BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

dokumen-dokumen yang mirip
REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tulisan tersebut awalnya oleh Bellah ditulis sebagai bahan untuk dipresentasikan pada

BAHAN TAYANG MODUL 11 SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH.

Kesimpulan. Bab Sembilan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

ISLAM INDONESIA-NUSANTARA Dialektika, Pluralitas Budaya dan Pergumulan Menemukan Jati Diri. Budhy Munawar-Rachman

Embrio Sosiologi Militer di Indonesia

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB V PENUTUP. merumuskannya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB I PENDAHULUAN. teknologi informasi mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDIDIKAN KEWARAGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

BAB 5 PENUTUP. mendeliberasikan ide-ide mengenai perlindungan terhadap hak publik adalah ruang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN. by. EVY SOPHIA

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010

PENDAHULUAN DAN GAMBARAN UMUM PANCASILA

PANCASILA Modul ke: Pancasila sebagai Ideologi Nasional Fakultas MKCU Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Program Studi Manajemen

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua

PLEASE BE PATIENT!!!

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

KEWARGANEGARAAN INTEGRASI NASIONAL : PLURALITAS MASYARAKAT. Modul ke: 14Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS

BAB I PENDAHULUAN. memiliki eksistensi yang lebih bermartabat. Pendidikan formal pada hakikatnya

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER

LOMBA MENULIS ESAI PSBDK XI 2013 Term of Reference Dayak dalam Perbincangan Masa Kini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

PANCASILA. Makna dan Aktualisasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kehidupan Bernegara. Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA.

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN PERDAMAIAN *) Oleh : Dr. Yosaphat Haris Nusarastriya, M.Si**)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. memberi dorongan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi.

ESENSI DAN URGENSI IDENTITAS NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU DETERMINAN PEMBANGUNAN BANGSA DAN KARAKTER

PANCASILA & KEBEBASAN BERAGAMA STMIK AMIKOM Yogyakarta

RUANG LINGKUP MATA KULIAH PANCASILA

A. PERMASALAHAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin. Topik Makalah/Tulisan RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi berbagai konflik sosial baik secara

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D)

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

PANCASILA SEBAGAI KESEPAKATAN BANGSA INDONESIA

BAB IV KESEPAKATAN ANTARA SUKU-SUKU DI ISRAEL DENGAN DAUD DALAM 2 SAMUEL 5:1-5 PERBANDINGANNYA DENGAN KONTRAK SOSIAL MENURUT JEAN JACQUES ROUSSEAU

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY

DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

2015 PENERAPAN METODE COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

Pancasila Idiologi dan Identitas Nasional. D.H.Syahrial/PPKn

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

[ Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi] 2012

AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Abstrak

2.4.1 Struktur dan Anatomi UUD NRI tahun 1945 Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D)

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

Transkripsi:

BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya memiliki simbol integrasi tersebut. Cita-cita itu sejatinya termaktub dalam konstitusi kita. Pertama, berbeda halnya dengan konsep agama sipil yang telah terformulasikan secara sistematis, gagasan tentang religiositas sipil masih merupakan bahasan baru yang belum pernah dikaji secara komprehensif. Kajian tentang religiositas sipil dalam karya ini diturunkan dari ide agama sipil. Bellah menuturkan bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan yang bersifat publik (public religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu dapat kita cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati apa yang oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka tuturan tentang ekspresi agama sipil tersebut sesungguhnya koheren dengan dimensi religiositas. Tentu, menggambarkan tentang apa yang disebut religiositas itu sendiri tidaklah mudah. Religiositas merupakan konsep yang kompleks. Religiositas sinonim dengan kata religiousness, orthodoxy, faith, belief, piousness, devotion, dan holiness. Religiositas dengan demikian bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami sebagai religious consciousness. Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan keseharian yang itu bisa dilihat dari pola, tindakan, tingkah laku yang sesuai dengan apa yang mereka yakini. Jadi, religiositas sipil hendak penulis maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran

mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian. Kedua, simbol-simbol kenegaraan dalam perspektif agama sipil biasanya dilakukan dengan menelaah terhadap formasi negara itu. Hal tersebut dimulai dengan menyisir dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan, hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi sumber integrasi bagi seluruh komponen warga negara. Perspektif religiositas sipil tidak hanya melihat dinamika simbolik dalam formasi negara. Religiositas sipil berusaha untuk memotret model keberagamaan seperti apa yang yang memungkinkan segala perbedaan di masyarakat bisa dirawat dan dihargai. Oleh karena itu, penulis menggunakan tiga perspektif dalam melihat religiositas sipil, yakni sekularisme, privatisasi dan model pasar. Dengan menggunakan tiga perspektif tersebut, sekularisme dalam pengertian pemisahan yang ketat antara agama dan negara di Indonesia ini tidak mendapatkan presedennya. Maklum, sejak awal Indonesia tidak mengenal pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Selalu ada warna agama dalam setiap kebijakan. Meski dasar negara Indonesia adalah Pancasila (bukan agama), tetapi sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan Pancasila ini tidak sepenuhnya sebagai simbol yang bersifat sekuler. Ini artinya, teori sekularisasi dalam pengertian seperti itu, tidak relevan. Sementara teori privatisasi, merupakan gambaran seperti yang oleh Bellah ditulis sebagai one man, one faith. Di Indonesia, watak komunalistik masih sangat terjaga. Institutionalized religión juga masih memainkan perannya dengan baik. Agama-agama yang terinstitusionalisasi ini cukup kuat, terutama dalam ranah sosial-politik.

Kendati demikian, yang paling mungkin bisa diterapkan adalah pendekatan market models of religión. Jika Indonesia ini diibaratkan supermarket, maka agama-agama di Indonesia bisa mempercantik dirinya agar memiliki daya tarik. Daya tahan agama pada akhirnya akan sangat tergantung dari cara agama mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan sosial. Kendala yang dihadapi melalui model ini adalah pragmatisme kelompok-kelompok agama. Orientasi mereka akhirnya haruslah menyesuaikan dengan selera pasar. Tapi justru disitulah memunculkan arena kontestasinya. Meski agak dekat dengan model ini, tetapi Indonesia tidak bisa disebut sepenuhnya bisa didekati dengan cara tersebut. Sebab, peran negara dalam mengatur kehidupan keberagamaan masih sangat kuat. Maka dari itu, yang harus dibincangkan adalah peran negara dalam kaitannya dengan pengaturan soal kehidupan agama. Asumsi utamanya adalah bahwa di Indonesia negara ada dan hadir dalam kehidupan keagamaan. Dalam konstitusi ia memiliki fungsi untuk menjamin kemerdekaan penduduk dalam meyakini dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Negara tidak bisa memberikan jawaban yang komprehensif seperti halnya agama. Kalaupun terlilbat dalam pengaturan kehidupan keagamaan, maka negara hanya mengatur lalu lintas hak warga negaranya saja. Negara harus dalam posisi netral dari klaim-klaim formal dari keyakinan keagamaan tertentu. Lalu, dengan model keberagamaan seperti apa yang bisa menjamin keberlangsungan kehidupan yang pluralistik tersebut? Penulis mengajukan teorema seperti yang disinggung Cobb, yakni transformasi, atau tepatnya transformasi religiositas sipil. Prinsip dasar dari transformasi adalah dalam komitmennya yang kuat terhadap keberimanannya, seseorang haruslah terbuka kepada yang lain. Orientasi keberagamaan tidak hanya sekadar beromantisme pada sejarah kejayaan sebuah agama di masa silam. Agama harus menjadi living values yang senantiasa berdialektika dengan

realitas, termasuk di dalamnya keyakinan-keyakinan yang berbeda. Keterbukaan terhadap tradisi lain bukan sekadar membuka diri tetapi mengakui bahwa ada praktek atau ajaran yang baik dan penting untuk diderivasi dari tradisi keagamaan yang lain. Religiositas sipil yang transformatif inilah yang harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai milestone. Prinsip dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan transformasi agama-agama dalam kontes keindonesiaan. Ketiga, untuk dapat menjamin keberlangsungan kehidupan yang plural, baik dari sisi agama maupun budaya, maka Pancasila harus dipahami dalam kerangka kesadaran bersama tentang keharusan menjaga pluralitas, kemajemukan. Dengan menawarkan Pancasila, Soekarno telah berikhtiar agar bangsa yang Bhineka ini bisa menjadi Eka, dan yang Eka ini tetap menghargai yang Bhineka. Menawarkan satu prinsip yang berdiri di atas kemajemukan, sudah pasti akan mengundang banyak spekulasi. Bisa jadi akan ada titik temu yang mendamaikan, tetapi bukan tak mungkin akan banyak titik tengkar yang akan memudarkan tali persatuan. Situasi itulah yang juga dihadapi Soekarno saat menyampaikan pidato tentang Pancasila. Maka, Pancasila haruslah dipahami dalam kerangka yang utuh. Sila yang satu harus dimbangi dengan sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus diimbangi dengan Persatuan Indonesia dan begitu seterusnya. Memutlakan satu sila di atas yang lain, akan berpotensi menghasilkan hegemoni dan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pancasila yang meniadakan egoisme agama itu harus dipahami secara utuh dari sila-sila yang menjadi fondasinya. Merawat kemajemukan hanya mungkin bisa dilakukan jika Pancasila ditafsirkan dalam kerangka demikian. Disinilah kita bisa memahami apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai esensi dari Pancasila yang akan terus dipertahankan. Sebagai negara dengan tingkat

kemajemukan yang tinggi, maka disintegrasi adalah masalah yang selalu akan timbul di Indonesia. Bahkan, sila-sila dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya bisa menjadi peta masalah di negara yang majemuk seperti Indonesia. Sila pertama menyiratkan bahwa persoalan hubungan agama dan negara akan selalu berkait dan berkelindan. Dasar negara Pancasila yang bukan teokrasi dan bukan sekuler menyisakan ruang perdebatan tentang identitas bangsa ini. Sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab), merupakan peringatan bahwa akan selalu ada masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Masalah disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang akan dihadapi seperti disiratkan dalam sila ketiga. Konsolidasi demokrasi yang masih terus berjalan selalu akan menyisakan residu. Residu demokrasi itu yang akan terus berjalan mengiringi proses demokratisasi yang sedang berjalan. Sila keempat mengindikasikan hadirnya masalah tersebut. Sementara sila terakhir, menyiratkan persoalan pokok dalam bidang ekonomi, yakni munculnya kecemburuan, terutama dalam relasi pusat dan daerah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pandang kita terhadap Pancasila agar ia tetap berfungsi untuk menjadi kekuatan integratif yang menjaga kemajemukan tersebut? Penulis menyebut bahwa Pancasila itu sebagai milestone bangsa Indonesia. Titik tonggak yang mengawali komitmen akan menjaga keutuhan bangsa dengan segala kekayaan perbedaan yang terkandung di dalamnya. Titik inilah yang merupakan kisah bersama saat mereka yang berbeda itu menyepakati satu janji untuk hidup dalam teritori yang disepakati. Kisah ini yang menjadi rujukan jika pada suatu waktu ada kelompok tertentu yang hendak keluar dari milestone atau kisah bersama tersebut. Pancasila menjadi semacam personal experience, pengalaman intim antar komponen bangsa untuk tetap menghargai kebhinekaan. Menjaga agar Pancasila tetap semua buat semua.

Rekomendasi Di Indonesia, harus diakui bahwa perkembangan disiplin ilmu sosiologi agama masih terus mencari bentuk. Tetapi setidaknya penulis melihat ada tiga isu dominan dalam kajian ini yakni relasi agama-negara, agama dan struktur dasar masyarakat serta agama dan konflik. Kajian ini merupakan penjabaran kombinasi dari isu pertama dan kedua. Dalam tradisi sosiologi agama itu, wacana agama sipil masuk dan berkembang sekitar tahun 1960-an yang diintrodusir oleh Robert Bellah yang melanjutkan ide Rousseau. Di Indonesia, ide ini dikenal pada sekitar tahun 2000. Sehingga boleh dikatakan bahwa ini ide masih sangat baru. Tak heran jika diskursus agama sipil masih terus diperdebatkan meski akhir-akhir ini gaungnya tidak terlalu besar. Berangkat dari wacana agama sipil ini, penulis mengembangkannya dengan membangun satu perspektif baru, religiositas sipil. Maksud religiositas sipil tidak sekadar memahami simbol-simbol, realitas transenden, identitas Yang Maha Kuasa dan lainnya seperti yang ada dalam kajian agama sipil. Wacana ini hendak mencari ide yang mendasar dari sebuah masyarakat yang plural agar tetap terjaga kemajemukannya itu. Dalam diskursus Pancasila, penulis hendak menunjukan cara menempatkan Pancasila dalam usahanya untuk menjaga pluralitas itu. Jika selama ini perspektif ideologi lebih dominan dalam memotret Pancasila, penulis memotretnya dengan optik yang berbeda. Penulis menempatkan Pancasila sebagai milestone, tonggak tentang komitmen bangsa ini dalam menjaga pluralisme agama. Tentu saja, diskusi ini akan membuka ruang perdebatan baru tentang tiga wacana; agama sipil, religiositas sipil dan perspektif tentang Pancasila. Namun

perdebatan itu, misalnya, akan muncul dalam pertanyaan apakah relevan mengkaji Pancasila dari perspektif religiositas sipil atau apakah ide religiositas sipil itu harus diawal dari gagasan agama sipil. Penutup Karya ini tentu saja hanya pemantik bagi diskusi lebih lanjut. Karena sifatnya sebagai pembuka ruang, maka kajian lain yang lebih kritis akan dimungkinkan hadir. Dengan menyampaikan rasa syukur ke hadlirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karya ini akhirnya bisa dihadirkan. Penulis sadari bahwa masih banyak hal yang belum tereksplorasi dengan baik.