PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ruang ekosistem yang menyediakan berbagai sumberdaya alam baik berupa barang, maupun jasa untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan seringkali menyebabkan degradasi lingkungan (Asdak, 2004). Munculnya dampak negatif seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan mengindikasikan ketidakseimbangan hubungan antar komponen dalam ekosistem DAS dan terjadinya penurunan daya dukung DAS. Penurunan daya dukung DAS terjadi karena ketidakmampuan manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Pertumbuhan penduduk yang cepat, kebutuhan pembangunan dan pengembangan wilayah, penyediaan lahan pertanian, dan lapangan pekerjaan, mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan tidak terkendali. Akibatnya sumberdaya hutan mengalami degradasi (kualitas) dan deforestasi (kuantitas). Keterbatasan aturan, lemahnya penegakan hukum, dan buruknya pengelolaan sumberdaya hutan turut mempercepat terjadinya degradasi dan deforestasi hutan. Permasalahan deforestasi hutan di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini menyebabkan lahan hutan menjadi kritis. Lahan kritis menggambarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan dan menjadi salah satu indikator terganggunya fungsi DAS. Pada tahun 2004 setidaknya terdapat lahan kritis baik di dalam dan di luar kawasan hutan seluas 30 juta hektar. Lahan kritis tersebut sebagian besar berada pada DAS yang mengalami penurunan fungsi, sehingga Pemerintah melakukan penanganan lahan kritis melalui rehabilitasi hutan dan lahan pada 282 DAS Prioritas (Departemen Kehutanan, 2005; Kementerian Kehutanan, 2010). Upaya pemulihan kondisi hutan yang dilakukan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan reklamasi hutan, belum mampu mengimbangi laju kerusakan hutan. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, kegiatan rehabilitasi hutan yang telah 1
dilakukan hanya seluas ± 2 juta ha (Kementerian Kehutanan, 2010), sehingga luas hutan dan lahan kritis yang tersisa hingga tahun 2014 seluas 27,2 juta hektar. Rencana Pemerintah hingga tahun 2019 hanya menargetkan pengurangan lahan kritis seluas 5,5 juta hektar (Kementerian LHK, 2015a, 2015b). Keterbatasan Pemerintah dalam menangani kerusahan hutan dan lahan kritis menunjukkan bahwa banyak kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Kendala yang dihadapi mulai dari kebijakan pemerintah, tujuan, strategi, pendanaan dan pendekatan model pelaksanaan kegiatan di lapangan. Program rehabilitasi hutan terus dikembangkan melalui berbagai model dan pendekatan. Sejak tahun 2000 an, rehabilitasi hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu, tetapi juga dilakukan untuk konservasi tanah dan air, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan (Nawir et al., 2007). Kegiatan rehabilitasi hutan dari aspek konservasi tanah bermanfaat untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan, mengembalikan dan memelihara kesuburan tanah, memperbaiki kondisi hidrologi DAS, dan mengembalikan keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan. Masyarakat merupakan pihak yang berhubungan langsung dengan hutan di tingkat tapak, sehingga keberhasilan rehabilitasi hutan tidak hanya ditentukan dari aspek fisik melainkan juga aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Peran dan keterlibatan aktif masyarakat mulai dari perencanaan merupakan strategi tepat dalam rehabilitasi hutan. Perencanaan rehabilitasi hutan untuk mengatasi degradasi dan deforestasi hutan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Tahun 2004-2009 dan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL DAS) tahun 2009-2024 merupakan produk perencanaan rehabilitasi hutan yang pernah disusun oleh Kementerian Kehutanan, namun dalam penentuan lokasinya hanya dari aspek fisik, belum mempertimbangkan aspek sosial. Pendekatan yang lebih komprehensif sangat penting untuk mendukung keberhasilan program dan kegiatan rehabilitasi hutan. DAS Tabunio merupakan salah satu DAS di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Keberadaan objek-objek vital seperti bendungan (sumber air baku PDAM), pusat pemerintahan dan pemukiman menjadikan DAS ini bernilai 2
strategis. Kondisi saat ini, tercatat seluas 9.098 ha atau 79 % dari luas kawasan hutan (11.447 ha) pada DAS ini, sudah menjadi lahan kritis (BPDAS Barito, 2013a). Selain itu, kejadian banjir, kekeringan dan pendangkalan sungai yang terus berulang merupakan permasalahan lingkungan, yang mengancam kelangsungan fungsi objek-objek vital. Data lahan kritis pada DAS Tabunio secara rinci pada setiap fungsi kawasan disajikan pada Tabel 1.1. Beberapa dokumentasi berupa foto kondisi lahan di bagian hulu yang menggambarkan keberadaan lahan kritis disajikan pada Gambar 1.1 dan Peta Sebaran Lahan Kritis secara spasial pada kawasan hutan DAS Tabunio disajikan pada Gambar 1.2. Tabel 1.1. Luas Lahan Kritis Das Tabunio Pada Tiap Fungsi Kawasan No Fungsi Kategori Kekritisan Lahan Prosentase Total Kawasan Hutan Potensial Agak Sangat (%) Kritis (ha) Kritis Kritis Kritis 1 Hutan Konservasi 10 384 2.659-3.053 4,9 2 Hutan Lindung 412 569 5.493 14 6.488 10,4 3 Hutan Produksi 628 345 601 333 1.907 3,0 4 Areal Penggunaan Lain 12.877 28.223 7.897 2.113 51.110 81,7 Total 13.927 29.521 16.650 2.460 62.558 100,0 Sumber : BPDAS Barito (2013a) Keterangan : Lahan kritis yaitu kategori kritis dan sangat kritis (A) (B) 19/08/2015 19/08/2015 Keterangan : (A) Lahan kritis di Dusun Riam Pinang Kab.Tanah Laut pada koordinat:114 55'51" Bujur Timur (BT) dan 3 40'17"Lintang Selatan (LS) (B) Lahan kritis di Desa Tanjung Kab.Tanah Laut pada koordinat:114 54'21"BT dan 3 43'15"LS Gambar 1.1. Foto Lahan Kritis Pada DAS Tabunio Bagian Hulu 3
Gambar 1.2. Peta Sebaran Lahan Kritis pada DAS Tabunio (sumber:bpdas Barito Tahun 2013) Salah satu rekomendasi kegiatan pemulihan daya dukung dalam rencana pengelolaan DAS Tabunio yaitu rehabilitasi hutan, kegiatan ini difokuskan pada lahan kritis di daerah hulu (BPDAS Barito, 2013b). Kegiatan rehabilitasi hutan ini selain dilakukan sebagai upaya konservasi hutan, tanah dan air, juga untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pemulihan daya dukung DAS melalui rehabilitasi hutan menjadi sangat penting dilakukan, agar kelangsungan hidup seluruh masyarakat pada DAS Tabunio tetap terjaga. Sasaran rehabilitasi hutan yang direncanakan pada DAS Tabunio hanya mengacu pada Peta Lahan Kritis yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2013, dan belum ditentukan skala prioritas penanganannya. Prioritas rehabilitasi hutan sangat penting ditentukan karena berbagai keterbatasan dalam melakukan rehabilitasi hutan antara lain; luasnya lahan kritis pada DAS, 4
kemampuan dan ketersediaan tenaga, pendanaan, sarana dan prasarana, dan waktu pelaksanaan. Selain itu, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat juga dapat menjadi kendala dalam rehabilitasi hutan, sehingga perlu mempertimbangkan berbagai kriteria untuk menentukan lokasi yang prioritas dari sejumlah alternatif. Para pakar dan masyarakat merupakan pihak yang berperan dalam rehabilitasi hutan. Keterlibatan para pakar dan masyarakat dalam menentukan lokasi prioritas sangat diperlukan dalam perencanan rehabilitasi hutan. Umumnya para pakar berperan penuh dalam perencanaan, sementara peran masyarakat masih terbatas. Perspektif para pakar dan masyarakat dalam menentukan prioritas rehabilitasi hutan, dapat diakomodir secara seimbang melalui pemodelan spasial. Pemodelan spasial sangat diperlukan, agar tercipta kompromi kedua perspektif sejak tahapan perencanaan. Selain itu, perencanaan rehabilitasi hutan untuk pemulihan daya dukung pada DAS Tabunio lebih komprehensif. Kajian untuk menentukan prioritas rehabilitasi hutan kombinasi perspektif para pakar dan masyarakat saat ini masih jarang dilakukan. Kriteria dan alternatif berupa objek geografi dapat dianalisis dalam suatu pemodelan spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Penentuan prioritas melalui pemodelan spasial multi kriteria merupakan hal penting dan layak untuk dikaji. 1.2. Rumusan Masalah Data tahun 2013 menyebutkan bahwa luas lahan kritis pada DAS Tabunio 9.098 ha, hal ini menimbulkan berbagai dampak terhadap hidrologi maupun konservasi hutan. Banjir yang terjadi di puncak musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau, dan sedimentasi merupakan beberapa dampak yang diakibatkan dari lahan kritis. Luasnya lahan kritis menjadi perhatian Pemerintah untuk segera ditangani. Salah satu upaya pemulihan daya dukung DAS yang dilakukan adalah melalui rehabilitasi hutan pada lahan-lahan kritis di daerah hulu. Luasnya lahan kritis yang ditangani menjadi kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan. Pengambil keputusan mengalami kesulitan untuk menentukan lokasi ketika lahan kritis yang direhabilitasi sangat luas dan tidak memungkinkan dilaksanakan sekaligus, keterbatasan pendanaan dan aksesibilitas. Kesulitan yang dialami pengambil keputusan menyebabkan penentuan lokasi rehabilitasi hutan 5
dilakukan tanpa analisis spasial. Selain itu, kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi hutan antara lain; kemampuan dan ketersediaan tenaga, sarana dan prasarana, waktu pelaksanaan dan sosial ekonomi masyarakat. Kendala yang ditemui pada setiap lokasi berbeda-beda tergantung pada kondisi fisik bentang lahan dan sosial masyarakat setempat. Dukungan maupun minat masyarakat sangatlah penting artinya dalam saat pelaksanaan maupun pasca kegiatan rehabilitasi hutan. Keterlibatan masyarakat dalam menentukan lokasi rehabilitasi hutan masih terbatas, bahkan jarang dilakukan. Sasaran rehabilitasi hutan umumnya hanya ditentukan secara sepihak oleh para pengambil keputusan dalam hal ini para pakar. Para pakar menentukan lokasi lebih mengutamakan pada aspek konservasi dan cenderung tidak selaras dengan keinginan masyarakat yang berperan sebagai pelaksana dan penerima manfaat langsung rehabilitasi hutan. Kegiatan rehabilitasi hutan yang tidak sesuai dengan minat masyarakat seringkali menemui hambatan maupun kegagalan. Untuk itu, perspektif dari pakar dan masyarakat dalam menentukan lokasi rehabilitasi hutan dilibatkan secara bersamaan dalam perencanaan yaitu penentuan lokasi prioritas. Penentuan prioritas rehabilitasi hutan bermanfaat agar kegiatan rehabilitasi hutan dapat dilakukan secara bertahap. Instrumen khusus untuk penentuan prioritas rehabilitasi hutan belum tersedia. Rencana rehabilitasi hutan pada DAS Tabunio hanya mengacu pada Peta Lahan Kritis tahun 2013, dan belum tersedia informasi tentang prioritas. Kompleksitas permasalahan dan kondisi wilayah yang berbeda-beda menyebabkan Peta Lahan Kritis tidak implementatif untuk perencanaan rehabilitasi hutan atau tidak dapat langsung diterapkan pada semua wilayah. Penentuan prioritas oleh pengambil keputusan tidak ditentukan secara spasial, melainkan hanya berdasarkan pengetahuan dan penguasaan terhadap wilayah. Penentuan lokasi rehabilitasi hutan yang tidak tepat, maka perbaikan kondisi hidrologi dan konservasi hutan tidak berjalan dengan cepat. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pemodelan spasial yang dibangun pada penelitian ini dilakukan untuk mengatasi penentuan prioritas rehabilitasi hutan DAS Tabunio. Prioritas rehabilitasi hutan ini mengakomodir perspektif Para pakar dan masyarakat yang belum pernah dilakukan. Pengetahuan dan penguasaan 6
wilayah para pakar lokal dan keinginan masyarakat setempat dalam menentukan prioritas, menjadikan penelitian ini lebih representatif menggambarkan kondisi wilayah dan masyarakat untuk mendorong keberhasilan rehabilitasi hutan. Penentuan prioritas yang sesuai dengan kondisi wilayah pada DAS Tabunio terlihat dari kriteria yang dipertimbangkan oleh para pakar dan masyarakat. Pemodelan spasial dari berbagai kriteria dibangun guna mengkombinasi perspektif pakar dan masyarakat. Hasil pemodelan prioritas rehabilitasi hutan penelitian ini, memberikan informasi derajat prioritas belum tersedia pada DAS Tabunio. Pemodelan spasial ini juga dapat digunakan sebagai instrumen penentuan prioritas rehabilitasi hutan yang belum ada hingga penelitian ini dilakukan. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini diuraikan sebagai berikut; 1. Membangun struktur kriteria dan pembobotan dalam menentukan sasaran prioritas rehabilitasi hutan dari perspektif para pakar dan masyarakat di lokasi penelitian. 2. Mengevaluasi kriteria dan bobot hasil penilaian dari perspektif para pakar dan masyarakat. 3. Membangun pemodelan spasial untuk penentuan prioritas rehabilitasi hutan. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi akademis maupun teknis kegiatan rehabilitasi hutan. Manfaat dari segi akademis yaitu: 1. Pengembangan metode dalam penentuan prioritas rehabilitasi hutan. 2. Pengembangan Sistem Informasi Geografis khususnya dalam pemodelan spasial. Manfaat dari segi teknis mencakup: 1. Dapat menjadi referensi berupa teknik menentukan kriteria sasaran rehabilitasi hutan dan selanjutnya dapat dikembangkan untuk wilayah yang lebih luas. 2. Dapat menjadi referensi model untuk merencanakan lokasi rehabilitasi hutan berdasarkan prioritas dan mendukung pengelolaan hutan di masa mendatang. 7
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian dengan tema penentuan prioritas rehabilitasi hutan di Indonesia belum banyak dilakukan, sementara beberapa penelitian dengan tema serupa lebih banyak dilakukan di negara lain. Penelitian yang telah dilakukan memiliki banyak perbedaan, hal mendasar yang ditemukan yaitu pada penggunaan metode. Perbandingan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian yang dilakukan ini disajikan pada Tabel 1.2. Pada penelitian ini, kriteria untuk menentukan prioritas rehabilitasi hutan mempertimbangkan perspektif para pakar dan masyarakat. Penelitian serupa dilakukan oleh Diansari (2009), namun kriteria dan bobot yang digunakan hanya mengacu pada pedoman identifikasi lahan kritis dari Kementerian Kehutanan, tanpa melakukan pengembangan. Peneliti lainnya dengan tema serupa, umumnya hanya berdasarkan referensi dari para pakar. Sebagai pembaharuan metode, penelitian ini mengkombinasi kedua perspektif prioritas dengan metode compromise programming technique yang belum digunakan pada tema prioritas rehabilitasi hutan. Kriteria yang digunakan untuk penentuan prioritas diperoleh berdasarkan pertimbangan pakar utama, sementara peneliti lainnya menggunakan teknik voting, dan rangking. Nilai bobot kriteria pada penelitian ini diperoleh dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), metode serupa dilakukan oleh Vettorazzi and Valente (2016) sementara peneliti lainnya menggunakan rangking, dan rating. Metode rangking pada penelitian ini, digunakan untuk mendapatkan nilai bobot kriteria dari perspektif masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Diansari (2009), nilai bobot kriteria perspektif masyarakat diperoleh dengan metode rating. 8
Tabel 1.2. Perbandingan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian yang dilakukan No Peneliti/ Tahun Judul Penelitian Tujuan Alat Analisis Hasil 1. Diansari (2009) Idenfitication of Suitable Mengidentifikasi lokasi yang Spatial Multi Criteria Evaluation Lokasi rehabilitasi hutan yang Areas for Reforestation to sesuai dengan kriteria dari (SMCE), Modul Decision Tree pada sesuai dari kedua perspektif, Support Reducing Emission pemerintah dan masyarakat, Sotfware ILWIS model pengelolaan hutan from Deforestation Forest mencari model pengelolaan hutan Kriteria dan bobot yang digunakan Hutan Kemasyarakatan Degradation (REDD) dimasyarakat yang sesuai dengan mengacu pedoman dari Kementerian (HKm) sesuai dengan skema 2. Orsi and Geneletti (2010) 3. Cruz-Bello and Sotelo-Ruiz (2013) Mechanism Identifying priority areas for Forest Landscape Restoration in Chiapas Coupling Spatial Multiattribute Analysis and Optimization to Identify Reforestation Priority Areas 4. Uribe et al. (2014) Integrating Stakeholder Preferences and GIS-Based Multicriteria Analysis to Identify Forest Landscape Restoration Priorities 5. Vettorazzi et al. (2016) Priority areas for forest restoration aiming at the conservation of water resources 6 Rahmanto (2017) Pemodelan spasial multi kriteria untuk penentuan Prioritas Rehabilitasi Hutan pada DAS Tabunio skema REDD Mengidentifikasi areal prioritas untuk rehabilitasi hutan. Menentukan areal yang sesuai, dan efisien untuk kegiatan rehabilitasi hutan, guna mendapatkan manfaat lingkungan secara memaksimalkan Merencanakan lokasi yang prioritas rehabilitasi hutan berdasarkan fungsi ekologi hutan. Menentukan areal prioritas untuk rehabilitasi hutan Mengembangkan teknik penentuan prioritas rehabilitasi hutan melalui pemodelan spasial dari perspektif para pakar dan masyarakat Kehutanan. Spatial Multi Criteria Analysis (MCA), Kombinasi data raster. Kriteria dari aspek ekologi dan sosial ekonomi. Kombinasi metode Simple Multi Atribut Rating Technique (SMART) dan optimasi model program integer. Kriteria dan nilai bobot disusun menggunakan teknik rating. Multi Kriteria Decision Analysis (MCDA). Kriteria dan nilai bobot disusun menggunakan teknik rangking. Kriteria dari para pihak pada aspek lingkungan dan sosial ekonomi Multi Kriteria Decision Analysis (MCDA): AHP, Weighted Linear Combination (WLC) dan Ordered Weigted Averaging (OWA). Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) : metode AHP dan Rangking, Compromise programming technique REDD. Hasil yang diperoleh berupa lokasi yang terbaik untuk rehabilitasi hutan. Hasil yang diperoleh berupa areal yang cocok untuk rehabilitasi hutan dan basis data rencana rehabilitasi setiap tahun. Hasil yang diperoleh berupa peta indikatif lokasi prioritas untuk memandu kegiatan rehabilitasi hutan. Peta areal prioritas untuk rehabilitasi hutan. Model penentuan prioritas rehabilitasi hutan. 9