingkat persediaan mencapai jumlah yang diinginkan. Pendekatan semacam ini sangat cocok untuk para pedagang pengecer seperti pasar swalayan. Jumlah

pemesanan kembali didasar kan tingkat maksimum yang ditetapkan untuk setiap item persediaan. Kedua pendekatan, ROP maupun tinjauan periodic, mengandung resiko berupa: (1) stockout terjadi apabila permintaan selama lead time melebihi jumlah persediaan, (2) stockout terjadi apabila pemesanan diterima melebihi jangka waktu lead time. 2.2.3 Material Requirement Planning Dalam sebuah pabrik selalu terjadi proses transformasi. Dimulai dari bahan baku sebagai input diproses menjadi produk sebagai outputnya. Proses transformasi tersebut, membentuk sebuah system produksi yang mencakup empat unsur pengaturan, yaitu: 1. pengaturan material 2. pengaturan sumber daya material 3. pengaturan modal dan 4. pengaturan mesin Pengaturan material mencakup hal-hal yang berhubungan dengan sistem persediaan seka ligus sistem informasinya, agar dicapai sistem pengadaan material tepat waktu, tetap jumlah, tepat bahan, dan tepat harga. Ide dasar dari konsep Material Requirement Planning (MRP) sudah berkembang lama dan telah banyak digunakan dalam penyelesaian proyek industri, mulai dari pembangunan rumah

sederhana hingga gedung pencakar langit. Bahan yang tepat, pada saat yang tepat adalah filosofi yang digunakan dalam berbagai macam proyek tersebut. Telah diketahui bersama bahwa sistem manajemen persediaan statistic dan tradisional sangat cocok bagi persediaan barang jadi dan beberapa persediaan bahan baku. Sebagai contoh, persediaan kemeja ditoko eceran, persediaan besi paku di industri mebel yang dianggap independent terhadap permintaan item yang lain. Namun demikian sistem ini secara tipikal terbukti tidak memadai untuk berbagai tipe bahan baku maupun komponen atau subkomponen yang digunakan dalam memproduksi suatu produk. Metode statistic berprestasi baik untuk permintaan konstan, tetapi prestasinya sangat jelek apabila permintaan yang dihadapi bergelombang. MRP merupakan sistem yang dirancang secara khusus untuk situasi permintaan bergelombang, yang secara tipikal karena permintaan tersebut dependen. Sebelum digunakannya konsep MRP, metoda yang sering dipakai adala h konsep pengendalian persediaan tradisional, yang mempunyai ciri-ciri : 1. Reorder Point dan Periodic Order Cycle Policy, dimana pemesanan dilakukan setiap periode tertentu bila persediaan sudah sampai pada tingkat yang telah ditentukan. 2. Sifat dan jumlah pesanan independent atau tidak tergantung pada pemesanan material lainnya 2.3 Pengertian MRP

MRP adalah suatu konsep dalam manajemen produksi untuk perencanaan kebutuhan material yang berisikan prosedur dan aturan yang logis serta teknik pencatatan yang akurat, sehingga material yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan yang direncanakan. MRP juga sangat berperan sebagai pengendali dan penjadwalan persediaan. Komputer dan perkembangannya memungkinkan semua perhitungan itu menjadi lebih cepat dan tepat. Konsekuensi dari metoda tradisional adalah seringkali barang yang dipesan belum merupakan kebutuhan, sehingga penyimpanannya memerlukan waktu cukup lama dan ongkos simpan yang cukup besar. Sementara itu MRP mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Perha tian terhadap kapan dibutuhkan Integrasi pemikiran antara fungsi pengawasan produksi dan manajemen persediaan mengakibatkan pergeseran perhatian terhadap kapan dibutuhkan ketimbang perhatian langsung terhadap kapan melakukan pemesanan. Jika manajer operasi memiliki informasi tanggal permintaan, maka pemesanan dan penjadwalan komponen untuk merakit produk merupakan masalah kapan dibutuhkan. 2. Perhatian terhadap prioritas pemesanan Adanya kesadaran bahwa semua pesanan konsumen tidak memiliki prioritas yang sama. Produk yang satu lebih penting jika dibandingkan dengan produk yang lain. Hal ini memungkinkan dilakukannya penjadwalan untuk memenuhi prioritas pesanan.

3. Penundaan pengiriman permintaan Konsekuensi dari prioritas pesanan menghasilkan konsep penundaan pengiriman yaitu menunda produksi atau pesanan terhadap item yang telah dijadwalkan, untuk memaksimumkan keseluruhan operasi. 4. Fungsi integrasi Pengawasan produksi dan manajemen persediaan dipandang sebagai fungsi yang terintegrasi 2.4 Tujuan MRP Secara umum tujuan MRP adalah : 1. Meminimalkan persediaan Dengan telah ditentukannya jumlah dan waktu suatu komponen yang diperlukan, maka pembelian hanya dilakukan sebatas yang diperlukan saja sehingga dapat meminimalkan biaya persediaan. 2. Mengurangi resiko keterlambatan pengiriman dan produksi Dengan diperhatikannya lead time untuk setiap komponen akan memperkecil resiko tidak tersedianya komponen yang akan diproses serta dapat mengganggu proses produksi.

3. Komitmen yang realistis Dengan dapat dipenuhinya ja dwal produksi sesuai waktunya, komitmen terhadap pengiriman barang akan lebih realistis sehingga akan meningkatkan kepuasan dan kepercayaan konsumen. 4. Meningkatkan efisiensi Dengan lebih baiknya perencanaan dalam hal jumlah persediaan, waktu produksi dan waktu pengiriman barang, maka akan meningkatkan efisiensi dalam perusahaan. 2.5 Masukan Utama Sistem MRP Masukan utama dalam system MRP adalah sebagai berikut : 1. Tersedianya Jadwal Induk Produksi (JIP), yaitu suatu rencana yang rinci yang menetapkan jumlah serta waktu suatu produk akhir harus tersedia. 2. Tersedianya struktur produk (Bill of Material) yang harus mampu menggambarkan secara jelas tingkatan-tingkatan suatu produk dibuat mulai dari bahan baku sampai dengan produk jadi. 3. Tersedianya catatan tentang status persediaan (inventory status records) Catatan semua item yang menyatakan keadaan persediaan sekarang dan yang akan datang/direncanakan.

2.6 Masukan dan Keluaran Proses MRP Untuk melakukan proses MRP, diperlukan tiga masukan utama yaitu : 1. Jadwal Induk Produksi (JIP) 2. Struktur Produk 3. Catatan Status Persediaan Gambar 2.3 Skema masukan proses MRP Selain itu masukan lain yang harus diperhatikan adalah pesanan komponen dari perusahaan lain yang membutuhkan dan peramalan atas item yang tidak bergantungan. Sementara itu keluaran dari MRP secara garis besar terdiri dari :

\ Catatan tentang pesanan yang harus dikerjakan atau direncanakan baik dari pabrik sendiri maupun dari suplier Indikasi untuk penjadwalan ulang atau pembatalan produksi Indikasi pembatalan pesanan Informasi keadaan persediaan Gambar 2.4 Skema Keluaran MRP 2.6.1 Jadwal Induk Produksi (JIP) Jadwal induk produksi merupakan rencana rinci tentang jumlah barang yang akan diproduksi pada beberapa satuan waktu dalam horizon perencanaan. Jadwal induk produksi merupakan optimasi ongkos dengan memperhatikan

kapasitas yang tersedia dan ramalan permintaan untuk mencapai rencana produksi yang akan meminimasi total ongkos produksi dan persediaan. JIP merupakan proses alokasi untuk membuat sejumlah produk akhir (item) dan waktu pembuatan yang diinginkan dengan memperhatikan kapasitas yang dimiliki. JIP dibuat atas dasar hasil peramalan dari produk akhir dan telah diseimbangkan di proses perencanaan produksi agregat. Hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun JIP adalah menentukan panjang horison perencanaan (Planning Horizon), banyaknya perioda waktu yang ingin diliput dalam penjadwalan. Secara umum ada tiga tingkatan produk yang kita kenal, yaitu : Item : Merupakan produk akhir yang dikirim ke dan digunakan langsung oleh konsumen. Famili : Merupakan beberapa item yang menanggung biaya setup yang sama atau secara bersama-sama menanggung biaya setup. Tipe : Sekumpulan famili atau famili dan item yang memiliki ongkos produksi per satuan relatif sama dan pola permintaannya juga relatif sama. 2.6.2 Catatan Status Persediaan Sistem MRP didasarkan atas keakuratan data status persediaan yang dimiliki sehingga keputusan untuk membuat atau memesan barang pada suatu saat dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu tingkat persediaan komponen dan material harus selalu diamati. Jika terjadi perbedaan antara tingkat persediaan

aktual dengan data persediaan dalam sistem komputer maka data per sediaan dalam sistem komputer tersebut harus segera dimutahirkan. MRP tidak mungkin dijalankan tanpa adanya catatan persediaan yang akurat. Catatan Status Persediaan menggambarkan keadaan dari setiap komponen atau material yang ada dalam persediaan, yang berkaitan dengan : Jumlah persediaan yang dimiliki pada setiap perioda (On Hand Inventory) Jumlah barang yang sedang dipesan dan kapan pesanan tersebut akan datang (On Order Inventory) Waktu ancang-ancang (lead time) dari setiap komponen/item. Status persediaan ini harus diketahui untuk setiap beban dan diperbaharui setiap terjadi perubahan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam perencanaan. 2.6.3 Struktur Produk Setiap item dan komponen produk harus memiliki identifikasi yang jelas dan unik sehingga berguna pada saat komputerisasi. Hal ini dilakukan dengan membuat struktur produk dan bill of material setiap produk. Struktur produk berisi tentang informasi mengenai hubungan antar komponen dalam perakitan. Informasi ini penting dalam penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu komponen untuk kebutuhan lebih selanjutnya. Struktur produk atau Bill Of Material merupakan tabel yang menunjukkan hubungan antar komponen dalam suatu perakitan. Informasi yang diberikan oleh BOM berupa :

Jenis komponen Jumlah yang dibutuhkan Level penyusunannya 2.7 Perhitungan Dasar Proses MRP adalah : Beberapa terminology yang harus disepakati dalam pembuatan MRP ini 1. Kebutuhan Kotor (KK) / Gross Requirement : keseluruhan jumlah suatu komponen yang diperlukan pada suatu periode. 2. Pesanan Tetap (PT) / Scheduled Receipts : Jumlah komponen yang akan diterima pada suatu periode tertentu berdasarkan pesanan yang dibuat. 3. Kebutuhan Bersih (KB) / Net Requirement : Jumlah kebutuhan bersih dari komponen yang diperlukan pada periode tersebut. 4. Persediaan di tangan (PD) / On Hand Inventory : Jumlah persediaan suatu komponen pada akhir suatu periode. 5. Rencana Pemesanan (RP) / Planned Orders : Jumlah komponen yang direncanakan untuk dipesan agar memenuhi perencanaan pada masa datang. 6. Ukuran Lot (UL) / Lot Size : Jumlah komponen yang direncanakan untuk dipesan berdasarkan metoda lotting terpilih. Perencanaan kebutuhan material merupakan suatu proses yang dinamik, artinya bahwa rencana yang telah dibuat perlu disesuaikan terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi. Kemampuan untuk melakukan penyesuaian ini tergantung pada kemampuan manajemen dan sistem informasi yang ada. Dari data yang ada nampak bahwa terdapat 4 langkah dasar perhitungan perencanaan kebutuhan material (MRP), yaitu : Gambar 2.5 Langkah Dasar Proses MRP 2.7.1 Netting Adalah proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan bersih, yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan (yang ada dalam perse diaan dan yang sedang dipesan). Data yang diperlukan dalam proses perhitungan kebutuhan bersih ini adalah : 1. Kebutuhan kotor untuk setiap periode

2. Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan 3. Rencana penerimaan untuk setiap periode perencanaan Pengertian kebutuhan kotor adalah jumlah dari produk akhir yang akan dikonsumsi. Umumnya pengertian diatas dimaksudkan untuk permintaan yang independent atau sering dijumpai pada produk akhir. Sedangkan untuk permintaan dependent, kebutuhan kotor dihitung berdasarkan item induk yang berada pada tingkat diatasnya, biasanya juga dikalikan oleh kelipatan-kelipatan tertentu yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Jadi kebutuhan kotor untuk komponen merupakan gabungan dari rencana produksi item pada level diatasnya Tabel 2.2 Contoh Kebutuhan Kotor Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90 Setelah kebutuhan kotor ditentukan, berikutnya adalah perhitungan kebutuhan bersih (netting). Perhitungan kebutuhan bersih (netting) mempunyai logika sebagai berikut : NRi = GRi Sri Ohi dengan NR=0 bila GR SR OH < 0 Dimana : NRi = Kebutuhan bersih ( nett requirement / NR ) pada periode ke-i GRi = Kebutuhan kotor (gross requirement / GR ) pada periode ke-i SR i = Jadwal penerimaan ( schedule receipt / SR ) pada periode ke-i

OHi = Persediaan di tangan ( on hand inventory / OH ) pada periode ke-i Tabel 2.3 menunjukkan kebutuhan kotor per periode yang telah dilengkapi jadwal penerimaan dan persediaan di tangan. Tabel 2.3 Contoh Status Data Kebutuhan Sebelum Perhitungan Kebutuhan Bersih Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90 Jadwal Penerimaan 40 Persediaan ditangan = 25 Perhitungan akan kebutuhan bersih untuk contoh di table 2.3 adalah seperti pada table 2.4 berikut ini. Tabel 2.4 Contoh Perhitungan Kebutuhan Kotor Periode GR i SR i OH i GR i - SR i - OH i NR i 1 0 0 25-25 0 2 25 0 25 0 0 3 0 0 0 0 0 4 30 40 0-10 0 5 0 0 10-10 0 6 20 0 10 10 10 7 15 0 0 15 15 8 0 0 0 0 0 Jumlah 90 40 25 25

Hasil akhir keseluruhan dari perhitungan kebutuhan bersih yang telah dilakukan dalam contoh diatas dapat dilihat pada table 2.5. Tabel ini merupakan ringkasan dari tabel 2.4 Tabel 2.5 Contoh Hasil Keseluruhan Perhitungan Kebutuhan Bersih Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90 Jadwal Penerimaan 40 Persediaan di tangan=25 25 0 40 10 10 0 0 0 Kebutuhan Bersih 10 15 0 25 Hasil dari perhitungan kebutuhan bersih dapat diperbaiki dengan menambahkan faktor-faktor lain, misalnya dengan faktor persediaan pengaman. Persediaan pengaman ini diperlukan apabila permintaan selalu berubah-ubah sehingga mungkin terjadi kesalahan peramalan. Persediaan pengaman juga diperlukan untuk mengantisipasi factor-faktor lain yang tak dapat diperkirakan. Pengadaan untuk persediaan pengaman hanya ditujukan untuk permintaan independent. Karena dalam system MRP hanya permintaan yang bersifat independent saja yang diramalkan sedangkan untuk permintaan dependent tidak perlu diramalkan. Selain itu persediaan pengaman juga diperlukan di suatu item apabila keandalan dari proses pembuatan item tersebut tidak menentu (misalnya proses sering rusak). Tabel 2.6 adalah perhitungan kebutuhan bersih dimana dimasukkan pengadaan persediaan pengaman. Misalkan persediaan pengaman = 5. Artinya pada setiap akhir periode, jumlah persediaan ditangan minimal = 5 atau lebih,

tidak boleh = 0. Pada periode 2 sebenarnya persediaan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kotor, tetapi karena nantinya diakhir periode 2 persediaan = 0, maka harus diproduksi minimal = 5 (untuk kebijakan persediaan pengaman minimal = 5). Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.6. Tabel 2.6 Contoh Perhitungan Kebutuhan Bersih dengan Kebijakan Persediaan Penga man Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Kebutuhan Kotor 25 30 20 15 90 Jadwal Penerimaan 40 Persediaan di tangan=25 25 5 45 15 15 5 5 5 Kebutuhan Bersih 5 10 20 5 40 2.7.2 Lotting Lotting adalah suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah pesanan optimal untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih yang telah dilakukan. Ada banyak alternative metode untuk menentukan ukuran lot. Beberapa teknik diarahkan untuk meminimalkan total ongkos set-up dan ongkos simpan. Empat teknik diantaranya adalah : 1. Fixed Order Quantity (FOQ) Dalam metode FOQ ukuran lot ditentukan secara subjektif. Berapa besarnya dapat ditentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada teknik yang dapat dikemukakan untuk menentukan barapa ukuran lot ini. Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam hal ini dapat digunakan

sebagai dasar untuk menentukan besarya lot. Sekali ukuran lot ditetapkan, maka lot ini akan digunakan untuk seluruh periode selanjutnya dalam perencanaan. Berapa pun kebutuhan bersihnya, rencana pesan akan tetap sebesar lot yang telah ditentukan tersebut. Metode ini dapat ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost) sangat mahal. Besarnya jumlah mencerminkan pertimbangan factor -faktor luar, seperti peristiwa atau kejadian yang tidak dapat dihitung dengan teknik-teknik penentuan ukuran lot. Beberapa keterbatasan kapasitas atau proses yang harus dipertimbangkan antara lain batas waktu rusak, pengepakan, penyimpanan, dan lain sebagainya. Apabila teknik ini akan diterapkan dalam system MRP, maka besarnya jumlah pesanan dapat menjadi sama atau lebih besar dari kebutuhan bersih, yang kadang-kadang diperlukan bila ada lonjakan permintaan. Sebagai contoh, ukuran lot produksi secara intuitif telah ditetapkan sebesar 100 unit, kemudian pemesanan dilakukan apabila jumlah kebutuhan bersih untuk beberapa periode yang akan datang mendekati 100. Salah satu ciri dari metode FOQ ini adalah ukuran lot-nya selalu tetap, teapi periode pemesanannya selalu berubah-ubah. Tabel 2.7 Contoh Penetapan Ukuran Lot dengan FOQ

Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60 Jumlah Pesan 100 100 100 100 Sediaan 80 30 70 90 50 10 70 10 2. Economic Order Quantity (EOQ) Penetapan ukuran lot dengan teknik ini sangat populer sekali dalam sistem persediaan tradisional. Dalam teknik ini besarnya ukuran lot adalah tetap. Penentuan lot berdasar biaya pesan dan biaya simpan, dengan formula sebagai berikut. EOQ = v2ad/h Dimana A = Order cost, misal Rp.21.500 D = Demand rata-rata per horison, misal 400 H = Holding cost, misal Rp 3.000/periode Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut. EOQ = v2x400x21.500/3000 = 75 unit Tabel 2.8 Contoh Penetapan Ukuran Lot dengan EOQ

Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60 Jumlah Pesan 75 75 75 75 75 75 Sediaan 55 5 20 15 50 10 45 60 Biaya simpan = (55+5+20+15+50+10+45+60) x Rp.3.000 = Rp. 780.000 Biaya pesan = 6 x Rp. 21.500 = Rp. 129.000 Biaya total = Rp. 909.000 Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun sebesar 12 bulan. Metode EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan dan simpan sangat besar. 3. Lot-For-Lot (L -4-L) Teknik penetapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit. Disamping itu, teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dgn teknik ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu, sering sekali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan per unit sangat mahal. Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat diskontinu atau tidak teratur, maka teknik L-4-L ini mempunyai kemampuan yang baik. Disamping itu, teknik ini sering digunakan pada sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanent pada proses produksinya.

Tabel 2.9 Contoh Penetapan ukuran Lot dengan L-4-L Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60 Jumlah Pesan 20 50 60 80 40 40 40 60 Sediaan 0 0 0 0 0 0 0 0 Bia ya simpan = 0 x Rp. 3.000 = Rp. 0 Biaya pesan = 8 x Rp.21.500 = Rp. 168.000 Biaya total = Rp. 168.000 4. Fixed Period Requirement (FPR) Dalam metode FPR penentuan ukuran lot didasarkan pada periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan kebutuhan bersih pada periode yang akan datang. Bila dalam metode FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap sementara selang waktu antar pemesanan tidak tetap. Dalam metode FPR ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih. Untuk contoh yang sama, misalnya ditentukan periode pemesanan adalah setiap dua periode (ditentukan secara intuitif). Hasil perhitungannya adalah sebagaimana terlihat pada table 2.10 Tabel 2.10

Contoh Penetapan Ukuran Lot dengan FPR Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Kebutuhan Bersih 20 50 60 80 40 40 40 60 Jumlah Pesan 70 140 80 100 Sediaan 50 0 80 0 40 0 60 0 Biaya pesan = 4 x Rp. 21.500 = Rp. 86.000 Biaya simpan = 230 x Rp. 3.000 = Rp. 690.000 Biaya total = Rp. 776.000 2.7.3 Offseting Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih. Rencana pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya ukuran lot yang diinginkan dengan besrnya lead time. Lead time adalah besarnya waktu saat barang mulai dipesan atau diproduksi sampai barang tersebut selesai dan diterima siap untuk dipakai. Tabel dibawah ini memberikan contoh proses offsetting dengan lead time sebesar dua periode. Tabel 2.11 Contoh Proses Offsetting Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Ukuran Lot 10 15 25 Rencana Pemesanan 10 15 25

Offsetting merupakan langkah terakhir penerapan sistem MRP pada suatu item. Perhitungan selanjutnya dilakukan pada item pada level di bawahnya. Proses awal dilakukan lagi pada item tersebut. 2.7.4 Eksploding Proses Eksploding adalah proses penghitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item/ komponen yang lebih bawah. Penghitungan kebutuhan kotor ini didasarkan pada rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Untuk penghitungan kebutuhan kotor ini, diperlukan struktur produk dan informasi mengenai berapa jumlah kebutuhan tiap item untuk item yang akan dihitung. Dalam proses eksploding ini data mengenai struktur produk harus tersedia secara akurat. Ketidakakuratan struktur produk akan mengakibatkan kesalahan pada perhitungan. Atas dasar struktur produk inilah proses eksploding dibuat. Dengan data struktur produk dapat ditentukan kearah komponen mana harus dilakukan eksploding. Struktur produk juga harus langsung dimodifikasi bila ada perubahan pada cara produksi atau perakitan. Tabel 2.12 Contoh Hubungan Antara Induk dan Komponen

Induk Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Rencana Pesan 40 55 Komponen Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 Kebutuhan Kotor 40 55 Misalkan struktur produknya sebagai berikut. A B 2 C Ukuran pemesanan A, B, dan C dihitung berdasar model EOQ adalah sama sebesar 50 unit dan persediaan pengaman atau safety stock A, B, dan C adalah 20 unit, maka proses eksplodingnya adalah seperti tabel 2.13 berikut. Tabel 2.13

Contoh proses eksploding Item A Level 0 Lot 50 SS 20 1 2 3 4 Kebut.Kotor 40 60 40 60 Sed.Awal 100 60 0 10 Sed. Akhir 100 60 0 10 0 Kebutuhan Bersih 0 0 40 50 Jumlah Pesan 0 0 50 50 Rencana Pesan 0 0 50 50 0 Item B Level 1 Lot 50 SS 20 1 2 3 4 Kebut.Kotor 0 50 50 0 Sed.Awal 70 70 20 20 Sed. Akhir 70 70 20 20 20 Kebutuhan Bersih 0 0 30 0 Jumlah Pesan 0 0 50 0 Rencana Pesan 0 0 50 0 0 Item C Level 2 Lot 50 SS 20 1 2 3 4 Kebut.Kotor 0 100 0 0 Sed.Awal 20 20 20 20 Sed. Akhir 20 20 20 20 20 Kebutuhan Bersih 0 80 0 0 Jumlah Pesan 0 100 0 0 Rencana Pesan 0 100 0 0 0 Kebutuhan kotor item C ditentukan oleh rencana pesan item B. Kebutuhan kotor item B ditentukan oleh rencana pesan item A. Setelah dilakukan proses netting, lotting, dan offsetting pada item A sesuai struktur produk maka proses eksploding dilakukan pada item B. Kebutuhan kotor item B adalah sama dengan rencana