III. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

HASIL DAN PEMBAHASAN

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DA PEMBAHASA

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN KUALITAS AIR

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

KATA PENGANTAR. Surabaya, 24 Februari Penulis. Asiditas dan Alkalinitas Page 1

MANAJEMEN KUALITAS AIR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.)

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Uji Toksisitas Akut

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Pangasianodon, Spesies Pangasianodon hypopthalmus (Saanin 1984).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

II. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Gurami Osphronemus gouramy Lac.

Transkripsi:

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran ph dan suhu dilakukan setiap hari, sedangkan untuk parameter lainnya diukur setiap 7 hari sekali. Hasil pengukuran parameter fisika kimia air disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Data kisaran nilai parameter kualitas air selama masa pemeliharaan No Parameter Kualitas Perlakuan Air ph 3 ph 4 ph 5 ph 6 1 ph 3 4 5 6 2 CO 2 (mg/l) 636,6 621,92 39,95-45,28 15,98-27,97 3 NH 3 (mg/l) 0,004 0,009 0,01-0,05 0,02-0,09 4 DO (mg/l) 3,94 3,89 3,09-3,99 4,05-4,24 5 Kesadahan (mg/l) 44,9 41,9 29,9-38,9 29,9-35,9 6 Alkalinitas (mg/l) 0 0 20-45 36-85 7 Suhu ( o C) 27 27 26-30 26-30 Selama masa pemeliharaan, kisaran CO 2 tertinggi terdapat pada perlakuan ph 5 yaitu berkisar antara 39,95-45,28 mg/l untuk ph 6 berkisar antara 15,98-27,97 mg/l sedangkan pada pengukuran awal, nilai CO 2 untuk ph 3 sebesar 636,6 mg/l sedangkan untuk ph 4 sebesar 621,92 mg/l. Kadar NH 3 awal pada perlakuan ph 3 adalah 0,004 mg/l dan pada perlakuan ph 4 adalah 0,009 mg/l sedangkan pada perlakuan ph 6 kadar NH 3 selama masa pemeliharaan memiliki kisaran nilai 0,02-0,09 mg/l, untuk ph 5 berkisar antara 0,01-0,05 mg/l. Kisaran DO pada perlakuan ph 6 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan ph 3, ph 4, dan ph 5, pada perlakuan ph 6 kisaran DO selama masa pemeliharaan sebesar 4,05-4,24 mg/l sedangkan untuk ph 5 sebesar 3,09-3,99 mg/l. Untuk perlakuan ph 3 DO awal yang terukur adalah sebesar 3,84 mg/l sedangkan pada ph 4 sebesar 3,89 mg/l. Kesadahan awal pada perlakuan ph 3 sebesar 44,9 mg/l sedangkan pada perlakuan ph 4 sebesar 41,9 mg/l, pada perlakuan ph 6 dan ph 5 kesadahan selama pemeliharaan cenderung berfluktuasi, nilai kesadahan pada 8

perlakuan ph 6 berkisar antara 29,9-35,9 mg/l sedangkan untuk perlakuan ph 5 berkisar antara 29,9-38,9 mg/l. Alkalinitas awal pada perlakuan ph 3 dan ph 4 adalah 0 mg/l sedangkan pada perlakuan ph 6 nilai alkalinitas lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya, perlakuan ph 6 memiliki alkalinitas awal hingga akhir pemeliharaan berkisar antara 36-85 mg/l, ph 5 berkisar antara 20-45 mg/l. 3.1.2 Kerusakan Insang Hasil analisis perubahan struktur mikroanatomi insang ikan nila O. niloticus selama masa pemeliharaan 30 hari dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Hasil analisis perubahan struktur mikroanatomi insang ikan nila O. niloticus setelah masa pemeliharaan dalam media masam. No Perlakuan 1 ph 3 2 ph 4 3 ph 5 4 ph 6 Waktu Pembedahan (minggu) Hiperplasia Hipertropi Fusi Telangiektasis 0 +++ +++ +++ ++ 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 3 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 +++ +++ ++++ - 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 3 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 - ++ ++ - 1 + ++ ++ - 2 ++ ++ +++ - 3 ++ - +++ ++ 4 - - +++ +++ 0 + - - - 1 ++ - - - 2 ++ ++ - - 3 ++ ++ - - 4 ++ + +++ - Keterangan: ( - ) : tidak terjadi perubahan mikroanatomi (0%) ( + ) : terjadi sedikit perubahan mikroanatomi (1%-25%) ( ++) : terjadi sedang perubahan mikroanatomi (26%-50%) (+++) : terjadi banyak perubahan mikroanatomi (51%-75%) (++++) : terjadi sangat banyak perubahan mikroanatomi (76%-100%) 9

Pada Tabel 2 diatas, dapat dilihat kerusakan mikroanatomi insang paling parah di minggu awal pemeliharaan ditunjukkan pada perlakuan ph 3 dan ph 4, dimana terjadi banyak perubahan mikroanatomi seperti hiperplasia, hipertropi, dan fusi dibanding dengan ph perlakuan 5 dan 6. Pada perlakuan ph 5, terjadi sedikit perubahan kerusakan insang yang diawali dengan sedikit hipertropi, hiperplasia, dan fusi pada minggu pertama hingga kedua, pada minggu ketiga dan keempat mengalami kerusakan hipertropi dan hiperplasia, dan fusi parah serta mengalami kerusakan mikroanatomi berupa telangiektasis pada minggu ketiga, dan pada minggu keempat kerusakan telangiektasis meningkat. Pada perlakuan ph 6 menunjukkan kerusakan mikroanatomi berupa hiperplasia pada minggu pertama, selanjutnya pada minggu kedua dan minggu ketiga kerusakan mikroanatomi berupa hiperplasia dan hipertropi, pada minggu keempat kerusakan mikroanatomi insang berupa hiperplasia, hipertropi, dan fusi tanpa adanya kerusakan mikroanatomi telangiektasis. Pada perlakuan ph 6 tersebut kerusakan mikroanatomi tidak terlalu parah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kerusakan insang ikan meliputi hiperplasia, hipertropi, fusi, dan telangiektasis pada semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1. 10

1a 1b 2c 2d 2e 2f 11

2g 3h 3i 3j 3k 3l Keterangan : 1. Hiperplasia; 2. Hipertropi; 3. Fusi; 4. Telangiektasis Gambar 1. Kerusakan mikroanatomi insang pada perlakukan ph 3; 1a, ph 4; 1b ph 5; 2(c-g), ph 6; 3(h-l) selama masa pemeliharaan 12

3.1.3 Laju Pertumbuhan Bobot Spesifik Harian (SGR) Pertumbuhan bobot spesifik harian ikan nila selama pemeliharaan 30 hari menunjukkan pola peningkatan setiap minggunya selama pemeliharaan. Pertumbuhan tertinggi terdapat pada perlakuan ph 6 sedangkan pada perlakuan ph 5 menunjukkan laju pertumbuhan terendah. Laju pertumbuhan pada perlakuan ph 6 sebesar 4,47% sedangkan ph 5 sebesar 1,87% (Gambar 2). Berdasarkan analisis ragam ANOVA menunjukkan, perlakuan ph 6 berbeda nyata dengan perlakuan ph 5. Selain itu perlakuan ph memberikan pengaruh beda nyata terhadap laju pertumbuhan bobot spesifik harian (p<0,05) (Lampiran 4). Gambar 2. Laju pertumbuhan bobot spesifik harian ikan nila O. niloticus pada media pemeliharaan dengan perlakuan ph 3, 4, 5, dan 6 selama 30 hari 3.1.4 Pertambahan Panjang Mutlak Pertambahan panjang mutlak selama masa pemeliharaan sejalan dengan laju pertumbuhan bobot spesifik harian (SGR), pertambahan panjang mutlak menunjukkan pola peningkatan setiap minggunya selama pemeliharaan. Laju pertambahan panjang harian ikan nila selama pemeliharaan disajikan pada Gambar 3. Laju pertambahan panjang harian tertinggi terdapat pada perlakuan ph 6 sebesar 1,39% dan terendah pada perlakuan ph 5 sebesar 0,81%. Berdasarkan analisis ragam ANOVA menunjukkan, bahwa perlakuan ph 6 berbeda nyata terhadap perlakuan ph 5. Selain itu perlakuan ph memberikan pengaruh beda nyata terhadap laju pertambahan panjang harian (p<0,05) (Lampiran 4). 13

Gambar 3. Laju pertambahan panjang harian ikan nila O.niloticus pada media pemeliharaan dengan perlakuan ph 3, 4, 5, dan 6 selama 30 hari masa pemeliharaan. 3.1.5 Jumlah Konsumsi Pakan Jumlah pakan tertinggi yang dihabiskan oleh ikan perlakuan selama pemeliharaan terdapat pada perlakuan ph 6 sebesar 116,63 g sedangkan pada perlakuan ph jumlah pakan yang dihabiskan sebesar 53, 59 g (Gambar 4). Gambar 4. Jumlah konsumsi pakan ikan nila O. niloticus pada media pemeliharaan dengan perlakuan ph 3, 4, 5, dan 6 selama 30 hari Berdasarkan analisis ragam ANOVA menunjukkan, bahwa perlakuan ph 6 berbeda nyata dengan perlakuan ph 5. Selain itu perlakuan ph memberikan pengaruh beda nyata terhadap jumlah konsumsi pakan (p<0,05) (Lampiran 4). 14

3.1.6 Efisiensi Pakan (EP) Efisiensi pakan terbesar terdapat pada perlakuan ph 6 sebesar 96,48% sedangkan perlakuan dengan ph 5 memiliki efisiensi pakan sebesar 89,71% (Gambar 5). Gambar 5. Efisiensi pakan ikan nila O. niloticus pada media pemeliharaan dengan perlakuan ph 3, 4, 5, dan 6 selama 30 hari Berdasarkan analisis ragam ANOVA menunjukkan tidak ada pengaruh beda nyata antara perlakuan ph 5 dan ph 6 (Lampiran 4). 3.1.6 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama pemeliharaan disajikan dalam Gambar 6. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan ph 6 sebesar 75% sedangkan untuk ph 5 sebesar 50,8%. Gambar 6. Kelangsungan hidup ikan nila O. niloticus pada media pemeliharaan dengan perlakuan ph 3, 4, 5, dan 6 selama 30 hari 15

Berdasarkan analisis ragam ANOVA menunjukkan, bahwa perlakuan ph 6 berbeda nyata dengan perlakuan ph 5. Selain itu perlakuan ph memberikan pengaruh beda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (p<0,05) (Lampiran 4). 3.2 Pembahasan Derajat kemasaman (ph) merupakan suatu ekspresi dari konsentrasi ion hidrogen (H + ) dan juga merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu organisme akuatik dapat bertahan hidup pada kisaran ph tertentu. Pada penelitian ini, ph yang digunakan berada dalam kisaran ph masam yaitu, 3, 4, 5, dan 6 sedangkan untuk ikan perlakuan menggunakan ikan nila strain BEST (Bogor Enhanced Strain Tilapia), ikan tersebut merupakan hasil pemuliaan yang dilakukan di lingkungan kolam selama empat tahun, sehingga ikan nila strain BEST tersebut sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan kolam yang kualitas air nya berbeda terutama pada parameter ph dengan habitat asli dari ikan nila tersebut yaitu, di daerah payau yang memiliki ph lebih basa dibandingkan dengan ph kolam. Perubahan ph pada media pemeliharaan menyebabkan perubahan pada beberapa parameter kualitas air seperti alkalinitas, kesadahan, amonia (NH 3 ), dan CO 2. Mackereth et al. (1989) dalam Effendi (2000) menyatakan bahwa ph berkaitan erat dengan alkalinitas. Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir kemasaman dalam air. Secara khusus alkalinitas sering disebut juga sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat (HCO - 3 ) dan sampai tahap tertentu ion karbonat (CO 2-3 ) dan hidroksida (OH - ) dalam air. Nilai alkalinitas pada ph < 5 dapat mencapai nol, semakin tinggi nilai ph maka semakin tinggi nilai alkalinitas. Kisaran alkalinitas pada perlakuan ph 6 berkisar antara 36-93 mg/l sedangkan pada perlakuan ph 5 berkisar antara 20-45 mg/l (Tabel 1), nilai alkalinitas tersebut masih dalam kisaran yang baik karena menurut Effendi (2000) alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/l. Kesadahan merupakan suatu ukuran dari jumlah garam-garam kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) yang ada dalam perairan, juga diekspresikan sebagai 16

konsentrasi setara kalsium karbonat (CaCO3). Kesadahan selama masa pemeliharaan menunjukkan kisaran sebesar 29,9-35,9 mg/l untuk perlakuan ph 6 sedangkan untuk ph 5 berkisar antara 29,9-38,9 mg/l (Tabel 1). Kisaran kesadahan pada media selama pemeliharaan termasuk ke dalam kriteria kesadahan lunak. Air lunak cenderung masam sedangkan air keras cenderung untuk menjadi alkalin. Hal tersebut sesuai dengan ph media yang digunakan pada perlakuan yang termasuk ke dalam golongan ph masam. Menurut Effendi (2000) hubungan antara kesadahan dan alkalinitas tidak selalu positif atau semakin besar nilai alkalinitas tidak selalu dibarengi dengan semakin tingginya kesadahan dan sebaliknya. Amonia merupakan bentuk nitrogen anorganik yang bersifat toksik terhadap organisme budidaya. Amonia juga meningkatkan konsumsi oksigen di jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigen (Boyd, 1982). Kandungan amonia tertinggi terdapat pada perlakuan ph 6 berkisar antara 0,02-0,09 mg/l sedangkan untuk ph 5 berkisar antara 0,01-0,05 mg/l (Tabel 1). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Boyd (1990) bahwa amonia akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai ph. Kisaran amonia pada setiap perlakuan selama pemeliharaan tersebut masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan nila dan hal tersebut bersesuaian dengan pernyataan Lovell (1989) bahwa ikan nila memiliki toleransi terhadap amoniak hingga 2,4 mg/l. Selain itu, menurut The European Inland Fisheries Advisory Commision (1973) dalam Boyd (1982) konsentrasi amonia yang bersifat toksik pada paparan singkat untuk semua spesies adalah 0,6-2 mg/l NH 3 -N. Toksisitas amonia lebih besar pada suhu dan ph tinggi, oleh karena itu pengelolaan air seperti pergantian air dapat dilakukan untuk mengatasi konsentrasi amonia yang tinggi dalam media pemeliharaan. Salah satu parameter kualitas air yang juga dipengaruhi oleh ph adalah karbondioksida, semakin asam suatu perairan maka semakin tinggi nilai karbondioksidanya karena semakin banyak H 2 CO 3 yang terbentuk sehingga kondisi perairan semakin asam (Ropiah dan Mahyudin (2000) dalam Darussalam (2005). Pengukuran CO 2 pada setiap perlakuan selama pemeliharaan menunjukkan nilai tertinggi pada ph 5 yaitu berkisar antara 39,95-91,89 mg/l 17

sedangkan pada perlakuan ph 6 sebesar 15,98-27,97 mg/l (Tabel 1). Kadar karbondioksida yang tinggi pada perlakuan ph 5 tersebut masih dapat ditolerir oleh ikan nila karena masih terdapat ikan yang hidup hingga akhir masa pemeliharaan meskipun dengan presentase yang rendah. Kondisi tersebut bersesuaian dengan penyatan Hart (1944) dalam Boyd (1982) bahwa pada umumnya organisme akuatik masih dapat bertahan hidup dalam perairan yang mengandung kadar CO 2 60 mg/l. Kisaran pada beberapa parameter kualitas air tersebut mempengaruhi kerusakan mikroanatomi insang, tingkat pertumbuhan, jumlah konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan tingkat kelangsungan hidup selama masa pemeliharaan. Kualitas air yang tidak sesuai atau melebihi batas toleransi organisme akuatik (ikan) dapat menyebabkan kerusakan mikroanatomi pada insang. Insang merupakan organ yang paling lembut diantara struktur tubuh ikan dan merupakan alat utama bagi kelangsungan proses pernafasan. Insang sebagai organ pernafasan merupakan tempat pertukaran gas oksigen dengan karbondioksida melalui proses infiltrasi air, dengan demikian ikan dapat berhubungan langsung dengan media pemeliharaan. Keberhasilan ikan dalam mendapat oksigen tergantung daya dukung lingkungan dan terutama kemampuan fungsi insang untuk menangkap oksigen dalam perairan. Proses penyerapan oksigen dalam jaringan insang dilakukan oleh darah yang mengalir ke dalam filamen-filamen insang dan akibat adanya perbedaan tekanan gas antara darah dan filamen dengan air, maka akan terjadi difusi gas-gas. Oleh karena itu kondisi insang sangat menentukan kelangsungan hidup ikan (Lagler et al., 1977). Pengamatan histologi pada insang memperlihatkan bahwa pada ikan yang diberi perlakuan terdapat perubahan seperti hiperplasia, hipertropi, fusi, edema, dan telangiektasis. Kerusakan pada insang akan menyebabkan terganggunya mekanisme pernafasan pada ikan. Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa kerusakan pada sistem pernafasan dapat menyebabkan terhambatnya sistem transport elektron dan fosforilasi oksidatif pada rantai pernafasan. Selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan. Pada perlakuan ph 3 dan 4 terdapat kerusakan mikroanatomi ikan berupa hiperplasia, hipertropi, dan fusi yang parah sebesar 51-75% (Tabel 2), fusi lamella 18

sekunder tersebut diakibatkan karena adanya pembengkakan pada sel sel insang (edema). Terjadinya fusi lamella sekunder mengakibatkan fungsi lamella sekunder terganggu dalam hal proses pengambilan oksigen sehingga berpengaruh terhadap kematian (Laksman, 2003). Terganggunya proses pengambilan oksigen disebabkan oleh kondisi media pemeliharaan yang tidak sesuai dengan batas tolerir ikan (ph asam), dan menyebabkan insang mengeluarkan mucus (lendir) untuk melindungi insang terhadap kondisi media yang tidak sesuai tersebut. Akan tetapi mucus (lendir) yang dihasilkan menutup permukaan lamella insang sehingga pertukaran O 2 dengan CO 2 terhambat. Hal tersebut yang menyebabkan ikan banyak mengeluarkan lendir terlihat sulit untuk bernafas ketika dimasukkan ke dalam media perlakuan dan mengalami kematian dalam waktu beberapa jam. Pada perlakuan ph 5, terdapat kerusakan insang berupa hipertropi dan fusi pada minggu ke-1 sebesar 26-50%, pada minggu kedua terjadi kerusakan mikroanatomi berupa hipertropi dan hiperplasia sebesar 26-50% dan fusi sebesar 51-75%. Pada minggu ketiga dan keempat kerusakan mikroanatomi insang meningkat dan terjadi kerusakan mikroanatomi berupa telangiektasis sebesar 26-50% (minggu ketiga) dan kerusakan telangiektasis sebesar 51-75% (minggu keempat). Hiperplasia adalah pembentukan jaringan secara berlebihan karena bertambahnya jumlah sel. Hiperplasia diakibatkan oleh edema yang berlebihan sehingga sel darah merah keluar dari kapilernya dan sel akan lepas dari penyokongnya sedangkan hipertropi adalah pembesaran jaringan atau sel yang tidak dapat membelah. Pada minggu ketiga dan keempat terdapat kerusakan berupa fusi parah dan kerusakan mikroanatomi berupa telangiektasis. Menurut Robert (1978) telangiektasis dapat terjadi pada insang ikan yang berada pada kualitas air yang buruk, adanya serangan parasit, dan pemupukan sisa metabolisme. Telangiektasis terlihat pada ujung lamella sekunder yang terlihat seperti balon, hal tersebut terjadi karena pada ujung lamella sekunder mengalami pembendungan atau penggumpalan darah. Pada perlakuan ph 6, terjadi sedikit kerusakan insang berupa hiperplasia pada minggu pertama sebesar 26-50%, pada minggu kedua dan ketiga kerusakan mikroanatomi yang terjadi berupa hipertropi, dan hiperplasia sebesar 26-50% dan pada minggu keempat terjadi kerusakan mikroanatomi berupa hiperplasia sebesar 19

26-50%, hipertropi sebesar 1-25%, dan fusi sebesar 51-75%. Pada perlakuan tersebut kerusakan yang terjadi lebih sedikit setiap minggunya dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini disebabkan oleh kondisi media pemeliharaan yang masih dalam batas toleransi ikan nila sehingga tidak menyebabkan kerusakan parah pada insang sebagai bagian yang pertama kali terkena dampak negatif apabila kondisi yang tidak sesuai terjadi pada media pemeliharaan. Adapun adanya sedikit kerusakan yang terjadi pada perlakuan ph 6 dapat disebabkan oleh kandungan amonia yang tinggi dibandingkan pada perlakuan ph 5 pada media selama masa pemeliharaan meskipun masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan nila karena menurut Boyd (1982) amonia dapat meningkatkan konsumsi oksigen di jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigen. Kerusakan insang yang terjadi pada ikan selama pemeliharaan dan kandungan DO (dissolved oxygen) yang rendah pada media pemeliharaan diduga dapat menyebabkan proses respirasi terganggu. Kisaran DO pada perlakuan ph 6 antara 4,05-4,24 mg/l sedangkan untuk perlakuan ph 5 berkisar antara 3,09-3,99 mg/l (Tabel 1). Kandungan oksigen terlarut yang rendah pada media pemeliharaan tersebut diduga karena kerapatan molekul dalam media tinggi sehingga penyebaran oksigen di dalam media pemeliharaan rendah. Nilai DO pada setiap perlakuan menunjukkan kisaran yang masih dapat ditolerir oleh ikan nila meskipun dalam kisaran yang rendah, sesuai dengan pernyataan Popma dan Lovshin (1996) dalam Maryam (2010) bahwa pada umumnya ikan nila masih dapat bertahan hidup pada perairan dengan kadar oksigen terlarut (DO) lebih rendah dari 0,5 mg/l, namun DO minimum yang harus dipertahankan dalam pemeliharaan ikan nila harus lebih tinggi dari 3 mg/l, karena rendahnya DO dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Kadar oksigen yang rendah pada media pemeliharaan tersebut menyebabkan keberadaan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan organisme akuatik (ikan) selain untuk respirasi juga untuk proses metabolisme (Effendi, 2000). Hal tersebut mengakibatkan proses metabolisme tidak berjalan dengan normal sehingga energi yang dihasilkan menjadi rendah. Energi tersebut digunakan untuk melakukan 20

adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan batas toleransi ikan nila dibandingkan digunakan untuk pertumbuhan. Selain itu, energi yang rendah tersebut juga menyebabkan nafsu makan ikan menjadi menurun sehingga pertumbuhan, baik laju pertambahan panjang dan pertumbuhan bobot harian menjadi rendah. Hal tersebut bersesuaian dengan jumlah konsumsi pakan yang dihabiskan pada perlakuan ph 5 sebesar 53,59 g lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan pada ph 6, yaitu sebesar 116,63 g. Menurut Fry (1971) dan Brett (1979) derajat kemasaman air (ph) merupakan faktor pengontrol artinya faktor ini mempengaruhi dan menentukan kecepatan reaksi dalam konsumsi pakan sehingga mempengaruhi nafsu makan ikan, semakin rendah ph media pemeliharaan menyebabkan nafsu makan ikan menjadi menurun. Parameter lainnya yang dipengaruhi oleh kualitas air yang tidak sesuai adalah efisiensi pakan. Menurut Schmittou (1987) efisiensi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas pakan, jumlah pakan, spesies ikan, ukuran ikan, dan kualitas air. Efisiensi pakan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui jumlah pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ikan dan pemanfaatan pakan tersebut digunakan untuk pertumbuhan ikan selama masa pemeliharaan, baik pertambahan panjang harian maupun pertumbuhan bobot. Efisiensi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan ph 6 yaitu sebesar 96,48% sedangkan untuk ph 5 sebesar 89,71%. Rendahnya efisiensi pakan pada perlakuan ph 5 tersebut, salah satunya disebabkan oleh kualitas air yang tidak sesuai dengan batas toleransi ikan nila. Jumlah konsumsi pakan dan efisiensi pakan selama pemeliharaan tersebut mempengaruhi pertumbuhan pada tiap perlakuan. Pertumbuhan merupakan proses yang terjadi dalam tubuh organisme yang menyebabkan pertumbuhan bobot atau protein dalam tubuh dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal meliputi sifat genetik dan kondisi fisologis serta faktor eksternal yakni yang berkaitan dengan lingkungan yang menjadi media pemeliharaan. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya yaitu komposisi kimia air, substrat dasar, temperatur air dan ketersediaan pakan (Effendi, 1997). Pada penelitian ini laju pertumbuhan cenderung dipengaruhi oleh komposisi kimia air pada media pemeliharaan yaitu ph. Laju pertambahan panjang harian selama 21

perlakuan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada perlakuan ph 6 laju pertumbuhan bobot tertinggi yaitu sebesar 4,47% sedangkan pada ph 5 sebesar 1,87%. Sebanding dengan laju pertumbuhan bobot, laju pertambahan panjang harian pada perlakuan ph 6 juga lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan ph 5, yaitu 1,39% dan 0,81%., Laju pertumbuhan bobot dan pertambahan panjang yang rendah pada perlakuan ph 5 menunjukkan pada perlakuan tersebut perkembangan pertambahan panjang dan bobot ikan lambat. Laju pertambahan yang lambat tersebut berhubungan dengan pengaruh ph media yang rendah terhadap proses biokimiawi dan fisiologis dalam sistem metabolisme ikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Royce, 1973) bahwa derajat kemasaman mempengaruhi proses kecepatan reaksi kimiawi dalam air dan biokimiawi dalam tubuh ikan. Selanjutnya, parameter yang digunakan dalam uji pada media pemeliharaan dengan tingkat kemasaman rendah adalah tingkat kelangsungan hidup. Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme awal saat penebaran yang dinyatakan dalam bentuk persen dimana semakin besar nilai persentase menunjukkan semakin banyak organisme yang hidup selama pemeliharaan (Effendie, 1997). Kelangsungan hidup pada perlakuan ph 6 selama masa pemeliharaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelangsungan hidup pada perlakuan ph 3, ph 4, dan ph 5. Pada perlakuan ph 6 memiliki kelangsungan hidup 75%, ph 5 sebesar 50,8% sedangkan untuk ph 3 dan 4 ikan tidak dapat bertahan hidup sehingga kelangsungan hidupnya yaitu sebesar 0% (Gambar 8). Selama pengamatan, ikan yang telah diberi perlakuan asam ph 3 dan ph 4 mengeluarkan banyak mucus (lendir) pada bagian tubuhnya. Hal tersebut merupakan salah satu tingkah laku ikan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan yang tidak sesuai dengan batas toleransi untuk dapat tetap mempertahankan hidupnya. Tinggi rendahnya kelangsungan hidup organisme pada setiap perlakuan, khususnya pada perlakuan ph 3, 4, dan 5 tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama oleh pengaruh rendahnya ph yang berbeda pada setiap perlakuan yang juga mempengaruhi parameter kualitas air lainnya menjadi tidak sesuai dengan batas toleransi ikan uji tersebut dan mengakibatkan kerusakan mikroanatomi insang sehingga proses pengambilan 22

oksigen terganggu. Selain itu, salah satu parameter kualitas air yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan ph 3 dan ph 4 tersebut adalah tingginya kandungan karbondioksida yang terdapat pada media, yaitu pada media pemeliharaan dengan perlakuan ph 3 sebesar 636,6 mg/l dan pada perlakuan ph 4 memiliki nilai karbondioksida sebesar 621,92 mg/l. Nilai karbondioksida tersebut melebihi batas toleransi dari ikan uji yang pada umumnya masih dapat bertahan hidup pada nilai karbodioksida sebesar 60 mg/l sehingga terjadi kematian sesaat pada perlakuan ph 3 dan ph 4 tersebut setelah ikan uji diberi perlakuan. 23