BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk Indonesia sebagian besar bermata pencaharian petani yang sudah mengenal teknologi intensifikasi pertanian, salah satunya penggunaan untuk mengendalikan hama, penyakit, dan gulma perusak tanaman. (Anonim, 2010a). Menurut Zamashari dalam Achmadi (1994) para petani berkeyakinan supaya hasil produksi meningkat mereka memanfaatkan, tetapi penggunaannya tidak terkendali. World Health Organization (WHO) terakhir melaporkan kasus keracunan di dunia mencapai satu juta kasus dengan 20.000 kematian per tahun (Sulistiyono, 2002). Pestisida yang beredar di dunia menurut data Badan Protektif Lingkungan Amerika Serikat lebih dari 2.600, yaitu: 573 herbisida, 610 insektisida, 670 fungisida, 125 rodentisida, dan 600 desinfektan (Sudarmo, 2007). Penggunaan terbesar pada sektor pertanian/perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertanian pangan (Soeprapto, 1988). Sekitar 25 juta pekerja terpapar setiap tahunnya pada sektor pertanian di negara berkembang (survei tentang di asia). Penyebabnya adalah ketidak jelasan peraturan, pendidikan (tingkat pengetahuan) petani rendah, pengelolaan yang tidak benar, perilaku petani yang tidak baik, dan besarnya biaya untuk pengadaan peralatan pelindung diri (APD) (Sutarga, 2006). Menurut PP RI No.6 tahun 1995 dalam Soemirat (2005) didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman. Tarumengakang (1992) dan Lu (2006) menyatakan merupakan racun yang bernilai ekonomis bagi petani, karena kemampuannya membasmi hama (target organisme). Efek negatif pemakaian menimbulkan bahaya pada organisme non target dan lingkungan, bahkan pada manusia sendiri (Lu, 2006). Menurut Lu (2006) organofosfat mengakibatkan terhambatnya asetilkolinesterase (AChE) sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh). 1
2 Asetilkolin (ACh) yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai gejala berkorelasi dengan tingkat penghambatan kolinesterase dalam darah, tergantung senyawa dan mekanisme. Menurut Sudarmo (2007) produksi awal senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia. Kolinesterase adalah enzim katalisator bilogik dalam jaringan tubuh yang berperan menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar, dan sel-sel syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Aktivitas kolinesterase yang menurun tidak dapat memecah asetilkolin. Impuls saraf mengalir terus menyebabkan bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar. Seseorang yang keracunan dapat mengeluarkan air mata karena teriritasi serta mengalami gerakan otot yang lebih lambat. Tingkat keracunan dapat diketahui dengan menggunakan alat kolinesterase tes kit menurut Edson. Hasil pemeriksaan dengan metode tersebut terdiri 4 kategori: (1) Normal : 75%-100%; (2) Keracunan ringan: >50% - <75%; (3) Keracunan sedang: >25%,- 50%; (4) Over exposure : 0%-25% (Depkes, 1997). Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang -Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pedoman Periklanan Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Pengguna pada kenyataannya hanya memperoleh informasi terbatas mengenai peraturan-peraturan, anjuran, informasi penggunaan produk, dsb. Sedangkan informasi yang berhubungan dengan hanya diberikan kepada para petugas pengendali hama dari Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian (Yuliani et al., 2011). Keluarga petani mempunyai resiko tinggi keracunan. Penyebabnya adalah penggunaan dan pengelolaan yang tidak benar, tingkat pengetahuan rendah tentang bahaya, tidak memperhatikan cara yang baik dan aman dalam penanganannya (Wudiyanto, 2002). Departemen Kesehatan Kerja Thailand melaporkan bahwa tes darah para petani menunjukkan peningkatan keterpaparan dari tahun sebelumnya (16% menjadi 18%). Hal tersebut disebabkan tingkat pengetahuan rendah, dan kebiasaan (perilaku) memformulasikan yang tidak mengikuti petunjuk (Jintana et al., 2009).
3 Putri (2004) dan Prijanto (2009) menjelaskan bahwa pengetahuan yang rendah, sikap dan praktek petani yang tidak benar, dan penggunaan para petani adalah penyebab terjadinya keracunan. Suwastika (2009) menyatakan ada beberapa faktor risiko yang berhubungan secara bermakna terhadap tingkat keracunan yaitu: jumlah pohon, lama penyemprotan, kebiasaan mencuci tangan setelah penyemprotan, arah penyemprotan dan penggunaan alat pelindung. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 43/Kpts/Tp.270/1/2003 sebagai acuan tentang pendaftaran dan pemberian ijin sementara bahwa yang disimpan, digunakan, diedarkan harus terdaftar dan mendapatkan ijin Departemen Pertanian. Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 57.482 km2, luas lahan tanaman holtikultura 2.432 Ha, luas lahan sawah 25.000 Ha, jumlah kelompok tani holtikultura 1.008, jumlah petani holtikultura 22.434 orang. Data kelompok tani binaan penyuluh pertanian lapangan bidang tanaman pangan dan holtikultura Kabupaten Sleman Tahun 2012 menunjukkan Desa Candibinangun mempunyai produktifitas sayuran dan kebutuhan paling banyak dibandingkan dengan desa yang lain, (Anonim, 2010b). Perilaku petani dalam menggunakan hanya untuk membunuh hama tanaman agar hasil produksi meningkat, misalkan meningkatkan dosis agar hama cepat dikendalikan (survei pendahuluan). Menurut Prijanto (2009) berdaya bunuh rendah dosis tinggi, menimbulkan gangguan lebih besar dibanding berdaya bunuh tinggi tetapi dosis rendah. Sebagian besar petani menggunakan tidak mempedulikan pengelolaannya (tidak ada tempat khusus untuk penyimpanan dan pembuangan bekas/wadah sisa ), justru memanfaatkan wadah bekas untuk keperluan lain. Pemusnahannya pun tidak memperhitungkan dampak terhadap manusia dan lingkungan. Siswanto (1991) dan Depkes (2000) menyatakan tindakan pengelolaan terhadap bertujuan agar manusia terbebas dari keracunan dan pencemaran. Tindakan pengelolaan untuk mencegah
4 keracunan dan pencemaran oleh ialah penyimpanan, pembuangan serta pemusnahan limbah. Aktifitas petani di Desa Candibinangun yang dapat menimbulkan keracunan adalah kebiasaan penyemprotan yang tidak memperhatikan arah dan kecepatan angin. Petani yang menyemprot melawan arah angin lebih berisiko dibanding dengan yang searah angin (Wudiyanto, 2008). Petani mempunyai kebiasaan merokok pada saat dan sesudah penyemprotan, padahal melalui udara ketika menghisap rokok dan tangan yang tercemar dapat mengakibatkan keracunan. Menurut Depkes (2000) dapat masuk melalui kulit, mulut dan pernafasan. Keracunan terjadi bila ada bahan yang mengenai atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu. Petani yang melakukan kontak dengan justru tidak terbiasa mengenakan alat pelindung diri (APD), kalaupun memakai tidak memenuhi persyaratan. Prijanto (2009) menyatakan bahwa pengamanan pengelolaan adalah serangkaian kegiatan ditujukan untuk mencegah dan menanggulangi keracunan, serta pencemaran terhadap manusia dan lingkungannya. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman telah melakukan pemeriksaan kolinesterase pada tahun 2009-2010 di 6 (enam) tempat yaitu: (1) Dusun Ngebo, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman; (2) Dusun Bandungan wetan, Tambak Rejo, Tempel; (3) Dusun Bawang, Wukirsari, Cankringan; (4) Dusun Randu, Hargobinangun, Pakem; (5) Dusun Batang, Tambak rejo, Tempel; (6) Desa Pandowoharjo, Sleman, dari 217 petani, 25 orang terpapar pestida (Anonim, 2012). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dapat disusun perumusan masalah: Bagaimanakah hubungan higiene perorangan, pengelolaan dan penggunaan pada petani terhadap tingkat keracunan di Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman?
5 C. Tujuan Penelitian Menganalisis hubungan higiene perorangan, pengelolaan dan penggunaan pada petani terhadap keracunan di Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi masyarakat petani Memberikan informasi kepada petani tentang pentingnya higiene perorangan, pengelolaan dan penggunaan terhadap keracunan di Desa Candibinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman 2. Bagi Dinas Pemerintahan terkait Memberikan informasi kepada Dinas Pemerintahan terkait (Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian) sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dalam upaya pengendalian dampak penggunaan. 3. Peneliti Menambah pengetahuan tentang kesehatan lingkungan dan memperkaya kepustakaan khususnya yang berkaitan dengan.
6 E. Keaslian Penelitian No Peneliti Judul Penelitian Variabel Persamaan Perbedaan 1 Putri,V.Y.( 2004) 2 Suwarni, A. (1997) 3 Mualim (2002) 4 Syahrizal, H. (2004) Hubungan Perilaku dalam Aplikasi dengan Aktifitas Kolinesterase dalam Darah Petani Penyemprot Holtikultura di Kelurahan Dukuh Sukoharjo 2004 Pemaparan dan Tingkat Tenaga Kerja Pertanian Bawang Merah dan Cabe di Kabupaten Brebes Jawa Tengah Analis Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Organophospat pada Petani Penyemprot Hama Tanaman di Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Pengaruh Pemakaian Masker Standar terhadap Tingkat Petani Bawang Merah di Kabupaten Bantul. Aktifitas kolinesterase Perilaku Tingkat keracunan masa kerja petani, lama kerja per hari, dan banyak jenis Tingkat keracunan masa kerja, frekuensi penyemprotan, lama penyemprotan, dll tingkat keracunan pemakaian masker Variabel terikat: Aktifitas kolinesterase ; variabel bebas : Perilaku; sasaran/subyek adalah petani; metode pemeriksaan; instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase tintometri menurut Edson. Variabel terikat: Tingkat keracunan ; variabel bebas: perilaku; subyek penelitian/sasaran adalah petani; instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase Variabel terikat: Tingkat keracunan ; subyek penelitian/sasaran adalah petani, desain penelitian crooss sectional; Jenis penelitian survei; instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase tintometri menurut Edson. Variabel terikat: Tingkat keracunan, subyek penelitian/sasaran adalah petani; desain penelitian crooss sectional; Jenis penelitian survei; instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase tintometri menurut Edson. pengelolaan ; tempat dan waktu pelaksanaan pengelolaan ; tempat dan waktu pelaksanaan; Metode pemeriksaan. Variabel bebas: tidak ada pengelolaan, tempat dan waktu pelaksanaan pengelolaan ; tempat dan waktu pelaksanaan; jenis penelitian: eksperimen semu
7 5 Sarjoko (2006) 6 Nasrudin (2001) 7 Panjaitan, S (2011) 8 Prijanto, T. B. (2009) 9 Jintana, S., et all (2009) Faktor-Faktor Risiko Petani Holtikultura di Kabupaten Sleman. Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya Petani Holtikultura di Sukoharjo. Faktor Resiko terjadinya Petani Holtikultura di Kabupaten Magelang Analisis Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Holtikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Sleman Cholinesterase Activity, Pesticide Exposure and Health Impact in a Population Exposed to Organophosphates. a.variabel terikat: Tingkat keracunan faktor-faktor resiko b. Variabel terikat: faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor resiko Faktor resiko (Umur, tingkat pengetahuan, status gizi, tempat pencampuran ) paparan dan dampak kesehatan Variabel terikat: Tingkat keracunan, subyek penelitian adalah petani, desain penelitian crooss sectional; Jenis penelitian survei; instrumen penelitian: kuisioner dan pemeriksaan kolinesterase tintometri (Edson) Variabel terikat: Tingkat keracunan ; obyek manusia (petani); instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase tintometri menurut Edson. Variabel terikat: aktifitas kolinesterase; obyek penelitian pada petani, dan desain penelitian dengan cross sectional; instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase tintometri menurut Edson. Variabel terikat: aktifitas kolinesterase; obyek penelitian pada petani; desain penelitian dengan cross sectiona; instrumen penelitian: kuisioner dan data pemeriksaan kolinesterase tintometri menurut Edson. Variabel terikat: aktifitas kolinesterase; obyek penelitian pada petani; penggunaan data sebagai instrumen penelitian. pengelolaan ; Tempat dan waktu pelaksanaan pengelolaan ; Rancangan penelitian menggunakan 2 (rancangan) yaitu cross sectional dan case control, pengelolaan ; Waktu dan tempat pengelolaan pestsida; Waktu dan tempat pengelolaan ; desain penelitian case control. Waktu dan tempat; Metode pemeriksaan : Acetylcholinesterase Eryth-rocyte (AChE) dan butyrylcholinesterase