1 BAB I PENGANTAR 1.1.Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah, sebab tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanah tidak hanya bernilai ekonomis tetapi meliputi seluruh aspek kehidupannya. Tanah bagi kehidupan manusia mengandung makna yang multidimensional. Nugroho (2001:237) mengafirmasi kenyataan ini dengan mengemukakan bahwa tanah memiliki multiple values yakni, Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, dari sisi politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, dari sisi budaya tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, dari sisi religi tanah bermakna sakral karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah. Rubaie (2007:1) mengemukakan hal senada bahwa tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Sebagai capital asset tanah juga telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk
2 kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan merata, sedangkan di sisi lain juga harus dijaga kelestariaannya. Makna penting tanah baik bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, diatur secara nyata dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pasal ini mengamanatkan penggunaan tanah yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan semua tanah itu dikuasai oleh negara. Semangat yang diusung dalam pasal ini adalah fungsi sosial pengelolaan tanah yang diperuntukkan bagi kemakmuran banyak orang. Pasal ini kemudian dijadikan acuan hukum dan filosofis terhadap pengaturan tanah di Indonesia yang terbingkai dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria yang kemudian lebih dikenal dengan nama Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA). Tujuan pokok dari Undang-Undang Pokok Agraria adalah: 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur. 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
3 Tujuan tanah dapat digunakan mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka pemanfaatan dan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana dan dalam pengelolaannya diserahkan kepada negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini secara ideologis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kaum petani Indonesia. Menurut Musnita (2008:3) hal ini dikarenakan sejak berlakunya UUPA, secara yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat untuk fungsi hukum agraria nasional sebagai alat membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan masyarakat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur. Pentingnya arti tanah dalam kehidupan manusia, justru menjadikan tanah sebagai objek yang rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok. Hal yang kerap melatarbelakangi kenyataan ini adalah karena di satu sisi kebutuhan manusia akan tanah semakin meningkat namun di sisi lain persediaan tanah relatif tetap. Konflik tanah yang kerap menjadi sengketa di masyarakat semakin meningkat setiap tahun dan terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan. Aktor-aktor yang seringkali terlibat dalam kasus-kasus pertanahan adalah rakyat berhadapan dengan birokrasi, rakyat berhadapan dengan perusahaan negara dan rakyat berhadapan dengan militer (Sumardjono, 2005:182). Hal yang lebih substansial terkait munculnya sengketa tanah adalah inkonsistensi penerapan UUD 1945. Meskipun telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa tanah merupakan sumber kemakmuran rakyat namun realita yang tampak sekarang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan masyarakat
4 Indonesia semakin meningkat. Ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (Renstra BPN, 2010-2014:6). Data yang dihimpun KPA sepanjang tahun 2013 terkait permasalahan agraria bangsa ini, dirilis 19 Desember 2013 (http://suaraagraria.com/detail-1918- ini-data-konflik-agraria-di-tanah-air-sepanjang-tahun-2013.html#.vpaqgd8xj 1U) terdapat 369 kasus pada 2013, 198 kasus pada 2012. Jika dibandingkan tahun 2012 terdapat tren peningkatan kuantitas konflik agraria sebanyak 171 kasus, atau naik 86,36%. Ini juga berarti, jika dirata-ratakan, setiap hari terjadi konflik agraria sepanjang tahun 2013 (sampai data ini dikeluarkan 19 Desember 2013). Jumlah konflik yang muncul pada periode kedua pemerintahan Presiden SBY menunjukkan kenaikan, di tahun 2013 naik tiga kali lipat atau 314% dibandingkan tahun 2009. Luas konflik agraria pada 2013 sebanyak 1.281.660.09 ha, sedangkan tahun 2012 sebanyak 318.248,89 ha. Marzuki (2008:2) mengemukakan bahwa masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Selain mempunyai nilai ekonomis, tanah juga mempunyai nilai sosial. Oleh karena itu permasalahan tanah yang muncul akhir-akhir ini semakin kompleks. Pemicunya tidak sebatas aspek ekonomi saja, melainkan sosial dan budaya bahkan juga agama. Sengketa tanah yang sudah terjadi sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria muncul dalam banyak pola. Pada awal tahun 1960an pola sengketa yang muncul adalah patron client yakni antara petani pemilik tanah dengan buruh tani. Posisi pemerintah dalam mengatasi masalah ini adalah netral karena fokus pemerintah saat itu adalah pembangunan bangsa. Namun ketika memasuki zaman Orde Baru,
5 pola sengketa pertanahan didominasi oleh pemilik modal dan pemerintah melawan masyarakat. Dalam hal ini pemilik modal bersama dengan pemerintah mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah yang besar dengan mengatasnamakan pembangunan. Pemerintah tidak berpihak pada rakyat tetapi lebih berpihak pada pemilik modal. Bahkan lebih dari itu, pemerintah menggunakan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan dan isolasi. Pola penaklukan yang dilakukan pun lebih bersifat ideologis seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rugi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai anti pembangunan. Untuk melegitimsasi kekuasaanya maka tidak jarang pemerintah menggunakan kekuatan militer (TNI-POLRI) untuk melakukan hal ini sehingga masyarakat tidak mampu memberikan perlawanan. Oleh karena itu secara tidak langsung sengketa yang sering terjadi adalah sengketa antara TNI melawan rakyat/petani. Kondisi seperti ini tak dapat dipungkiri catatan sejarah bahwa ada banyak sengketa yang muncul terkait tanah. Kemunculan reformasi pada tahun 1998 yang sekaligus mengakhiri rezim Soeharto maka pola konflik pertanahan pun berubah. Hal ini semakin diperkuat seiring dengan menguatnya peran masyarakat sipil. Sengketa pertanahan pasca Orde Baru justru berubah menjadi sengketa perebutan kembali tanah oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggarap atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru.
6 Salah satu sengketa tanah yang muncul pasca Reformasi yang sekaligus menjadi objek penelitian adalah sengketa tanah antara TNI AU dan masyarakat Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Karakter konflik antara TNI AU dengan masyarakat di desa Sukamulya, Rumpin adalah upaya perebutan tanah oleh masyarakat seluas 1000 ha yang diklaim sebagai milik TNI AU. Sampai dengan saat ini pihak TNI Angkatan Udara mengklaim bahwa 1.000 ha tanah tersebut milik TNI AU. Sebenarnya pengklaiman ini beralasan dan memiliki landasan hukum yakni Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang Nomor: 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950 yang salah satu poinnya mengatakan bahwa lapangan-lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara RI. Masyarakat di lain pihak juga mengklaim bahwa tanah tersebut sejatinya adalah milik mereka. Dasar hukum yang digunakan oleh warga adalah SK Menteri Agraria Tahun 1960 yang menegaskan bahwa luas tanah yang dimiliki TNI AU hanya seluas 36,6 ha, bukan 1.000 ha seperti diklaim TNI AU. SK Menteri Agraria ini kemudian diafirmasi lagi dengan SK Menteri Dalam Negeri Tahun 1984. Secara historis, konflik tanah antara masyarakat Sukamulya dan TNI AU sudah terjadi sejak tahun 1955. Hal itu terjadi karena adanya ketidaksepahaman antara warga Sukamulya dengan pihak TNI AU terkait kepemilikan tanah seluas 1000 ha. Menurut warga Sukamulya tanah yang sekarang merupakan tanah
7 warisan yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman pra kemerdekaan. Pada masa penjajahan tanah-tanah tersebut tetap dikelola oleh warga Sukamulya walaupun untuk kepentingan penjajah. Namun situasi ini berubah seiring dengan adanya Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang Nomor 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950 yang mengklaim bahwa tanah seluas 1000 ha di kawasan Sukamulya merupakan milik TNI AU. Sengketa ini menimbulkan tekanan psikologis dan ketidaknyamanan dari masyarakat Sukamulya. Puncak sengketa terjadi Januari 2007 lalu, yang ditandai oleh adanya pemblokiran dan pengusuran tanah warga oleh TNI AU sehingga pecah bentrokan antara masyarakat dengan TNI AU. Penggusuran dan pemblokiran tanah ini merupakan balasan atas aksi unjuk rasa oleh warga Sukamulya terhadap pembuatan water training oleh TNI AU. Pihak TNI AU beralasan bahwa berdasarkan SK Kepala Staf Angkatan Perang tersebut mereka mempunyai hak untuk mengaktifkan kembali landasan pesawat dan membangun water training untuk kepentingan TNI AU. Pemikiran pembangunan Water Training ini bermula dari adanya kesulitan untuk mencari lokasi yang ideal untuk latihan dengan menggunakan media air bagi aircrew helikopter. Komandan Lanud mengajukan rencana pembangunan water training Nomor B/116/III/2006 tentang permohonan ijin pembuatan Water training di Rumpin. Surat ini kemudian ditindaklanjuti oleh Surat Pangkoopsau I Nomor B/358-II/01/16/Kum tanggal 25 April 2006 tentang permohonan pembuatan water training. Berdasarkan hasil peninjauan Tim Teknis Aset Mabes TNI AU bersama Tim Aset Koopsau I dan tim aset Lanud Atang Sendjaja, maka
8 pimpinan TNI AU menyetujui permohonan pembuatan water training melalui surat Asisten Logistik Kasau Nomor : B/533-04/21/60/Disfasonau dan telah disetujui oleh Kepala Staf TNI AU dalam disposisi Kasau Takah nomor 04/21/02/Spri C-29 tanggal 7 Juni 2006. Keadaan tersebut menimbulkan reaksi keras yang bersifat negatif dari warga sebab warga menilai bahwa pembangunan water training dilakukan tanpa seizin pemerintah Bogor dan tanpa adanya musyawarah dengan masyarakat. Apalagi sejak sengketa tanah antara warga dengan TNI AU terjadi, BPN Kabupaten Bogor menetapkan tanah di Rumpin sebagai status quo atau tak bisa diganggu gugat. Status ini diberlakukan sampai konflik kepemilikan tanah tersebut diselesaikan melalui jalur hukum. Pelaksanaan penyelesaian perkara melalui jalur hukum menghadapi sebuah dilema terkait penegakkan hukum.kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Di sisi lain pengadilan negara yang memegang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas. Pengadilan negara sedang dilanda krisis kepercayaan. Upaya lain yang dilakukan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah ini adalah melalui mediasi. Sengketa tanah yang terjadi antara TNI AU dengan masyarakat di Rumpin menjadi salah satu tantangan dan ancaman serius bagi pemerintah terutama Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daerah Bogor secara umum dan Rumpin pada khususnya. Ancaman ini mempunyai pengaruh negatif terhadap stabilitas daerah Bogor terutama dari segi ekonomi, sosial, politik, dan hankam.
9 Apalagi di era otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, stabilitas menjadi salah satu konsep penting dalam mendorong keberhasilan pembangunan dan implementasi kebijakan di daerah. Sengketa tanah yang terjadi mengindikasikan lemahnya stabilitas karena melahirkan keresahan dan ketidaknyamanan di tengah masyarakat. Dari segi sosial, jurang antara TNI AU dan masyarakat menjadi semakin melebar seiring dengan disharmonisasi yang terjadi. Kondisi seperti ini akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta melemahkan ketahanan nasional yang merupakan sinergitas dari ketahanan wilayah yang ada di seluruh Indonesia termasuk di Rumpin,sebab hakikat ketahanan nasional adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Oleh karena itu diperlukan perhatian yang serius dari pemerintah dan semua unsur yang terkait untuk mengatasi masalah ini agar ketahanan wilayah Bogor pada umumnya dan Rumpin pada khususnya dapat ditegakkan. 1.2.Permasalahan Penelitian Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat pada latar belakang di atas maka peneliti membuat beberapa pokok permasalahan yang menjadi acuan bagi peneliti dalam mengadakan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana konflik tanah antara TNI AU dengan masyarakat di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat?
10 2. Bagaimana implikasi konflik tanah antara TNI AU dengan masyarakat Kecamatan Rumpin terhadap ketahanan wilayah? 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui konflik tanah antara TNI AU dengan masyarakat di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. 2. Untuk mengkaji implikasi konflik tanah TNI AU dengan masyarakat Rumpin terhadap ketahanan wilayah. 1.4.Manfaat Penelitian Ada dua manfaat yang diharapkan dari penelitian ini: 1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap studi tentang ketahanan wilayah secara khusus hubungannya dengan konflik kepemilikan tanah seringkali mengancam eksistensi ketahanan nasional. Selain itu, penelitian ini dapat juga dijadikan sebagai acuan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenis. 2. Manfaat praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pemerintah daerah, TNI AU, dan masyarakat tentang kondisi faktual konfliktanah TNI AU dengan masyarakat Rumpin dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Kabupaten Bogor sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pencarian solusi bersama.