BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) bukan

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

PERAN BANTUAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan jasa notaris, telah dibentuk Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang terjadi di Indonesia sebagai dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan baik sosial, budaya maupun tehnologi. Dalam menghadapi perkembangan modus kejahatan tersebut, negara dituntut untuk dapat mengatasi sehingga memberikan ketentraman dan keamanan serta keadilan bagi warga negaranya. Negara Indonesia sebagai organisasi masyarakat Indonesia adalah suatu Negara hukum, oleh karena itu pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk dengan bijaksana menyesuaikan aturan-aturan hukum pidana menghadapi perkembangan kejahatan yang modus operandinya semakin canggih, sehingga dapat memberikan sanksi berupa hukuman pidana kepada para pelakunya. Menurut pendapat Moeljatno 1 : Hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk: 1) menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 1 Moeljatno, 1983, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan pertama, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 1. 1

Selanjutnya Moeljatno 2 menjelaskan bahwa: perbuatan-perbuatan pidana ini menurut wujud dan sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melanggar hukum. Tegasnya mereka merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Suatu perkara pidana merupakan suatu sengketa antara perorangan/sekelompok orang dengan masyarakat, dimana negara mempunyai peran sebagai wakil dari masyarakat dalam melakukan penindakan setelah terjadi pelanggaran hukum (onrechtmatig), guna menciptakan tata tertib demi keamanan, ketentraman dan keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu sebagai usaha pencegahan maupun sebagai pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata, baik secara preventif maupun represif. Apabila Undang-Undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa kita, maka sudah barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai sasarannya. 3 Di dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat, tidak akan lepas dari peran para penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Penasihat Hukum/Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan. Peran para penegak hukum ini hendaknya dapat menerapkan asas Integrated Criminal Justice System 2 Ibid, hlm. 2-3. 3 Departemen Kehakiman Republik Indonesia,1982, Pedomanan Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman, Jakarta, hlm. 1. 2

dalam penegakan hukum, sehingga apa yang diharapkan dalam suatu negara hukum akan terwujud karena adanya sistem keterpaduan dalam menanggulangi pelanggaran-pelanggaran hukum. Mardjono Reksodipoetro, sebagaimana yang dikutip oleh Romli Atmasasmita 4, mengemukakan bahwa: Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat, yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan terpidana. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan: (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hukum acara pidana merupakan hukum pidana formal yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 5 Menurut Sudikno Mertokusumo 6 : 4 Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Pernada Media Group, Jakarta, hlm. 3. 5 Departemen Kehakiman Republik Indonesia, loc.cit. 3

Membuktikan berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkualifisirnya, dan kemudian mengkonstantir, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Selanjutnya Martiman Prodjohamidjojo 7 menjelaskan bahwa hakikat pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi hakim kebenaran peristiwa tertentu. Eddy O.S Hiariej 8 dalam memberikan keterangan sebagai ahli di persidangan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 65/PUU-VIII/2010 pada tanggal 18 Januari 2011 menjelaskan, bahwa: Dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Hal demikian termasuk dalam konteks kekuatan pembuktian atau bewijskracht. Hakim akan menilai setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil putusan. Supomo 9 menjelaskan tentang prosedur pembuktian, sebagai berikut: Dalam acara pidana "Hindia" (maupun negeri Belanda) berlakulah yang disebut sistem negatif-menurut undang-undang. Menurut undang-undang, oleh karena untuk bukti diharuskan adanya alat-alat tertentu yang ditunjukan oleh undang-undang sebanyak yang ditunjukan oleh undang-undang; negatif, oleh karena adanya alat-alat pembukti itu belum memaksa hakim untuk menganggap bahwa bukti sudah diberikan. Untuk hal itu masih perlu bahwa hakim itu sudah yakin. Jadi dengan adanya alat-alat tertentu yang ditunjuk oleh undang-undang itu hakim harus yakin akan kesalahan terdakwa (Pasal 370 Sv/Strafvordering). Dengan demikian antar bukti menurut undang-undang dan keyakinan oleh undang-undang diharuskan adanya hubungan sebab-akibat. 6 Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.108. 7 Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 17. 8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Tanggal 8 Agustus 2011, hlm. 45. 9 Supomo, 1982, Sistem Hukum di Indonesia, Cetakan Kesebelas, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 139. 4

Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut sistem pembuktian negatif-menurut undang-undang, yang tidak mengizinkan hakim pidana untuk menggunakan alat-alat bukti yang lain selain yang diatur oleh undang-undang (Pasal 184 KUHAP), sebagaimana hukum acara pidana zaman Hindia Belanda. Hakim dalam menjalankan putusan akan menilai semua alat-alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa yang setimpal dengan perbuatannya. 10 Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata, sebab pembuktian di dalam perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan preponderance of evidence, sedangkan hakim pidana mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt). 11 L.J. Van Apeldoorn 12 mengatakan bahwa peristiwa pidana materiil menunjukan peristiwa-peristiwa pidana yakni peristiwa yang dikenai hukuman, beserta hukumannya. Suatu perbuatan hanya dapat dikenai hukuman, jika perbuatan 10 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit, hlm 19. 11 Andi sofyan, Abd. Asis,2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, hlm. 229. 12 L.J. Van Apeldoorn,1958, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ketiga, Noordhoff-Kolff N.V., Jakarta, hlm. 263. 5

itu didahului oleh ancaman hukuman dalam undang-undang (Nulum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali). Penegakan hukum pidana di Indonesia sering kali mengalami kendala dengan susahnya untuk mencari alat bukti dalam proses peradilan pidana, terutama mendapatkan saksi guna diminta keterangannya. Peranan saksi sangat penting untuk mengungkapkan kebenaran materiil dalam sistem peradilan pidana, karena keterangan dari saksi diperlukan untuk membuktikan tentang adanya suatu peristiwa pidana agar dapat menghukum pelakunya. Keterangan saksi mempunyai kedudukan dalam urutan pertama sebagai alat bukti yang sah. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP 13 yang menyatakan; (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Saksi memiliki hak-hak yang di atur dalam KUHAP, namun hak-hak saksi tersebut terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan hak-hak tersangka, sedangkan status saksi bisa berubah menjadi tersangka/terdakwa. Selain itu, saksi juga sering mengalami intimidasi, ancaman dari pihak pelaku atau pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan terbongkarnya suatu kejahatan yang melibatkan mereka, seperti dalam perkara pidana korupsi, teroris, pencucian uang (money laundering), atau perkara pidana yang melibatkan orang-orang terkenal. 13 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 6

Indonesia saat ini telah melakukan reformasi hukum, dimana penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang dikenal dengan hak asasi manusia semakin lebih mendapat perhatian sebagai perwujudan pengamalan terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Dengan adanya perubahan tersebut maka dalam melakukan penegakan hukum, setiap langkah yang dijalankan oleh penegak hukum tidak boleh menyimpang dari aturan hukum yang berlaku sebagai landasan hukumnya dan harus mengedepankan hak asasi manusia (HAM), diantaranya adalah dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil dalam proses peradilan pidana, dan tidak hanya dapat melindungi hak asasi dari tersangka/terdakwa ataupun melindungi kepentingan masyarakat/pemerintah, karena saksi sebagai warga negara juga mempunyai hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law) yang dilindungi oleh UUD 1945. Romli Atmasasmita 14 menguraikan bahwa: Negara hukum demokratis dapat terbentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan berdasarkan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human rights), dan akses masyarakat memperoleh keadilan (access to justice). Dalam konteks Indonesia, ketiga pilar tersebut harus diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan sosial. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, merupakan landasan konstitusi yang dipakai secara universal oleh semua bangsa di dunia termasuk Indonesia. Walaupun HAM 14 Romli Atmasasmita, 2010, Teori Hukum Integratif, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 97. 7

bersifat universal, tetapi pemahaman setiap orang tentang HAM tergantung pada cara pandang yang dipengaruhi oleh sistem filsafat, ideologi, dan yuridis konstitusional yang berlaku di dalam suatu negara hukum yang demokrasi. Oleh karena itu dalam reformasi hukum, setelah Indonesia pada tahun 2003 meratifikasi UN Convention Against Corruption yang menekankan kepada setiap negara yang telah meratifikasi untuk menyediakan lembaga perindungan terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi, kemudian Indonesia pada tanggal 18 Juli 2006 mensahkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan selanjutnya membentuk lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK). Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah diubah menjadi Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014. Undang-undang tersebut diharapkan dapat melengkapi kekurangan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga dapat menampung perlindungan terhadap saksi dalam sistem peradilan pidana Indonesia, agar saksi dapat mengungkapkan suatu peristiwa pidana materiil dengan rasa aman dan tidak tertekan dari rasa takut akan ancaman atau intimidasi dari pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara. Dalam undang-undang tersebut juga mengatur tentang saksi yang menjadi tersangka/terdakwa yang sangat berperan dalam membantu mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana agar diberikan suatu penghargaan dalam bentuk keringanan hukuman. Di dalam KUHAP, saksi diperlukan keterangannya mulai dari tahap 8

Penyidikan. Tetapi dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, keterangan saksi sudah dibutuhkan mulai dari tahap penyelidikan. Namun saksi masih dianggap sebagai obyek pemeriksaan yang sering dilanggar hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum pada waktu mengungkapkan kebenaran materiil tentang perbuatan pidana. Sehingga sering terjadi bahwa kemudian saksi mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik pada saat persidangan dalam acara pembuktian di Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dengan alasan bahwa pada saat proses pemeriksaan tingkat penyidikan, saksi berada dalam tekanan penyidik ataupun pihak-pihak lain yang berkentingan. Sikap saksi yang mencabut keterangannya dalam BAP yang dibuat oleh penyidik dalam persidangan tentu saja bisa mempengaruhi proses penyelesaian perkara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapakah orang yang melakukan suatu perbuatan pidana dan kemudian dapat dipersalahkan dalam putusan pengadilan. Sering terjadi pula bahwa saksi yang menjadi tersangka/terdakwa yang telah memberikan keterangan untuk mengungkapkan kebenaraan materiil suatu perkara pidana mulai dari tingkat penyelidikan/penyidikan, tidak mendapatkan keringanan hukuman dalam putusan pengadilan sebagaimana yang dijanjikan oleh Undang-Undang. Pada dasarnya peristiwa yang dialami saksi tersebut dapat teratasi jika kedudukan penasihat hukum/advokat dalam proses peradilan pidana guna penegakan 9

hukum diefektifkan dari awal penyelidikan terhadap saksi dalam pengungkapan suatu perkara pidana. Uraian di atas adalah suatu gambaran umum agar penulis dapat memperoleh dasar dalam menentukan judul tesis yang penulis pilih, yaitu: "KEDUDUKAN PENASIHAT HUKUM/ADVOKAT DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HAK-HAK SAKSI MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA". B. Perumusan Masalah Selain memberikan kemajuan, keberhasilan pembangunan negara Republik Indonesia membawa dampak negatif dalam bentuk kualitas kriminalitas dengan modus operandi yang semakin canggih. Untuk mengatasinya, negara telah mengeluarkan peraturan-peraturan khusus baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang belum diatur dalam KUHP sebagai hukum pidana materiil, dan peraturan tentang tata cara penanganan terhadap perbuatan pidana tertentu serta peraturan untuk melindungi saksi yang belum diatur dalam KUHAP sebagai hukum pidana formal, terutama hak saksi untuk memperoleh bantuan hukum dari penasihat hukum/advokat dalam mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dalam proses peradilan pidana, sehingga perkara pidana yang terjadi dapat diselesaikan secara obyektif guna mencapai kepastian hukum dan keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah yang akan penulis analisa adalah : 10

1. Bagaimanakah kedudukan serta peran penasihat hukum/advokat dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana menurut sistem peradilan pidana Indonesia? 2. Adakah kendala bagi penasihat hukum/advokat dalam menjalankan perannya untuk melindungi saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaturan yang akan datang untuk melindungi hak-hak saksi, terutama untuk memperoleh pendampingan dari penasihat hukum/advokat pada saat pemeriksaan perkara pidana guna mengungkapkan kebenaran materiil dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian penulis, secara obyektif menarik untuk diteliti tentang kedudukan penasihat hukum/advokat dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana menurut sistem peradilan pidana Indonesia, kemudian mengenai kendala bagi penasihat hukum/advokat dalam menjalankan perannya untuk melindungi saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dan pengaturan yang akan datang untuk melindungi hak-hak saksi, terutama untuk memperoleh pendampingan dari penasihat hukum/advokat pada saat pemeriksaan perkara pidana guna mengungkapkan kebenaran materiil dalam Sistem 11

Peradilan Pidana Indonesia. Secara subyektif, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang aktual dan konkrit, yang berkaitan dengan masalah yang penulis sampaikan, sebagai syarat untuk menyelesaikan Pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat secara teoritis, yaitu dapat memberikan masukan dan wacana perluasan ilmu hukum pada umumnya, dan ilmu hukum pembuktian khususnya, terutama tentang saksi dan hak-haknya, serta peran penasihat hukum/advokat untuk kepentingan hukum saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 2. Manfaat secara praktis, yaitu untuk dapat memberikan masukan dan perhatian bagi pembentuk undang-undang, penegak hukum dan para sarjana hukum tentang perlunya penasihat hukum/advokat dalam memberikan bantuan hukum untuk melindungi hak-hak saksi pada saat mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia. E. Keaslian Penelitian 12

Dari penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, menurut sepengetahuan penulis, belum pernah dilakukan penelitian tentang "Kedudukan Penasihat Hukum/Advokat Dalam Memberikan Perlindungan Hak-Hak Saksi Menurut Sistem Peradilan Pidana Indonesia". Tetapi dalam penelusuran melalui internet, pernah ada penelitian dengan judul tesis, yaitu "Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana", yang dilakukan oleh Sapto Budoyo, mahasiswa Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dengan rumusan masalah yang diteliti : 1. Bagaimana formulasi hukum perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. 2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan perlindungan hukum bagi saksi dalam proses peradilan pidana. 3. Bagaimana kebijakan formulasi hukum tentang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana di masa yang akan datang. Rumusan permasalahan yeng diteliti tersebut dari segi substansi jelas cukup berbeda dengan perumusan masalah yang akan penulis teliti. Secara substansi, penulis akan meneliti kedudukan penasihat hukum/advokat dalam perannya untuk melindungi hak-hak saksi sehingga saksi bisa memberikan keterangan tentang kebenaran materiil suatu perbuatan pidana yang terjadi secara obyektif dengan rasa aman dan nyaman, serta kendala yang dihadapi dan bagaimana sebaiknya pengaturan yang akan datang dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 13