BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intan Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dwi Ratnaningdyah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya dan dapat membangun pengetahuannya sendiri (student centered. digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran masih kurang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desy Mulyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. melalui proses pembelajaran. Guru sangat berperan penting dalam peningkatan mutu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBELAJARAN MOMENTUM DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERBANTUAN MEDIA KARTU SOAL DAN KARTU PINTAR

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan yang konstan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Kejuruan (SMK). Posisi SMK menurut UU Sistem Pendidikan. SMK yang berkarakter, terampil, dan cerdas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Materi Ekologi merupakan materi yang mempelajari hubungan timbal balik

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Hasil. biologi berbasis STS disertai MM. Bahan Kajian yang dikembangkan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika di tingkat SMA diajarkan sebagai mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses

DAMPAK ASESMEN PORTOFOLIO TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA MATERI GAYA DAN GERAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Wulan Sari, 2014 Pengaruh Model Cooperative Learning Tipe Stad Terhadap Kemampuan Analisis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

I. PENDAHULUAN. Kurikulum 2013 menghendaki pembelajaran yang diterapkan di sekolah adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai peran yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. khususnya teknologi sekarang ini telah memberikan dampak positif dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. karena pembelajarannya mengandung unsur-unsur ilmiah yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Keberhasilan suatu proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa komponen. Dalam prosesnya, siswa dituntut untuk meningkatkan kompetensinya dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gunawan Wibiksana, 2013 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala

BAB I PENDAHULUAN. potensi siswa dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Metode konvensional (ceramah) kurang mengena untuk diterapkan pada

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian 1. Pengembangan Konsep Pengembangan konsep dilakukan dengan identifikasi masalah, merumuskan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indra Lesmana, 2015

Bab 3. Analisis Data. telah dilaksanakan pada bulan Mei-Juni Ada pun responden dari penelitian ini

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES IPA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII BSMP NEGERI 1 WAGIR

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang mempelajari gejala-gejala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

BAB I PENDAHULUAN Etty Twelve Tenth, 2013

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA DENGAN MENERAPKAN MODEL INQUIRY-DISCOVERY LEARNING (IDL) TERBIMBING

UPAYA MENINGKATKAN KINERJA DAN HASIL BELAJAR MELALUI IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya Fisika berhubungan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

percaya diri siswa terhadap kemampuan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. minggu pertama semester gasal tahun pelajaran 2016/2017, SMK Negeri 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk

PENGARUH MODEL PROJECT-BASED LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA PESERTA DIDIK KELAS XI MIA SMA NEGERI 1 KEPANJEN

BAB 1 PENDAHULUAN. langkah-langkah observasi, perumusan masalah, pengujian hipotesis melalui

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik

Kholifatul Maghfiroh, Asim, Sumarjono Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dalam bidang pendidikan matematika beserta tuntutannya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil observasi awal pada salah satu SMP swasta di Bandung,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMBELAJARAN KIMIA MENGGUNAKAN KOLABORASI KONSTRUKTIF DAN INKUIRI BERORIENTASI CHEMO-ENTREPRENEURSHIP

BAB I PENDAHULUAN. teknologi diperlukan sumber daya manusia yang tangguh. Pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fisika adalah mata pelajaran yang penting untuk dipelajari oleh semua siswa di setiap tingkat pendidikan. Karena fisika mempelajari dan memuat informasi segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Tetapi mata pelajaran fisika di kalangan siswa menjadi pelajaran yang penuh dengan perhitungan, pertanyaan atau soal cerita yang di luar pemikiran, simbol-simbol asing yang kurang dimengerti, dan istilah-istilah rumit yang sulit dipahami. Padahal fisika dapat menjawab pertanyaan yang rumit menjadi sederhana seperti bagaimana pesawat bisa terbang dan mengapa kalender yang digunakan terdiri dari dua belas bulan. Hal-hal yang membuat pembelajaran fisika menjadi kurang menyenangkan untuk dipelajari bagi siswa antara lain model pembelajaran yang kurang menyenangkan, pendekatan teacher-centered, sedikit pemberian contoh permasalahan yang dekat dengan pengalaman siswa, dan penjelasan yang kurang dari aplikasi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi jika fisika disampaikan dan diajarkan secara utuh. Karena alasan utama mempelajari fisika adalah pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang siswa dapatkan dari pembelajaran fisika mendorong mereka untuk memanfaatkan dan mengkontribusikan gagasan-gagasan mereka dalam perubahan teknologi untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik (Jones dan Wyse dalam Dhanapal dan Shan, 2004, hlm. 29). Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya fisika untuk dipelajari siswa di setiap tingkat pendidikan dasar dan menengah yang tercantum dalam standar nasional pendidikan Indonesia yang dimuat dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2013 yang menjelaskan bahwa pembelajaran fisika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut.

2 fisika termasuk bahan kajian ilmu pengetahuan alam, dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya, serta membudayakan proses berpikir secara kritis, kreatif, dan mandiri. Salah satu kemampuan yang tercantum dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2013 adalah kemampuan pemahaman, sehingga setiap siswa di setiap tingkat pendidikan dasar dan menengah harus memiliki kemampuan pemahaman. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman konsep-konsep fisika. Selain itu, berdasarkan standar isi untuk pendidikan dasar dan menengah (Permendikbud no. 64 tahun 2013), disebutkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam mempelajari fisika adalah memahami dan menganalisis konsep. Sehingga, pembelajaran fisika harus dirancang sedemikian rupa agar siswa mampu memahami konsep-konsep fisika. Namun berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan salah satu SMK di kota Bandung untuk mengukur pemahaman konsep-konsep fisika, hanya 15% dari 129 siswa mengerti dan memahami konsep-konsep fisika yang diujikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman konsep siswa SMK masih rendah, karena lebih dari separuh siswa yang mengikuti tes kemampuan pemahaman konsep memiliki nilai yang rendah. Padahal mata pelajaran fisika wajib dipelajari di setiap tingkat pendidikan dasar dan menengah, termasuk SMK merupakan salah satu tingkat pendidikan yang dimaksud. Berdasarkan Permendikbud nomor 60 tahun 2014 menyatakan bahwa SMK terdiri dari Sembilan bidang keahlian yaitu : 1. Teknologi dan Rekayasa. 2. Teknologi Informasi dan Komunikasi. 3. Kesehatan. 4. Agribisnis dan Agroteknologi. 5. Perikanan dan Kelautan. 6. Bisnis dan Manajemen. 7. Pariwisata.

3 8. Seni Rupa dan Kriya. 9. Seni Pertunjukkan. Lima bidang keahlian dari SMK yaitu bidang keahlian nomor 1 5 diwajibkan untuk mempelajari fisika. Fisika untuk lima bidang keahlian tersebut merupakan kelompok mata pelajaran C1 yaitu dasar dari bidang keahlian. Selain itu, berdasarkan taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (Anderson; Krathwohl, 2010:105) jika tujuan pembelajaran berfokus pada kemampuan mentransfer, maka kategori dimensi proses kognitif yang terlibat adalah dari mulai memahami sampai mencipta. Dari kategori dimensi proses kognitif memahami sampai mencipta tersebut, yang berpijak pada kemampuan transfer dan ditekankan di sekolah-sekolah dan perguruanperguruan tinggi adalah memahami. Siswa dikatakan memahami bila mereka dapat mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan ataupun grafis, yang disampaikan melalui pengajaran, buku, atau layar komputer (Anderson; Krathwohl, 2010:105). Kategori dimensi proses kognitif memahami terdiri dari beberapa proses kognitif yang lebih spesifik, yakni menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Sedangkan hasil observasi kelas yang telah dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan adalah sebagai berikut. 1. Siswa tidak mampu menafsirkan grafik. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa proses kognitif menafsirkan siswa masih rendah. 2. Siswa tidak dapat memberikan contoh manfaat dan aplikasi dari materi pelajaran yang telah diajarkan. Hal tersebut disebabkan oleh anggapan siswa bahwa fisika tidak dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Selain itu, proses kognitif mencontohkan dari siswa kurang baik atau rendah.

4 3. Proses kognitif menjelaskan siswa yang kurang baik ditunjukkan oleh ketidakmampuan siswa untuk menjelaskan materi yang telah diajarkan. Hasil studi tersebut dibuktikan dengan skor jawaban dari soal essay tes sumatif yang dibawah nilai standar kelulusan. Siswa lebih memilih guru untuk menjelaskan atau menerangkan kembali materi pelajaran yang telah dipelajari. 4. Siswa tidak mampu mengklasifikasikan konsep dari keteranganketerangan yang dicantumkan di dalam permasalahan atau soal yang diberikan guru. Dari hasil studi atau observasi kelas yang dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa perlu ditingkatkan. Pemahaman konsep siswa yang kurang baik ditunjukkan oleh indikator atau proses kognitif dari ranah memahami taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl masih banyak yang tidak terpenuhi. Sedangkan bagi beberapa bidang keahlian di SMK, mata pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari sebagai dasar bidang keahlian. Pernyataan-pernyataan tersebut didukung oleh hasil survey melalui angket di salah satu SMK Negeri di Kotamadya Bandung mengenai pembelajaran fisika yang menunjukkan bahwa : 1. Pembelajaran fisika terpaku pada latihan soal dan tidak pernah melakukan kegiatan praktikum. Dari 148 siswa 68,8% pembelajaran fisika di sekolah. menyatakan bosan dengan 2. Berdasarkan pengamatan langsung ke kelas, siswa tampak kurang antusias dalam pembelajaran fisika. Hal tersebut terlihat dari sikap mereka yang lebih memilih untuk memainkan telepon genggam dibandingkan dengan mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. Informasi tersebut juga didukung dengan hasil angket yang menunjukkan bahwa 83,72% siswa merasa tidak bersemangat untuk mengerjakan tugas fisika.

5 3. Selain itu, 61,06% siswa tidak mencari solusi dari soal yang diberikan oleh guru sampai mendapat jawaban yang benar. Mereka lebih memilih untuk melihat temannya dan menunggu soal tersebut dibahas oleh guru. Menurut mereka penting untuk mengetahui jawaban dari soal yang diberikan agar pada saat ujian mereka bisa mengerjakan soal tersebut. 4. Pembelajaran fisika yang tidak pernah melakukan praktikum membuat siswa tidak mampu membayangkan konsep fisika yang diajarkan. Sebanyak 72,9% siswa mengakui bahwa mereka mengetahui konsep fisika melalui soal, namun tidak dapat menyadari sebenarnya masalah apa yang sedang mereka hadapi di dalam soal tersebut, apalagi untuk membayangkan bahwa konsep yang sedang mereka pelajari benar-benar terjadi pada kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa masih menganggap bahwa fisika merupakan pelajaran yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak mereka jumpai di kehidupan sehari-hari. 5. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru fisika yang bersangkutan, praktikum tidak dilakukan karena harus mengejar tuntutan kurikulum yang banyak sedangkan waktu yang tersedia tidak cukup. Sehingga alternatif yang dipilih adalah dengan mengajarkan soal agar siswa terbiasa dan mampu mengerjakan saat ujian. Namun pada kenyataannya sebagian besar siswa selalu mendapat nilai di bawah kriteria ketuntasan minimal saat ujian maupun ulangan harian. Sehingga siswa belum dapat dikatakan memiliki pemahaman konsep yang baik. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang memuat kegiatankegiatan yang dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Experiential Learning (EL) yaitu teori Kolb mengenai pembelajaran. Alasan penggunaan teori Kolb atau EL sebagai solusi untuk meningkatkan kemampuan memahami adalah sebagai berikut.

6 1. Model pembelajaran EL memulai pembelajaran dengan pengalaman yang pernah dialami siswa, sehingga siswa mampu memikirkan aplikasi dari pembelajaran fisika. 2. Siswa merefleksikan pengalaman yang pernah dialaminya, lalu berbagi pengalamannya tersebut dengan siswa lain, sehingga siswa belajar menilai sebuah kejadian dari berbagai sudut pandang. 3. Siswa menciptakan atau membangun konsep dari pengalaman yang telah refleksikan dan bagikan dengan siswa lain. Sehingga siswa berinkuiri untuk memahami konsep. 4. Siswa mangaplikasikan konsep yang telah dibangun melalui eksperimen atau proyek. Keunggulan lain dari model pembelajaran EL adalah mengedepankan prinsip learning by doing. Seperti pendapat Rillero (dalam Ates dan Eryilmaz, 2011, hlm. 2), cara terbaik untuk seorang anak belajar berenang adalah dengan menyelam ke dalam air, begitu juga cara terbaik anak untuk belajar sains adalah melakukan hal yang saintifik. Sehingga dalam model EL memuat kegiatan hands-on experiment yang menunjang siswa untuk melakukan hal yang saintifik. Hands-on experiment merupakan proses aktif pembelajaran student-centered yang mendorong siswa untuk menemukan dan membangun konsep atau gagasan baru yang memacu pemikiran siswa agar menjadi kritis dan kreatif (John dan Wyse; Wilson dalam Dhanapal dan Shan, 2014, hlm. 30). Oleh karena itu, pembelajaran ini mendorong siswa untuk menemukan dan membangun konsep sendiri. Menurut Carin dan Bass (dalam Dhanapal dan Shan, 2014, hlm 30), terdapat tiga cara utama bagi manusia untuk menemukan tentang segala sesuatu di dunia; 1) menemukan sesuatu berdasarkan observasi dan pengalaman dirinya, 2) memperoleh pengetahuan dari orang lain secara langsung, atau 3) membangun pengetahuan dengan mentransformasikan penemuan dan pengetahuan yang telah didapat dengan cara yang bermakna. Kolb sependapat dengan pernyataan tersebut

7 yang mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari penggabungan pengalaman yang diperoleh dan ditransformasikan (dalam Dhanapal dan Shan, 2014, hlm. 30). Worth juga menyebutkan pembelajaran sains bukan hanya mengemukakan fakta dan memahami topik tertentu saja (dalam Dhanapal dan Shan, 2014, hlm. 30). Pernyataan-pernyataan tersebut menguatkan bahwa pembelajaran fisika dapat menggunakan hands-on experiment dengan model pembelajaran EL sebagai opsi yang efektif untuk mendorong siswa meraih pengalaman dan menemukan dari observasinya sendiri. Berdasarkan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 Pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan. Pendekatan saintifik dapat menggunakan beberapa strategi seperti pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran EL sangat memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Permendikbud. Model pembelajaran EL akan digunakan pada materi elastisitas bahan. Materi elastisitas bahan dipilih karena materi tersebut dekat dengan permasalahan dan pengalaman yang dialami siswa di dalam kehidupannya, seperti mengapa karet pada kaus kaki menjadi kendur dalam pemakaian jangka lama?, Mengapa sepeda motor atau mobil membutuhkan shockbreaker?, dan lain-lain. Kompetensi dasar dari sifat mekanis bahan yang termuat dalam kurikulum 2013 adalah menerapkan konsep elastisitas bahan. Menurut taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (2010), sebelum mampu menerapkan siswa harus mampu terlebih dahulu memahaminya. Oleh karena itu, peran EL yaitu untuk meningkatkan pemahaman konsep pada materi elastisitas bahan, sehingga siswa SMK mampu untuk menerapkan konsep tersebut.

8 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana peningkatan pemahaman konsep siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) setelah dilakukan EL? 2. Bagaimana tanggapan siswa SMK mengenai model pembelajaran EL? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa SMK setelah dilakukan EL. 2. Mengetahui tanggapan siswa mengenai model pembelajaran EL. 1.4 Manfaat Penelitian 1. EL meruapakan salah satu model pembelajaran yang memenuhi ketentuanketentuan di dalam Permendikbud nomor 103 tahun 2014. Sehingga model pembelajaran ini dapat menjadi sebuah referensi bagi guru atau bagi peneliti lain yang menggunakan model pembelajaran EL untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa SMK. 2. Pada dasarnya, tujuan SMK adalah untuk menyiapkan siswanya terjun langsung ke masyarakat atau dalam hal ini dunia kerja dengan membekali skill tertentu. Penelitian ini diharapkan mampu untuk mendukung tujuan tersebut dengan memberikan alternatif solusi untuk masalah pemahaman konsep yang kelak akan digunakan oleh siswa. 1.5 Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Variabel bebas dari penelitian ini yaitu perlakuan pada siswa berupa model pembelajaran EL yang diterapkan pada materi pelajaran elastisitas bahan. 2. Variabel Terikat Variabel terikat dari penelitian ini yaitu pemahaman konsep siswa SMK pada materi pelajaran elastisitas bahan.

9 1.6 Definisi Operasional 1. Experiential Learning (EL) EL merupakan teori Kolb mengenai pembelajaran. Teori ini memulai pembelajaran dengan pengalaman yang pernah dialami siswa, lalu merefleksi dan membagi pengalaman tersebut, sehingga siswa membangun konsep dari pengalamannya, dan mengaplikasikan konsep yang telah dibangun pada sebuah eksperimen. Selain itu, Karena EL memuat kegiatan hands-on experiment yang dijelaskan oleh John dan Wyne (dalam Dhanapal dan Shan, 2014, hlm. 1). EL merupakan pembelajaran yang menitikberatkan bukan pada hasil pembelajaran melainkan proses pembelajaran. Keterlaksanaan EL diukur dengan lembar observasi. Lembar observasi digunakan oleh observer saat pelaksanaan pembelajaran menggunakan model EL. 2. Pemahaman konsep Pemahaman konsep pada penelitian ini adalah salah satu dimensi proses kognitif yang terdapat di dalam taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwhol. Dimensi proses kognitif memahami terdiri dari tujuh proses kognitif. Diantaranya adalah menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, menjelaskan. Pemahaman konsep diukur menggunakan tes pemahaman konsep. Tes dilakukan dua kali (pre-test dan post-test) untuk melihat peningkatan pemahaman konsep. 3. Tanggapan Siswa. Tanggapan siswa mengenai pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran EL untuk menilai apakah siswa senang dengan model pembelajaran EL, apa dampak yang dirasakan siswa dari pembelajaran EL, dan apakah model pembelajaran EL perlu dilakukan secara berkesinambungan.