PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK"

Transkripsi

1 PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan, baik yang menyangkut eksistensi tanah hak adat/ulayat, tanah negara yang berada dalam pengelolaan kehutanan maupun tanah kawasan hutan yang telah berubah fungsi menjadi tanah perkebunan atau pertanian. Perusahaan perkebunan yang berada pada kawasan kehutanan berkepentingan untuk memperoleh kepastian hak atas tanah melalui perolehan hak guna usaha, namun terbentur pada sistem dan norma mengenai persyaratan adanya izin pelepasan kawasan dari menteri kehutanan. Dalam penentuan status kawasan kehutanan yang telah berubah fungsi kawasan menjadi areal perkebunan dan pertanian masih terjadi perbedaan persepsi antara instansi pemerintah yang terkait, sehingga perlu penyelesaian penyelesaian melalui koordinasi antarinstansi yang berkopensi yang bertujuan menguntungkan investasi, melastarikan lingkungan hidup, meningkatkan pendapatan negara sekaligus kesejahteraan masyarakat. 1. PENDAHULUAN Keberadaan tanah sangat penting artinya bagi manusia, karena tanah merupakan salah satu sumber kehidupan. Setiap orang akan berusaha mendapatkan tanah dan berupaya memperjuangkannya untuk memenuhi hajat hidupnya dan mempertahankan kehidupan dan ekosistem kelompoknya. Karena tanah yang ada sangat terbatas dan tidak pernah bertambah, maka untuk menghindarkan terjadinya benturan kepentingan antara individu dan kelompok masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tanah, pemerintah sebagai pelaksana dari kekuasaan negara mempunyai peranan sesuai dengan kewenangan yang ada padanya untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara individu atau kelompok masyarakat dengan tanah. Bahkan pengaturan oleh pemerintah terhadap permasalahan pertanahan yang lebih lanjut diatur dalam peraturan perundangan tidak hanya ditujukan untuk mencegah terjadinya pertentangan kepentingan yang ada tetapi dicitacitakan untuk dapat dimanfaatkan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Hal itu tercermin dari bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menegaskan Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. 82 Ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tersebut merupakan kebijakan umum dalam bidang pertanahan, sedangkan kebijakan dasar pengaturan di bidang pertanahan digariskan dalam ketentuan-ketentuan pokoknya oleh Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan yang terdapat dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA tersebut pada dasarnya tidak hanya mengatur tentang tanah saja atau hanya yang berada pada permukaan bumi, tetapi juga mencakup pengaturan sumberdaya alam lainnya, seperti air, ruang angkasa, maupun sumberdaya alam yang berada di dalam tanah (pertambangan) termasuk yang berada di atas tanah (kehutanan), sesuai dengan pengertian agraria sebagaimana diatur dalam pasal 2 UUPA. Adanya cakupan pengaturan sumberdaya alam yang termasuk dalam pengertian agraria dalam peraturan perundangan, dalam tataran operasional belakangan mengalami degradasi sehubungan diterbitkannya peraturan perundangan yang mengatur bidang-biang sektoral tertentu yang semula dianggap merupakan bagian dari pengertian agrarian seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengenai kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 mengenai pertambangan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1972 mengenai pengairan. Undang-undang yang bersifat independen tersebut tidak mengacu kepada UUPA sebagai undang-undang pokok atau undang-undang yang terlebih dahulu diterbitkan

2 yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan demikian pada kenyataannya agraria diterima dengan pengertian yang semakin sempit, yaitu hanya mengatur penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah saja. 1 Dengan terbitnya undang-undang sektoral tersebut, telah melahirkan lembagalembaga yang menangani sektor-sektor tersebut dan mempunyai domein tersendiri yang tidak dapat dicampuri oleh instansi lain. Misalnya lembaga kehutanan secara otonom menangani tanah hutan dan tidak boleh lembaga lain menangani obyek yang sama, seperti pihak pertanian (perkebunan) atau pertanahan, sekalipun dalam tataran operasionalnya, banyak kawasan hutan yang digarap atau diusahai untuk tanah perkebunan. Sehubungan dengan adanya lembaga yang bersifat mandiri/otonom dan perangkat peraturan perundangan yang bersifat sektoral seperti pengaturan tentang tanah yang masuk kawasan hutan, sementara pada kenyataannya telah berubah fungsi menjadi areal perkebunan, maka hal tersebut telah melahirkan permasalahan mengenai tanah perkebunan yang berada pada kawasan hutan yang membutuhkan penyelesaian atau jalan keluar. 2. KETENTUAN MENGENAI TANAH PERKEBUNAN Pembangunan perkebunan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tanah sebagai basis tempat usahanya. Untuk memberikan ketenangan berusaha dalam bidang perkebunan, maka perlu pengaturan yang memberikan kepastian hukum terhadap penguasaan dan pengusahaan tanah tersebut. 2 Dalam rangka pemberian kepastian hukum terhadap penguasaan dan pengusahaan tanah untuk bidang perkebunan, UUPA mengaturnya dengan diberikan Hak Guna Usaha. 3 1 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, (Bandung: Alumni, 1999), halaman Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, Peranan BPN Dalam Pembangunan Perkebunan, makalah pada Sosialisasi Undang-undang No. 18 tahun 2005 tentang Perkebunan yang dilaksanakan Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara Pada tanggal 11 Agustus 2005 di Sahid Hotel Medan, halaman 5 3 Pengertian Hak Guna Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPA adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan dan diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 Ha, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 Ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan dinyatakan bahwa usaha di bidang perkebunan dilakukan dengan perencanaan nasional, perencanaan provinsi, dan perencanaan kabupaten/kota. Oleh karena itu perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan rencana pembangunan nasional, rencana tata ruang wilayah, serta kesesuaian tanah dan iklim maupun ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan. Pada Bab III Pasal 9 s.d. 12 Undang- Undang Perkebunan diatur mengenai penggunaan tanah untuk usaha perkebunan. Pada Pasal 9 dinyatakan sebagai berikut: (1) Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Terhadap ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa diberikannya Hak Milik adalah untuk usaha perkebunan yang dilakukan oleh perorangan (karena badan hukum tidak dimungkinkan untuk mendapatkan hak milik, kecuali ditunjuk secara khusus oleh Pemerintah untuk keperluan tertentu), 4 sedang Hak Guna Bangunan hanya untuk mendirikan bangunan seperti untuk pabrik atau emplasmen. Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. 4 Perhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 tentang Badan-badan hukum yang dapat memperoleh hak milik yaitu bank-bank pemerintah, koperasi pertanian, badan hukum sosial dan badan hukum keagamaan. 83

3 Bila dikaitkan dengan UUPA maka dalam penjelasan umum-nya disebutkan juga bahwa pada hakikat nya hak ulayat diakui dan pada dasarnya akan diperhatikan sepanjang hak ulayat tersebut menurut kenyataannya masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan, misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie yang memang ia berhak menerima selaku pemegang hak ulayat. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Pada Masyarakat Hukum Adat, dinyatakan bahwa eksistensi hak ulayat tersebut harus dibuktikan dengan adanya subyek hak, obyeknya dan tatanan hukum yang mengaturnya. Pada pasal 6 disebutkan ada tidaknya hak ulayat tersebut dituangkan dalam peraturan daerah. Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, pada penjelasan pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada jika memenuhi unsur: a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschaft) b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat c. Ada wilayah hukum adat yang jelas d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati e. ada pengukuhan dengan peraturan daerah. Namun jika bertitik tolak dari pengertian Hak Guna Usaha, baik dalam UUPA maupun PP Nomor 40 tahun 1996, maka tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (tanah negara) atau tanah yang belum dilekati oleh sesuatu hak atas tanah menurut UUPA. Hak Guna Usaha dapat juga diberikan kepada perusahaan perkebunan atas tanah yang status haknya sudah ada sebelum berlakunya UUPA seperti Hak Erfpacht, Hak Konsesi, atau Hak Sewa, dengan ketentuan wajib dikonversi menjadi Hak Guna Usaha paling lama 24 September Jadi dalam ketentuan tersebut sama sekali tidak disebutkan dimungkinkan Hak Guna Usaha diterbitkan di atas tanah ulayat. Namun dalam perkembangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah 84 Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pada Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sesudah jangka waktu itu habis atau tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan, sehingga Hak Guna Usaha dan Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang Hak Ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada. Jadi pelepasan dimaksud adalah melepaskan status hak ulayat menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Kemudian pada pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan diatur bahwa penggunaan tanah usaha perkebunan, luas maksimum dan luas minimumnya ditetapkan oleh menteri, sedangkan pemberian hak atas tanah ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan Terhadap luas tanah yang dapat diberikan untuk usaha perkebunan dengan status Hak Guna Usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPA dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah minimum 5 Ha dan maksimum 25 Ha untuk perorangan, sedangkan kepada badan hukum ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdaya guna di bidang tersebut. Jika Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya 25 Ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Selanjutnya dalam pasal 11 Undang- Undang Perkebunan diatur bahwa Hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun dan setelah jangka waktu perpanjangan berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak diberikan hak guna usaha baru. Ketentuan mengenai jangka waktu hak guna usaha tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA, kecuali untuk jangka waktu pemberian hak guna usaha baru (pembaharuan hak) yang disebutkan dengan jangka waktu sebagaimana ditentukan pada ayat (1) atau 35 tahun. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 jangka waktu pembaharuan hak hanya untuk jangka waktu 25 tahun.

4 Kemudian Pasal 12 Undang-undang Perkebunan dinyatakan: Menteri dapat mengusulkan kapada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila menurut penilaian menteri, hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana yang dipersyaratkan dan ditelantarkan selama 3 (tiga) tahun berturutturut sejak diberikannya hak guna usaha yang bersangkutan. Tentang pemanfaatan tanah hak guna usaha dengan baik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah, apabila tanahnya tidak dimanfaatkan dengan baik merupakan salah satu alasan untuk menghapus hak atas tanahnya. Ketentuan hapusnya hak guna usaha, menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah karena: a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya. b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena: 1) Tidak dipenuhinya kewajibankewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, 13, dan pasal 14. 2) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya 4) Dicabut berdasarkan Undang- Undang Nomor 20 tahun ) Diterlantarkan 6) Tanahnya musnah 7) Ketentuan pasal 3 ayat (3) Hapusnya Hak Guna Usaha tersebut mengakibatkan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 17 ayat 2). Ketentuan lain mengenai Hak Guna Usaha yang diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah mengenai subyek hak guna usaha yaitu a) Warga Negara Indonesia; dan b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Jadi orang asing tidak dimungkinkan untuk diberikan hak guna usaha. Hak Guna Usaha juga harus didaftarkan pada instansi BPN termasuk syarat-syarat pemberian, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, dan pendaftaran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pendaftaran tersebut bertujuan untuk memperoleh jaminan kepastian hukum atas tanahnya dan sebagai bukti pendaftarannya akan diberikan sertifikat sebagai alat pembuktian hak yang kuat. Hak Guna Usaha juga dapat dialihkan, menurut Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara: jual beli, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan dan peralihannya (kecuali karena pewarisan) dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Khusus, yaitu pejabat di lingkungan BPN. Berdasarkan Pasal 33 UUPA, pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diatur bahwa Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan. Pemberian Hak Tanggungan dengan obyek Hak Guna Usaha harus didaftarkan sebagaimana pendaftaran terhadap Hak Tanggungan atas tanah lainnya. Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa Hak Tanggungan hapus dengan hapusnya Hak Guna Usaha. Jadi di sini terlihat sifat accesoir dari Hak Tanggungan yaitu mengikuti ketentuan mengenai hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Adanya ketentuan tentang pendaftaran tersebut adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada subyek hak, baik perorangan maupun badan hukum yang melakukan usaha di bidang perkebunan. Kepastian hukum tersebut adalah dalam hal kepastian tentang pemilikan/ penguasaan atas suatu bidang tanah tertentu dengan luasan dan batas-batas tertentu dan sebagai bukti pemilikan/ penguasaan atas tanah tersebut diberikan sertifikat tanah sebagai alat bukti yang kuat, jaminan perlindungan hukum maksudnya negara akan memberikan perlindungan terhadap pemegang hak atas tanah tersebut apabila ada gangguan berupa gugatan yang menyangkut kepemilikan atas tanah dimaksud. Misalnya apabila ada pihak lain yang mengajukan gugatan ke lembaga peradilan untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah dimaksud, maka yang akan berhadapan dengan penggugat adalah pihak pemerintah (Badan Pertanahan Nasional), guna mempertahankan produk hukum sertifikat hak atas tanah tersebut. 85

5 3. KETENTUAN MENGENAI TANAH KEHUTANAN Ketentuan tentang tanah kehutanan diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun Sebelumnya sektor kehutanan ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Politik hukum nasional yang menyangkut kehutanan adalah melaksanakan ketentuan pasal 33 UUD Hal tersebut dapat dilihat dari konsideran Mengingat Undang-undang Nomor 41 Tahun Artinya terdapat payung yang sama antara pengaturan tentang kehutanan dengan pertanahan. Persoalan mengenai tanah hutan, tidak bisa dilepaskan dari status tanahnya seperti tanah hak adat/ulayat masyarakat hukum adat, atau dengan kata lain pelaksanaan pembangunan pada sektor kehutanan dan perkebunan tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan dan pemanfaatan hutan dan tanah kawasan hutan yang semula merupakan hutan dan tanah ulayat. Kenyataan tersebut juga diakui oleh ketentuan peraturan perundangan. Pasal 5 Undang-undang Kehutanan mengatur bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan Negara dapat berupa hutan adat. Lebih jelas status tanah hutan dapat dilihat dari Pasal 1 Undang-Undang Kehutanan. Angka 4 didefinisikan hutan negara adaalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah dan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pengertian hutan negara mencakup pula hutanhutan yang baik berdasarkan peraturan perundangan maupun hukum adat dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan atas tanah yang didasarkan pada hukum adat, lazimnya disebut hak ulayat diakui dalam UUPA, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Adanya pengertian hutan adat yang dimasukkan ke dalam katagori tanah hutan negara selalu dipersoalkan berbagai pihak, karena ketentuan yang demikian sering merusak sendi hak ulayat yang ada, sebab kekuasaan pemerintah telah mengambil alih hakhak masyarakat, yang secara materil hak itu tetap dianggap ada oleh masyarakat adat. 6 Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal a angka 3 mengenai pengertian kawasan 5 Ombo Sutya Praja, Hutan dan Masyarakat Adat dalam buku Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 1999, halaman Hermayulis sebagaimana dikutip oleh Muhammad Yamin & Abd Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), halaman hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Persoalannya terkait dengan tanah hutan yang diakui sebagai hutan adat telah terlebih dahulu ada sebelum penetapan pemerintah. Bila tetap dimasukkan sebagai kawasan hutan negara maka negara akan dengan mudah melegalkan eksploitasi hutan demi kepentingan industri. Eksploitasi ini menghancurkan kawasan hutan adat, padahal dalam konsepsi hukum adat, hutan merupakan totalitas kehidupan masyarakat adapt, hutan tidak semata-mata bermakna ekonomis, melainkan juga sosiobudaya-religius yang terkait dengan kedaulatan mereka dalam kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya hutan. 7 Ada pendapat yang menyatakan bahwa hutan merupakan suatu ekosistem, maka apabila dilihat dari aspek hukum, hukum yang menyangkut substansi bidang kehutanan yang ada harus ditafsirkan sebagai hukum yang mengatur sistem tersendiri. 8 Namun pendapat tersebut jika dikaitkan dengan sistem hukum yang mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka secara konseptual hukum kehutanan bagian dari hukum agraria. Sungguhpun sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kehutanan telah menjadi salah satu sektor yang telah berdiri sendiri dengan lembaga dan obyek yang diaturnya juga tersendiri, sehingga seolah-olah bersifat otonom dan lepas dari ketentuan hukum yang lain, artinya di luar sistem hukum pertanahan 4. PENYELESAIAN TANAH PERKEBUNAN YANG MASUK DALAM KAWASAN KEHUTANAN Sebagaimana telah digambarkan di atas bahwa banyak tanah perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Dilakukan dengan sengaja misalnya menggarap tanah yang masuk dalam kawasan hutan dan tindakan tersebut diketahui dan disadarinya telah melanggar hukum namun tetap dilakukannya. Dilakukan dengan tidak sengaja adalah bahwa masyarakat melakukan pembukaan tanah hutan karena diyakini areal yang diusahai tersebut masuk dalam hutan adat. Pembukaan hutan yang sering dilaksanakan adalah dalam rangka 7 Loir Botor Dingit, Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat, dalam buku Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 1999, halaman 4 8 Muhammad Yamin & Abd Rahim Lubis, Op.cit, halaman 157

6 pengembangan usaha perkebunan yang dilakukan oleh badan hukum tertentu. Tindakan tersebut dilaksanakan karena ketersediaan lahan di luar kawasan hutan sangat terbatas. Sementara itu, tanah kawasan hutan banyak yang tidak diketahui kejelasan statusnya, batasbatasnya bahkan sudah berubah fungsi tidak menjadi hutan lagi, terutama pada areal pemukiman penduduk maupun tempat usahanya berupa tanah pertanian atau perladangan. Persoalan terhadap tanah yang masuk dalam kawasan hutan yang sudah digarap oleh masyarakat hukum adat yang diklaimnya sebagai tanah ulayat telah melahirkan pertentangan status kawasan hutan tersebut. Ironisnya areal bekas kawasan hutan yang sudah menjadi perladangan penduduk telah dialihkan kepada badan usaha perkebunan dan telah ditanami dengan kelapa sawit. Ketika akan memohonkan Hak Guna Usaha maka persoalan makin terbuka, sebab status kawasan hutan yang masih melekat sekalipun sudah berubah fungsi kawasan tetap tidak dapat diproses pemberian hak guna usahanya, kecuali telah memperoleh izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan bahwa tanah yang digunakan untuk usaha di bidang perkebunan secara operasional hanya dimungkinkan diberikan status hak guna usaha di atas tanah negara. Oleh karena itu apabila sudah ada perkebunan di atas tanah hutan dan hendak diberikan hak guna usahanya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Pada tataran operasional, di wilayah Sumatera Utara, Badan Pertanahan Nasional sering dihadapkan pada masalah status kawasan ini. Perusahaan perkebunan banyak memohonkan hak guna usaha yang berada pada kawasan hutan termasuk kawasan hutan register-40 Padanglawas Kabupaten Tapanuli Selatan. Perusahaan perkebunan memperoleh tanah tersebut dari ganti rugi dari masyarakat atau melalui pemberian pago-pago kepada masyarakat hukum adat. Kondisi tersebut didukung oleh Peraturan Daerah Kabupaten yang menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai kawasan budi daya perkebunan besar dan fisik tanah sudah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang sangat subur. Berdasarkan laporan hasil peninjauan lapangan Kawasan Hutan Register-40 tahun 2004, diperoleh bahwa terdapat 24 perambah hutan yang berada pada kawasan hutan register-40 yang terdiri d ari perusahaan perkebunan, koperasi, yayasan, dan masyarakat dengan luas tanah ,81 Ha. Dari luasan tersebut perkebunan kelapa sawit mencapai Ha. 9 Secara umum letak kawasan hutan di daerah Sumatera Utara dapat dilihat dalam Peta RUTRW Provinsi sebagai lampiran Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003, Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Peta Padu Serasi. Untuk Kabupaten Kawasan Hutan dapat dilihat dalam Peta RUTRW Kabupaten setempat dan Peta Kawasan Register seperti Register-40 Padang Lawas di Kabupaten Tapanuli Selatan atau Peta Register 2/LD di Kabupaten Labuhan Batu. Dari berbagai peta tersebut ditemukan inkonsistensi atau perbedaan fungsi kawasan hutan, misalnya pada satu peta menyebutkan sebagai kawasan hutan lindung, peta lainnya menyatakan sebagai kawasan hutan produksi terbatas dan peta yang lain melukiskannya sebagai hutan produksi. Di samping itu masih ditemukan perbedaan luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara untuk masing-masing peta, sehingga untuk menentukan apakah areal perkebunan yang dimohonkan hak guna usaha masuk pada kawasan hutan akan memperoleh jawaban yang berbeda dari peta-peta tersebut. Pada rapat tanggal 29 April 2004 di Jakarta antara BPN dengan Badan Planologi Departemen Kehutanan mengenai tindakan yang harus diambil terhadap perusahaan perkebunan yang berada pada kawasan Register-40 Padanglawas yang telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan (ketika itu) diajukan beberapa alternatif penyelesaian oleh Departemen Kehutanan yaitu: 1) pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan dengan mencari areal pengganti kawasan hutan yang baru; 2) atau pelepasan kawasan hutan akan diberikan dengan membayar kompensasi kepada pemerintah untuk pemanfaatan kawasan hutan; dan 3) pelepasan kawasan hutan tidak diberikan tetapi hak mengusahakan hutan dengan tanaman perkebunan selama jangka waktu 25 tahun dengan kewajiban membayar konsesi perkebunan dan apabila jangka waktu telah berakhir maka fungsi kawasan dikembalikan sebagai kawasan hutan. Namun demikian departemen kehutanan lebih memilih alternatif ketiga untuk mempertahankan luas hutan di wilayah Republik Indonesia guna menjaga 9 Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, Laporan Hasil Peninjauan Lapang Kawasan Register- 40, tahun 2004, halaman

7 eksistensi hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. 5. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan ketentuan yang berlaku kawasan perkebunan harus mengacu kepada perencanaan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Khusus mengenai pengaturan tanah untuk usaha perkebunan dipersyaratkan harus dengan status hak guna usaha dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA dan Undang-Undang Perkebunan. 2. Hak Guna Usaha untuk areal perkebunan hanya dapat diberikan di atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, apabila areal yang dimohonkan hak guna usaha masuk dalam kawasan kehutanan, maka harus terlebih dahulu memperoleh izin pelepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan. 3. Terdapat perbedaan persepsi antara depatemen kehutanan, instansi perkebunan, dan Badan Pertanahan Nasional mengenai pengertian hak guna usaha untuk perkebunan yang sudah ada (settle) pada kawasan kehutanan, untuk perlu penyelesaian melalui koordinasi antarinstansi yang berkopensi yang bertujuan menguntungkan investasi, melestarikan lingkungan hidup, meningkatkan pendapatan negara sekaligus kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Dingit, Loir Botor, Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat, dalam buku Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Laporan Hasil Peninjauan Lapang Kawasan Register-40, tahun Praja, Ombo Sutya, Hutan dan Masyarakat Adat dalam buku Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, Ruchiyat, Edy, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, (Bandung: Alumni, 1999), Yamin, Muhammad & Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004). 88

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah memiliki peran yang

Lebih terperinci

Menimbang: Mengingat:

Menimbang: Mengingat: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang: Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat penting artinya alam

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH.

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH. 1 of 16 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa tanah memilik peran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memilik peran yang

Lebih terperinci

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun, LAMPIRAN: 1 Persandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Menurut Undang-Undang Pertanahan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------ RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) www.4sidis.blogspot.com HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pertanahan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

Pengertian Hak Milik Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, terkuat dan terpenuh. Kata terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN DISAMPAIKAN OLEH PROF. DR. BUDI MULYANTO, MSc DEPUTI BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEMENTERIAN AGRARIA, TATA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Agraria a. Pengertian Hukum Agraria Keberadaan Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Hak Guna Bangunan 1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam Undang Undang Pokok Agraria.

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

Apa akibat hukum tidak adanya perpanjangan HGB, berkaitan dengan status tanahnya?

Apa akibat hukum tidak adanya perpanjangan HGB, berkaitan dengan status tanahnya? Status Tanah Setelah Berakhirnya Hak Guna Bangunan (HGB) Pertanyaan: Apa akibat hukum tidak adanya perpanjangan HGB, berkaitan dengan status tanahnya? 04 Februari 2016 Ringkasan Analisa Jawaban: 1. Hak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 disampaikan oleh: MENTERI KEHUTANAN Jakarta, 29 Agustus 2013 1. Pemohon KERANGKA PAPARAN

Lebih terperinci

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional Sebelum tahun 1960, di Indonesia berlaku sistem dualisme hukum agraria yang membingungkan, dimana dalam satu waktu yang bersamaan berlaku dua perangkat hukum yang positif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah 34 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang Pendaftaran Tanah yang terdapat di dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang

Lebih terperinci

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PERTAMA BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK Pasal 1 (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pengertian Pemungutan Kewajiban Memasuki masa pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah otonom baik kabupaten maupun kota mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH 2. 1. Pendaftaran Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerja Praktik merupakan suatu proses penerapan disiplin ilmu yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja praktik dilaksanakan. Dalam kerja praktik

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI OTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960 1 Oleh : Reynaldi A. Dilapanga 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula ruang angkasa adalah merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia

Lebih terperinci

HAK GUNA USAHA (HGU) Secara pokok diatur dalam Pasal UU No 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

HAK GUNA USAHA (HGU) Secara pokok diatur dalam Pasal UU No 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. HAK GUNA USAHA (HGU) Secara pokok diatur dalam Pasal 28-34 UU No 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pengertian HGU berdasarkan Pasal 28 UU No 5/1960: Hak Guna Usaha (HGU) ialah hak untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Negara 2.1.1 Pengertian Tanah Negara Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain di atas tanah itu, tanah itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELEPASAN HAK. yang selanjutnya disertai pemberian imbalan yang layak. Proses pelepasan hak

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELEPASAN HAK. yang selanjutnya disertai pemberian imbalan yang layak. Proses pelepasan hak BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELEPASAN HAK A. Pengertian Pelepasan Hak Pengertian pelepasan hak sendiri adalah pelepasan hubungan hukum antara sebidang tanah hak dengan pemiliknya, yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR : 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sumber daya alam yang diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan manusia baik yang langsung untuk kehidupannya seperti

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 Agus Suprijanto agussuprijanto@upgris.ac.id ABSTRAK Dalam era globalisasi, warga negara asing mempunyai peluang besar

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH A. Pengertian Tanah Menarik pengertian atas tanah maka kita akan berkisar dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, hanya saja secara rinci pada ketentuan

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang relevan sebelumnya Salah satu Penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam menyelesaikan masalah tanah, dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha, yang meliputi bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS); 2. Perkumpulan Sawit Watch; 3. Aliansi Petani Indonesia

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN

Lebih terperinci

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan Desa Caturharjo Kecamatan Pandak) Oleh : M. ADI WIBOWO No. Mhs : 04410590 Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jenis Jenis Hak Atas Tanah, Pendaftaran dan Peralihannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jenis Jenis Hak Atas Tanah, Pendaftaran dan Peralihannya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Jenis Hak Atas Tanah, Pendaftaran dan Peralihannya 2.1. Hak Milik Pasal 20 UUPA mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai

Lebih terperinci

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia 10 BAB 2 SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 00609/JEMBATAN BESI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG KUAT ( TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 40 K/PDT/2009 ) 2. Landasan Teori Umum 2.1. Pendaftaran

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah 8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Tanah Obyek Landreform 2.1.1 Pengertian Tanah Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hak Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN... TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN... TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN... TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan dinamika pembangunan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan peranannya mencakup berbagai aspek kehidupan dan penghidupan baik ekonomi,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting sekali oleh karena sebagian besar daripada kehidupannya adalah bergantung pada tanah.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN... TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN... TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN... TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap orang sangat mendambakan dan menghargai suatu kepastian, apalagi kepastian yang berkaitan dengan hak atas sesuatu benda miliknya yang sangat berharga

Lebih terperinci

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG 1 RUANG LINGKUP HGU SUBYEK HGU JANGKA WAKTU HGU PENGGUNAAN

Lebih terperinci

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1. Analisis Pemberian HPL kepada PT. PELINDO II Cabang Panjang Pertanyaan penelitian sekunder ke-satu yaitu apakah pemberian HPL kepada PT. PELINDO II Cabang Panjang

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN METERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN DAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH NEGARA

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK Agus Sekarmadji Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: agussekarmadji_unair@yahoo.com Abstract Land Law in Indonesia does not clearly specify the political

Lebih terperinci

Upik Hamidah. Abstrak

Upik Hamidah. Abstrak Pembaharuan Standar Prosedure Operasi Pengaturan (SOP) Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena Hibah Wasiat Berdasarkan Alat Bukti Peralihan Hak Upik Hamidah Dosen Bagian Hukum Administrasi

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2013 Ketentuan yang dimohonkan Pengujian

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia di jaman modern saat ini. Hal ini terlihat dari ketergantungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG ALIH FUNGSI LAHAN DARI EKS KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI (HPK) SELUAS + 145.125 HEKTAR MENJADI KAWASAN BUKAN HPK DALAM RANGKA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penguasaan Tanah Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya.

Lebih terperinci

BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 3.1. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundang-undangan Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

BAB II PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III

BAB II PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III 40 BAB II PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III A. Landasan Hukum Hak Guna Usaha 1. Terjadinya Hak Guna Usaha Menurut Pasal 28 Undang-Undang No 5 tahun 1960

Lebih terperinci

PERMOHONAN/PEMBERIAN HAK DAN PEMINDAHAN/PERALIHAN HAK

PERMOHONAN/PEMBERIAN HAK DAN PEMINDAHAN/PERALIHAN HAK PERMOHONAN/PEMBERIAN HAK DAN PEMINDAHAN/PERALIHAN HAK Keperluan Perorangan (NON-komersial) Perolehan Tanah secara langsung (Pemindahan Hak-Jual Beli) Keperluan Perusahaan (Komersial-bisnis) Harus memperoleh

Lebih terperinci

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS 8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS A. Pendahuluan Berdasarkan ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, pendaftaran tanah karena perubahan data yuridis termasuk dalam lingkup

Lebih terperinci

WARGA PETISAH TENGAH PROTES, TAK BISA PERPANJANG HGB

WARGA PETISAH TENGAH PROTES, TAK BISA PERPANJANG HGB WARGA PETISAH TENGAH PROTES, TAK BISA PERPANJANG HGB Sumber gambar: medanbisnisdaily.com MEDAN, SUMUTPOS.CO -Masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Petisah Tengah protes karena tidak bisa memperpanjang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN BERSAMA ATAS RUMAH SUSUN KLENDER

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN BERSAMA ATAS RUMAH SUSUN KLENDER 10 BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN BERSAMA ATAS RUMAH SUSUN KLENDER 2. 1. TINJAUAN TENTANG TANAH DAN HAK YANG MELEKAT DI ATASNYA Pengaturan tanah di wilayah Indonesia tercantum

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : Mengingat: a. bahwa keanekaragaman

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah 13 BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG Menimbang : a. b. bahwa untuk

Lebih terperinci

- 1 - B U P A TI B O L A A N G M O N G O N D O W U T A R A KEPUTUSAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 96 TAHUN 2012

- 1 - B U P A TI B O L A A N G M O N G O N D O W U T A R A KEPUTUSAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 96 TAHUN 2012 - 1 - B U P A TI B O L A A N G M O N G O N D O W U T A R A KEPUTUSAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 96 TAHUN 2012 T E N T A N G PENETAPAN IZIN LOKASI UNTUK PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran

2015, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran No.647, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR. Izin Lokasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN

Lebih terperinci