I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI EKOSISTEM MANGROVE KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT DISERTASI LAURA SIAHAINENIA

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI EKOSISTEM MANGROVE KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT DISERTASI LAURA SIAHAINENIA

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

I. PENDAHULUAN. No.45 tahun 2009 tentang perikanandisebutkan dalam Pasal 1,perikanan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

Konservasi Wilayah Pesisir. Achmad Sofian NIM PSLP PPSUB

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

PENDAHULUAN. seperti analisis fisika dan kimia air serta biologi. Analisis fisika dan kimia air

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

POTENSI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA TARAKAN, PROPINSI KALIMANTAN UTARA. Natanael 1), Dhimas Wiharyanto 2)

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove, estuari dan pantai berlumpur (Moosa et al. 1985). Kepiting bakau, yang disebut juga mangrove crabs atau mud crab, memiliki peranan penting dalam ekosistem mangrove. Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting di wilayah Indopasifik (Millamena & Quinitio 1999), karena dikonsumsi sebagai sumber makanan laut yang berkualitas dan dijadikan komoditas ekspor (Fortes 1999). Selain berperan dalam siklus rantai makanan, kepiting bakau juga memainkan peranan ekologis lainnya. Lobang-lobang yang digalinya selain berfungsi sebagai tempat berlindung dan mencari makan, juga berguna sebagai media untuk melewatkan oksigen agar dapat masuk ke bagian substrat yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik dalam substrat hutan mangrove (Nybakken 1992). Alfrianto dan Liviawaty (1992), menyatakan bahwa setiap 100.0 g daging kepiting bakau (segar), mengandung 13.6 g protein; 3.8 g lemak; 14.1 g hidrat arang dan 68.1 g air. Sedangkan Motoh (1977), menyatakan bahwa daging dan telur kepiting bakau (dalam berat kering) mengadung protein yang cukup tinggi (67.5%) dan kandungan lemak yang relatif rendah (0.9%). Sebagai makanan asal laut, kepiting bakau sangat digemari karena memiliki rasa daging yang lezat dan memiliki nilai gizi yang tinggi, terutama kepiting bakau betina bertelur atau matang gonad. Kelezatan dan nilai gizi yang tinggi, menempatkan kepiting bakau sebagai jenis makanan laut ekslusif dengan harga yang cukup mahal. Sehingga berkembang suatu pemahaman dalam masyarakat, bahwa menkonsumsi jenis makanan ini merupakan suatu prestise bagi konsumennya. Sebagai komoditas ekspor, kepiting bakau di beberapa negara seperti Thailand, India, Philipina, Taiwan dan Singapura, telah berkembang menjadi sumber pendapatan negara. Hal ini disebabkan karena permintaan negara lain terhadap komoditi ini cenderung meningkat. Hal ini juga sudah mulai dialami oleh Indonesia. Permintaan konsumen dalam negeri terhadap komoditas ini dari tahun

2 ke tahun cenderung meningkat, demikian pula dengan permintaan ekspor. Biro Pusat Statistik (BPS) (2004) dalam BAPPENAS (2005), melaporkan bahwa nilai ekspor kepiting pada tahun 2000 adalah 12 381 ton dan meningkat menjadi 22 726 ton pada tahun 2007. Peningkatan permintaan umumnya akan diikuti oleh peningkatan harga jual. Menurut Gunarto dan Cholic (1989), harga kepiting bakau semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini, harga jual kepiting bakau pada beberapa pasar tradisional maupun pasar swalayan di kota Jakarta mencapai Rp 30 000-40 000/kg untuk kepiting bakau jantan dan betina yang tidak bertelur, sedangkan untuk kepiting bakau yang bertelur dapat mencapai Rp 50 000-60 000/kg. Arifin (1993), menyatakan bahwa harga seekor kepiting bakau yang bertelur penuh, dapat mencapai tiga sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan harga seekor kepiting bakau berukuran relatif sama, tetapi yang tidak bertelur atau belum bertelur penuh. Kasry (1996), menyatakan bahwa di beberapa tempat di pulau Jawa, nelayan mulai sulit memperoleh hasil tangkapan kepiting bakau. Sedangkan Cholik (1999), melaporkan bahwa rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa propinsi penghasil utama komoditas ini (Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Riau), agak lambat atau cenderung mengalami penurunan. Beberapa daerah di provinsi Maluku Tengah, seperti perairan Teluk Pelita Jaya Seram Barat, juga mengalami hal yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah hasil tangkapan nelayan semakin menurun dan ukuran kepiting bakau yang tertangkap juga semakin kecil. Penurunan kuantitas dan kualitas populasi kepiting bakau di alam, diduga akibat degradasi ekosistem mangrove dan atau kelebihan tangkap (over exploitation). Mengingat pentingnya nilai manfaat ekologi maupun ekonomi yang dimiliki komoditas kepiting bakau, maka masalah penurunan produksi kepiting bakau di alam harus segera diatasi dengan melakukan upaya-upaya pengelolaan, baik melalui tindakan konservasi bagi populasi yang masih stabil, maupun melalui tindakan rehabilitasi (restocking) bagi populasi yang sudah tidak stabil. Dalam rangka merealisasikan upaya pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (habitat dan populasi), dibutuhkan seperangkat data dan informasi baik biologi maupun ekologi kepiting bakau. Untuk mendapatkan data dan informasi tersebut, maka

3 dilakukanlah penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat, yang dianggap dapat mewakili habitat kepiting bakau dengan kondisi lingkungan yang bervariasi. 1.2 Perumusan Masalah Masalah penurunan produksi kepiting bakau di alam akibat degradasi habitat dan over exploitation, terjadi pada banyak wilayah perairan mangrove di Indonesia. Hal ini mungkin juga terjadi pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, yang merupakan bagian dari Kawasan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem, Jawa Barat. Wilayah perairan mangove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, yang merupakan areal tambak tumpangsari (silvofishery) dengan sistem empang parit dan komplangan, akhir-akhir ini menghadapi masalah pemanfaatan. Semestinya, melalui sistem silvofishery, masyarakat dapat memanfaatkan ekosistem mangrove untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem mangrove yang ada. Namun pada kenyataannya, telah terjadi penebangan hutan mangrove untuk perluasan tambak, kawasan wisata dan transportasi laut, sehingga merubah fungsi ekologis yang merupakan perpaduan antara fungsi fisik dan fungsi biologi. Kondisi ini berdampak terhadap perubahan tipe dan karakter habitat, yang secara langsung menentukan perbedaan struktur populasi, distribusi maupun aspek reproduksi, dari biota-biota penghuni ekosistem mangrove termasuk kepiting bakau, yang hidup beradaptasi pada tiap zona dalam ekosistem mangrove tersebut. Dengan demikian informasi tentang dampak pemanfaatan hutan mangrove dengan cara konversi lahan, terhadap keberadaan dan kestabilan populasi kepiting bakau, seperti yang terjadi pada wilayah BKPH Ciasem Jawa Barat sangat penting, sehingga dapat ditentukan upaya pengelolaan populasi kepiting bakau maupun habitatnya, secara lebih tepat. Peningkatan permintaan pasar terhadap komoditas kepiting bakau dengan harga yang cukup tinggi, menyebabkan terjadinya penangkapan berlebihan (over exploitation), yang merupakan salah satu penyebab penurunan populasi kepiting bakau di alam. Intensifikasi penangkapan umumnya dilakukan dengan cara memperbanyak alat tangkap dan memperpanjang waktu penangkapan. Selama

4 ini, alat tangkap yang digunakan belum mempertimbangkan kelestarian populasi kepiting bakau, karena kepiting bakau berukuran kecil yang bukan merupakan target utama penangkapan ikut tertangkap. Intensifikasi penangkapan terhadap kepiting bakau betina bertelur dapat mengganggu kestabilan populasi kepiting bakau, karena kepiting bakau tidak diberi kesempatan untuk melakukan proses reproduksi, sehingga tidak terjadi penambahan stok baru (rekruitmen). Demikian pula halnya dengan intensifikasi penangkapan individu muda. Selama ini, pemenuhan permintaan pasar terhadap komoditas kepiting bakau di BKPH Ciasem Jawa Barat, masih bersumber dari intensifikasi penangkapan di alam. Penurunan populasi kepiting bakau di alam mungkin dapat dihindari, apabila pemenuhan permintaan pasar dapat dialihkan dari usaha intensifikasi penangkapan di alam ke usaha budidaya. Selain merupakan salah satu upaya untuk memenuhi pangsa pasar perikanan, budidaya juga merupakan alternatif dalam upaya mempertahankan kestabilan populasi kepiting bakau di alam, dan sekaligus merupakan salah satu upaya rekruitmen. Salah satu persyaratan dalam kegiatan budidaya adalah tersedianya benih yang cukup. Dengan demikian perlu diusahakan pembenihan secara cepat, masal dan kontinyu. Upaya ini dapat dicapai, salah satunya melalui manipulasi hormon terhadap proses pematangan gonad induk kepiting bakau, dengan teknik ablasi tangkai mata (John & Sivadas 1978,1979; Sulaeman & Hanafi 1992; Fattah 1998). Beberapa ahli melaporkan bahwa ablasi tangkai mata pada krustasea tidak hanya berpengaruh terhadap proses reproduksi, tetapi juga terhadap proses metabolisme dan pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena proses-proses tersebut dikendalikan oleh hormon yang dihasilkan dan disalurkan oleh dan melalui sistem neurosecretory pada tangkai mata. Dengan demikian perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, mengingat data dan informasi tentang posisi sistem neurosecretory pada tangkai mata kepiting bakau sangat penting, untuk menjamin keberhasilan proses ablasi tangkai mata. Sehingga dengan demikian, efek negatif ablasi seperti stres, penurunan daya kelangsungan hidup dan kematian induk kepiting bakau, serta penurunan kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan dapat dihindari. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, perlu dikumpulkan data dan informasi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi

5 kepiting bakau, melalui studi tentang bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.). Data dan informasi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam upaya pengelolaan populasi kepiting bakau dan habitatnya, melalui tindakan konservasi dan rehabilitasi. 1.3 Pendekatan Masalah Untuk memperoleh data dan informasi tentang aspek bioekologi kepiting bakau, perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data dan informasi tentang tipe dan karakteristik habitat kepiting bakau, diperoleh dengan melakukan klasifikasi wilayah (zona) berdasarkan konversi dan pemanfaatan hutan mangrove, yakni zona alami dan zona pemanfaatan seperti: pertambakan, pariwisata, dan pemukiman penduduk, atau berdasarkan karakter-karakter khusus yang dimiliki tiap zona. Selanjutnya pada tiap zona dilakukan pengamatan dan analisa parameter biofisik dan kimia lingkungan, yang meliputi: parameter fisik-kimia air dan substrat, kerapatan vegetasi mangrove, produksi serasah dan kelimpahan makrozoobentos, sehingga dapat memberikan gambaran umum tentang kondisi lingkungan pada lokasi penelitian (perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan) dan karakteristik habitat kepiting bakau. Untuk tujuan pengelolaan populasi kepiting bakau, dilakukan kajian determinasi struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau secara umum, serta struktur morfologis dan anatomis tubuh, yang merupakan faktor pembeda dalam identifikasi jenis kepiting bakau. Disamping itu, dilakukan juga kajian tentang struktur populasi, distribusi spasial dan temporal, serta aspek reproduksi kepiting bakau. Dalam kajian struktur populasi kepiting bakau, dilakukan analisa ukuran minimum dan maksimum, pola distribusi, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan dan umur teoritis, serta laju mortalitas kepiting bakau, yang tertangkap pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan. Melalui data hasil tangkapan kepiting bakau pada tiap zona, dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan secara teratur selama 12 siklus bulan, dapat dikaji kelimpahan kepiting bakau pada tiap zona. Bila hasil analisa kelimpahan kepiting bakau dikaitkan dengan data parameter biofisik dan kimia lingkungan, maka dapat diperoleh data dan informasi tentang distribusi spasial kepiting bakau menurut jenis, jenis kelamin, kelas ukuran dan

6 individu betina matang gonad, dalam kaitannya dengan karakteristik habitatnya. Dapat juga dikaji distribusi temporal kepiting bakau betina matang gonad, serta parameter fisik dan kimia lingkungan yang mempengaruhi distribusi tersebut. Kajian aspek reproduksi kepiting bakau yang dilakukan, meliputi: performa reproduksi, potensi reproduksi, dan evaluasi efektivitas ablasi tangkai mata kepiting bakau. Performa reproduksi kepiting bakau, dilakukan melalui kajian determinasi struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau, untuk memperoleh data dan informasi tentang karakter dewasa kelamin dan frekwensi ukuran dewasa kelamin, karakter pembeda jenis kelamin, serta karakter perkembangan gonad, embrio dan larva kepiting bakau. Potensi reproduksi kepiting bakau, dikaji melalui analisa rasio kelamin, frekwensi pemijahan dan rekruitmen kepiting bakau di wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan. Evaluasi efektivitas ablasi tangkai mata kepiting bakau, dilakukan secara terkontrol di tambak dan di laboratorium, meliputi: evaluasi perkembangan gonad, embrio dan larva, yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi tangkai mata dan tanpa perlakuan ablasi tangkai mata (alami). Untuk menjamin keberhasilan ablasi, sebelumnya dilakukan eksplorasi sistem neurosecretory (sel-sel neurosecretory atau organ-x dan sinus gland) pada jaringan tangkai mata kepiting bakau melalui analisa histokimia. Diagram perumusan dan pendekatan masalah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang 1. Struktur populasi kepiting bakau, meliputi: ukuran minimum dan maksimum, pola distribusi, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan dan umur teoritis, serta laju mortalitas kepiting bakau yang tertangkap pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan. 2. Distribusi spasial dan distribusi temporal kepiting bakau, berdasarkan karakteristik habitat lingkungan pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan.

7 3. Performa reproduksi kepiting bakau, meliputi: karakter pembeda jenis kelamin, karakter dewasa kelamin dan frekwensi ukuran dewasa kelamin, serta karakter perkembangan gonad, embrio, dan larva. 4. Potensi reproduksi kepiting bakau, meliputi: rasio kelamin, frekwensi pemijahan dan rekruitmen kepiting bakau, pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan. 5. Efektivitas ablasi tangkai, melalui evaluasi perkembangan gonad, embrio dan larva dari induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi tangkai mata dan induk tanpa perlakuan ablasi tangkai mata (induk alami) 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Data dan informasi tentang struktur populasi dan potensi reproduksi kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, dapat digunakan untuk menentukan bentuk pengelolaan populasi kepiting bakau secara tepat pada ketig wilayah tersebut. 2. Data dan informasi tentang distribusi spasial kepiting bakau menurut jenis, jenis kelamin, kelas ukuran dan individu betina matang gonad dalam kaitannya dengan karakteristik habitatnya, dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam upaya konservasi populasi dan habitat kepiting bakau. 3. Data dan informasi tentang distribusi temporal kepiting bakau betina matang gonad, dalam kaitannya dengan parameter fisik dan kimia lingkungan, dapat digunakan untuk menentukan musim dan puncak musim pemijahan kepiting bakau, serta parameter lingkungan yang terkait dengan proses pemijahan, sebagai bahan pertimbangan dalam upaya konservasi populasi dan habitat kepiting bakau. 4. Data dan informasi tentang performa reproduksi kepiting bakau, dapat dijadikan sebagai informasi dalam penyediaan induk, bahan acuan dalam usaha budidaya pembenihan untuk tujuan rehabilitasi populasi kepiting bakau. 5. Data dan informasi tentang struktur jaringan tangkai mata kepiting bakau, dapat digunakan untuk menentukan posisi ablasi tangkai mata

8 yang tepat, dalam upaya mempercepat laju pematangan gonad. Data dan Informasi ini, dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi usaha budidaya pembenihan, untuk tujuan rehabilitasi populasi kepiting bakau. 1.5 Hipotesis. Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut 1. Karakter habitat yang berbeda akan mempengaruhi struktur populasi, distribusi, dan aspek reproduksi kepiting bakau antar zona dalam wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, maupun antar ketiga wilayah perairan mangrove tersebut. 2. Terdapat perbedaan kualitas dan kuantitas gonad, embrio dan larva, yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi tangkai mata, dengan induk tanpa perlakuan ablasi tangkai mata (alami).

9