BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia bisnis ritel di Indonesia telah berkembang demikian pesat sesuai dengan perkembangan dinamika perekonomian yang terus mengalami proses modernisasi dalam era globalisasi ini. Begitu luasnya industri ritel ini, sehingga sektor ritel memberikan kontribusi 75% terhadap total perdagangan nasional. Dari 98,8 juta angkatan kerja, sekitar 17 juta orang (18%) bekerja di sektor ritel. Pada tahun 2002, bisnis ritel tumbuh 16,4%. Menurut Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia), tahun 2004 omzet ritel nasional sebesar Rp 400 triliun, bertumbuh 15% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 diperkirakan naik 25% sehingga tahun 2005, omzet ritel nasional diperkirakan mencapai Rp 500 triliun. Ritel yang berfokus pada penjualan barang sehari-hari, secara garis besar terbagi dua, yaitu ritel tradisional dan ritel modern. Pengertian ritel tradisional adalah ritel yang sederhana, tempatnya tidak begitu luas, barang yang dijual tidak begitu banyak jenisnya, sistem manajemen masih sederhana, tidak menawarkan kenyamanan berbelanja dan masih ada proses tawar menawar harga dengan pedagang. Sedangkan ritel modern adalah sebaliknya, menawarkan tempat yang luas, barang yang dijual banyak jenisnya, sistem manajemen terkelola dengan baik menawarkan kenyamanan berbelanja, harga sudah tetap (fixed) dan adanya sistem swalayan. Gerai ritel tradisional terdiri dari pasar tradisional dan warung tradisional. Pada tahun 2001 gerai ritel tradisional mencapai 1.899.736 unit. Tahun 2003, gerai ritel tradisional menurun menjadi 1.745.589 unit, berarti telah terjadi penurunan sebesar 154.147 unit gerai 1
2 tradisional. Jika satu gerai ritel tradisional memiliki 3 orang tenaga kerja maka ada sekitar 462.441 orang tenaga kerja yang hilang (menganggur). Jumlah gerai ritel modern tahun 2003 mencapai 5079 unit meningkat 31,4 % dibandingkan dua tahun sebelumnya (2001) sebesar 3865 unit. Gerai ritel modern terbagi atas pasar modern (misalnya mall, plaza, ITC, dll) dan gerai tersendiri, misalnya mini market, supermarket. Namun biasanya hal ini terlihat kabur, karena rata-rata gerai modern berada pada pasar modern, misalnya supermaket terdapat di dalam mall. Hypermarket Format, format bentuk bisnis ritel dalam bentuk ini adalah yang paling banyak berkembang di masyarakat dibandingkan dengan format bisnis ritel yang lain. Walaupun demikian perkembangan berbagai format bisnis ritel di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup berarti dari tahun ke tahun. Survei AC Nielsen Indonesia mengidentifikasikan bahwa penguasaan pangsa pasar oleh hypermarket di Indonesia mencapai 40%. Bahkan tahun 2005 ini, beberapa para pemain ritel besar melakukan ekspansi perusahaannya. PT Makro Indonesia yang merupakan pusat perkulakan pertama di Indonesia, hampir 75% nasabahnya berasal dari kalangan menengah ke atas. Dari 16 gerai yang dibuka di berbagai tempat di Indonesia, mereka mampu menyedot konsumen sekitar 800.000 orang. Sedangkan Carrefour mampu menyedot 30 juta konsumen. Potensi pasar itu memberanikan Makro melakukan ekspansi ke Solo, Bogor, dan Balikpapan pada tahun 2006. Total gerai yang mereka miliki pada akhir tahun 2006 akan mencapai 24 gerai. PT Makro Indonesia, termasuk dalam 10 besar pemain ritel modern yang dinilai berdasarkan total penjualannya. Berikut adalah data tahun 2002 yang dikutip dari Bisnis Indonesia, 8 Maret 2004 :
3 Tabel 1.1 10 besar pemain ritel modern berdasarkan total penjualan tahun 2002 uruta Perusahaan omzet n 1. PT Matahari Putra Prima Tbk. Rp 5,2 triliun 2. PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Rp 3,4 triliun 3. Salim Group Rp 3,2 triliun 4. PT Alfa Retailindo Tbk (group Rp 3,2 triliun Sampoerna) 5. PT Carrefour Indonesia Rp 3 triliun 6. PT Hero Tbk. Rp 2,4 triliun 7. PT Makro Indonesia Rp 2 triliun 8. PT Pasarraya Nusakarya Rp 900 milyar 9. PT Akur Pratama Rp 900 milyar 10. Hari Darmawan Group Rp 700 milyar Selaku pusat kulakan, Makro mulai mengubah strateginya dengan tidak lagi menggarap konsumen akhir, tetapi menggandeng pedagang ritel kecil sebagai konsumennya. Hal itu dilakukan di tengah persaingan pasar modern di kota-kota besar yang semakin kuat. Seperti yang diungkapkan Senior Marketing Manager PT Makro Indonesia Engeline Wijaya, "Tahun lalu, konsumen terbanyak Makro adalah end user (konsumen akhir), sebesar 52 persen, sedangkan konsumen ritel (pedagang) jumlahnya hanya 25 persen. Targetnya, end user bisa ditekan sampai hanya 25 persen". Pola supermarket ataupun hipermarket yang banyak berkembang saat ini, dengan segmen pasar konsumen akhir, tidak bisa diikuti Makro. Oleh sebab itu, dilakukan perubahan segmen dan target pasar. Makro sekarang cenderung menggarap pelaku usaha mikro dan kecil dengan menyediakan barang-barang kebutuhan berharga murah. Engeline mengatakan, pedagang ritel kecil menjadi sasaran utamanya karena setiap tahun terjadi pertumbuhan toko tradisional sebesar 2 persen atau mencapai 42.000 toko per tahun. Berdasarkan data AC Nielsen, tahun 2005 jumlah toko tradisional mencapai 1,78 juta, sedangkan tahun 2006 mencapai 1,84 juta toko. Itu berarti, masih banyak masyarakat yang
4 berminat berwirausaha menjadi pedagang ritel atau membuka toko tradisional. Selain pedagang ritel kecil, Makro juga menargetkan terjadi pertumbuhan konsumen dari hotel, restoran, dan katering. Dalam tiga tahun ke depan, target pangsa pasar hotel, restoran, dan katering adalah 30 persen, sama dengan target untuk pedagang ritel kecil. "Pangsa pasar horeka (hotel, restoran, dan katering) baru 8 persen sehingga butuh usaha keras agar pertumbuhannya per tahun bisa 7-8 persen. Sampai akhir tahun ini ditargetkan pangsa pasar horeka bisa mencapai 12 persen," ujar Engeline. Makro berharap bisa menjadi mitra pedagang ritel kecil yang kini bersaing dengan minimarket. Pedagang dapat mengulak barang dagangannya dengan harga murah sehingga memperoleh keuntungan saat menjualnya kembali. Makro memiliki cara yang berbeda dalam mempromosikan produknya, tidak seperti pebisnis ritel yang lain yang sering mempromosikan produknya dengan menempatkan iklan pada surat kabar dan televisi, Makro terlihat jarang sekali menempatkan iklannya pada media-media tersebut, iklan Makro hanya sesekali saja muncul pada surat kabar, Promosi Makro cenderung lebih sederhana, Makro lebih sering mengiklankan produknya melalui brosur yang dikirimkan langsung kepada pelanggan yang sebelumnya telah terdaftar menjadi anggota, hal ini yang membedakan Makro dengan pebisnis ritel lainnya yang juga menyebarkan brosur akan tetapi disebarkan secara acak, dengan penyebaran brosur langsung hanya kepada para pelanggan anggota, Makro dapat lebih mudah untuk menyampaikan iklan dengan tepat ke pelangganya. Selain itu, promosi Makro yang sederhana dikarenakan pelanggan Makro adalah para pedagang dan pengusaha yang lebih mementingkan isi daripada bungkusnya. Dengan promosi yang sederhana, harga barang di Makro bisa ditekan serendah mungkin sehingga setiap Makro bisa menyajikan harga yang murah kepada pelanggannya.
5 Makro sebagai pusat perkulakan pertama di Indonesia, memiliki citra tersendiri, karena Makro memiliki konsep yang lain dari pebisnis ritel lainnya. Konsep yang dianut Makro sistem Cash and Carry, sistem ini memungkinkan Makro untuk menjual produknya dengan harga yang lebih murah dengan menyajikan produknya secara grosiran. Makro memiliki slogan nya yang berbunyi Makro, tempat uang cari uang, di setiap iklannya, Makro selalu mengedepankan image bahwa berbelanja di Makro adalah murah, dan berbelanja di Makro membuat keuntungan pelanggan menjadi berlipat, hal ini disesuaikan dengan profil pelanggan Makro yang rata-rata adalah pedagang maupun wiraswasta yang akan mengolah kembali barang yang dibelinya. Penulis mengambil topik mengenai kontribusi periklanan, brand image, dan pengaruhnya terhadap keputusan pembelian sebab hal ini merupakan hal yang penting untuk diketahui. Hal ini dikarenakan periklanan merupakan salah satu cara untuk memasarkan produk atau jasa kepada konsumen. Jika periklanan ini dapat berjalan dengan baik maka dapat menarik konsumen dan dapat bersaing serta bertahan dengan para pesaing pesaing yang sudah ada. Dan juga dapat menambah jumlah konsumen atau pelanggan 1.2. Identifikasi Masalah 1. Apakah periklanan Makro mempengaruhi keputusan pembelian konsumen makro? 2. Apakah brand image Makro mempengaruhi keputusan pembelian konsumen makro? 3. Apakah kontribusi periklanan Makro dan brand image Makro mempengaruhi keputusan pembelian konsumen makro?
6 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Mengetahui apakah kontribusi periklanan Makro mempengaruhi keputusan pembelian 2. Mengetahui apakah brand image Makro mempengaruhi keputusan pembelian 3. Mengetahui apakah kontribusi periklanan dan brand image Makro mempengaruhi keputusan pembelian konsumen Makro 1.4. Manfaat Penelitian Bagi penulis : Menambah pengetahuan dan mengetahui secara langsung tentang kegiatan dan pemasaran dan promosi khususnya periklanan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pemikiran dan masukan yang mungkin dapat digunakan oleh perusahaan dalam menyempurnakan kebijaksanaan pemasaran yang telah ada ataupun dalam membuat kebijaksanaan yang lebih lanjut. Bagi perusahaan : Sebagai bahan masukan yang berguna untuk menentukan strategi pemasaran di masa mendatang. Memberikan kontribusi atau masukan dalam memperkuat dan mempertahankan posisinya sebagai perusahaan yang telah lama
7 berkecimpung di bidang inin melalui periklanan dan pembentukan brand image yang mampu mempengaruhi keputusan pembelian oleh konsumen Bagi Pembaca : Diharapkan hasil penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya mengenai bauran promosi, menambah pengetahuan serta informasi mengenai pemasaran, khususnya mengenai periklanan.