BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akrilamida 2.1.1 Sifat Fisikokimia Akrilamida (sinonim: 2-propenamida, etilen karboksiamida, akrilikamida, asam propeonik amida, vinilamida) merupakan suatu senyawa kimia kristalin bening hingga putih dengan bobot molekul 71,08 dan tidak berbau. Senyawa ini sangat mudah larut dalam air, larut dalam aseton, etanol, metanol dan dimetil eter. Titik leleh akrilamida pada suhu 84 0-85 0 C dan mendidih pada suhu 125 0 C (Friedman, 2003; Harahap, 2006). Gambar 1. Rumus Bangun Senyawa Akrilamida 2.1.2 Kegunaan Umum Akrilamida dikenal sebagai senyawa antara dalam pembuatan poliakrilamida. Dimana akrilamida merupakan suatu polimer akrilamida yang digunakan sebagai flokulan dan koagulan dalam proses pengolahan air minum dan limbah, bahan pengikat, produksi perekat, pengatur viskositas pada pemrosesan minyak mentah serta gel pada kosmetik (Ötles et al, 2004; Friedman, 2003; Harahap, 2006).
2.1.3 Farmakokinetika Akrilamida dapat diabsorpsi secara oral, melalui membran mukosa saluran nafas (inhalasi), dan lewat kontak dengan kulit utuh (rute dermal). Menurut FAO dan WHO, absorpsinya diperkirakan cepat lewat rute oral. Kelarutan akrilamida yang tinggi dalam air menjadi salah satu alasan bagi distribusinya yang cepat ke seluruh tubuh. Di dalam tubuh akrilamida didistribusi melalui cairan tubuh dan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 lalu dieksresikan melalui urin dan empedu.waktu paruh eliminasi akrilamida pada tikus sekitar 2 jam, sedangkan waktu paruh eliminasinya pada manusia belum diketahui secara jelas (FAO dan WHO, 2002; Friedman, 2003). 2.1.4 Toksikologi Akrilamida merupakan senyawa toksik sedangkan poliakrilamida yang merupakan polimernya tidak lagi bersifat toksik. Akrilamida telah diklasifikasikan sebagai senyawa yang mungkin menyebabkan kanker atau berpotensi sebagai karsinogen pada manusia (Friedman, 2003). Akrilamida dapat menyebabkan tumor pada saraf pusat, kelenjar susu, kelenjar tiroid, uterus, dengan dosis letal 50-500 mg/kg BB setiap harinya. Akrilamida berpotensi menyebabkan neurotoksik yang berakibat kepada sistem saraf pusat dan perifer, toksisitas akut menyebabkan gangguan emosional, halusinasi, turunnya tingkat kesadaran, dan hipotensi, sedangkan toksisitas kronik menyebabkan iritasi pada kulit, pengeluaran keringat yang berlebihan, kelelahan, dan turunnya berat badan (Info POM, 2002). WHO dan FAO menetapkan batas aman akrilamida adalah 0,5 mg/kg BB/hari terkait dengan neuropati.
2.1.5 Metode Analisis Metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kadar akrilamida dalam sampel makanan, antara lain kromatografi gas spektrometri massa (Rothweiler, 2004), kromatografi cair spektrometri massa tandem (Takatsuki, 2002) dan kromatografi cair kinerja tinggi (Harahap, 2006; Tanseri, 2009). Akrilamida memiliki berat molekul 71,08 dengan kelarutan yakni 215 g/l air pada suhu 25 C. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akrilamida merupakan suatu senyawa dengan kepolaran yang tinggi dan bila diitinjau dari struktur molekulnya, akrilamida memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (CH2=CH CO NH2) dan gugus kromofor yang dapat menyerap sinar UV (Castle, 2006). Hal ini mendasari penggunaan KCKT fase balik (reversed phase high performance liquid chromatography) dengan detektor UV untuk analisis akrilamida dalam sampel. 2.2 Mekanisme Terbentuknya Akrilamida dalam Makanan yang Digoreng Banyak senyawa hasil reaksi maillard yang penting untuk karakteristik warna, rasa dan aroma pada makanan yang dipanaskan. Namun beberapa senyawa ini ada yang tidak bermanfaat atau bahkan bersifat toksik bila dikonsumsi. Salah satu hasil reaksi maillard yang toksik adalah akrilamida. Reaksi maillard, dalam berbagai penelitian, disimpulkan sebagai jalur utama bagi pembentukan akrilamida. Reaksi maillard merupakan suatu reaksi kompleks yang terjadi antara senyawa karbonil (umumnya gula pereduksi) dengan suatu amina (biasanya berupa suatu asam amino, peptida atau protein). Reaksi ini pertama sekali dikemukakan oleh Louis-Camille Maillard pada tahun 1912.
Mekanisme pembentukan akrilamida dalam reaksi maillard diperkirakan berawal dari interaksi antara senyawa karbonil dengan asam amino asparagin selama proses pemanasan berlangsung. Hasil interaksi ini yakni basa Schiff, kemudian mengalami dekarboksilasi dalam reaksi Strecker menjadi suatu senyawa antara yang tidak stabil. Senyawa antara ini yaitu suatu basa Schiff yang terdekarboksilasi, lalu mengalami hidrolisis menjadi 3-aminopropanamida, yang kemudian bagian amonia-nya tereliminasi membentuk akrilamida. Basa Schiff yang terdekarboksilasi ini juga dapat membentuk akrilamida secara langsung lewat reaksi eliminasi imina (Mottram, et.al., 2006). Skema pembentukan akrilamida dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Pembentukan Akrilamida Lewat Reaksi Mailard (sumber: Wedzicha et al., 2005 dan Zyzak et al., 2003) 2.3 Teori Kromatografi 2.3.1 Sejarah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain: farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan analisis senyawa-senyawa kiral (Rohman, 2007). 2.3.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan metode pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi tinggi yang dapat mengidentifikasi serta menetapkan secara kuantitatif bahan dalam jumlah yang sangat kecil. KCKT mempunyai kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sensitif. Dengan teknologi ini, kromatografi cair dapat menghasilkan pemisahan yang cepat dalam banyak hal, dengan keunggulan zat-zat yang tidak menguap atau tidak tahan panas dapat dikromatografi tanpa peruraian atau tanpa perlu membuat derivat yang dapat menguap (Ditjen POM, 1995). Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawasenyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-
protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Rohman, 2007). 2.3.3 Jenis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Pemisahan dengan KCKT dapat dilakukan dengan fase normal (jika fase diamnya lebih polar dibanding dengan fase geraknya) atau fase terbalik (jika fase diamnya lebih non polar dibanding dengan fase geraknya). Berdasarkan pada kedua pemisahan ini, sering kali KCKT dikelompokkan menjadi KCKT fase normal dan KCKT fase terbalik. Selain klasifikasi di atas, KCKT juga dapat dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam, yaitu: kromatografi adsorpsi, kromatografi terikat, kromatografi penukar ion, kromatografi pasangan ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi afinitas. Kromatografi fase terikat menggunakan fase diam dari silika yang dimodifikasi secara kimiawi atau fase terikat. Sejauh ini yang digunakan untuk memodifikasi silikia adalah hidrokarbon-hidrokarbon non-polar seperti dengan oktadesilsilana, oktasilana, atau dengan fenil. Fase diam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilan (ODS atauc 18 ) dan kebanyakan pemisahannya adalah fase terbalik (Rohman, 2009). 2.3.4 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Menurut De Lux Putra (2004), komponen KCKT pada dasarnya terdiri atas: wadah fase gerak, pompa, alat untuk memasukkan sampel (tempat injeksi), kolom, detektor, wadah pembuangan fase gerak, dan suatu komputer atau integrator atau perekam.
Gambar 3. Instrumen Dasar KCKT 2.3.4.1 Wadah Fase Gerak Wadah fase gerak harus bersih dan inert, seperti wadah pelarut kosong ataupun labu labolatorium. Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil. Selain itu, adanya gas dalam fase gerak juga harus dihilangkan, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis. 2.3.4.2 Pompa Pompa berfungsi menarik fase gerak dari wadah dan memompanya menuju kolom. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 6000 psi pada kecepatan alir 0,1-10 ml/menit. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas, baja antikarat, teflon, dan batu nilam. Tujuan penggunaan pompa adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reproduksibel, konstan, dan bebas dari gangguan.
Ada 2 jenis pompa dalam KCKT yaitu pompa dengan aliran fase gerak yang tetap dan pompa dengan tekanan konstan. 2.3.4.3 Injektor Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon. Ada tiga jenis dasar injektor, yaitu: a. Hentikan aliran/stop flow : aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi. b. Septum : injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Selain itu, partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan. c. Katup putaran (loop valve) : tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar dari pada 10 μl dan sekarang digunakan dengan cara automatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom.
2.3.4.4 Kolom Kolom merupakan jantung kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok : a. Kolom analitik : diameter dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm; b. Kolom preparatif : umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm Kolom umumnya terbuat dari stainless steel. Kolom biasanya dipakai pada suhu kamar, tetapi suhu yang yang lebih tinggi juga dipakai, terutama dalam kromatografi pertukaran ion dan kromatografi eksklusi. 2.3.4.5 Detektor Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu : 1. Detektor universal : mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif, seperti detektor indeks bis dan detektor spektrometri massa. 2. Detektor spesifik : hanya mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia. 2.3.4.6 Perekam Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, rekorder dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu mem-plotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis.
2.3.5 Parameter Kromatografi Ada beberapa parameter kromatografi yang digunakan secara umum, yaitu: 1. Waktu Tambat / Waktu Retensi Jarak antara puncak maksimal dari titik injeksi yang dinyatakan dalam unit waktu disebut waktu retensi. Waktu retensi berfungsi sebagai pengidentifikasi analit pada sistem partikuler. Waktu retensi merupakan deskriptor yang paling luas digunakan untuk analit, dan parameter yang paling mudah diukur. Walaupun mudah diukur, waktu retensi merupakam parameter universal yang paling akhir. Waktu retensi analit tergantung pada laju alir fase gerak dan stabilitas laju alir. Semakin cepatlaju alir, semakin singkat waktu retensi (Dong, 2006). 2. Resolusi Tujuan sederhana dan bahkan sangat penting dalam KCKT adalah mendapatkan pemisahan campuran sampel yang baik. Untuk mencapai tujuan inikita perlu menghitung ukuran kunatitatif dari pemisahan relatif atau resolusi. Resolusi, Rs, dari dua puncak berdekatan didefinisikan sebagai perbandingan jarak antara dua puncak, dibagi dengan rata-rata lebar puncak. Rumusnya : Rs = 2( t t w + t w 1 2 t1) 2 Dimana : t 1 dan t 2 = waktu retensi puncak 1 dan 2 t w1 dan t w2 = lebar puncak 1 dan 2 Nilai Rs mendekati atau lebih dari 1,5 akan memberikan pemisahan yang baik.
3. Efisiensi Kolom Salah satu karakteristik sistem kromatografi yang paling penting adalah efisiensi atau jumlah lempeng teoritis. Bilangan lempeng (N) yang tinggi disyaratkan untuk pemisahan yang baik yang nilainya semakin kecilnya nilai H. Istilah H merupakan tinggi ekivalen lempeng teoritis atau HETP (high equivalent theoretical plate) yang mana merupakan panjang kolom yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lempeng teoritis. Kolom yang baik akan mempunyai bilangan lempeng yang tinggi dan nilai H yang rendah, untuk mencapai hal ini ada beberapa faktor yang mendukung yaitu kolom yang dikemas dengan baik, kolom yang lebih panjang, partikel fase diam yang lebih kecil, viskositas fase gerak yang lebih rendah dan suhu yang lebih tinggi, molekul-molekul sampel yang lebih kecil, dan pengaruh di luar kolom yang minimal (Rohman, 2007). 4. Faktor Asimetri Hal-hal yang menyebabkan terjadinya puncak yang asimetris, yaitu : a. Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna karenanya terjadi pengekoran atau tailing. b. Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan solut sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang mengekor. c. Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting) (Rohman, 2007).
2.4 Validasi Validasi adalah suatu tindakan terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis (WHO, 1992; Rohman, 2007). Parameter analisis yang ditentukan pada validasi adalah akurasi, presisi, spesifikasi, limit deteksi, limit kuantitasi, linieritas dan rentang kadar. Akurasi (kecermatan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (% recovery) analit yang ditambahkan dan dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu metode simulasi (spiked placebo recovery) dan metode penambahan bahan baku (standard addition method). Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. A B % Perolehan Kembali = x100% C Keterangan : A = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan baku B = konsentrasi sampel sebelum penambahan baku C = konsentrasi baku yang ditambahkan Presisi dari suatu metode analisis adalah derajat kesesuaian diantara masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis diterapkan berulang kali pada sejumlah cuplikan yang diambil dari sampel homogen. Presisi dinyatakan sebagai deviasi standar atau deviasi standar relatif (koefisien variasi). Presisi dapat
diartikan pula sebagai derajat reprodusibilitas atau keterulangan dari prosedur analisis. Ada 4 macam ukuran ketepatan, yaitu : a. Kisaran (range) kadar merupakan selisih hasil penetapan yang paling besar dengan yang paling kecil. Semakin kecil selisihnya berarti hasilnya semakin tepat. b. Deviasi rata-rata (mean deviation) merupakan deviasi masing-masing hasil penetapan terhadap rata-rata, dengan tidak memperhatikan tanda deviasinya (positif atau negatif) dan dirumuskan sebagai berikut : X X d = N c. Standar deviasi (SD) merupakan akar jumlah kuadrat deviasi masing-masing hasil penetapan terhadap mean dibagi dengan derajat kebebasannya yang dinyatakan dalam rumus berikut : ( X X ) SD = Keterangan : n 1 2 X = nilai dari masing-masing pengukuran X = rata-rata (mean) dari pengukuran N = frekuensi penetapan N-1 = derajat kebebasan d. Standar deviasi relatif (relative standard deviation, RSD) merupakan ukuran ketepatan relatif dan umumnya dinyatakan dalam persen. RSD dirumuskan dengan persamaan : SD RSD = x100% X
Keterangan : RSD = Relative Standard Deviation (%) SD = Standard Deviation X = rata-rata Kespesifikan dari suatu metode analisis adalah kemampuannya untuk mengukur kadar analit secara khusus dengan akurat, disamping komponen lain yang terdapat dalam matriks sampel. Batas deteksi (limit of detection) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat terdeteksi. Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 3xSB Batas deteksi = Slope Batas kuantitasi (limit of quantitation) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. 10xSB Batas Kuantitasi = Slope Kelinieran suatu metode analisis adalah kemampuan untuk menunjukkan bahwa nilai hasil uji langsung atau setelah diolah secara matematika, proporsional dengan konsentrasi analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu (Harmita, 2004; Rohman, 2007).