LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Kaji Ulang Program Pembangunan Pertanian Oleh : Yusmichad Yusdja Rosmijati Sajuti Henny Mayrowani Ashari Bambang Winarso Waluyo PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang 1. Pemerintah telah menetapkan 3 sasaran pokok dalam pembangunan pertanian 2005-2009 yakni meningkatkan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pengembangan agribisnis (Departemen Pertanian, 2005). Untuk pencapaian sasaran tersebut, pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian baik lintas subsektor maupun program subsektor. Dalam implementasi program-program tersebut Departemen Pertanian untuk tahun 2005-2007 telah mengeluarkan anggaran yang relatif besar sekitar Rp 7 triliun per tahun. Khusus untuk anggaran tahun 2007, diperkirakan mencapai Rp 8 triliun. Selayaknya dengan besaran anggaran yang dikeluarkan tersebut, program pembangunan memberikan hasil yang lebih besar, antara lain peningkatan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Untuk tahun 2007, Departemen Pertanian telah merancang 28 kegiatan utama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah pembangunan pertanian. Atas dasar itu, dinilai perlu dilakukan kaji ulang programprogram pembangunan pertanian dalam masa 2005-2007. Kaji ulang ini meliputi kegiatan analisis dan sintesis terhadap konsep, implementasi dan dampak program pembangunan pertanian secara selektip. Rumusan Permasalahan 2. Pelaksanaan dan implementasi program-program pembangunan pertanian selama ini masih banyak bermasalah. Tidak jelas di mana sebenarnya letak kegagalan sebuah program. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah sudah tepat rumusan strategi dan program yang dicanangkan pemerintah dalam membangun pertanian? Apakah program-program tersebut memang ada atau tidak ada, dan kalau ada bagaimana rincian program itu di daerah sebagai pelaksana (atau penonton)? Apakah programprogram itu berjalan efektif sebagai simpul pendorong pembangunan? Apakah program-program itu dapat dilaksanakan secara teknis dan bagaimana dampaknya terhadap produksi, produktivitas, pendapatan petani dan perubahan struktur pengusahaan? Apakah kondisi ekonomi makro dan kebijakan pemerintah secara umum memberikan dukungan terhadap keberhasilan program-program tersebut? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan merupakan bahan yang bermanfaat dalam membuat rumusan program pembangunan yang lebih tajam, lebih rinci dan tepat sasaran. Tujuan Analisis 3. Tujuan analisis adalah melakukan kaji ulang mencakup konsepsi, implementasi dan kinerja program pertanian lintas subsektor. Untuk tahun 2007, kaji ulang difokuskan pada program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dan Gapoktan. Secara selektip melakukan kaji ulang mencakup konsepsi, implementasi dan kinerja 1
program pertanian untuk masing-masing subsektor. Kaji ulang untuk tahun 2007 difokuskan pada Kaji Ulang Program Subsidi Jagung di Sulawesi Selatan dan Kaji Ulang Program Swasembada Daging 2010. Evaluasi Umum Program 2007 HASIL ANALISIS 4. Depatemen Pertanian untuk tahun anggaran 2007 hanya dapat menyediakan anggaran pembangunan sebesar Rp. 8.789 M. Anggaran ini telah dialokasikan berdasarkan echelon 1 sebagai terlihat pada Tabel 4.1. Sebagaimana telah disampaikan setiap echelon 1 mempunyai tupoksi masing-masing dalam mencapai visi dan misi pembangunan pertanian. Tentu sulit menyatakan echelon 1 mana yang menjadi prioritas dalam melaksanakan visi dan misi tersebut. Namun dari besar anggaran yang dibagikan kita dapat menyimpulkan echelon 1 mana yang menjadi andalan mencapai tujuan pembangunan pertanian jangka pendek 2005-2009. Ternyata anggaran terbesar diserap oleh Ditjen Tanaman Pangan sebesar 19.7 persen. Tidak jelas secara rinci bagaimana dana itu hendak digunakan dan bagaimana arahannya. Apakah penggunaan dana itu berada dalam satu naungan manajemen sehingga kegiatan-kegiatan yang bisa disinkronisasikan dapat berjalan lebih efektif. Kita juga sulit melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang dilakukan dikaitkan dengan visi dan misi Deptan. Apakah memang program itu sesuai dengan misi Deptan jangka pendek dan panjang? 5. Berdasarkan subjek kelompok kegiatan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.2, terlihatkan kegiatan subsidi dan bantuan kepada petani menyerap anggaran terbesar yakni 39.1 persen dari total anggaran. Sedangkan penyerapan anggaran untuk peningkatan produksi pertanian sebesar 28.1 persen. Diantara 4 direktorat produksi, yakni Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, dan Peternakan totalnya 33.6 persen. Terbesar diserap oleh Tanaman Pangan yakni 19.7 persen. Hortikultura hanya 3.3 persen, Perkebunan 4.4 persen dan Peternakan 6.2 persen. Tidak jelas sebenarnya bagaimana kebijakan alokasi dana khususnya untuk kebutuhan peningkatan produksi. Sebenarnya dana untuk ke empat sektor produksi ini dapat ditingkatkan menjadi 60 persen, karena inti peningkatan produksi pada empat sektor ini. Dapat disimpulkan bahwa subsektor peternakan dan hortikultura belum mendapat perhatian yang lebih besar. Karena itu harapan terjadi pergeseran kebijakan dari tanaman pangan ke arah hortikultura dan peternakan sulit diharapkan pada masa mendatang. Evaluasi Program LUEP 6. Program DPM LUEP yang telah berjalan sejak tahun 2003, merupakan kegiatan pemberian dana talang kepada LUEP untuk membeli Gabah dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Dana talang ini harus dikembalikan kepada pemerintah tanpa bunga. Dengan demikian DPM hanya efektif jika di daerah pembelian gabah terjadi harga yang lebih rendah dari HPP. Pada dasarnya, memang pemberian DPM hanya pada wilayah produksi padi yang sering menerima harga gabah lebih rendah dari 2
ketetapan pemerintah terutama pada musim panen. Namun demikian, tidak jelas, kriteria yang digunakan bagaimana DPM sebesar Rp. 395 milyar pada tahun 2007 dibagikan kepada berbagai kabupaten di seluruh propinsi di Indonesia. Apakah wilayah-wilayah penerima DPM yang tersebar luas itu memiliki kondisi harga gabah di bawah HPP? 7. LUEP sebagai perantara pemerintah dalam membeli gabah petani sebagian besar berbentuk usaha dagang dan sebagian dalam bentuk usaha penggilingan gabah (rice milling). Terdapat sebagian kecil kelompok tani dan KUD. Dengan demikian, LUEP mitra pemerintah tidak lain adalah lembaga-lembaga ekonomi pedesaan yang sebenarnya merupakan usaha komersil. Dengan demikian, sifat usaha mencari profit memang tidak dapat dihindarkan. Pemerintah berharap, bahwa LUEP akan memperoleh keuntungan melalui tingkat bunga jika seandainya DPM disimpan di bank, namun akan tetap medapat keuntungan, karena LUEP dapat menjual gabah atau beras dari petani pada tingkat harga yang sama yang terjadi di pasar dan LUEP karena harga bahan bakunya zero (karena DPM). Namun pada kenyataannya, sebagian besar dari LUEP di Jawa Timur diindikasikan mengalami kerugian. Menjadi pertanyaan apakah LUEP ini merekayasa laporan? Jika tidak demikian, apa yang mendorong LUEP terus menerima DPM? 8. Dampak DPM terhadap harga gabah yang diterima petani hanya berlaku sesaat pada saat panen. Namun jika diukur tingkat harga yang diterima petani pada sepanjang tahun karena petani menjual gabah sebagian -sebagian pada saat tertentu- ternyata harga yang diterima petani berada di bawah HPP. Dengan demikian dapat dikatakan DPM LUEP tidak efektif dalam melindungi harga yang diterima petani. Evaluasi Program Subsidi Benih Jagung 9. Program subsidi benih jagung yang diawali pada tahun 2006 dan akan terus dilanjutkan pada tahun 2007 perlu dicermati lebih intensif khsususnya dalam pelaksanaannya. Banyak masalah yang terjadi di lapang, baik masalah kebijakan yang diterapkan maupun masalah teknis yang dihadapi. Salah satu kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan pusat adalah mewajibkan petani membayar besaran subsidi yang diterimanya kepada Kelompok Tani. Dana pembayaran kembali menjadi milik Koptan yang dapat digunakan untuk memberdayakan dirinya misalnya membeli rice huller. Kebijakan ini menekankan bahwa subsidi hanya berlaku pada tingkat koptan bukan petani. Walaupun kenyataan di lapang kebijakan daerah ini tidak berlaku efektif namun perlu dipertimbangkan oleh pemerintah pusat dalam kerangka pengembangan kelompok tani. 10. Dampak subsidi benih terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan petani sangat bervariasi yang masing-masing ditentukan oleh penerimaan subsidi benih yang tepat waktu, mutu dan jumlahnya, perubahan cuaca, terutama kekeringan, Praktek budidaya yang tidak mengalami perubahan dari tradisional ke cara-cara yang sesuai dengan budidaya jagung hibrida, Jumlah benih jagung yang diterima petani dibatasi hanya 1 hektar supaya sebagian besar petani memperoleh subsidi (pemerataan), sebagai akibatnya petani tidak mungkin memperluas usaha 3
penanaman dan kelompok tani tidak siap menyalurkan benih kepada petani sehingga benih subsidi tidak dapat digunakan. Evaluasi Program Swasembada Daging 11. Swasembada atau Kecukupan istilah manapun yang akan digunakan jelas tidak akan dapat dicapai pada tahun 2009. Target terlalu ambisius dibandingkan dengan usahausaha pemerintah untuk merealisasikannya. Program swasembada daging lebih banyak bersifat spekulasi, siapa tahu kecukupan daging itu terjadi. Beberapa penyebab kegagalan Swasembada Daging ini adalah: Kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci. Perumusan program hanya terbatas pada judul dan sasaran, tetapi tidak jelas bagaimana sasaran hendak dicapai. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat nasional (top down) dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai. Strategi implementasi program disamaratakan, tidak memperlakukan wilayah unggulan, tetapi berorientasi pada komoditas unggulan. Implementasi program-progam tidak dilaksanakan dengan suatu metoda yang memungkinkan evaluasi dampak program itu apakah berhasil atau tidak dan permintaan konsumsi yang mengalami pertumbuhan sebesar 4.7 persen wilayah konsumsi per tahun mempercepat pengurasan dan meningkatkan impor sapi. Program-program harus jelas mempunyai dampak terhadap pertumbuhan populasi secara nasional. DPM LUEP SARAN KEBIJAKAN 12. Untuk meningkatkan keberhasilan DPM LUEP sebaiknya dilakukan identifikasi yang intensif tentang perkembangan harga gabah sepanjang tahun pada setiap wilayah (kabupaten) sentra produksi. Dengan menggunakan informasi dari identifikasi ini maka penyerahan DPM LUEP dapat terjadi pada lokasi yang tepat dan pada waktu yang tepat. Ketepatan lokasi dan waktu penyerahan DPM merupakan kunci utama suksesnya DPM LUEP. 13. Dalam kerangka mendapatkan bentuk kelembagaan LUEP yang bagaimana yang terbaik bagi pemerintah berdasarkan lokasi maka dilakukan hal-hal sebagai berikut: Menerapkan pembuatan pembukuan khusus penggunaan DPM sebagai syarat menjadi LUEP. Dan menerapkan pendisribusian DPM LUEP dengan berbagai pola dan dengan berbagai bentuk kelembagaan LUEP, sehingga dapat dipelajari pola mana yang terbaik dan bentuk kelembagaan bagaimana yang layak. 14. Disarankan supaya minimal LUEP dalam satu kabupaten melakukan kerjasama pembelian gabah karena toh harga sudah ditetapkan peranan oligopsoni menjadi mandul tetapi manfaat kerjasama akan meningkat. Dalam arti kata jika suatu LUEP dalam daerah tertentu mengalami kekurangan dana DPM sedangkan LUEP lain mempunyai kelebihan, maka dapat dibangun jaringan kerjasama yang saling menguntungkan diantara mereka. 4
Subsidi Benih Jagung 15. Subsidi benih diberikan langsung atau tidak langsung kepada petani bukanlah masalah pokok bagi petani. Apapun caranya, subsidi memastikan bahwa petani mendapat benih secara cuma-cuma. Namun demikian, pemberian subsidi kepada petani diperkirakan oleh pemerintah daerah tidak mendidik dan hanya memanjakan petani. Pemerintah daerah merasa sangat kuatir, apa yang terjadi jika subsidi dari pemerintah pusat tidak ada lagi. Pemerintah daerah tidak mempunyai semangat penuh mensukseskan kegiatan subsidi ini. Oleh karena itu, pemberian subsidi haruslah sedemikian rupa, sehingga pada saat subsidi ditiadakan, ekonomi petani telah menjadi kuat secara mandiri. 16. Pengalaman memperlihatkan pelaksanaan subsidi benih menghadapi berbagai masalah teknis di lapang sehingga target penyaluran subsidi tidak dapat dipenuhi. Pengamatan di lapang memperlihatkan bahwa permasalahan teknis yang muncul tersebut merupakan konsekuensi dari sistem subsidi yang diatur dari pusat atau bersifat top down. Sistem top down relatif tidak mempertimbangkan kondisi penerima subsidi (petani) secara intensif. Dengan demikian, permasalahan ini tidak bisa dihindarkan kecuali merubah pola top down menjadi pola moderat. 17. Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai ditangan petani tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari penyaluran seperti itu adalah pemerintah menempatkan petani sebagai bahan pertimbangan utama dalam menyalurkan benih subsidi. Apa yang telah terjadi adalah pemerintah terkesan memaksakan penyaluran dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat general. Seharusnya, pemerintah memahami benar tingkah laku petani, sehingga penyaluran subsisidi dapat dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat ideal, namun secara normatif kesanalah arah kebijakan penyaluran itu. Swasembada Daging Sapi 18. Sebaiknya Pemerintah merubah misi swasembada daging sapi menjadi Swasembada Sapi Bakalan. Dalam konsep swasembada sapi bakalan mempunyai pengertian yang lebih dalam dan fokus pada usaha produksi (Departemen Pertanian). Sementara dalam program swasembada daging sapi, membutuhkan terlalu banyak birokrat yang terlibat termasuk antar sektor. Penerapan Swasembada Sapi Bakalan akan mengarahkan program-program pembangunan peternakan yang lebih terarah dan jelas. Misalnya bagaimana meningkatkan produksi sapi bakalan dan sebagainya. Implikasinya juga menyangkut larangan yang lebih keras terhadap pemotongan sapi betina. 19. Pemerintah harus melakukan perubahan program-program dan juga perubahan strategi implementasinya. Kebijakan dan strategi yang lama terbukti tidak efektif. Salah satu cara yang dapat dilaksanakan adalah mengarahkan program-proram dari peternak tradisional kepada peternak skala kecil dan menengah baik tradisional 5
maupun yang sudah maju. Untuk ini, setiap daerah yang diunggulkan sebagai gudang ternak nasional harus melakukan pendataan tentang keberadaan dan kinerja usaha skala kecil dan menengah yang ada di wilayahnya. Langkah selanjutnya melakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi mereka dan barulah kemudian mencanangkan kebijakan dan strategi program untuk melakukan pembinaan intensif. 6