I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan di era tahun 1980 an hingga pertengahan tahun 1990 an banyak memberikan pandangan keliru tentang pengelolaan hutan mangrove yang berorientasi pada konversi menjadi lahan pertambakan udang yang berujung pada kondisi yang tidak menguntungkan secara ekonomi (Supriadi, 2002 dalam Gufran, 2012). Menurut Poedjirahajoe (2006), untuk tujuan sektoral misalnya peningkatan produksi dan ekspor udang telah mengubah prioritas pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut Dahuri et al. (2001), luas hutan mangrove terus mengalami penurunan luas sampai 50%, dan yang masih tersisa hanya tertinggal berupa hutan alami pada kawasan konservasi. Hutan mangrove di pulau Jawa telah mengalami kerusakan sebesar 70% (Machintos, 1996 dalam Hogarth, 2007). Selanjutnya Bakosurtanal (2009) dalam Kusmana (2012) mengatakan bahwa luasan mangrove di Indonesia sebesar 3,2 juta hektar. Pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk kepentingan manusia, maka faktor ekologi, ekonomi dan sosial budaya harus dipertimbangkan bersamaan agar tidak menimbulkan gesekan kepentingan satu dengan lainnya. Menurut Gufran (2012), ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir dan lautan yang tidak bisa dipisahkan dengan ekosistem lainnya secara ekologis. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting dan produktif yang berada pada wilayah peralihan antara darat dan laut. Ekosistem ini berperan penting dalam mata rantai perputaran hara sehingga keseimbangan siklus 1

2 biologis perairan terjaga dan terpelihara. Sumbangan mangrove terhadap ekosistem perairan sangat ditentukan oleh kemampuan menghasilkan seresah yang akan didekomposisikan oleh organisme pengurai dan menjadi nutrisi bagi kehidupan berbagai biota perairan di dalam rantai makanan. Mangrove memiliki interaksi sifat fisik dan biologi yang kompleks dan dinamis namun labil. Dikatakan kompleks karena disamping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis dikarenakan tumbuh dan berkembang terus menerus, mengalami suksesi menyesuaikan dengan perubahan tempat tumbuhnya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala (Kusmana, 2002). Menurut Snedaker et al. (1984), ekosistem mangrove memiliki keunikan tersendiri karena merupakan penggabungan empat anasir dasar yang saling berinteraksi, yaitu: tumbuhan, hewan, tanah dan air yang menempati daerah ekoton yang secara periodik terkena pasang surut air laut, sehingga organisme yang hidup di dalamnya menunjukkan pemintakatan. Ekosistem mangrove memiliki gradient sifat lingkungan yang tajam, terjadinya fluktusasi arus pasang surut memberikan pengaruh besar terhadap beberapa faktor lingkungan. Oleh karenanya hanya jenis tumbuhan dan hewan yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor tersebutlah yang dapat bertahan dan berkembang. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil namun kepadatan populasi masingmasing umumnya besar (Kartawinata, 1979). Sebagai salah satu ekosistem permuaraan, kawasan mangrove memiliki produktifitas yang tinggi diantara kawasan pesisir lainnya. Bahan organik yang 2

3 tersedia di kawasan mangrove sebagian besar berasal dari bagian-bagian pohon terutama daun, akan tetapi daun-daun mangrove yang mengandung unsur hara tinggi ini tidak langsung mengalami proses pelapukan dan pembusukan oleh mikroorganisme, melainkan memerlukan bantuan aktifitas hewan hewan-hewan bentik (makro, meio dan mikrofauna benthos) dalam mata rantai perputaran hara sangat bervariasi dan dinamis (Alongi, 1998). Menurut Camelleri (1992), mineralisasi bahan organik sangat ditentukan oleh beberapa hal, yaitu: struktur dari benthos, sistem perakaran tumbuhan mangrove dan lingkungan bentik. Makrobenthos dalam ekosisitem mangrove memiliki peran yang sangat besar dalam penyediaan hara bagi tumbuh dan berkembangnya pohon-pohon mangrove maupun bagi makrobenthos itu sendiri. Peran tersebut menjadikan makrobenthos sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah daun menjadi bagian-bagian kecil, kemudian menjadi protein dan karbohidrat bagi organisme kecil lainnya (bakteri dan fungi). Allongi (2009), menyatakan bahwa makrobenthos memainkan peran penting dalan komunitas dasar karena fungsinya dalam proses mineralisasi dan pendaur ulang bahan organik. Sumbangan hara terpenting dari hutan mangrove adalah input dari sungai dan guguran daun-daun vegetasi (serasah) ke dalam substrat dan merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan (Nontji, 1987). Serasah mangrove akan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta menjadi sumber nutrisi bagi produsen primer dalam tingkat tropik. Kemudian zooplankton, benthos dan ikan akan memanfaatkan sebagai sumber energi dalam kedudukannya sebagai konsumen primer. Hubungan jaring makanan ini terus terpelihara dengan 3

4 baik dan meningkat dengan bertambahnya jumlah masing-masing komponen yang bersiklus tadi, karena kunci kesuburan perairan kawasan mangrove terletak pada stabilitas setiap komponen ekosistemnya (Nybakken, 1982), Taman Nasional Karimunjawa terletak wilayah Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah memiliki lima tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, ekosistem hutan pantai, ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Keberadaan ekosistem yang lengkap dan unik menyebabkan kawasan Taman Nasional Karimunjawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga kawasannya harus dikelola seoptimal mungkin. Ekosistem hutan mangrove Taman Nasional Karimunjawa tersebar pada pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Mrica dan Pulau Nyamuk dengan luasan bervariasi. Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan merupakan 2 (dua) pulau yang memiliki hutan mangrove dengan luasan lebih besar dibandingkan dengan pulau lainnya. Luasan hutan mangrove di pulau Karimunjawa dan kemujan masing-masing ± 200 hektar dan 222,20 hektar dengan bentuk pantai terbuka di Pulau Karimunjawa dan berbentuk laguna di Pulau Kemujan. Hutan mangrove mempunyai peranan penting terutama sebagai pelindung fisik pesisir dari abrasi dan intrusi air laut. Selain itu secara biologi hutan mangrove juga menjadi daerah pemijahan dan daerah mencari makan bagi berbagai biota laut seperti udang, ikan dan sebagainya. Manfaat lain adalah potensi hutan mangrove sebagai objek dan tujuan wisata alam. Oleh karenanya ekosistem hutan mangrove pada pulau Karimunjawa dan Kemujan sebagai bagian dari gugusan pulau-pulau 4

5 kecil sangat penting untuk dijaga kelestariannya sebagai salah satu penyangga kehidupan. Perkembangan usaha pertambakan udang terutama sejak diterapkannya sistem budidaya intensif antara tahun di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan merupakan salah satu faktor terjadinya degradasi mangrove di kedua pulau tersebut. Konversi lahan kawasan hutan mangrove perkembangannya sangat signifikan dengan rata-rata perluasan lahan untuk tambak di Pulau Karimunjawa (Tim INSET Undip, 2000 dalam Putinella, 2003). Selain itu pertumbuhan penduduk di pulau Karimunjawa yang semakin meningkat serta perkembangan industri pariwisata khususnya wisata bahari yang terpusat di pulau Karimunjawa dengan jumlah pengunjung yang semakin meningkat juga, menyumbang tekanan terhadap degradasi ekosistem hutan mangrove (konversi lahan dan pencemaran). Intrusi air laut akibat terdegradasinya ekosistem hutan mangrove di pulau Karimunjawa dan Kemujan sudah dirasakan sejak lama. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparyanto et al. (2003) menemukan bahwa dari 5 mata air yang diamati di Karimunjawa bersifat asam atau mempunyai ph antara 4,38-5,99, kandungan ion klorida yang tinggi yaitu >250 mg/l sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem aliran air tanah di daerah ini telah mengalami pengaruh penyusupan air laut (proses difusi/intrusi) dan tidak tertutup kemungkinan adanya gejala pencemaran limbah domestik. Degradasi ekosisitem hutan mangrove terjadi melalui penebangan vegetasi mangrove yang berakibat pada terbukanya kanopi yang bersifat sementara maupun permanen dapat mengakibatkan perubahan terhadap penyinaran, suhu, kelembaban dan perubahan keadaan lingkungan lainnya (Simbolon, 1991). 5

6 Perubahan kondisi lingkungan tersebut menyebabkan keanekaragaman makrobenthos yang menempati daerah tersebut sebagai habitatnya akan mengalami perubahan terkait erat dengan perubahan lingkungan. Makrobenthos merupakan salah satu komponen ekosistem mangrove terpenting sehubungan dengan peranannya sebagai biota kunci dalam jaring makanan, dan berfungsi sebagai degradator bahan organik (Pratiwi et al., 2004). Kondisi tersebut menjadikan biota makrobenthos memiliki fungsi sebagai penyeimbang kondisi nutrisi lingkungan dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan kondisi lingkungan diwilayah perairan pesisir (Hawkes, 1978). Klasifikasi dengan cata pengelompokan habitat menjadi sangat penting dalam upaya mempelajari karakteristik habitat makrobenthos pada ekosisitem hutan mangrove itu sendiri. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem ekologi yang sangat rumit, sehingga terbentuk kelompok-kelompok habitat yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan makrobenthos. Melalui penyederhanaan sistem, maka didapat kelompok habitat yang serupa antara satu lokasi dan lokasi lainnya, sehingga upaya pengelolaan dapat disamakan pada lokasi yang mempunyai kemiripan habitat. 1.2 Perumusan Masalah Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan merupakan 2 (dua) pulau yang memiliki hutan mangrove dengan luasan relatif besar dibandingkan dengan pulau lainnya. Namun saat ini kondisi hutan mangrove di kedua pulau ini sebagian telah mengalamai degradasi luas dan fungsi akibat aktifitas tambak udang secara intensif pada tahun dan penebangan, dimana membuat kondisi habitat 6

7 yang masih baik dan kondisi habitat yang telah terdegradasi. Hutan mangrove yang terdegradasi akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove sehingga fungsi alaminya terganggu. Keadaan tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki berbagai fungsi dan manfaat, meliputi fungsi fisik, biologi, dan ekonomi atau produksi. Menurut Snedaker et al. (1984), ekosistem mangrove memiliki keunikan tersendiri karena merupakan penggabungan empat anasir dasar yang saling berinteraksi, yaitu: tumbuhan, hewan, tanah dan air yang menempati daerah ekoton yang secara periodik terkena pasang surut air laut, sehingga organisme yang hidup di dalamnya menunjukkan pemintakatan. Makrobenthos merupakan salah satu komponen dalam ekosistem hutan mangrove yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kelestarian hutan mangrove karena perannya dalam proses dekomposisi awal bahan organik. Peran makrobenthos sebagai dekomposer awal mampu memproses 50% dari total produksi serasah, sehingga menjadi penyumbang penting dalam siklus hara dan aliran energi pada ekosistem mangrove (Allongi, 2009). Informasi tentang dinamika komunitas makrobenthos mangrove di Taman Nasional Karimunjawa masih sedikit, khususnya terkait dengan struktur komunitasnya pada beberapa blok hutan mangrove yang berada di Pulau Karimunjawa dan Kemujan. Atas dasar itulah, maka diperlukan penelitian tentang komposisi, keanekaragaman dan kelimpahan makrobenthos pada beberapa lokasi habitat mangrove, serta melakukan klasifikasi habitat makrobenthos pada hutan mangrove untuk selanjutnya menemukan faktor-faktor habitat yang 7

8 mempengaruhi klasifikasi tersebut untuk dapat dijadikan masukan bagi pengelolaan ekosistem mangrove Taman Nasional Karimunjawa secara lestari. 1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1) Mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman makrobenthos mangrove pada beberapa blok hutan mangrove di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. 2) Mengklasifikasi habitat makrobenthos berdasarkan kelimpahan makrobenthos dan karakteristik lingkungan pada ekosisitem hutan mangrove di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. 3) Mengetahui faktor yang bepengaruh dalam klasifikasi habitat makrobenthos pada ekosisitem mangrove di Pulau Karimunjawa dan Kemujan. 1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan Penelitian ini dapat digunakan dalam penerapan strategi pengelolaan ekosistem mangrove berdasarkan keberadaan makrobenthos oleh pengelola kawasan. Selanjutnya juga dapat digunakan dalam upaya rehabilitasi dan pengelolaan pada daerah lain yang memiliki bentang lahan yang mirip dengan kawasan mangrove di Taman Nasional Karimunjawa. Fitriana (2006), menyatakan bahwa dengan semakin menurunnya keanekaragaman dan kelimpahan makrobenthos maka menunjukkan bahwa kawasan tersebut memiliki kekayaan jenis yang kecil, produktifitas sangat rendah, adanya tekanan ekologis yang berat dari lingkungan sekitar sehingga mengakibatkan ekosisitem hutan mangrove menjadi tidak stabil. 8

9 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul KLASIFIKASI HABITAT MAKROBENTHOS PADA EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, namun beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan judul penelitian ini antara lain: 1) Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali oleh Fitriana (2006), penelitian ini mengambil data tegakan mangrove dan makrozoobenthos untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobenthos di hutan mangrove hasil rehabilitasi, dimana hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat 20 Jenis makrozoobenthos dengan nilai keanekaragaman 0,81 2,00 dan nilai kemelimpahan berkisar antara individu/m 2 dan besarnya kandungan liat berkorelasi negataif terhadap kelimpahan makrozoobenthos. 2) Klasifikasi Habitat Mangrove Berdasarkan Kelimpahan dan Keanekaragaman Makrobenthos Di Taman Nasional Baluran oleh Destiana (2012), penelitian ini mengambil data tegakan mangrove dan kepadatan makrobenthos pada bagian depan, tengah dan belakang hutan mangrove Taman Nasional Baluran, dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa zona pengamatan bagian depan dan tengah memiliki kemelimpahan dan keanekarahaman makrobenthos yang tinggi dibandingkan zona belakang. 3) Klasifikasi Dan Kelimpahan Benthos Berdasarkan Karakteristik Habitat Mangrove Di Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo oleh Ninda Asmarani Karningsih (2013), penelitian ini mengumpulkan data faktor fisik 9

10 kimia biologis perairan dan kerapatan vegetasi pada unit-unit ekologi yang terbentuk pada hutan mangrove, dimana hasil penelitian ini menunjukkan terbentuknya 2 klasifikasi habitat yang memiliki keanekaragaman benthos yang berbeda dengan parameter utama yang mempengaruhi adalah kerapatan vegetasi. 1.6 Alur Pikir Penelitian Ekosistem Hutan Mangrove Di Pulau Karimunjawa dan Kemujan Taman Nasional Karimunjawa Empat blok mangrove memiliki karakteristik biofisik yang berbeda. Untuk mempelajari makrobenthos lebih detail perlu pengelompokan/klasifikasi habitatnya. 1) Mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman makrobenthos 2) Mengklasifikasi habitat makrobenthos berdasarkan kelimpahan makrobenthos dan karakteristik lingkungan. 3) Mengetahui faktor penciri utama yang menjadi dasar klasifikasi habitat. Faktor-faktor habitat : 1. Suhu & ph perairan 2. Oksigen terlarut 3. Salinitas 4. Tekstur substrat 5. C-organik 1. Analisis Klaster 2. Analisis Diskriminan Penelitian Analisis Hasil dan Pembahasan Vegetasi mangrove dan makrobenthos: 1. Jenis 2. Kerapatan/kelimpahan Makrobenthos: Menghitung kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi. Mangrove: Kerapatan dan INP Kesimpulan dan Saran Gambar 1. Skema Alur Pikir Penelitian 10