1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi publik dalam arti yang sesungguhnya. Implementasi pendekatan dan sistem pembangunan tersebut mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, bukan dalam pengertian partisipasi yang sebenarnya, tetapi lebih pada dimobilisasi. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan masyarakat sangat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Hal ini menjadikan masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak inovatif. Pendekatan top-down dan sentralistis juga mengakibatkan hak-hak masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, dan menjadikannya tidak berdaya baik pada aspek politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek ekonomi misalnya, terlihat bahwa upaya penanganan kemiskinan untuk menyejahterakan rakyat tidak benar-benar berhasil secara nyata. Penanganan kemiskinan sesunguhnya sejak lama telah diupayakan. Sejak PELITA I (era pemerintahan Suharto ) upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah air. Out-putnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang cukup significant. Hal ini terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan lima tahunan (PELITA) pada akhir 1960-an, kurang lebih 60 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian pada 1996-an menjadi sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia (BPS 1997). Tetapi, ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-an telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan pada khususnya. Krisis tersebut menyebabkan melonjaknya angka kemiskinan mencapai 40 persen dari total penduduk Indonesia. Terdapat pelajaran berharga dan (mungkin) sebagai penyadaran bagi para penyelenggara negara, bahwa kebijakan dalam melakukan pembangunan yang menempatkan warga miskin sebagai obyek pembangunan perlu dikoreksi. Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembanglah diskusi tentang civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Diskursus tentang civil society ini menyadarkan para penyelenggara negara untuk menemukan pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan yang
2 berpihak pada rakyat dengan mengedepankan demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan wacana civil society ini berkembang pula pemikiran, bahwa untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, harus dimulai dari masyarakat akar rumput (grass root). Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an tersebut. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri serta cara-cara merealisasikan kebutuhannya itu melalui proses pembangunan. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput (grass root) itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini pemberdayaan ditantang untuk dapat menumbuhkan kembali inovasi dan kreatifitas rakyat (Wrihatnolo 2007) Salah satu program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan (empowerment) yang diusung oleh pemerintah saat ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PNPM-M diharapkan dapat mewujudkan masyarakat berdaya dan mandiri yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menerapkan model pembangunan partisipatif yang berbasis kelembagaan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan capaian manfaat program kepada kelompok sasaran yang ditandai dengan adanya peningkatan IPM Milenium Development Goals (MDGs). Sejak tahun 2007, PNPM Mandiri dilaksanakan dengan memperluas cakupan wilayah sasaran pelaksanaan P2KP dan PPK. Selanjutnya pada tahun 2008 mulai diterapkan PNPM Mandiri Perkotaan (pengembangan dari P2KP) dan PNPM Mandiri Perdesaan (pengembangan dari PPK). Proses pemberdayaan masyarakat dititikberatkan pada fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat di tingkat basis kelurahan/desa, fasilitasi pengintegrasian program jangka menengah penanggulangan kemiskinan tingkat kelurahan/desa sesuai kebutuhan masyarakat dengan perencanaan pemerintah. Program ini diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar delapan persen dan
3 tingkat pengangguran menjadi sebesar lima persen sampai dengan tahun 2009 (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008) Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PNPM Mandiri yang merupakan kelanjutan dari program-program pemberdayaan sebelumnya (PPK dan P2KP) benar-benar mampu memberdayakan keluarga miskin? Dalam penelitiannya, Solihin (2005) menyebutkan bahwa pada aspek ekonomi terjadi peningkatan modal dan pendapatan bagi masyarakat miskin sebesar 60 persen sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pada aspek sosial juga terjadi peningkatan interaksi sosial antar anggota KSM dengan fasilitatornya dan terjadi peningkatan partisipasi warga masyarakat. Selanjutnya juga terjadi peningkatan pada aspek pembangunan sarana dan prasarana fisik di lokasi kegiatan. Hal yang kontras justru terjadi pada penelitian Zainuri (2005) yang memfokuskan penelitiannya pada proses partisipasi, transfer kekuasaan dan perbaikan kualitas hidup menurut perspektif pekerjaan sosial. Ia menyatakan bahwa Program Pengembangan Kecamatan/PPK (sekarang PNPM Mandiri Perdesaan) ternyata belum berhasil memberdayakan keluarga miskin. Berikutnya penelitian Muchtar (2007) juga membuktikan bahwa tidak terjadi proses pemberdayaan dalam implementasi P2KP (sekarang PNPM perkotaan). Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya komunikasi yang partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima program (partisipan) memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat. (Suparjan et al. 2003). Dengan komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Pendeknya, dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai anggota komunitas itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses, maka keterampilan analisis dan perencanaan menjadi teralihkan kepada mereka atau partisipan. Proses-proses komunikasi dalam PNPM MPd dapat teramati dalam berbagai event komunikasi di lokasi kegiatan. Dalam proses ini peran seorang fasilitator sangat menentukan apakah komunikasi berjalan secara partisipatif atau sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena fasilitator merupakan ujung tombak dalam aktivitas PNPM MPd. Ia adalah sosok yang selalu bersentuhan langsung
4 dengan partisipan atau penerima program di lapangan. Dalam konteks ini faktor kredibilitas yang melekat pada diri seorang fasilitator juga sangat menentukan keberhasilan dalam menjalankan peran-peran pendampingan bervisi pemberdayaan. Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat yang ditunjukkan oleh peran seorang fasilitator dan kredibilitas yang melekat pada dirinya menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma kualitatif yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang komunikasi pembangunan. Perumusan Masalah Merujuk pada latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah yang diungkap oleh peneliti adalah bagaimana peran fasilitator dalam melakukan pendampingan, bagaimana partisipan dan pelaku PNPM MPd memaknai kredibilitas seorang fasilitator dalam melakukan pendampingan untuk memberdayakan masyarakat serta bagaimana proses komunikasi berlangsung antara fasilitator dan partisipan dalam aktivitas PNPM MPd di lokasi penelitian? Tujuan Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan peran fasilitator dalam melakukan pendampingan pada aktivitas PNPM MPd. 2. Mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator dalam melakukan pendampingan menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd 3. Menganalisis komunikasi partisipatif yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
5 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Memberikan masukan strategis yang efektif dan efisien kepada pemegang kebijakan program PNPM MPd 2. Memberikan sumbangan hasil diskusi bersama partisipan kepada pelaku PNPM Mandiri Perdesaan dan komponen masyarakat yang peduli terhadap isu-isu pemberdayaan.