HUBUNGAN LONELINESS DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA DEWASA MUDA LAJANG YANG BERKARIR Desiyanti Ika Nanda siidesi@yahoo.com Dosen Pembimbing : Rani Agias Fitri, S.Psi, M.Si Binus University : Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530. Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara loneliness dan psychological well-being pada dewasa muda lajang yang berkarir. Subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan dewasa muda yang berkarir tetapi statusnya melajang, berusia 26-35 tahun yang tergolong usia dewasa muda. Jumlah subjek 53 orang yang tersebar di Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik accidental sampling. Data diperoleh dari kuesioner yang diadaptasi dari dua alat ukur yang berbeda yaitu UCLA Loneliness Scale yang dikonstruk oleh Russell, Peplau, & Cutrona pada tahun 1980. Alat ukur yang kedua adalah The Ryff Scales of Psychological Well-Being yang dikonstruk oleh Carol D. Ryff pada tahun 1989. Hasil penelitian yang menggunakan Product Moment Pearson Correlation menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif signifikan antara loneliness dan psychological well-being (p= -0,373<0,01). Artinya, semakin rendah tingkat loneliness pada dewasa muda lajang yang berkarir maka semakin tinggi psychological well-being begitu juga sebaliknya. Kata kunci: Loneliness, Psychological well-being, Dewasa Muda, Lajang, Karir
ABSTRACT This research will examine if there is a correlation between loneliness and psychological well-being among single young adulthood who have career. Participants in this research are 53 (males=34, females=19 )single young adulthood with age ranging from 26-35 years old and live in Jakarta. This research utilized quantitative and sample were selected using accidental sampling. The data was obtained from adapted measuring instrument is based on the revised UCLA Loneliness Scale of Russell, Peplau, & Cutrona (1980). The second measuring instrument is based on the Ryff Scales of Psychological Well-Being of Carol D. Ryff (1989). Analysis technique who used is Product Moment Pearson. Result of this research examine that there is negative significant correlation between loneliness and psychological well-being (p= -0,373<0,01). That means the lower level of loneliness in young adult, the higher level of psychological well-being and conversely. Key words: Loneliness, Psychological well-being, Young Adulthood, Single, Career PENDAHULUAN Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang belum ada data pasti yang menggambarkan jumlah penduduk Jakarta yang tidak mempunyai pasangan romantis, tetapi jumlah populasi penduduk melajang (belum menikah) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data statistik, pada tahun 2010 penduduk Jakarta berusia 15-49 tahun yang membujang atau sekarang yang dikenal dengan istilah lajang jumlahnya sekitar 38,71%. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2009 yang jumlahnya hanya 38,07% % (www.bps.go.id). Semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, kesempatan untuk berkarir semakin terbuka lebar bagi siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Mereka disibukkan dengan urusan karir yang cukup menyita perhatian. Seseorang yang lebih memprioritaskan karir dibandingkan dengan membina rumah tangga akan lebih memilih untuk meniti karirnya. Menurut Santrock (2004) peningkatan jumlah orang melajang disebabkan oleh sikap wanita dan pria yang ingin mengembangkan karier sebelum menikah. Pria dan wanita tersebut menunda untuk menikah dan tenggelam dalam aktivitas dan karier, sehingga tidak mempunyai waktu untuk menjalin hubungan yang dekat dengan lawan jenis dan tidak memikirkan kehidupan pribadinya.
Proses meniti karir terjadi pada tahap dewasa muda, dimana masa tersebut merupakan periode dimana terjadi penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial yang baru (Hurlock dalam Lemme, 1995). Pada tahapan usia ini, manusia mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat pada tuntutan yang diharapkan dari dewasa muda tersebut untuk memiliki peran-peran baru, seperti peran suami atau istri, pekerja, orang tua, dan juga perkembangan diri. Individu dituntut untuk mampu mengambil sikap, keinginan dan nilai sesuai dengan tujuan individu tersebut. Tujuan individu tersebut memerlukan hubungan interpersonal secara mendalam dengan seseorang sehingga dapat memiliki arti tersendiri dalam hidupnya. Menurut DeGenova (2008) ada beberapa sisi positif dari melajang, diantaranya: lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dan pengembangan personal, adanya kesempatan untuk bertemu orang-orang yang berbeda, kebebasan secara ekonomi dan pembekalan diri, lebih tervariasi pengalaman seksualnya, kebebasan untuk mengontrol kehidupan sendiri, mengembangkan karier. Karir adalah rangkaian sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja selama rentang waktu kehidupan seseorang dan rangkaian aktivitas kerja yang terus berkelanjutan (Gibson et. al. 2005) Apabila ditinjau dari tahap perkembangan psikoseksual, individu pada usia dewasa muda mencapai krisis intimacy vs isolation (Erickson dalam Santrock, 2004). Intimacy terjadi apabila terbentuk suatu kedekatan dengan orang lain, jika hubungan itu berjalan dengan baik maka individu akan memiliki keintiman dengan individu lain. Bila terjadi kegagalan dalam membentuk intimacy maka akan mengakibatkan isolation atau perasaan terasing yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rasa kesepian. Kesepian adalah ketika merasa bahwa tidak seorang pun memahami dengan baik, merasa terisolasi, dan tidak memiliki seorang pun untuk dijadikan pelarian, saat dibutuhkan atau saat stress (Santrock, 2002). Tidak ada yang kebal terhadap kesepian, namun beberapa orang berisiko lebih besar untuk merasakan kesepian ketimbang orang lain (Brehm, Miller, Pearlman, & Campbell dalam Taylor, Peplau, Sears, 2012). Salah satu yang berisiko besar mengalami kesepian adalah wanita dan pria lajang. Penelitian yang dilakukan oleh Wheeler, Reis, dan Nezlex (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2012) menunjukkan bahwa tingkat kesepian individu yang memiliki pasangan romantis lebih sedikit dibanding individu yang lajang, bahkan perbedaannya mencapai 85%. Hal demikan juga diungkapkan
oleh Pinquart (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2012), dimana orang yang tinggal dengan pasangan cenderung tidak kesepian. Kesepian yang dirasakan oleh dewasa muda yang melajang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Apabila seseorang mengalami kesepian maka kesejahteraan psikologisnya akan menurun. Hal ini sesuai dengan salah satu pendapat pendapat Mellor et al. (dalam Mendieta, Martin & Jacinto, 2012) menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara loneliness dengan psychological well-being. Dalam penelitian terhadap 2042 responden yang berumur 18 95 tahun dukungan sosial dan membina hubungan positif dengan orang lain terbukti mengurangi tingkat loneliness seseorang. Ryff dan Singer (1995) mendefinisikan psychological well-being tidak hanya semata-mata sebagai kenikmatan (pleasure) namun sebagai berjuang untuk mencapai kesempurnaan sebagai bentuk realisasi potensi yang sesungguhnya (Ryff, 1995, dalam Ryan & Deci, 2001). Ryff dan Keyes (1995) mengoperasionalisasikan konsep psychological well-being ini ke dalam enam dimensi, yaitu penerimaan diri, otonomi, pertumbuhan pribadi, penguasan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain. Individu dengan psychological well-being yang baik diasumsikan dapat mencapai tingkat yang tinggi pada masing-masing dimensi tersebut. Dewasa muda yang melajang dapat saja merasakan kesepian, tetapi kesepian tersebut belum tentu akan menurunkan kesejahteraan psikologisnya. Usia dewasa muda tersebut tergolong sebagai usia produktif. Pada usia ini mereka akan memandang pekerjaan sebagai hal yang menyenangkan (Gibson et. al. 2005). Melalui karirnya mereka akan dapat mengembangkan dimensi pertumbuhan pribadi dalam kesejahteraan psikologisnya. Pendapatan yang diperoleh juga dapat berperan meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Penelitian dari Lovina & Domain (2012) menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang signifikan antara psychological well-being dan loneliness pada pelajar dari berbagai budaya yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat loneliness dapat dilihat dari psychological well-being seseorang. Kesepian dapat saja dirasakan, tetapi kesepian tersebut tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik akan merasa nyaman, damai, dan bahagia (Ryff dalam Synder & Lopez, 2007). Berdasarkan paparan di atas, loneliness dan psychological well being akan memiliki keterkaitan. Hubungan loneliness dan psychological well-being dapat bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk memahami hubungan loneliness dan psychological well-being pada dewasa muda lajang yang berkarir. Lajang yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu yang tidak/belum menikah dan tidak menjalani hubungan romantis. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian & Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan tipe non-random / non-probability sampling dimana tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi unit sampel. Subjek yang menjadi unit sampel hanyalah yang berusia 26-35 tahun dari keseluruhan populasi pria dan wanita lajang yang berkarier. Metode pengambilan sampel yang dipilih adalah accidential sampling, yaitu mengambil sampel dari anggota populasi yang tersedia saat itu, dengan karakteristik yang telah disebutkan diatas. Teknik accidential sampling ini termasuk kedalam jenis nonprobability sampling (Kerlinger & Lee, 2000). Desain Penelitian Desain penelitian dengan metode kuantitatif adalah sebuah metode yang datanya dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka. Desain ini sangat spesifik karena dirancang untuk mengetahui objek tertentu, dibuat berdasarkan data dari hasil pengukuran, berdasarkan variabel penelitian yang ada. Prosedur penelitian Peneliti mengadaptasi skala Psychological well-being dan skala UCLA Loneliness, skala tersebut telah diterjemahkan dan dilakukan back translation oleh kenalan peneliti. Peneliti melalui dua tahap proses validitas yaitu face validity untuk mengetahui evaluasi kualitatif dari alat ukur yang disusun peneliti secara keterlihatan (bentuk kuesioner, kata-kata, dan lain sebagainya). Peneliti juga menggunakan content validity yaitu meminta pendapat dari Expert Judgement. Pada hari Kamis, 3 Januari 2013 peneliti melakukan uji coba alat ukur yang akan dijadikan alat ukur Penelitian. Dari 32 kuesioner, hanya 24 kuesioner diantaranya yang dapat diolah (yang memenuhi kriteria subjek penelitian). Setelah melihat hasil uji validitas dan reliabilitas terdapat beberapa item yang perlu dibuang agar reliabilitas dari instrument penelitian meningkat. Senin, 14 Januari 2013 sampai Jumat, 18 Januari 2013. Peneliti melakukan penyebaran secara accidental sampling dengan karakteristik yang telah disebutkan dan berdomisili di Jakarta. Penyebaran kuesioner berbentuk hardcopy dilakukan melalui dua cara yaitu menyebarkan
langsung dan dititipkan kepada beberapa orang yang untuk kemudian disebarkan. Peneliti juga melakukan pengambilan data di 3 (tiga) tempat kerja dimana terdapat kerabat, saudara atau teman peneliti yang bekerja di tempat tersebut. Hal itu dilakukan agar peneliti dapat meminta bantuan mereka untuk menyebarkan kuesioner kepada para subjek penelitian yang tentunya sesuai dengan karakteristik subjek, di tempat mereka. Untuk mengontrol data yang diberikan partisipan, penitipan kuesioner tersebut disertai briefing singkat mengenai karakteristik partisipan yang hendak diteliti. HASIL DAN BAHASAN Tabel 1 Hasil Uji Hipotesa Correlations Loneliness PWB Loneliness Pearson Correlation 1 -.373 ** Sig. (2-tailed).006 N 53 53 PWB Pearson Correlation -.373 ** 1 Sig. (2-tailed).006 N 53 53 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan hasil data analisis dari tabel di atas, didapatkan bahwa hasil nilai signifikansi sebesar 0,006. Nilai signifikansi 0,006 kurang dari 0,01 (p< 0,01) maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara loneliness dengan psychological well-being. Arah hubungannya adalah negatif artinya semakin rendah loneliness maka semakin tinggi psychological well-being, demikian pula sebaliknya. Tabel 2 Skor Loneliness Loneliness Norma Kategori Prosentase Dibawah Mean (< 29,4) Rendah 56% Dari hasil penghitungan mean sebanyak 53 subjek, tingkat loneliness berada pada kategori rendah. Hal ini berarti sebagian besar dari subjek tidak memiliki kesenjangan Diatas Mean (> 29,4) Tinggi 44% antara hubungan sosial yang subjek capai dengan hubungan sosial yang subjek inginkan.
Subjek cukup merasa puas dengan hubungan sosial yang dicapai saat ini. Karakterisitik individu yang matang dalam penguasaan lingkungan terlihat dari individu yang matang dan mampu berpartisipasi dalam aktivitas diluar dirinya. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi loneliness lebih dipengaruhi oleh perasaan subjektif dari subjek berkaitan dengan relasi interpersonal dengan orang lain, sedangkan penguasaan lingkungan berkaitan dengan peran individu terhadap lingkungannya. Tabel 3 Skor PWB PWB Norma Kategori Prosentase 44 66 Rendah 11% 67 85 Sedang 75% 86 92 Tinggi 13% Dari hasil tabel disamping dapat disimpulkan tingkat psychological well-being sedang-tinggi dapat disebabkan karena sebagian besar responden adalah laki-laki yang berada pada usia produktif. Pada usia ini mereka belum terlalu memprioritaskan membina hubungan dengan lawan jenis. Apabilla dikaitkan dengan teori karir Gibson et. al. (2005), pada usia tersebut merupakan tahap stabilisasi karir, dimana pekerjaan merupakan bagian dari kehidupan yang berjalan dengan menyenangkan sehingga membuat mereka bersemangat, berkonsentrasi dan memiliki tujuan jelas dalam karir. Selain itu, bagi laki-laki, usia 26-35 tahun merupakan usia yang masih tergolong wajar apabila belum menikah. Tidak terlalu besar tuntutan yang ditujukan kepada mereka untuk segera menikah dibanding pada perempuan. Dimensi yang mempunyai korelasi paling rendah dengan loneliness adalah penguasaan lingkungan. Analisis loneliness dengan PWB loneliness PD HBO Otono mi Tujuan Hidup PP PL loneliness Pearson Correlation 1 -.257 -.469 ** -.273 * -.254 -.171 -.177 Sig. (2-tailed).063.000.048.066.220.205 N 53 53 53 53 53 53 53 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Dalam korelasi antara loneliness dengan masing-masing dimensi psychological well-being ditemukan bahwa dimensi hubungan positif dengan orang lain (p= -.469 **, <0,01 ) mempunyai korelasi yang signifikan terhadap loneliness yang dimiliki seseorang. Semakin tinggi hubungan positif dengan orang lain maka semakin rendah tingkat loneliness. Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain sehingga tingkat lonelinessnya rendah. Selain itu, dimensi otonomi juga mempunyai korelasi yang signifikan (p=-.273 * <0,01) terhadap loneliness. Seseorang yang memiliki otonomi akan mampu mengambil keputusan tanpa campur tangan orang lain dan dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri. Pada dewasa muda lajang yang berkarir, otonomi tersebut dimiliki karena mereka tidak harus membagi atau mengurangi otonominya dengan pasangan. Seseorang yang mempunyai otonomi dalam hidupnya akan merasa otonom dalam hidupnya karena mampu merealisasikan dirinya menjadi seperti apa yang diinginkan walaupun hidup tanpa pasangan sehingga tingkat loneliness rendah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa H a diterima, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara loneliness dengan psychological wellbeing pada dewasa muda lajang yang berkarir. Dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara loneliness dan psychological well-being. Arah hubungan tersebut adalah negatif sehingga apabila loneliness menurun, maka psychological well-being juga akan semakin meningkat, begitu pula sebaliknya. Saran Saran Teoritis Saran untuk penelitian serupa dengan skala populasi dan responden yang lebih besar, yang merepresentatifkan seluruh wilayah di Jakarta secara proposional. Ditambahkan metode wawancara pada beberapa subjek sebagai analisis tambahan. Peneliti juga menyarankan, dilakukan studi perbandingan yaitu membandingkan tingkat loneliness dan psychological well-being pada pria dan wanita berkarir, baik yang masih tinggal dengan orangtua maupun yang sudah tinggal sendiri.
Saran Praktis Bagi dewasa muda lajang yang berkarir sebaiknya membina hubungan positif dengan orang lain, seperti dengan keluarga, teman dan kerabat terdekat. Sebaiknya dewasa muda lajang yang berkarir lebih mempertahankan otonomi yang dimiliki, seperti kemampuan untuk hidup mandiri, mengambil keputusan sendiri, dan melakukan segala hal yang bermanfaat bagi diri dan karirnya, sehingga psychological wellbeing baik dan terhindar dari loneliness. Bagi praktisi psikologi, dalam menghadapi klien yang mengalami kesepian dengan karakteristik dewasa muda lajang yang berkarir, dapat membantu klien meningkatkan aspek-aspek yang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. REFERENSI Anastasi, A. & Urbina, S. (2007). Psychological Testing (second impressions). Pearson, NJ: Prentice- Hall. De Genova. (2008). Intimate Relationship, Marriage and Families. New York: McGraw Hill. Gibson,J.L., Ivancevich,J.M., Donnelly, J. H., & Konopaske. (2005).Oganizations: Behavior, Structure, Process, (8th edition). New York: McGraw-Hill. Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistic In Psychology and Education (6th edition). Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Lemme, B. H. (1995). Development In Adulthood. USA: Allyn & Bacon. Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Foundation of Behavioral Research (4th edition). Orlando, FL: Harcourt College Publishers. Le Roux, A. & Doman, L. C. H. (2012). The Relationship between Loneliness and Psychological wellbeing among third-year students: a cross-cultural investigation. International Journal of Culture and Mental Health, 5(3), 153-168. Mendieta, I. H., Martin, M. A. G., & Jacinto, L. G. (2012). The Relationship Between Social Support, Loneliness, and Subjective Well-being in a Spanish Sample from a Multidimensional Perspective. Journal of Social Indicator Research,. doi: 10.1007/s11205-012-0187-5. Nazir, M. (2003). Metode Penelitian, cetakan keempat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Papalia, D.E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (9th edition). New York: McGraw Hill. Peplau, L. A., & Pearlman, D. (1982). Loneliness: A Sourcebook of Current Theory Research and Therapy. New York: John Wiley & Sons. Populasi Penduduk Jakarta yang Melajang. (2012). Diakses pada tanggal 29 September 2012 dari http://www.bps.go.id.
Ryan, R. M., Deci, E. L. (2001). On Happiness and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaiminic Well-being. Annual Review Psychology, 57, 141-166. Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is It? Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081. Ryff, C. D., Keyes, C. L. M. (1995). The Structure of Psychological Well-being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727. Ryff, C. D., Keyes, C. L. M., & Hughes, D. L. (2004) Psychological well-being in MIDUS: profiles of ethnic/racial diversity and life course uniformity. In: O.G. Brim, C.D. Ryff and R.C. Kessler, Editors, How Healthy Are We? A National Study of Well-being at Mid- life, The John D. and Catherine T. MacArthur Foundation Series on Mental Health and Development: Studies on Successful Midlife Development, Chicago: University of Chicago Press, 398 424. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung : Alfa Beta. Santrock, J. W. (2002). Life-span Development (5th edition). New York: McGraw-Hill. Santrock, J. W. (2004). Adolescence: Perkembangan Remaja (edisi keenam.). Jakarta: Erlangga. Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive Psychology: The Scientific and Practical Explorations of Human Strengths. London: Sage Publications Ltd. Steger, M. F., Kadashan, T. B. Oishi, S. (2007). Being Good and Doing Good: Daily Eudaimonic Activity and Well-being. Journal of Research in Personality. Diakses dari http://mason.gmu.edu/ pada tanggal 30 Oktober 2012 Springer, K. W., & Hauser, R. M. (2004). Survey Measurement of Psychological Well-being. Center for Demography and Ecology University of Wisconsin-Madison. Diakses dari http://cdepubs.wisc.edu/ pada tanggal 27 Sepetember 2012 Springer, K. W., & Hauser, R. M. (2006). An assessment of the construct validity of Ryff s scales of psychological well-being: Method, mode, and measurement effects. Social Science Research, 35, 1080 1102. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2012). Social Psychology (edisi ke-dua belas). Psikologi Sosial. Alih Bahasa: Tri, W. B. S. Jakarta: Kencana. Turner, J. S., & Helms, D. B. (1995). Life Span Development (5th edition). Toronto: Holt, Rinehart, and Winston, Inc. RIWAYAT PENULIS Desiyanti Ika Nanda, lahir di Jakarta pada 27 Desember 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada 2012/2013. Penulis sudah pernah magang di perusahaan EXPERD Consultant selama dua bulan di divisi Human Resources.