BAB V PENUTUP Kesimpulan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. secara etimologi berarti keberagaman budaya. Bangsa Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan. Konsep toleransi seperti yang dapat disimpulkan dalam film ini sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film

BAB I PENDAHULUAN. yang lugu, bodoh dan pantas untuk dijadikan guyonan. Padahal belum tentu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tarigan (dalam PLPG, 2009: 28) Menulis atau mengarang adalah. wacana yang kemudian dileburkan menjadi tulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia memiliki suku, adat istiadat, bahasa, agama, ras, seni dan

BAB 1 PENDAHULUAN. relevan dimasa sekarang. Berbicara masalah kehidupan sehari-hari, kita tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. verbal. Komunikasi yang lazim digunakan dalam kehidupan sehari hari ialah. yang melibatkan banyak orang adalah komunikasi massa.

BAB I PENDAHULUAN. hidup, yang juga sering disebut movie atau sinema. Film adalah sarana

BAB I PENDAHULUAN. dan terjadi peningkatan pada komunikasi antarbudaya (Sihabudin, 2013 : 2-3).

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. seniman melalui berbagai bentuk media yang digunakannya. Melalui karya seni inilah

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya beragam (plural). Suatu

BAB I PENDAHULUAN. khalayak melalui sebuah media cerita (Wibowo, 2006: 196). Banyak film

BAB IV PENUTUP. penulis lakukan dengan judul DINAMIKA ISU-ISU MULTIKULTUR DALAM IKLAN TELEVISI COCA-COLA PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015 ANANLISIS NILAI MORAL PAD A TOKOH UTAMA RED A D ALAM FILM LE GRAND VAJAGE(LGU) KARYA ISMAEL FERROUKHI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berkaitan dengam dua konsep di atas, maka keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya,meskipun individu maupun masyarakat

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. dan ketertarikan terhadap masalah manusia serta kehidupan sosialnya atau keinginannya

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

( dan menurut Dosen Filsafat dan Teologi Hindu di IHDN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang modern, membuat seorang kreator film akan lebih mudah dalam

BAB I PENDAHULUAN. medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. menjadi media hiburan juga berfungsi sebagai media informasi dan sarana

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB IV PENUTUP. yang direpresentasikan dalam film PK ditunjukan dengan scene-scene yang. tersebut dan hubungan kelompok dengan penganut agama lain.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

BAB 1 PENDAHULUAN. budaya yang melatar belakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun rohani dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

BAB VI PENUTUP. (Negeri Ini) dengan menggunakan metode semiotika Pierce. Peneliti

PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Keragaman memang indah dan menjadi kekayaan bangsa yang. dari pada modal bangsa Indonesia (Hanifah, 2010:2).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Film merupakan salah satu produk media massa yang selalu berkembang

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media massa dengan genre anak-anak, khususnya film anak di Indonesia. Multikulturalisme, merupakan sebuah konsep yang pada umumnya dipergunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang ingin menunjukkan keanekaragaman yang dimilikinya. Tetapi secara luas, konsep multikulturalisme tidak hanya berhenti pada menunjukkan keanekaragaman, melainkan pada pengakuan dan keselarasan hidup dalam keanekaragaman. Film Denias Senandung di Atas Awan dan Di Timur Matahari, yang diproduseri oleh Alenias Pictures mengajak anak-anak untuk melihat konsep multikulturalisme melalui alur cerita, karakter, dan penggambaran etnis Papua dalam sebuah film anak. Representasi dalam penelitian ini digunakan untuk melihat bagian penting dari sebuah proses pertukaran makna, dimana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota melalui budaya. Bahasa, tanda, dan gambar itu ada untuk merepresentasikan sesuatu hal. Pendekatan konstruksionis menunjukkan bahwa representasi mampu membentuk masyarakat. Di dalam pendekatan ini, aktor sosial yang mengkonstruksi sebuah makna menggunakan sistem representasi. Aktor sosial yang menggunakan sistem konsep dari budaya mereka, melalui bahasa, kemudian sistem representasi mengkonstruksikan makna untuk membuat dunia menjadi lebih bermakna dan untuk berkomunikasi Analisis naratif, dipergunakan untuk menganalisis cerita anak dengan cara mengurai film ini menjadi unit terkecil berupa adegan (scene) kemudian dipecah menjadi sekuen-sekuen tertentu, lalu menganalisis shots tertentu agar mampu memberikan gambaran naratif secara efisien, dan untuk melihat bagaimana individu (aktor) mampu memberikan informasi naratif secara relevan. Hasil dari studi naratif dari kedua film anak tersebut menunjukkan: 160

1. Kedua film anak ini jika dilihat dari alur filmnya mencoba menampilkan perspektif multikulturalisme dengan menampilkan bagaimana situasi Papua dalam situasi yang serba terbatas dan ketika terjadi konflik. Hal ini menunjukkan bahwa Papua, memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Di Indonesia, Papua selalu dianggap terbelakang sehingga menyebabkan segala fasilitas dan infrastruktur di Papua berkembang secara terlambat. Belum lagi dari adat istiadat dan kebudayaan di Papua, yang sering digambarkan secara kuno dan tidak mau menerima hal baru. Kedua film anak ini dari segi alur cerita, mencoba untuk menampilkan realitas Papua sesuai dengan gambaran yang ada selama ini. Tetapi hal yang menarik dari alur cerita ini adalah bagaimana konflik dan permasalahan yang ada, digambarkan secara menarik, sehingga di akhir cerita, film ini mencoba memberikan solusi dan mencoba menawarkan gambaran baru mengenai konsep multikulturalisme. Sehingga Papua memperoleh kehidupan yang lebih layak ketimbang yang mereka rasakan selama ini. 2. Dari segi tema film anak, perspektif multikulturalisme ditampilkan melalui tema persahabatan, pendidikan, perbedaan-perbedaan yang coba disatukan, dan indahnya kebersamaan dalam kehidupan yang damai. Tema ini sangat menarik untuk mengambil hati para penonton dan memberikan sebuah solusi, mengingat permasalahan multikulturalisme merupakan permasalahan yang kompleks di Indonesia. 3. Tokoh film merupakan sosok yang penting dalam membangun representasi multikulturalisme dalam kedua film ini. Kedua tokoh film anak ini memiliki identitas ras sebagai anak asli Papua, yang memiliki kulit gelap, rambut ikal keriting, dan tinggal di Papua. Tokoh film memegang peranan penting dalam membangun konflik baik secara vertikal dan horisontal. Keberadaan tokoh protagonis dan antagonis, secara apik ditampilkan dalam film ini. 4. Setting film anak ini mencoba menggambarkan bagaimana kehidupan di pedalaman Papua sangat berbeda jauh dengan kehidupan di pulau yang lain. Dari segi infrastruktur tampak sekali begitu susah untuk menjangkau pedalaman Papua. Fasilitas di pedalaman Papua pun juga sangat terbatas ditampilkan dalam dua film anak ini. 161

5. Gaya bercerita kedua film anak ini mencoba menampilkan sesuai dengan rasionalitas di mata pengarang dalam menyuarakan suara Papua untuk mendapatkan hak-hak kultural mereka. Melalui film ini menampilkan, sutradara ingin mengajak khalayak melihat bagaimana kebenaran yang ada di sana di pandang dari segi khalayak, dan disetujui. 6. Dari segi point of view, Alenias mencoba menawarkan dua sudut pandang yang berbeda. Film Denias Senandung di Atas Awan sudut pandang orang utama, tokoh utama (first-person-central), yang mengisahkan mengenai pengalaman hidup dari Denias. sedangkan dalam film Di Timur Matahari, Sudut pandang orang ketiga, dimana pengarang serba tahu (third-personomniscient); yaitu pengarang mengacu pada setiap tokoh dalam bentuk orang ketiga (dia atau mereka), dan menceritakan apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan oleh beberapa tokoh. 7. Identitas kultural Suku Papua dalam kedua film ini ingin menunjukkan bahwa setiap suku di Indonesia memiliki hak yang sama untuk menunjukkan identitas mereka. Sehingga tidak mengherankan apabila representasi suku Papua begitu erat dengan identitas ras, etnis, dan sosial mereka. Dalam dua film ini dengan menampilkan sosok pemain utama yang memiliki warna kulit hitam dan berambut ikal (orang asli Papua). Suku Papua juga ditampilkan sebagai etnis yang memegang tinggi nilai-nilai moral dan budaya etnis tersebut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa scene yang menggambarkan mengenai (upacara pemasangan koteka, upacara potong jari serta mandi lumpur, dan hukum adat). Dari identitas sosial, kedua film ini mencoba menampilkan bagaimana kekuasaan terbesar yang akan mempengaruhi suatu hasil keputusan. 8. Masyarakat Papua, dalam film ini direpresentasikan mudah berkomunikasi dengan suku lain, tetapi mereka juga melakukan akomodasi secara divergen apabila apa yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebudayaan atau adat istiadat mereka. Film ini secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat yang minoritas di tanahnya sendiri ketimbang masyarakat dari luar Papua. Di tambah lagi, dengan adanya hukum adat, membuat mereka makin menjadi minoritas di sana. Sedangkan pelaku stereotipe, datangnya 162

dari suku Papua sendiri dalam memandang Jawa dan begitu pula sebaliknya. Mereka merasa berbeda dengan Jawa dan tidak mau disamakan dengan kehidupan di Jawa. Etnosentrisme juga terjadi dalam diri suku Papua. Hal ini terlihat dari bagaimana keinginan mereka untuk mematuhi hukum adat, ketimbang menerima masukan dari luar yang dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadat mereka. Secara tidak langsung, mereka menganggap bahwa hukum adat adalah yang terbaik daripada berdiskusi dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini merupakan bentuk sikap mereka mempertahankan hak kultural yang dimiliki yaitu dengan menjalankan kehidupan seperti adat istiadat yang telah mereka lakukan selama ini. Kesimpulan dari analisis film anak tersebut menarik untuk di diskusikan lebih lanjut. Secara teoritis saat ini isu multikulturalisme merupakan sebuah topik perbincangan yang menarik untuk dikaji. Multikulturalisme pada dasarnya tidak semudah merayakan keanekaragaman secara bersama-sama. Konsep multikulturalisme memiliki makna dan arti yang lebih kompleks. Selama ini, media massa kerap menampilkan keanekaragaman yang dimiliki Indonesia dengan adanya konflik dan kekerasan. Pemberitaanpemberitaan yang ditampilkan, membuat masyarakat menjadi skeptis akan terwujudnya masyarakat Indonesia yang mampu berbhineka tunggal ika. Namun, disisi lain terdapat pihak yang mendukung agar bangsa Indonesia yang merupakan negara multikultural mampu hidup berdampingan dengan segala perbedaan yang ada, dengan cara mengakui keberadaan mereka dan memberikan hak-hak kultural pada mereka tanpa terkecuali. Film-film anak produksi Alenia Pictures mencoba menawarkan sebuah konsep multikulturalisme yang baru dengan menampilkan etnis Papua dalam film mereka. Seperti yang diketahui selama ini, masyarakat Papua selalu mendapat stereotipe yang negatif. Adanya stigma negatif mengenai masyarakat Papua, membuat Alenia Pictures mengangkat kehidupan di Papua dalam sebuah film. Temuan di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hingga saat ini masih terjadi ketidakadilan yang di terima oleh masyarakat Papua. Wacana mengenai Papua sebagai masyarakat yang terbelakang, kuno, dan tidak berpendidikan sangat 163

tampak jelas di dalam kedua film ini. Belum lagi terdapat beberapa scene yang membandingkan antara Papua dan Jawa. Film ini mencoba menyadarkan khalayak penonton, bahwa selama ini anggapan (stereotipe) mengenai Papua bukan karena suku itu sendiri, melainkan mereka berstereotipe karena sejarah yang ada dan bagaimana bangsa Indonesia memperlakukan masyarakat Papua. Padahal seharusnya sebagai negara yang multikultural, Indonesia bisa menerima dan mengakomodasi segala perbedaan yang ada. Di dalam film Denias Senandung di Atas Awan, penonton disajikan bagaimana infrastruktur pendidikan di Papua tidaklah memenuhi. Berbeda sekali dengan infrastruktur pendidikan di Jawa. Padahal jika kita merujuk pada prespektif multikulturalisme di Indonesia, setiap warga negara di Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan. Sedangkan dalam film Di Timur Matahari, Alenia Pictures mencoba menampilkan kehidupan di Papua yang serba kekurangan tetapi segala sesuatunya disana mahal. Tidak mengherankan jika banyak terjadi konflik akibat adanya denda adat yang nominalnya sangat fantastis. Hal ini adalah efek perekonomian di pedalaman Papua, yang menjual segala barang-barang dengan harga yang sangat berbeda dengan pulau Jawa. Padahal, Papua menyumbang banyak devisa negara melalui pertambangannya, tetapi kehidupan rakyat Papua sangat jauh dari kesejahteraan. Temuan dalam kedua film anak ini sesuai dengan asumsi penelitian yaitu kedua film anak ini mencoba untuk menampilkan representasi etnis Papua melalui prespektif multikulturalisme. Konsep multikulturalisme di Indonesia yang tidak seimbang selama ini mengakibat banyak muncul stigma negatif mengenai identitas kultural etnis Papua. Banyak yang menganggap bahwa masyarakat Papua merupakan masyarakat terbelakang, kuno, dan tidak berpendidikan merupakan hasil dari sikap negara akan masyarakat Papua. Hal ini sangat berkebalikan dengan pandangan yang ada selama ini, dimana masyarakat Papua tidak bisa modern karena mereka menutup diri. Kedua film anak ini berhasil merepresentasikan suku Papua yang sebenarnya ingin memiliki hak-hak kultural yang sama dengan sukusuku yang lain. 164

Dari segi praktis, dengan adanya kedua film anak mengenai suku Papua dalam prespektif multikulturalisme, membuat perkembangan dunia film makin beragam. Kedua film anak ini merupakan sebuah bentuk pembelajaran sosial bagi khalayak, khususnya anak-anak agar mampu melihat mengenai multikulturalisme di Indonesia yang pada kenyataannya masih timpang antara satu suku dengan suku yang lain. Hal yang menarik dari kedua film ini adalah pertama, film-film ini merupakan hasil pandangan dari seorang sutradara yang berasal dari Wilayah Timur Indonesia yang mengambil ruang tema mengenai anak-anak melalui pendidikan dan konflik yang berada di pedalaman Papua yang selama ini digambarkan oleh media massa, dengan cara berbeda. Kedua, tema-tema mengenai multikulturalisme sangat jarang dibahas di Indonesia sehingga kedua film anak ini sangat pintar sekali dalam memilih celah dan berharap agar mampu memberikan gambaran yang berbeda. Seperti yang diketahui, bahwa film hendaknya mampu menjadi contoh dan teladan khalayak yang menyaksikan. Dari hal ini film sebagai representasi realitas sosial masyarakat hendaknya memberikan nilai-nilai positif mengingat film merupakan sebuah media yang mencakup semua kalangan. Diskusi sosial dari film ini adalah bahwa film merupakan salah satu produk budaya yang dihasilkan dari suatu fenomena di masyarakat. Fenomena mengenai konflik dan kekerasan akibat adanya perbedaan budaya, ras, suku, dan agama dalam film merupakan suatu bentuk representasi sosial atas realitas yang ada di masyarakat dan hal ini seharusnya mampu dihapuskan atau paling tidak diminimalisir. Hasil dari film ini, menunjukkan bahwa Alenia Pictures mencoba merepresentasikan masyarakat Papua dengan memberikan gambaran yang berbeda bagi khalayak penonton, khususnya adalah anak-anak. Film ini mencoba menampilkan bagaimana Papua kerap ditampilkan secara marginal, kemudian mereka menginginkan adanya keadilan di Papua. Dengan mengambil perspektif multikulturalisme untuk melihat representasi Papua, hasil dari representasi itu menunjukkan bahwa masyarakat di Pulau Papua masih belum mendapatkan hak- 165

hak kulturalnya dan menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Watak rasial begitu tampak dari sosok masyarakat Papua yang sering dijadikan sebagai stigma negatif. Perilaku negara yang mengenyampingkan Papua tampak jelas digambarkan di dalam kedua film anak ini. Namun Alenia mencoba merepresentasikan bahwa Papua tidaklah seperti itu, dengan menggambarkan bagaimana mereka ingin terbuka, diperhatikan, dan memperoleh kehidupan serta pendidikan yang lebih layak. Kesimpulan dari kedua film anak diatas adalah sebagai berikut ; - Multikulturalisme di Indonesia belum mampu diakomodasi secara baik oleh seluruh masyarakat Indonesia, sehingga terjadi ketimpangan di pulau Papua. - Hal ini ditunjukkan melalui keinginan Alenia untuk menyuarakan ketimpangan tersebut melalui representasi multikulturalisme dalam memandang suku Papua. - Masyarakat Papua secara tidak langsung sering distereotipekan karena memiliki ciri fisik yang berbeda dibanding masyarakat lainnya di Indonesia. - Masyarakat Papua bersikap stereotipe terhadap suku yang lain (khususnya Jawa dalam kedua film ini) adalah akibat adanya perlakuan pemerintah (yang berada di Pulau Jawa) terhadap mereka. - Sikap etnosentrisme karena mereka merasa bahwa nenek moyang mereka memiliki jasa yang besar sehingga adat, norma, dan kebudayaan harus dilakukan. - Masyarakat Papua merupakan masyarakat yang minoritas di Pulaunya sendiri. Dari segi mata pencaharian, ditampilkan bahwa dokter, bos di tambang, guru, berasal dari pulau itu. - Masyarakat Papua memiliki strata sosial yang sangat tegas. - Akomodasi antara suku luar Papua dan suku Papua terkadang berjalan dengan baik, tetapi terkadang pula tidak bisa berjalan dengan baik karena adanya benturan dengan norma masyarakat di Papua. - Ideologi yang disajikan melalui teks kedua film anak ini merupakan ideologi yang positif, karena untuk membela dan memajukan kepentingan 166

etnis Papua dalam memperoleh hak mereka, yaitu hak untuk memperoleh pendidikan dan perdamaian di tanah Papua. Kedua film anak ini mampu memberikan gambaran mengenai etnis Papua, mampu digambarkan secara apik di dalam film ini. Film ini mencoba menyajikan gambaran etnis Papua secara baru melalui prespektif multikulturalisme. Film ini menyajikan bagaimana etnis Papua, sebagai sosok minoritas mencoba memberikan perlawanan terhadap gambaran-gambaran yang tidak baik dan penuh stereotipe atas dirinya, dengan memberikan solusi happy ending di setiap film anak ini. B. Saran Secara teoritis, peneliti berusaha mengajak dan mencoba memberikan kontribusi baik berupa pemikiran dan gagasan ilmiah, serta mencoba untuk menambah pengetahuan melalui riset-riset mengenai representasi dalam media film yaitu dalam penelitian ini adalah representasi suku Papua dalam prespektif multikulturalisme. Diharapkan penelitian ini mampu menunjang kemajuan bagi disiplin ilmu komunikasi, khususnya adalah komunikasi budaya dan bidang perfilman. Melalui kedua film ini bisa dilihat bagaimana multikulturalisme belum berimbang. Hal ini mengakibatkan adanya dampak negatif akan gambaran mengenai masyarakat Papua di Indonesia. Pendekatan analisis isi kualitatif melalui studi naratif digunakan untuk melihat bagaimana agar sebuah struktur penceritaan mampu memberikan gambaran naratif secara efisien mengenai perspektif multikulturalisme dalam menampilkan suku Papua. Secara praktis, peneliti berharap dengan kehadiran film-film anak yang mampu menampilkan nilai multikulturalisme, seperti film Denias Senandung di Atas Awan dan Di Timur Matahari. Besar harapannya agar kedua film ini bisa menjadi inspirasi dan penggugah bagi sineas-sineas Indonesia untuk menghasilkan sebuah karya film yang bernilai edukatif dan inspiratif, dengan mengangkat tema mengenai multikulturalisme di Indonesia. Keberadaan film yang mengangkat mengenai multikulturalisme di Indonesia sangatlah penting. Hal ini cukup menarik karena selama ini keanekaragaman yang ada lebih sering digambarkan dengan 167

pertengkaran dan konflik. Melalui sebuah film, seorang sutradara mampu menampilkan gambaran atas realitas yang berbeda dari anggapan yang ada selama ini dan memberikan sebuah representasi yang baru untuk mendukung konsep multikulturalisme yang masih sangat timpang di Indonesia. Secara sosial, penelitian ini berusaha memberikan gambaran mengenai pentingnya representasi mengenai suku Papua dalam perspektif multikulturalisme dalam menyuarakan suara rakyat Papua yaitu pengakuan terhadap hak-hak kultural masyarakat minoritas di dalam media massa, khususnya di dalam media perfilman. Diharapkan agar sineas-sineas mampu menampilkan gambaran etnis Papua secara lebih berimbang. Penelitian ini diharapkan mampu mengajak masyarakat untuk berpikir kritis mengenai permasalahan multikulturalisme di Indonesia dalam media massa dan memberikan solusi sebagai jalan keluar dari permasalahan itu. 168