11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan juga merupakan pondasi pembangunan bangsa seperti yang tercantum dalam undang undang dasar (UUD 45) pasal 28 dan undang undang no 23/1992 bahwa kesehatan merupakan hak setiap warga negara dan merupakan tanggung jawab negara dan berlaku untuk semua warga Negara Indonesia. Salah satu permasalahan yang timbul adalaha adanya peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan yang membuat masyarakat kesulitan memperolah pelayananan kesehatan secara maksimal ini terutama terjadi ketika masyarakat harus mengeluarkan biaya secara tunai tanpa atau membayar sendiri seperti yang tercantum dalam (Irawati 2010) Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat perubahahan pola penyakit penerapan teknologi canggih, karakter supply induced demand dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif, serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan dan karenanya harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini (Depkes RI 2010) Solusi masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan agar melebihi 5% PDB (Produk Domestik Bruto) sesuai rekomendasi WHO, dengan pendanaan pemerintah yang terarah untuk kegiatan
12 public health seperti pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, promosi kesehatan serta pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Sedangkan pendanaan masyarakat harus diefisiensikan dengan pendanaan gotongroyong untuk berbagi risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan. Salah salah satu bentuk aplikasi pembiayaan kesehatan tesebut adalah dengan penerapan program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), dimana sistem pembiayaannya menggunakan konsep casemix yang dikenal dengan Indonesia Case Based Groups (INA-CBgs). INA-Cbgs merupakan salah satu sistem pembiayaan prospektif dengan sistem casemix yang berdasarkan pengelompokan jenis diagnosis kasus yang homogen. Secara ringkasnya sistem casemix terdiri dari 3 komponen utama yakni kodefikasi diagnosis (ICD 10) dan prosedur tindakan (ICD 9 CM), pembiayaan (costing) yang dapat berupa top-down approach, activity based costing dan atau kombinasi keduanya, dan clinical pathways. Pada awalnya INA-Cbgs disusun berdasarkan data dari 15 rumah sakit vertikal Depkes RI (tipe A, B dan rumah sakit khusus) sebagai pilot project /percontohan dan telah dihasilkan 23 MDC (Major Diagnostic Categories). Tarif INA-Cbgs merupakan tarif paket pelayanan baik untuk rawat inap dan rawat jalan. Paket tarif rawat inap terdiri dari jasa pelayanan termasuk tindakan/prosedur medis, pemeriksaan penunjang yang diperlukan sesuai diagnosa, kamar perawatan sesuai kelas, konsumsi selama perawatan, obat-obatan dan penggunaan alat/bahan habis pakai yang diperlukan selama pasien dirawat termasuk obat-obatan pasca rawat inap. Sedangkan paket rawat jalan terdiri dari jasa pelayanan termasuk tindakan medis, pemeriksaan penunjang yang diperlukan sesuai dengan diagnosa, dan obat-obatan/alat/bahan habis pakai yang diresepkan oleh dokter selama penderita menjalani rawat jalan. (Depkes RI 2007)
13 Pengendalian biaya pelayanan menjadi prioritas masalah yang harus tetap diperhatikan dalam pelayanan pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Pengendalian biaya dimaksudkan agar unit cost yang dikeluarkan seimbang atau tidak melebihi tarif klaim casemix yang akan diterima. Semakin parah tingkatan diagnosa penyakit maka tarifnyapun akan semakin tinggi. Salah satu paket tarif pelayanan dengan biaya yang besar adalah pelayanan pasien dengan tindakan medik operatif. Untuk pengendalian tersebut dalam kaitannya dengan mekanisme pelayanan pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), rumah sakit seharusnya menerapkan alat bantu yang disebut dengan clinical pathway (CP) yang telah ditentukan untuk setiap jenis penyakitnya. CP merupakan alat yang mencakup proses pelayanan kesehatan secara rinci dan menekankan efisiensi dan kualitas pelayanan dengan pendekatan tim secara multidimensi dan fokus pada kualias dan koordinasi.(banteng 1998). RSUD Kota Salatiga merupakan rumah sakit type B non pendidikan milik pemerintah Kota Salatiga. Sebagai rumah sakit pemerintah, RSUD Kota Salatiga melayani pelayanan kesehatan masyarakat kurang mampu baik rawat jalan maupun rawat inap sejak tahun 2008 hingga sekarang yang lebih dikenal dengan pelayanan program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Berdasarkan data survei awal yang diperoleh dengan menganalisis biaya klaim dari 5 (lima) orang pasien dengan diagnosis pelayanan operasi bedah, didapatkan sebanyak 4 (empat) pasien dengan selisih biaya pelayanan lebih besar 2 (dua) kali lipat terhadap tarif INA-Cbgs dan hanya 1 (satu) orang pasien dengan biaya pelayanan dibawah tarif INA-Cbgs. Selain itu rata-rata hari rawat pasien lebih lama dari standar INA-Cbgs, dari kelima pasien tersebut tidak ada yang dirawat sesuai dengan lama hari rawat yang tercantum pada standar INA-Cbgs. Lamanya hari rawat pasien yang melebihi standar yang tercantum dalam tarif
14 paket ini semakin meningkatkan kecenderungan biaya pelayanan yang lebih tinggi tersebut. Sejak penerapan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) oleh pemerintah, belum pernah dilakukan penelitian mengenai analisis perbandingan biaya pelayanan rawat inap khususnya pasien dengan tindakan medik operatif terhadap tarif paket INA Cbgs di RSUD Kota Salatiga, sehingga rumah sakit belum mengetahui apakah mengalami kerugian atau tidak selama memberikan pelayanan pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Maka dari itu peneliti merasa tertarik akan meneliti adakah hubungan antara kelengkapan Diagnosa Utama terhadap akurasi kode ICD 10 yang secara langsung akan berpengaruh pada biaya rawat inap dengan tindakaan medik bedah terhadap tarif Ina-Cbgs pada pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) di RSUD Kota Salatiga selama Periode Januari sampai dengan maret tahun 2016. Dalam proses pengolahan data terdapat proses koding yaitu proses pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada di dalam rekam medis dikode dengan menggunakan ICOPIM atau ICD-10. Adapun ICD-10 sendiri merupakan klasifikasi statistik yang berarti bahwa dalam hal ini berisi nomor nomor terbatas dari kategori kode eksklusif yang menggambarkan seluruh konsep penyakit yang penggunaannya di Indonesia dimulai sejak 19 Februari 1996 dimana mempunyai tujuan untuk menyeragamkan nama dan golongan penyakit dan faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan, sedangkan manfaatnya untuk mempermudah perekaman yang sistematis, analisis data penampilan kembali (retrieval), penyimpanan dan perbandingan data mortalitas dan morbiditas antar rumah sakit propinsi atau Negara.(Shofari 2002) Ketepatan dan keakuratan kode dari suatu diagnosis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dari tenaga medis khususnya dokter sebagai penulis diagnosa dan kedisplinannya dalam mematuhi aturan aturan penggunaan ICD
15 dan penetapan diagnosa dan juga kualifikasi tenaga rekam medis sebagai pemberi kode sehingga kode yang dihasilkan akurat dan tepat yang dapat digunakan untuk epidemiologi umum, evaluasi kualitas pelayanan kesehatan dan manajemen kesehatan termasuk dalam didalam nya klaim keuangan seperti yang terdapat pada BPJS (Grnxphq et al. 2013). Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga telah melaksanakan pengkodean diagnosa utama berdasarkan ICD 10 sejak 29 Mei 1998 berdasarkan SK Direktur RSUD Kota Salatiga nomor : 02.RSUDKS-SK/V/1998. Untuk mengetahui bagaimana kelengkapan serta keakuratan kode diagnosa utamanya, penulis merasa tertarik mengadakan penelitian dengan judul HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN DIAGNOSA UTAMA DENGAN AKURASI KODE ICD 10 PADA PASIEN BEDAH RAWAT INAP BPJS DI RSUD KOTA SALATIGA khususnya yang berkaitan dengan kelengkapan diangnosa utama dan akurasi kode ICD 10 yang mendasari besarnya klaim pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) di RSUD kota Salatiga. A. Perumusan Masalah Dari kondisi diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kelengkapan diagnosa utama dengan akurasi kode ICD 10 pada pasien bedah rawat inap BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dengan Akurasi Kode ICD-10 di RSUD Kota Salatiga Periode Januari 2016 B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara kelengkapan diagnosa utama dengan akurasi kode ICD 10 pada pasien bedah rawat inap BPJS (Badan Penyelenggara
16 Jaminan Sosial) Periode Januari 2016 terhadap Akurasi Kode ICD-10 di RSUD Kota Salatiga 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui prosentase penulisan diagnosa utama yang lengkap dan kode yang akurat. b. Mengetahui prosentase penulisan diagnosa utama yang lengkap dan kode tidak akurat. c. Mengetahui prosentase penulisan diagnosa utama yang tidak lengkap dan kode yang akurat. d. Mengetahui prosentase penulisan diagnosa utama yang tidak lengkap dan kode yang tidak akurat. e. Mengetahui hubungan antara kelengkapan diagnosa utama dengan akurasi kode ICD 10 pada pasien bedah rawat inap BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) terhadap Akurasi Kode ICD-10 di RSUD Kota Salatiga Periode Januari 2016 C. Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang kelengkapan diagnosa utama dan akurasi kode ICD 10 sehingga dapat digunakan untuk perbaikan menejemen di RSUD Kota Salatiga. D. Keaslian Penelitian 1. Redy Herdian (2009) dalam Penelitian nya Evaluasi Pemberian Kode Penyakit berdasarkan Kepmenkes RI nomor 50 tahun 1998 di Rumah Sakit
17 onkologi Surabaya persamaan nya pada obyek yang diteliti, perbedaan nya pada metode yang digunakan 2. Novita Yuliani (2008 ) dalam penelitian nya Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Commotio Cerebri Pasien Rawat Inap berdasarkan Icd-10 Rekam Medik di Rumah Sakit Islam Klaten Persamaan pada penilitian ini adalah sama sama meneliti kode ICD 10 dan perbedaan nya adalah pada subyek yang diteliti serta metode yang digunakan 3. Zaenal Sugiyanto (2005) dalam Penelitiannya Analisis perilaku Dokter dalam Mengisi kelengkapan data Rekam Medis lembar resume rawat inap di rumah sakit ungaran persamaan pada penelitian ini adalah pada penulisan diagnosa dokter perbedaaan nya pada metode yang digunakan.