BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Dalam kegiatan pemanenan kayu khususnya hutan hujan tropika, tahapan pemanenan terdiri dari tahapan perencanaan, pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan, penyaradan, pengangkutan, dan penimbunan akhir (Suparto 1979). Conway (1982) menyatakan pemanenan hutan adalah suatu rangkaian kegiatan mengeksploitasi hutan dan mengangkut kayu yang telah ditebang untuk dilakukan pengolahan kayu. Komponen dari sistem pemanenan kayu yaitu perencanaan, penebangan, pembagian batang, pembuatan jalan, pengangkutan, muat, bongkar, dan penimbunan. 2.2 Pembukaan Wilayah Hutan PWH merupakan kegiatan pemamfaatan hutan yang menyediakan (jaringan jalan, base camp induk dan base camp cabang, base camp pembinaan hutan, TPK (tempat penimbunan kayu), TPn (tempat pengumpulan kayu), dan lain-lain) dalam melancarkan kegiatan pengelolaan hutan. PWH merupakan persyaratan utama bagi kelancaran perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam pengelolaan hutan sehingga PWH merupakan bagian penting dalam pengelolaan hutan lestari (Elias 2008). Selanjutnya Elias (2008) menyatakan pembangunan prasarana PWH merupakan kegiatan investasi yang memerlukan biaya paling tinggi dan berpotensi paling merusak lingkungan, maka diperlukan perencanaan jaringan jalan, pembuatan jalan dan pemeliharaan jalan yang tepat agar dapat mengurangi biaya PWH dan biaya pengangkutan yang tinggi dan mencegah kerusakan lingkungan yang berat. Areal terbuka seperti jalan sarad, TPn, areal bekas tebangan, dan areal tambang batu umumnya dapat tertutup kembali vegetasinya dalam waktu tidak terlalu lama (<5 tahun). Keterbukaan sementara ini dapat mencapai 35% (Elias 2008).
4 Jaringan jalan hutan dibedakan berdasarkan daya dukungnya terhadap lalu lintas kayu terdiri dari jalan koridor, jalan utama, jalan cabang, jalan ranting, dan jalan sarad (Elias 2008). Jalan sarad digunakan untuk melayani pengangkutan kayu dari tunggak menuju TPn. Pembuatan jalan sarad dilakukan dengan membersihkan vegetasi di atasnya dan tidak diperkeras sehingga hanya mampu dilalui oleh alat sarad seperti traktor sarad, sapi, skyline dan manusia. Jackson et al. (2001) membedakan jalan sarad menjadi 4 klasifikasi berdasarkan jumlah kayu yang disarad yaitu : 1. Jalan sarad utama (menyarad lebih dari 10 pohon). 2. Jalan sarad sekunder (menyarad 2-10 pohon). 3. Jalan sarad tertier (hanya 1 pohon yang disarad). 4. Jalan sarad lainnya (hanya berisi pohon mati dan intensitas penyaradan rendah dimana tidak ada pohon yang disarad) TPn merupakan tempat penampungan kayu sementara yang terletak di tepi jalan angkutan untuk melayani tahapan pengangkutan selanjutnya. Lokasi TPn harus cukup datar dan disesuaikan dengan banyaknya volume kayu yang ditampung serta strategis sebagai muara jaringan jalan sarad untuk mempermudah proses pengangkutan kayu dan kegiatan pemotongan dan pengulitan batang (Elias 2008). 2.3 Sistem Silvikultur Sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipetipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari (Dephut 2009a). Dephut (2009a) menyatakan sistem silvikultur dipilih dan diterapkan berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan hutan. Tegakan seumur (hutan tanaman) menggunakan sistem pemanenan tebang habis sedangkan tegakan tidak seumur (hutan alam perawan atau hutan bekas tebangan) menggunakan sistem pemanenan tebang pilih. Elias (2002a) menyatakan bahwa sejak tahun 1972 sampai saat ini para pemegang ijin konsesi hutan alam telah menggunakan Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang disempurnakan menjadi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) pada tahun 1989 untuk mengelola areal konsesinya.
5 Souza et al. (2005) menyatakan tipe hutan yang ditemui di lapangan berdasarkan sistem pemanenan tebang pilih dibedakan menjadi 5 kelas. Hal ini ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik kelas hutan berdasarkan keadaan lapangan Kelas hutan Deskripsi lapangan Hutan alami Hutan masak tebang dan tidak terganggu. Pemanenan tidak mekanis Pemanenan hutan tanpa menggunakan mesin. Traktor dan truk tidak digunakan. Jalan angkutan, jalan sarad dan TPn tidak dibangun. Pemanenan terencana Pemanenan konvensional Pemanenan dengan perencanaan dimana dilakukan ITSP (inventarisasi tegakan sebelum pemanenan) diikuti perencanaan jalan angkutan, jalan sarad, TPn dan rencana pemanenan untuk mengurangi dampak pemanenan. Pemanenan hutan tanpa perencanaan menggunakan traktor dan truk. TPn, jalan angkutan dan jalan sarad dibangun. Dipanen dan terbakar Sumber : Souza et al. (2005) 2.4 Keterbukaan Areal Akibat Pemanenan Kayu Salah satu tipe pemanenan seperti pemanenan tidak mekanis dan pemanenan konvensional yang digunakan namun sesudah itu rusak akibat kebakaran hutan. Keterbukaan areal merupakan terbukanya permukaan tanah di suatu areal karena tercabutnya pohon-pohon dalam tegakan akibat aktivitas pemanenan hutan berupa penyaradan menggunakan traktor yang membuat lapisan tanah terkelupas dan pembersihan vegetasi di atasnya untuk dibuat jalan dan TPn (Thaib 1996). Souza et al. (2005) menyatakan sistem pemanenan tebang pilih yang dilakukan di areal hutan dapat menghasilkan tiga tipe areal yaitu : 1. Areal hutan yang tidak terganggu operasi pemanenan hutan. Karena kondisi topografi yang sulit dan potensi kayu komersial yang rendah. 2. Areal hutan yang ditebang habis untuk keperluan jalan angkutan dan jalan sarad akibat manuver traktor sarad serta TPn untuk menampung kayu sementara.
6 3. Tutupan tajuk hutan yang terbuka akibat adanya pohon yang ditebang dan aktivitas penyaradan selama operasi pemanenan. Jackson et al. (2001) menyatakan teknik pemanenan sangat mempengaruhi besarnya keterbukaan areal yang terjadi. Oleh karena itu kerusakan yang terjadi akibat pemanenan kayu harus dikontrol agar tidak melebihi batas kelestarian hutan. Elias (2002b) menyatakan keterbukaan areal akibat penebangan dan penyaradan persatuan luas sangat tergantung intensitas penebangan. Semakin tinggi intensitas penebangan, makin luas juga keterbukaan areal. Luas keterbukaan areal akibat penebangan dan penyaradan menyebabkan keterbukaan tanah rata-rata 347,50 m 2 /pohon yang ditebang. Intensitas pemanenan yang dilakukan di Kalimantan berkisar antara 2-16 batang/ha menyebabkan keterbukaan areal sebesar 22-37% (Elias 2008). Penelitian Jackson et al. (2001) yang dilakukan di hutan tropis Bolivia menunjukkan keterbukaan areal sebesar 25% dari total areal penelitian seluas 852 ha. Intensitas tebangan di areal ini sebesar 4,35 pohon/ha. Areal yang terbuka diakibatkan oleh adanya jalan angkutan, jalan sarad, bangunan hutan, dan zona manuver kayu. Total pohon yang terkena dampak akibat adanya keterbukaan areal sebanyak 580 pohon. terbuka akibat pemanenan hutan. Hal ini terlihat dari Tabel 3 yang menunjukkan areal Tabel 2 Total areal (ha) dan persen keterbukaan areal selama operasi pemanenan di hutan tropis Bolivia Daerah terbuka Total areal terbuka (ha) Persen keterbukaan wilayah terhadap total areal dipanen (%) Jalan utama 8,97 1,10 Jalan cabang 8,48 1,00 Jalan sarad 168,40 19,80 TPn 0,87 0,10 Zona manuver pohon 25,75 3,00 Total Sumber : Jackson et al. (2001) 212,47 25,00 Berdasarkan Tabel 2 diketahui total areal terbuka terbesar berasal dari pembukaan jalan sarad (19,8% dari luas areal terbuka). Besarnya luas areal yang
7 terbuka diakibatkan oleh kurang baiknya perencanaan yang dilakukan dan kurangnya koordinasi antara operator tebang dan bagian perencanaan. Penelitian Feldspausch et al. (2005) di hutan tropis Amazon Selatan dengan intensitas tebangan di dua blok tebangan sebesar 2,6 pohon/ha dan 1,1 pohon/ha, keterbukaan areal yang terjadi akibat adanya pemanenan kayu sebesar 16,2% dan 9,8%. Penelitian Wayana (2011) di Kalimantan Tengah dengan intensitas pemanenan sebanyak 11,70 pohon/ha menyebabkan keterbukaan areal sebesar 10,19% sedangkan penelitian Firma (2012) pada lokasi penelitian yang sama dengan penelitian kali ini menunjukkan bahwa intensitas pemanenan sebanyak 8,60 pohon/ha menyebabkan keterbukaan areal sebesar 6,20%. 2.5 Biomassa dan Emisi Karbon Biomassa adalah massa dari bagian pohon yang masih hidup seperti tajuk, batang, dan akar (Hairiah & Rahayu 2007). Biomassa pohon terdiri dari 2 bagian yaitu biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah (akar). Brown (1997) menyatakan bahwa jumlah karbon dalam hutan adalah 50% dari biomassa hutan. Inventarisasi gas rumah kaca mendefinisikan 5 cadangan karbon yang terdiri dari karbon di atas permukaan, karbon di bawah permukaan (akar), serasah, kayu mati, dan karbon organik tanah (IPCC 2006). Sutaryo (2009) menyatakan bahwa karbon masih tersimpan pada bahan organik mati dan produkproduk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Aktifitas pemanenan kayu dapat menyebabkan kehilangan biomassa hutan. Biomassa yang hilang berpotensi menjadi emisi karbon karena dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai. Sutaryo (2009) menyatakan perhitungan biomassa hutan dapat dilakukan melalui 4 metode yaitu sampling dengan pemanenan (Destructive sampling), sampling tanpa pemanenan (Non-destructive sampling), penginderaan jauh dan pembuatan model. Estimasi biomassa hutan secara tidak langsung dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan secara langsung dengan menggunakan persamaan alometrik dan persamaan tidak langsung dengan menggunakan persamaan BEF (Biomass Expansion Factor). Emisi karbon terkait erat dengan intensitas tebangan (Rusolono 2009). Rusolono (2009) menyatakan bahwa sumber dari emisi karbon akibat pemanenan dan degradasi hutan adalah:
8 1. Adanya Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) berupa jalan angkutan, jalan sarad, TPn, dan bangunan hutan lainnya. 2. Fragmentasi hutan yaitu berupa kehilangan biomassa dari fragmentasi hutan dan dampak dari pemanenan. 3. Penebangan kayu berupa pohon rusak, banyaknya volume kayu yang dipanen, dan dekomposisi bahan organik. Kehilangan karbon yang terjadi di hutan tropis Amazon Selatan (Feldpausch et al. 2005) disebabkan oleh pengambilan kayu komersial, kerusakan tegakan tinggal dan pembuatan prasarana PWH. Kehilangan cadangan karbon akibat pemanenan di hutan tropis Amazon Selatan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Kehilangan cadangan karbon akibat pemanenan di hutan tropis Amazon selatan, Brazil (ton C/ha) Sumber emisi karbon Blok 5 (2003) Blok 18 (2004) Rata-rata Kerusakan tegakan tinggal ( 10cm) 4,4 1,9 3,2 Keterbukaan kanopi hutan 2,8 1,2 2,0 Jalan angkutan kayu 0,8 1,0 0,9 TPn 0,2 0,2 0,2 Jalan sarad 0,6 0,6 0,6 Pohon ditebang 2,1 3,7 2,9 Total 10,9 8,6 9,8 Sumber : Feldpausch et al. (2005) Sumber emisi karbon terbesar dihasilkan oleh kerusakan tegakan tinggal dengan rata-rata 3,2 ton C/ha hilang dengan intensitas tebangan antara 1,1 2,6 pohon/ha. Penelitian Wayana (2011) di Kalimantan Tengah dengan intensitas pemanenan sebanyak 11,70 pohon/ha menghasilkan emisi karbon akibat adanya penebangan dan penyaradan yang terjadi sebesar 34,53 ton C/ha. Penelitian lain yang dilakukan Brown et al. (2004) di Republik Kongo dengan intensitas pemanenan 11 m 3 atau 0,5 pohon/ha menghasilkan emisi karbon sebesar 10,20 ton C/ha. Penelitian Firma (2012) pada lokasi yang sama dengan penelitian kali ini menunjukkan intensitas pemanenan 8,60 pohon/ha menghasilkan emisi karbon sebesar 46,74 ton C/ha.