111. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

Tabel 1. Produksi Perikanan Di Danau Tondano pada Tahun Jenis Produksi. Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Minahasa s

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi Kematangan Gonad

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

3 METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke yang di

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

III. BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

3. METODE PENELITIAN

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

BAB III BAHAN DAN METODE


3. METODE PENELITIAN

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah. Subordo : Siluroidae

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEBIASAAN MAKAN DAN HUBUNGAN PANJANG BOBOT IKAN GULAMO KEKEN (Johnius belangerii) DI ESTUARI SUNGAI MUSI

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

BAB III BAHAN DAN METODE

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Pengambilan Data

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

Metodologi Penelitian Biologi Laut

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Pematangan Gonad di kolam tanah

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

3 METODOLOGI PENELITIAN

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March :22

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

PEMBENIHAN TERIPANG PUTIH (Holothuria scabra)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

111. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Pengambilan Contoh Berdasarkan peta danau Tondano yang dibuat oleh Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Utara secara skematik, dapat dilihat adanya aliran sungai kecil yang masuk ke danau sebanyak 25 buah, satu aliran air ke luar danau, dan bagian danau yang terdalam adalah 27 meter (Lampiran 2) - I Untuk keperluan penelitian ini hanya ditentukan dua buah stasion pengambilan contoh di danau. Pemilihan kedua stasion ini didasarkan pada: (1) salah satu stasion harus terletak dekat aliran air ke luar danau (outlet), (2) jika mungkin stasion yang lain terletak dekat aliran air masuk (inlet), (3) ikan payangka serta nike banyak ter- dapat pada kedua stasion tersebut, (4) mempunyai dasar perairan yang bervariasi seperti misalnya berpasir, ber- lumpur dan bervegetasi lebat, (5) mempunyai bagian yang dangkal, landai dan bagian yang dalarn, (6) dapat dengan mudah dicapai atau didatangi. Pada kedua stasion ini dilakukan pengambilan contoh ikan payangka, nike, plankton dan fauna dasar. Skema 0 penempatan lokasi-lokasi pengambilan contoh pada kedua stasion dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Stasion I terletak pada aliran keluar di desa Toulour, sedangkan Stasion I1 terletak di desa Touliang Oki, dekat dengan

aliran kecil yang rnasuk danau. Kedua stasion ini berjarak sekitar 8 km. Pada Stasion I daerah pengambilan contoh dibuat berbentuk segitiga, disesuaikan dengan mulut sungai yang berbentuk corong, dan pada Stasion I1 dibuat berbentuk empat persegi panjang, untuk mempermudah pengukuran dan pengambilan contoh. Gambar 1. Skema Lokasi Pengaxhbilan Contoh pada Stasion I (Toulour) Dilihat dari Atas Lokasi pada setiap stasion, yang diberi nomor dari 1 sampai dengan 12, ditandai dengan sepotong kayu bernomor

sesuai dengan nomor lokasi. Kayu ini diberi pemberat batu dengan perantaraan tali nilon yang diikatkan pada kayu, agar tidak mudah hanyut terbawa arus. Pengambilan contoh ikan, plankton dan fauna dasar dilakukan pada tanda kayu tersebut, dengan radius kira-kira 5 m dari kayu. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengambilan contoh tidak dapat dilaksanakan dalam satu titik, berhubung adanya gelombang dan angin yang kadang-kadang cukup keras. Gambar 2. Skema Lokasi Pengambilan Contoh pada Stasion I1 (Touliang Oki) Dilihat dari Atas

Dalam pelaksanaan teknisnya. pengarnbilan contoh ikan payangka, nike, dan udang dilaksanakan terlebih dahulu, baru kemudian pengambilan fauna dasar dan plankton, lalu pengukuran ph dan temperatur air permukaan. Urutan ini dilakukan untuk menghindari larinya ikan-ikan dan udang terlebih dahulu, jika seandainya urutan dibalik. Pengambilan contoh tersebut dilaksanakan setiap bulan selama 16 bulan, yaitu dari bulan Juli 1980 sampai dengan bulan November 1981, termasuk penelitian pendahu- luan. 3.1.1. Pengambilan ikan payangka dan nike Ikan payangka dan nike ditangkap dengan jala lempar dan seser. Nike hanya bisa didapatkan pada lokasi-lokasi di mana tumbuhan air masih dapat dicapai dengan alat seser. Jika tumbuhan air terdapat lebih dalam (dan tidak tercapai dengan seser), maka nike tidak tertangkap lagi. Dengan menggunakan seser dan dioperasikan menurut lokasi seperti dalam penelitian ini, hanya sedikit nike yang dapat diperoleh. Penangkapan ikan payangka dilaksanakan dengan menggunakan jala lempar yang khusus dibuat untuk dioperasikan di perairan yang bertumbuhan lebat. Pemberatnya ditambah agar jala cepat tenggelam dan mulutnya mudah mencapai dasar meskipun ada tumbuhan air di dasar perairan.

Dalam operasinya jala ini memerlukan alat penulong lain, yaitu sebuah bambu panjang yang ujungnya diberi penutup kayu sehingga mirip sebuah bonggol. Jika jala sudah dilempar dan tenggelam, maka daerah tumbuhan yang terkena jala lalu ditusuk-tusuk dengan bambu yang berbonggol tadi dengan maksud agar ikan-ikan yang berlindung di sekitar tumbuhan akan lari dari tumbuhan dan tersangkut di jala. Pada jala biasa (bukan untuk daerah tumbuhan) ukuran mata jala adalah sebesar 4 cm, sedangkan pada jala khusus daerah tumbuhan, mata jala dibuat lebih besar yaitu antara 5-6 cm. Hal ini dimaksudkan untuk memperingan penarikan jala dan juga untuk mempercepat tenggelamnya. Namun ha1 ini mengakibatkan hasil tangkapan menjadi sangat selektif, yaitu hanya ikan-ikan besar saja yang tertangkap (lebih besar dari 75 mm). Usaha menangkap ikan-ikan yang lebih kecil dengan jala biasa yang bermata 4 cm telah dilakukan, namun hanya dapat dilaksanakan di daerah tanpa tumbuhan atau pada kedalaman di atas 5 m. Pada daerah tumbuhan yang lebat, jala biasa sering tidak mendapat hasil atau banyak mata jala yang putus karena beratnya tarikan jala akibat tersangkut pada tumbuhan. Perlu ditambahkan bahwa sedua penangkapan ikan ini dilakukan dari atas perahu yang bermesin tempel. Ikan-ikan yang tertangkap dalam tiap lokasi dimasukkan ke dalam larutan formalin 10% dalam kantong plastik

yang sudah diberi nomor. Kemudian ikan-ikan ini dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut. 3.1.2. Pengambilan plankton Lokasi pengambilan plankton sama dengan lokasi peng- ambilan ikan. Plankton diambil setelah ikan, yaitu setelah jala dilemparkan dan seser untuk nike diangkat. Plankton dikurnpulkan dengan menggunakan jaring plankton nomor 50, yaitu jaring plangton yang mempunyai mata se- banyak 120 buah per cm. Kerangka jaring plankton terbuat dari besi berbentuk lingkaran dengan luas penampang sebe- sar 154 cmz. Kerangka ini diberi tangkai yang panjangnya 2.50 m supaya dapat digunakan pada kedalaman 1 m dari permukaan dan mudah ditarik keluar air. Dengan demikian maka panjang lintasan yang dilalui jaring plankton adalah 2 m, yaitu 1 m lintasan horizontal dan 1 m lagi lintasan vertikal pada waktu jaring ditarik ke atas. Volume air yang tersaring dalam satu lokasi adalah 30.8 liter, yaitu 154 x 200 cm3. Hasil saringan plankton ini sebanyak 20 ml, yang di- awetkan dengan formalin 4% atau alkohol 70% dan gliserin 5%. kemudian disimpan untuk dianalisis jenis dan jumlah- # nya di 'laboratorium.

3.1.3. Pengambilan fauna dasar Lokasi pengambilan fauna dasar sama letaknya dengan pengambilan ikan dan plankton, walaupun selalu dilakukan dari pinggir perahu yang berlainan dengan pengambilan plankton. Jika pengambilan plankton dilakukan sebelah kiri perahu, maka pengambilan fauna dasar dilakukan dari sebelah kanan. Kedua pengambilan ini dilakukan bersamaan waktunya oleh pekerja yang berlainan. Untuk I mendapatkan fauna dasar digunakan sebuah dredge (pengeruk) yang berukuran 15 cm x 15 cm. Tali plastik yang digunakan untuk menurunkan dan mengangkat pengeruk diberi tanda untuk mengetahui kedalaman danau pada lokasi pengambilan contoh. Dengan cara ini dapat diketahui bahwa pada Stasion I daerah pengambilan contoh mempunyai kedalaman antara 1.75-4.75 m, sedangkan pada Stasion I1 antara 1.25-12.60 m. Dengan alat pengeruk ini hanya mungkin didapatkan organisme yang lamban bergerak seperti misalnya moluska dan organisme yang hidup di dalam lumpur (infauna). Organisme benthos lainnya yang lebih lincah seperti udang dan larva serangga sulit didapatkan dengan alat pengeruk ini. Penggunaan seser yang bertangkai panjang dan hanya. mungkin dilaksanakan pada kedalaman 1.5 m saja, pada ke- dalaman antara 1.5-3.0 hanya udang dan larva serangga yang terdapat sekitar tumbuhan di permukaan air saja yang

dapat diperaleh, lebih dalam dari 3.0 m tumbuhan air ' sudah tidak mencapai permukaan, sehingga hewan-hewan tadi sudah tidak dapat tertangkap lagi. Dengan demikian gambaran fauna dasar yang diperoleh menjadi tidak lengkap, hanya terbatas pada hasil tangkapan alat pengeruk. Fauna benthos yang tertangkap bersama-sama dengan lumpur dasar kernudian dimasukkan ke dalam kantung plastik, dan keesokan harinya disortir dan disaring dengan sangat teliti, mengingat ada satu spesies moluska yang sangat kecil, berukuran antara 2-3 mm. Organisme- organisme ini kemudian dipisahkan menurut jenisnya, lalu dihitung jumiahnya dan diukur besarnya. Pada perhitungan fauna dasar ini maka luas penampang pengeruk dan seser diperhitungkan. 3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Pengukuran dan pembandingan panjang usus relatif ikan Panjang usus relatif adalah panjang saluran pencer- naan ikan yang dinyatakan dalarn persen (%) dari panjang badan total. Panjang saluran pencernaan ikan adalah panjang saiuran pencernaan yang diukur dari ujung oesophagus (tenggorokan) sampac ujung rektum (anus). Yang dimaksud dengan panjang badan total adalah panjang yang diukur dari ujung mulut (bibir) sampai ujung ekor. Pengukuran panjang usus aan panjang ikan dilakukan dengan

menggunakan rnistar biasa sampai pada milimeter terdekat 3.2.2. Analisis isi perut Pada analisis lambung atau isi perut ikan dipakai dua macam metode, yaitu metode jumlah dan metode frekuen- si kejadian. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut : (1) fietode.iumlah. Dalam metode ini seluruh organisme (atau bagian dari organi'sme) dalam isi perut ikan dihitung jumlahnya dan ditentukan spesiesnya. Kemudian hasil perhitungan dijumlahkan seluruhnya (= 100%) dan hasil persentase tiap jenis organisme dihitung berdasarkan jumlah masing-masing. Metode frekuensi ke-iadian. Setiap organisme atau bagian dari organisme yang terdapat dalam lambung ikan dicatat dan dianggap sebagai satu kejadian (occurrence). Kemudian kejadian dari organisme tersebut pada seluruh contoh ikan dijumlahkan dan dinyatakan dalam persen (%) dari seluruh contoh ikan. Dengan demikian seluruh kejadian dari semua organisme makanan ikan sebagai 100%. Hanya untuk penggambaran komposisi makanan ikan pada berbagai e kelas ukuran, digunakan rnetode frekuensi kejadian yang lain untuk mempermudah dan rnenyederhanakan perhitungan, selain itu juga untuk memperlihatkan jumlah perut yang kosong. Contoh dari metode ini

adalah sebagai berikut: Jika ada 120 ekor ikan ada 20 ekor yang kosong isi perutnya, kemudian dari 100 ikan yang berisi tersebut ada 50 ekor yang berisi udang, 20 ekor yang berisi keong, 40 ekor berisi serangga dan 10 ekor berisi kepiting, maka frekuensi kejadian dari udang adalah 50%, keong 20%, serangga 40%, dan kepiting 10%. Hasil analisis isi perutrikan ini kemudian dihubung- kan dengan musim, ukuran ikan dan ketersediaan organisme makanan ikan di danau. Untuk musim dan ukuran ikan pembandingannya dilakukan berdasarkan tabel dan metriknya masing-masing. Pembandingan antara isi perut ikan dengan ketersediaan makanan ikan dilakukan berdasarkan forage ratio (nisbah makanan) dan indeks pilihan (IP). Menurut Hess dan Swartz (1941, dalam Kendeigh, 1961) nisbah makanan adalah perbandingan antara persentase spesies 9 hewan dalam isi perut ikan dengan persentase spesies yang sama yang terdapat di perairan, atau dalam rurnus: Nisbah Makanan (NM)= ~erus persen spesies yang sama di alam Persen dalam rumus ini adalah persentase jumlah. Jika perbandingan tersebut = 1, berarti spesies itu dimakan dalam proporsi yang sama dengan kepadatannya di alam atau tidak ada pemilihan makanan atau tidak memperlihatkan

preferensi; jika lebih besar dari 1, berarti spesies itu dimakan lebih besar daripada proporsi kepadatan di alam atau menunjukkan adanya pemilihan atau preferensi; jika kurang dari 1, berarti bahwa spesies tersebut kurang tertangkap, kurang terjangkau atau tersembunyi bagi ikan, atau mungkin kurang disukai ikan. Asumsi yang perlu diperhitungkan adalah: (1) Bahwa ikan tidak sedang ber- migrasi, (2) Makanan yang dimakan ikan berasal dari daef rah pengambilan contoh, (3) Pengambilan contoh organisme makanan di alam harus representatif, (4) Penyebaran organisme mangsa dan kelimbahannya tidak berbeda secara menyolok pada jarak hanya beberapa meter. Indeks pilihan (electivity index E) dihitung ber- dasarkan electivity index dari Ivlev (Hyatt, 1979) menurut rumus : di mana r adalah proporsi jumlah dari suatu jenis makanan di dalam isi perut ikan, sedangkan p adalah proporsi dari jenis makanan yang sama di alam. Nilai E berkisar antara -1 dan +1, di mana nilai yang positif (lebih besar dari nol) menandakan proporsi yang lebih besar dalam isi perut daripada di alam, sedangkan nilai yang negatif menandakan proporsi yang lebih kecil dari satu jenis makanan di dalam isi perut ikan dibanding dengan di alam. Atau dengan kata lain, nilai yang positif menandakan adanya

pemilihan, sedangkan nilai no1 menandakan tidak adanya pemilihan, dan nilai negatif menandakan organisme mangsa kurang terjangkau, kurang tertangkap, atau tersembunyi. Asumsi yang dipakai sama dengan pada penghitungan NM. Dalam penghitungan NM maupun IP bagi ikan payangka, isi perut yang berupa copepoda (Cyclops) dan cladocera tidak diperhitungkan, sebab ukurannya terlampau kecil lagi pula hanya kadang-kadang saja terdapat dalarn perut ikan. 3.2.3. Perhitungan kepadatan plankton Kepadatan plankton dihitung berdasarkan pada metode yang disarankan oleh Edmonson dan Winberg (1971). Caranya ialah dengan mengencerkan air yang telah berisi hasil penyaringan plankton dari danau, kemudian diaduk dengan baik dan sambil diaduk lalu diambil sebagian kecil (cuplikan) dengan pipet. Cuplikan ini ditaruh di atas gelas obyek dan diperiksa di bawah mikroskop. Pada pemeriksaan dengan mikroskop ini cuplikan pada gelas obyek dibagi menjadi beberapa lapangan pandang (dalam penelitian ini 10). Plankton diidentifikasi dan dihitung jumlahnya pada tiap lapangan pandang. Jumlah plankton dalam cuplikan tersebut adalah jumlah plankton a dari seluruh lapangan pandang. Kepadatan plankton diper- oleh dengan mengekstrapolasikan perhitungan di atas, dengan memperhitungkan pengenceran dan volume cuplikan pada gelas obyek tadi. Dalam penelitian ini pengenceran

tidak dilakukan, karena volume air yang tersaring hanya 30.8 liter sehingga jumlah plankton tidak terlalu banyak. Dari air danau yang 30.8 liter setelah tersaring dan kemudian diberi bahan pengawet, volumenya menjadi 20 ml. Dari 20 ml ini kemudian diambil 1 tetes untuk diperiksa di bawah mikroskop. Karena 1 ml = 22.5 tetes, maka hasil perhitungan plankton harus dikalikan dengan 450 menggambarkan jumlah plankton dalam 30.8 liter untuk air contoh. Kepadatan plankton ini kemudian dibandingkan antar musim. Plankton ini dibandingkan dengan makanan nike, dengan menggunakan NM dan IP, untuk melihat apakah nike memilih jenis plankton tertentu 3.2.4. Pengukuran dan perhitungan fauna dasar Fauna dasar yang terutama berupa keong diukur panjang dan lebar atau tingginya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keselektifan ikan payangka, yaitu dengan membandingkan ukuran fauna dasar ini dengan fauna dasar yang sudah dimakan ikan. Pembandingan fauna ini dilakukan dengan menggunakan NM seperti dalam sub bab terdahulu (3.2.2). Pengukuran fauna dilakukan dengan menggunakan e jangka 'sorong (vernier calliper) sampai milimeter ter- dekat. Penghitungan fauna dasar dilakukan terhadap hasil pengumpulan fauna yang tertangkap dengan alat pengeruk atau seser. Organisme yang didapat diidentifikasi dan

dihitung jumlahnya. Kepadatan fauna dihitung dengan merata-ratakan jumlah organisme dalam pengeruk atau seser pada satu stasion. Untuk mendapatkan jumlah rata-rata organisme per m2 angka ini diekstrapolasikan ke dalam m2, yaitu dengan memperhitungkan luas penampang pengeruk dan seser. Luas pengeruk adalah 225 cm2, sedang luas penam- pang seser adalah 1963.5 cm2, maka dalam ekstrapolasi untuk fauna dalam pengeruk dikal ikan dengan 44.4, I sedangkan untuk seser dengan 5.1. Kepadatan ini kemudian dibandingkan antar musim. 3.2.5. Tingkat kematangan gonad dan pendugaan pemijahan Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan modifikasi cara Nikolsky (Bagenal dan Braum, 1968). Dengan cara ini tingkat kematangan gonad (TKG) ikan payangka digolongkan menjadi 6 tingkat, yaitu: 1. Tingkat I. Tidak matang. Pada tingkat ini gonad masih sangat kecil, berbentuk seperti benang. Tingkat ini terdapat pada ikan-ikan muda. Sulit membedakan jantan dan betina. 2. Tingkat 11. Perkembangan. Gonad lebih besar dan telur terlihat sebagai butir-butir yang sangat kecil dengan * mata telanjang. Pada betina gonad berwarna agak kekuningan, sedangkan pada jantan berwarna keputihan dan sedikit berkelok-kelok.

3. Tingkat 111. Kematangan. Gonad besar, mencapai panjang setengah dari rongga perut. terlihat. Telur jelas Pada betina warna kuning jelas terlihat, sedangkan pada jantan berwarna putih jelas dan ber- kelok-kelok. Anal papila (penjuluran di daerah dubur berfungsi berwarna kekuningan. untuk mengeluarkan telur atau spermaj 4. Tingkat IV. Memilah (reproduksi). Gonad sangat besar f mencapai sekitar 2/3 rongga perut. terlihat butirnya. Telur jelas Warna gonad kuning menyala pada betina, perut nampak membuncit dan jika sedikit ditekan telur akan keluar. Pada jantan perut sedikit membuncit, yang jika sedikit ditekan sperma putih akan keluar. kuning kemerahan. Anal papila membesar dan berwarna 5. Tingkat V. Salin. Gonad kosong atau berisi sedikit sisa-sisa telur atau sperma, berwarna kemerahan. Anal papila masih kemerahan. 6. Tingkat VI. Xstirahat. Gonad sangat kecil, jantan dan betina tidak dapat dibedakan. Butir-butir telur belum terlihat dengan mata telanjang, sama seperti pada tingkat I. Tingkat kematangan gonad ikan-ikan dari kedua stasion diamati dan dibandingkan antar musim dan periode pengambilan contoh. Dengan cara ini dapat diperoleh

ukuran ikan yang pertama kali berpijah atau bergonad matang, yaitu dengan mengamati ukuran ikan yang mempunyai kematangan gonad tingkat 111 atau IV. -3.2.6. Musim dan daerah pemijahan Pendugaan musim pemijahan dilakukan dengan meng- hitung jumlah (dalam persen) ikan-ikan yang mempunyai kematangan gonad tingkat I11 dan IV dari seluruh ikan pada saat pengambilan contoh. ~Penghitungan ini kemudian dibandingkan antar periode pengambilan contoh. Persentase yang tinggi dari ikan-ikan dengan TKG I11 dan atau IV dianggap sebagai puncak-puncak musim pemijahan. Untuk menentukan daerah pemijahan atau tempat ber- telur ikan payangka, pertama-tama ditempuh cara berikut: (a) Mengamati tumbuhan air yang terdapat di sekitar loka- si pengambilan contoh, untuk melihat apakah telur ikan payangka melekat pada tumbuhan, dan (b) Mengamati permu- kaan batu-batuan di dasar perairan (dengan alat penyelam snorkle) untuk mendapatkan telur. Dalam usaha-usaha tersebut tidak ditemukan telur ikan payangka. Kemudian dari wawancara dengan para nelayan danau didapat informasi bahwa telur ikan sering # melekat. pada jaring insang atau jaring hanyut mereka. Dari informasi ini maka untuk menentukan apakah telur- telur tersebut adalah telur payangka, ditempuh cara sebagai berikut:

(1) Mengambil telur-telur yang melekat di jaring dan pelampung jaring insang nelayan, kemudian menetaskannya; (2) Melakukan pembuahan buatan dengan cara mengeluarkan telur dan sperma payangka yang gonadnya sudah matang, kemudian membuahi dan menetaskannya; dan (3) Mencocokkan bentuk, sifat, gerak serta warna larva yang diperoleh dari kedua cara penetasan tersebut. 3.2.7. Penghitungan fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur induk betina dewasa pada saat mendekati pemijahan. Fekunditas dalam penelitian ini dihitung dengan cara gravimetri. Telur yang ada di dalam gonad dipisahkan satu per satu dari jaringan gonad (yang telah diawet), kemudian dikumpulkan dan ditimbang. Kemudian dari telur-telur ini diambil satu cuplikan kecil 7 dan ditimbang, lalu dihitung jumlahnya. Maka jumlah seluruh telur dalam gonad tersebut diperoleh dengan cara mengekstrapolasikan jumlah telur dalam cuplikan tersebut Sebanyak 30 ekor ikan betina diperiksa jumlah telurnya. Fekunditas ini kemudian dihubungkan dengan ukuran ikan yang bersangkutan untuk mendapatkan kecenderungan (trend) dan persamaan regresinya, sehingga peramalan fekunditas dapat dilakukan.

3.2.8. Pengukuran diameter telur Penyebaran diameter telur dilakukan untuk menentukan frekuensi pemijahan,,juga untuk melihat apakah ikan payangka termasuk pemijah total (total spawner) ataukah pemijah berganda (multiple spawner). Diameter telur di- ukur dengan menggunakan mikroskop binokuler stereo yang berkekuatan rendah (sampai 40 kali) yang diperlengkapi dengan mikrometer pada okulernya. Karena telur ikan I payangka di dalam gonad berbentuk tidak beraturan dan tidak seragam, maka untuk menghindari pemilihan telur dengan diameter tertentu, yang diukur adalah diameter telur sepanjang sumbu tetap dari mikrometer. Cara ini di- anggap yang paling dapat dipercaya oleh McDowall (1965). Sebanyak 200 butir telur dari tiap ikan betina yang di- periksa diukur diameternya. 3.2.9. Pengamatan sifat dan bentuk telur ikan payangka serta perkembangan dininya Telah disebutkan terdahulu bahwa telur ikan payangka dapat diperoleh dari hasil pembuahan buatan gonad ikan yang telurnya telah matang, juga dari telur yang melekat pada jaring nelayan. Telur-telur ini kemudian dipelihara di dalam bejana gelas, dengan media air PAM yang telah I diberi aerasi dan dibiarkan pada temperatur kamar (26- Pengamatan diteruskan dengan memperhatikan per- kembangan dini telur yang telah dibuahi, baik dari telur

yang dibuahi secara buatan maupun yang dibuahi secara alami. menetas. Pengamatan dilakukan setiap 1 jam sampai telur Setelah ini pengamatan masih diteruskan tetapi dengan selang waktu yang tidak beraturan. Pada tujuh kali pemeliharaan saja, karena larva ini hanya dapat mencapai umur 96 jam itu pengamatan juga terbatas sampai umur tersebut.