BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dingin berakhir, terjadi transformasi pada konflik internasional. Pada tahun 1975, sebagian besar konflik internal berlokasi di Asia sedangkan pada dekade 1990-an, sebagian besar konflik internal tersebut banyak terjadi di kawasan Afrika Sub-Sahara. 1 Terjadi penurunan jumlah perang ireguler antara aktor negara melawan aktor non-negara. Pada saat Perang Dingin masih berlangsung, 66% dari semua konflik internal merupakan perang ireguler, namun setelah Perang Dingin berakhir, presentase tersebut turun menjadi 26%. 2 Hal tersebut dapat terjadi karena pada masa Perang Dingin, dua kekuatan besar dunia saling meningkatkan kapasitas militer baik itu negara maupun pemberontak tergantung pihak mana yang didukung. Banyak konflik yang berakhir karena tidak ada lagi kekuatan besar yang menjadi pendorong utama di belakang berlangsungnya konflik tersebut. Namun, konflik yang terjadi di Angola terus berlanjut setelah Perang Dingin berakhir. Angola menjadi negara yang merdeka pada tahun 1975 setelah sebelumnya berada di bawah pemerintahan kolonial Portugal. Namun, kemerdekaan tersebut belum bisa menjamin Angola untuk sepenuhnya terbebas dari konflik. Angola justru mengalami konflik internal sebagai akibat dari perebutan kekuasaan antara tiga kelompok besar yang sebelumnya berperan dalam upaya kemerdekaan, yaitu Movement for the Liberation of Angola (MPLA), National Union for the Total Independence of Angola (UNITA), dan National Front for the Liberation of Angola (FNLA). 3 Konflik yang dialami oleh Angola tersebut memang merupakan konflik internal. Namun pada kenyataannya, pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik mendapatkan bantuan dari pihak asing. MPLA merupakan kelompok yang berhasil berkuasa (hingga saat ini), namun kemenangan MPLA tersebut tidak bisa diterima oleh kelompok yang lain. Tiga kelompok yang terlibat di dalam konflik menerima bantuan dari berbagai negara. 1 Kalyvas, Stathis N., & Laia Balcells, International system and technologies of rebellion: How the end of the cold war shaped internal conflict, American Political Science Review, vol. 104, no. 03, 2010, p. 418. 2 Kalyvas & Balcells, p. 415. 3 Guimares, F. A., The Origins of the Angolan Civil War: Foreign Intervention and Domestic Political Conflict, Palgrave Macmillan, 2001, p. 31.
Mengingat bahwa pada saat itu sedang terjadi Perang Dingin, kelompok-kelompok tersebut terbagi menjadi dua kubu hingga konfik di Angola tersebut sering kali disebut sebagai proxy war. 4 MPLA menerima bantuan dari Uni Soviet dan Kuba (Blok Timur) sedangkan UNITA menerima bantuan dari Amerika Serikat, Brazil, dan Afrika Selatan (Blok Barat). FNLA juga menerima bantuan asing dari beberapa negara, namun dalam jumlah yang kurang signifikan jika dibandingkan dengan dua kelompok lainnya hingga pada akhirnya, dua kelompok besar yang berkonflik di negara tersebut adalah MPLA dan UNITA. Konflik yang muncul antar kelompok tersebut sebagian disebabkan oleh adanya persaingan antar pemimpin kelompok yang karismatik, yaitu Agostinho Neto (MPLA), Holden Roberto (FNLA), dan Jonas Savimbi (UNITA) yang kemudian turut didorong oleh ikatan etnis yang mendominasi kelompok dan perbedaan ideologi. 5 Angola merupakan negara yang kaya akan produksi minyak dan berlian. Angola merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di Afrika serta kualitas berlian yang berasal dari Angola juga tinggi sehingga harga jualnya pun cukup tinggi. 6 Sayangnya, dua sumber daya besar tersebut berada di bawah kekuasaan pihak-pihak yang berkonflik. Produksi minyak mentah berada di bawah kontrol pemerintah atau MPLA dan produksi berlian berada di bawah kontrol UNITA. Hal tersebut dapat terjadi karena masingmasing pihak berhasil menguasai kota-kota yang menjadi pusat keberadaan sumber daya alam, yaitu minyak dan berlian. Keberadaan sumber daya minyak dan berlian yang melimpah justru memperburuk situasi dan kondisi di Angola karena sumber daya tersebut dimanfaatkan oleh masingmasing pihak, baik itu pemerintah maupun UNITA, untuk mendanai kegiatan militer masing-masing. Secara tidak langsung, produksi minyak dan berlian yang dikuasai oleh pemerintah dan UNITA turut berperan dalam eskalasi konflik internal di Angola. Terlebih setelah Perang Dingin berakhir, pemerintah dan UNITA tidak lagi mendapatkan 4 Guimares, p. 199. 5 Anstee, Margaret Joan, Orphan of the Cold War: The inside story of the collapse of the Angolan peace process, 1992-93, London: Macmillan, 1996, p. 7. 6 Le Billon, Philippe, Angola s Political Economy of War: The Role of Oil and Diamonds, 1975-2000, African Affairs, vol. 100, no. 389, 2001, p. 57.
bantuan dari negara-negara asing sehingga mereka harus mendanai kegiatan militer mereka dengan berbagai cara. 7 Selain mengalami eskalasi, konflik internal di Angola tersebut juga sempat mengalami deeskalasi. Deeskalasi tersebut terjadi ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengimplementasikan beberapa perjanjian perdamaian. Pada akhir tahun 1988, PBB mengimplementasikan United Nations Angolan Verification Mission I (UNAVEM I) yang intinya berisi tentang penarikan pasukan militer Afrika Selatan dan Kuba dari Angola. Setelah Perang Dingin berakhir, PBB mencoba untuk mengimplementasikan perjanjian perdamaian yang lain, yaitu UNAVEM II pada tahun 1991. Namun, kemenangan MPLA pada pemilihan umum di tahun 1992 yang tidak bisa diterima oleh UNITA membawa Angola dalam instabilitas dan konflik pun kembali mencuat. 8 Pada tahun 1994, PBB berusaha untuk mengimplementasikan perjanjian perdamaian baru yang dinamakan Lusaka Accords. Angola akhirnya memasuki periode perdamaian tanpa kekerasan walaupun situasi pada saat itu masih cukup tegang. Namun, hal tersebut hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Kurangnya niat baik dan juga krisis kepercayaan antar kedua belah pihak menyebabkan pengimplementasian perjanjian yang kurang efektif. Pada akhirnya konflik kembali tereskalasi pada tahun 1998. Baru setelah pemimpin UNITA, Jonas Savimbi, dibunuh, UNITA akhirnya bersedia untuk sepenuhnya tunduk pada perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tahun 2002 dan mengakui pemerintahan MPLA. Tema ini penting untuk diteliti mengingat konflik internal yang terjadi di Angola pasca kemerdekaan merupakan bentuk proxy war karena pihak asing memiliki kepentingan geopolitik dan melihat Angola sebagai salah satu negara yang strategis di Afrika. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (MPLA dan UNITA) juga menerima bantuan besar dari aktor-aktor yang terlibat dalam Perang Dingin. Namun, yang akan dibahas lebih lanjut adalah mengenai konflik di negara tersebut setelah Perang Dingin berakhir. Bantuan pihak asing selama Perang Dingin, baik dalam bentuk finansial maupun militer, berperan sangat signifikan dalam konflik tersebut. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan kemudian muncul, seperti bagaimana konflik tetap dapat tereskalasi 7 Spears, Ian S., Angola s Elusive Peace: The Collapse of the Lusaka Accord, International Journal, vol. 54, no. 4, 1999, p. 573. 8 Badmus, Isiaka, The African Union s Role in Peacekeeping: Building on Lessons Learned from Security Operations, Palgrave Macmillan, 2007, p. 29.
ketika pihak-pihak yang terlibat tidak lagi mendapat bantuan dari pihak asing, adakah faktor lain yang turut mendorong eskalasi selain faktor ideologi yang mendominasi pada saat Perang Dingin berlangsung, dan lainnya. 1.2 Rumusan Masalah Pertanyaan utama yang akan dijawab di dalam tulisan ini adalah, Mengapa konflik internal di Angola tereskalasi setelah berakhirnya Perang Dingin (1991-2002)? 1.3 Landasan Konseptual 1.3.1 Eskalasi Konflik Sebelum membahas lebih lanjut mengenai proses eskalasi yang terjadi selama konflik tersebut berlangsung, perlu diketahui penyebab-penyebab yang memunculkan konflik tersebut. Dalam Using Conflict Theory (2002), Bartos dan Wehr mendefinisikan konflik sebagai situasi penggunaan perilaku konflik (conflict behavior) oleh para aktor untuk melawan satu sama lain karena adanya tujuan yang tidak kompatibel (incompatible goals) dan atau untuk menunjukkan permusuhan atau kebencian (hostility). 9 Kelompok atau pihak yang terlibat juga dapat tetap bertahan di dalam konflik tersebut jika memiliki solidaritas konflik yang tinggi di dalam kelompok dan juga sumber daya yang besar untuk mendanai kegiatan kelompok selama konflik berlangsung. Dalam kasus Angola, khususnya pada masa setelah Perang Dingin berakhir, penyebab utama yang mendorong terjadinya konflik adalah adanya tujuan yang tidak kompatibel. UNITA tidak mau menerima MPLA sebagai pemerintahan Angola yang sah dan terus melakukan perlawanan untuk mencapai kepentingannya. Masing-masing dari dua kelompok besar yang terlibat di dalam konflik, yaitu MPLA dan UNITA, memiliki basis kelompok etnis yang berbeda sehingga hal tersebut memperkuat solidaritas kelompok. Lalu kelompok-kelompok tersebut juga menguasai sumber daya besar yang berada di Angola, yaitu minyak mentah dan berlian. MPLA menguasai produksi dan perdagangan dari industri minyak mentah sedangkan UNITA menguasai industri berlian. 9 Bartos, Otomar J., & Paul Wehr, Using Conflict Theory, Cambridge University Press, 2002, p. 13.
Hal tersebut kemudian dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang memperburuk situasi konflik di Angola. Eskalasi konflik merupakan sebuah proses yang menunjukkan bahwa konflik menjadi bertambah pelik, keras, dan rumit seiring dengan berjalannya waktu. Hal tersebut dapat dilihat dari transformasi-transformasi di dalam konflik yang terjadi selama proses eskalasi. Transformasi tersebut dapat dilihat dalam beberapa macam hal. Penggunaan taktik yang ringan menjadi berat, isu-isu konflik mengalami proliferasi dari kecil menjadi besar dengan melibatkan lebih banyak isu dan juga bergeser dari isu spesifik menjadi lebih umum, tujuan yang berubah dari memperjuangkan kepentingan masing-masing menjadi keinginan untuk menyakiti lawan, dan peserta yang terlibat dalam konflik bertambah banyak. 10 Selain itu dijelaskan pula bahwa eskalasi yang dilakukan oleh satu pihak (party s escalation) dapat disebabkan oleh dua kekuatan yang berbeda, yaitu kekuatan yang berasal dari pihak itu sendiri (party) dan kekuatan yang berasal dari lawan (opponent). Kekuatan yang pertama dapat disebut sebagai unilateral escalation dan kekuatan lainnya disebut sebagai reciprocated escalation. 11 Dua jenis kekuatan tersebut dapat memengaruhi intensifikasi dari suatu konflik. Dalam eskalasi unilateral, ada beberapa faktor yang dapat mendorong satu pihak untuk melakukan eskalasi, seperti perasaan kehilangan atau dirampas (deprived) baik secara relatif maupun absolut oleh lawan, memiliki budaya yang suka berperang, memainkan peran yang tidak kompatibel, memiliki nilai-nilai yang berbeda, dendam di masa lalu dan masa kini, perasaan frustasi, dan interaksi yang mempromosikan konflik. Namun, selain faktor-faktor yang sudah disebutkan, satu pihak dapat melakukan eskalasi jika hal tersebut memang dinilai sebagai tindakan yang rasional. Jika satu pihak memiliki kekuatan yang sangat besar (overwhelming), maka tindakan untuk mengeskalasi menjadi rasional dengan tujuan untuk mengalahkan pertahanan lawan. 12 Dalam eskalasi resiprokasi, secara lebih spesifik dijelaskan mengenai retaliation, yaitu tindakan pembalasan dengan menggunakan kekuatan dan melibatkan kekerasan 10 Pruitt, Dean G., & Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004, pp. 143-146. 11 Bartos & Wehr, p. 99. 12 Bartos & Wehr, p. 99.
yang lebih besar dari yang digunakan dalam serangan pertama oleh lawan. 13 Tindakan pembasalan tersebut juga dinilai sebagai tindakan yang normal karena merupakan reaksi dari pihak yang diserang. Namun, tindakan pembalasan memiliki dua konsekuensi berbeda yang dapat terjadi. Jika kekuatan yang digunakan cenderung lemah, maka penggunaan kekuatan tersebut akan memprovokasi tindakan pembalasan (retaliation) oleh pihak lain; dan jika kekuatan yang digunakan sangat besar (overpowering), maka serangan tersebut dapat menaklukkan pihak lain. 14 Hal-hal yang kemudian turut memengaruhi tingkatan eskalasi suatu konflik diantaranya solidaritas konflik yang tinggi, conflict resources yang besar, dan eskalasi strategis. 15 Faktor-faktor tersebut dapat memengaruhi solidaritas suatu kelompok untuk kemudian memutuskan akan melakukan eskalasi secara unilateral, membalas perbuatan lawan, atau bermusuhan (to be hostile). Deeskalasi pun dapat terjadi karena faktor-faktor yang bertentangan dengan faktor yang disebutkan sebelumnya, yaitu berkurangnya solidaritas konflik, conflict resources yang semakin menipis, deeskalasi strategis, dan akomodasi (perjanjian). Faktor pertama yang memengaruhi eskalasi konflik adalah solidaritas konflik. Solidaritas dapat terbentuk dari adanya komunikasi antar anggota yang dilakukan secara terus-menerus, saling menyukai satu sama lain, dan memiliki kepercayaan, nilai, dan norma yang sama. Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa ikatan etnis dapat memunculkan solidaritas di dalam kelompok. Solidaritas dalam kelompok etnis atau suku ini sering kali menjadi penyebab dari berbagai macam konflik, seperti karena munculnya primordialisme. 16 Solidaritas di dalam kelompok menjadi salah satu penyebab eskalasi ketika kelompok tersebut dapat memobilisasi anggota-anggotanya untuk memiliki visi dan misi yang sama terhadap suatu konflik. Setelah memiliki visi dan misi yang sama, anggota kelompok akan digerakkan untuk terlibat di dalam konflik baik secara langsung maupun tidak langsung. Solidaritas dan mobilisasi berdasarkan etnis inilah yang akan dilihat lebih lanjut dalam analisis eskalasi konflik yang terjadi di Angola. 13 Bartos & Wehr, p. 100. 14 Bartos & Wehr, p. 101. 15 Bartos & Wehr, pp. 111-113. 16 Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, Basic Books: New York, 1973, pp. 261-262.
Faktor kedua adalah keberadaan sumber daya konflik. Jika diartikan secara harfiah, sumber daya merupakan segala sesuatu, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang digunakan untuk mencapai hasil. 17 Berdasarkan pengertian tersebut, sumber daya konflik kemudian dapat diartikan sebagai hal-hal yang digunakan dan dimanfaatkan untuk dapat menjalankan atau mempertahankan keberlangsungan suatu konflik. Contohnya jika ingin memulai perang, maka dibutuhkan pasukan militer, senjata, dan amunisi. 18 Dalam hal ini, sumber daya alam dimanfaatkan sebagai sumber daya konflik. Sebuah negara dengan sumber daya yang besar biasanya akan menggantungkan pemasukan negaranya pada komoditas ekspor utama mereka. Dalam kasus konflik di Angola, pemerintah mengandalkan ekspor minyak sebagai sumber pemasukan utama keuangan negara sedangkan pemberontak mengandalkan ekspor berlian. Konflik internal disebut dapat bertahan lama jika produk-produk ekspor memiliki nilai berharga sehinga konflik menjadi lebih mudah untuk didanai. 19 Hal itulah yang terjadi di Angola dengan ekspor komoditas minyak dan berlian yang dikuasai masing-masing oleh MPLA dan UNITA. Keberadaan sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai sumber daya konflik kemudian turut memengaruhi faktor ekonomi negara atau wilayah yang bersangkutan. Dalam konflik internal, ada tiga faktor ekonomi yang dapat memperburuk situasi konflik, yaitu pendapatan per kapita yang rendah, pertumbuhan ekonomi negara yang rendah, dan keberadaan sumber daya yang besar. 20 Pendapatan per kapita serta pertumbuhan ekonomi yang rendah menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan dan menimbulkan perasaan keputusasaan (hopelessness). Hal tersebut mendorong masyarakat untuk melakukan apapun agar mendapatkan pemasukan. Khususnya bagi para pemuda, salah satu opsi yang ada adalah dengan bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak. Faktor yang terakhir adalah eskalasi strategis. Eskalasi strategis dapat terjadi ketika satu pihak merasa terancam akan kekuatan lawan sehingga tindakan untuk eskalasi dinilai rasional dan menguntungkan secara strategis. Secara garis besar, eskalasi strategis mungkin terjadi jika satu pihak merasa terancam dengan peningkatan sumber daya 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia 18 Bartos & Wehr, p. 78. 19 Collier, Paul, The Bottom Billion: Why the poorest countries are failing and what can be done about it, Oxford University Press: USA, 2008, p. 26. 20 Collier, pp. 20-21.
lawan, maka keputusan untuk menjadi pihak yang melakukan serangan pertama dinilai bijak. Kondisi lain yang memungkinkan eskalasi strategis adalah jika sumber daya pihak tersebut mengalami peningkatan, maka pihak tersebut mungkin melakukan eskalasi dengan harapan untuk menang atau menguasai lawan (prevailing). 21 Dalam konflik di Angola, eskalasi strategis yang terjadi dapat dilihat dari tindakan pemerintah (MPLA) yang beberapa kali melakukan eskalasi secara unilateral. Eskalasi unilateral dapat dilihat dari tindakan MPLA yang melakukan serangan terbuka terhadap UNITA setelah diterapkannya Perjanjian Bicesse yang seharusnya membawa kelompok yang terlibat untuk melakukan gencatan senjata bahkan hingga terjadi pembunuhan masal. Selain itu, Perjanjian Lusaka yang ditandatangani pada tahun 1994 juga dilanggar oleh pihak pemerintah dengan menyerang markas-markas UNITA. 22 Konflik pun kembali tereskalasi hingga akhirnya UNITA menyerah setelah pemimpin mereka dibunuh. 1.4 Argumen Utama Ada tiga faktor utama yang mengeskalasi konflik di Angola, yaitu solidaritas konflik yang tinggi, sumber daya konflik yang besar, dan eskalasi strategis secara unilateral. Masa penjajahan banyak memengaruhi kelompok-kelompok etnis di negara tersebut yang kemudian menimbulkan adanya persaingan antar kelompok etnis. MPLA dan UNITA terbentuk dengan basis kelompok etnis tertentu yang kemudian memperkuat solidaritas di dalam kelompok. MPLA memiliki basis kelompok etnis Mbundu sedangkan UNITA berbasis pada kelompok etnis Ovimbundu. Perbedaan etnis tersebut menjadi salah satu faktor penghambat tercapainya perdamaian di Angola dan justru memperburuk situasi konflik. Setelah Perang Dingin berakhir, MPLA dan UNITA tidak lagi menerima bantuan asing sehingga mereka harus memanfaatkan sumber daya yang ada. Keuntungan yang didapat dari eksploitasi sumber daya alam tersebut digunakan oleh masing-masing pihak untuk mendanai konflik. Permasalahan ekonomi yang timbul karena eksploitasi tersebut juga turut memperburuk situasi konflik. Eskalasi strategis juga dilakukan oleh satu pihak ketika kekuatan pihak lawan dinilai dapat mengancam eksistensi pihak tersebut. Eskalasi 21 Bartos & Wehr, p. 118. 22 Spears, p. 577.
dilakukan oleh MPLA ketika MPLA merasa bahwa kekuatan UNITA berkembang terlalu cepat dan harus segera dibendung. 1.5 Metodologi Penelitian Dalam mengerjakan tulisan ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan berfokus pada studi literatur. Sumber literatur yang digunakan adalah buku, jurnal, dan artikel yang dapat ditemukan secara online, seperti artikel berita dan artikel resmi yang dirilis oleh organisasi-organisasi internasional maupun lembaga swadaya masyarakat. Konsep-konsep yang ditemukan (di dalam buku maupun jurnal) dan relevan terhadap pembahasan akan dijadikan acuan dalam penelitian. Buku dan artikel yang diakses secara online juga digunakan untuk mengetahui data-data mengenai jumlah anggota kelompokkelompok etnis dan persebaran kelompok etnis tersebut di Angola. Tabel dan atau grafik mengenai situasi ekonomi di Angola yang ditemukan secara online dari situs web resmi juga akan dijadikan sebagai salah satu sumber data. Data-data tersebut kemudian akan dilampirkan di dalam tulisan. Artikel yang dirilis oleh organisasi internasional dan lembaga swadaya masyarakat memuat data mengenai perdagangan sumber daya dan efeknya terhadap situasi konflik, seperti fenomena blood diamond. Informasi tersebut akan digunakan untuk menjelaskan pemanfaatan sumber daya yang besar sebagai sumber dana utama dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain itu, artikel berita juga membantu dalam menjelaskan peristiwaperistiwa tertentu untuk memperjelas kronologi konflik. Tingkat analisis yang digunakan adalah tingkat analisis negara. Tingkatan analisis ini berfokus pada negara sebagai aktor utama dan kepentingannya. Jika ada konflik yang terjadi, maka hal tersebut disebabkan oleh gagalnya institusi negara dalam menjaga stabilitas. 1.6 Sistematika Penulisan Tulisan ini dibagi ke dalam empat bab, yang masing-masing bab akan menjelaskan mengenai hal-hal berikut. BAB I akan terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II akan menjelaskan mengenai kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di Angola dan kronologi konflik yang terjadi setelah kemerdekaan secara singkat, kelanjutan dari konflik tersebut setelah Perang Dingin berakhir, dan upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak asing terutama PBB. BAB III akan menjelaskan mengenai transformasi yang terjadi selama proses eskalasi untuk memberikan gambaran mengenai apa itu eskalasi konflik yang kemudian akan diikuti dengan analisis faktor-faktor yang memengaruhi eskalasi konflik di Angola, khususnya setelah berakhirnya Perang Dingin. BAB IV akan menyimpulkan penjelasan dari bab-bab sebelumnya.