Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menggunakan Self Reporting. Questionnaire (SRQ), menunjukkan bahwa rata-rata 11,6% penduduk dari semua

dokumen-dokumen yang mirip
Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu dari beban kesakitan. global (global burden of disease). Gangguan kesehatan mental dianggap sebagai

Problem kesehatan mental saat ini semakin memerlukan perhatian di. tingkat global, nasional, maupun lokal. World Health Organization (WHO)

DAFTAR PUSTAKA. Abramowitz, J., Taylor, S., & McKay, D. (2009). Obsessive-Compulsive Disorder. The Lancet, 374,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

TES DIAGNOSTIK (DIAGNOSTIC TEST)

Gangguan Mental Emosional pada Masyarakat di Rancabuaya Shelly Iskandar 1, Arifah Nur Istiqomah 1. Abstrak

Bab III. Metode Penelitian. menggunakan desain survey deskriptif. Penelitian survey deskriptif adalah

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Insomnia merupakan suatu kesulitan kronis dalam. memulai tidur, mempertahankan tidur / sering terbangun

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, keduanya saling berkaitan, individu

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik. gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI Kesenjangan. tenaga non-medis seperti dukun maupun kyai, (Kurniawan, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI,

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan laju modernisasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000

Kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin banyak mendapat perhatian. publik, baik pemerintah, petugas dan pemerhati kesehatan jiwa, maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

Jawa Barat, sebanyak 20,0% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau, sebesar 5,1% (Riskesdas, 2007). Prevalensi gangguan mental emosional di Provinsi

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

Oleh: Raras Silvia Gama Pembimbing: dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP, 140

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami kegagalan dalam mengelola dirinya sendiri. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Tekanan psikologis dan kekhawatiran tentang infertilitas memiliki efek

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan penelitian cross sectional untuk menentukan

Daftar Pustaka. American Psychological Association. (2009). ICD versus DSM.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel

BAB 1 : PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data GLOBOCAN, International Agency for Research on

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembuluh darah yang pecah atau terhalang oleh gumpalan darah sehingga

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dapat dikatakan stres ketika seseorang tersebut mengalami suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. termasuk dalam kriteria inklusi pada penelitian ini, 15 responden untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang

BAB 1 PENDAHULUAN. jiwa. Berdasarkan statistik, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2020 akan

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang tinggal di Indonesia seperti tuntutan sekolah yang bertambah tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan prevalensi penyakit kronik degeneratif yang. berhubungan dengan usia merupakan outcome utama akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

Kata kunci: kualitas hidup, faktor yang terkait, orang dewasa, epilepsi, Nigeria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

PENYEBAB. Penyebab Obsesif Kompulsif adalah:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2004 (Dieren et al., 2010). DM merupakan kelompok penyakit degeneratif

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, penduduk dunia diperkirakan berjumlah sekitar 7 milyar,

PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI

BAB I PENDAHULUAN. menyerang perempuan. Di Indonesia, data Global Burden Of Center pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Makan merupakan kebutuhan primer. Setiap individu memerlukan makan untuk

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Bp. J DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penjelasan dari individu dengan gejala atau gangguan autisme telah ada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persepsi, afek, rasa terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku dan

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penderitanya semakin mengalami peningkatan. Data statistik kanker dunia tahun

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN AKTUALISASI DIRI PADA REMAJA PECANDU NARKOBA DI PANTI REHABILITASI

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang lebih dari delapan dekade terakhir. Hipertensi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. juta dan diprediksikan meningkat hingga 1,5 miliar pada tahun Lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

Transkripsi:

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menggunakan Self Reporting Questionnaire (SRQ), menunjukkan bahwa rata-rata 11,6% penduduk dari semua provinsi di Indonesia, usia 15 tahun keatas, mengalami gangguan mental emosional. SRQ ini diberikan ke 33 provinsi di Indonesia, yang terdiri dari 438 kabupaten atau kota (Idaiani, Suhardi, & Kristanto, 2009). Menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan, Irmansyah, angka tersebut menyebabkan kerugian ekonomi Indonesia hingga 20 triliun. Kerugian berasal dari hilangnya produktivitas seseorang, serta beban ekonomi dan biaya kesehatan yang harus ditanggung keluarga dan negara (Kompas, 2012). Dari hasil survey di atas, diketahui juga bahwa angka orang dengan gangguan mental emosional di Sleman, tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 12% (Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008). Upaya untuk menangani permasalahan gangguan mental di Indonesia telah mulai dilakukan dengan menurunkan Psikolog ke layanan kesehatan primer atau Puskemas (Retnowati, 2011). Jumlah Puskesmas yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah RS, serta rata-rata penduduk Indonesia yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mendorong pemerintah untuk mulai mengoptimalkan Puskesmas sebagai layanan kesehatan mental. Pemerintah juga berupaya mengatasi kekurangan psikolog dan psikiater dengan melatih dokter umum dan perawat agar mampu membantu pelayanan dasar kesehatan mental, seperti promosi dan deteksi (Kementrian Kesehatan, 2002). Meskipun demikian, data dari WHO (2010) menunjukkan bahwa masih terdapat treatment gap dalam layanan kesehatan mental di negara dengan tingkat pendapatan rendah dan 2

menengah, yaitu sebesar 75%. Oktarina & Praseyawati (2009) juga mengatakan bahwa 28% pengunjung Puskesmas yang menunjukkan gejala gangguan kesehatan mental, 90% tidak dapat dideteksi dan memperoleh penanganan yang sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi terhadap upaya-upaya yang dilakukan pemerintah. Menurut Hidayat, Ingkiriwang, Andri, Asnawi, Widya, & Susanto (2010), alat deteksi dini gangguan mental dapat menjadi salah satu upaya membantu mengatasi permasalahan kesehatan mental di Indonesia. Selama ini, kebanyakan pasien yang mengalami gangguan mental, terlebih dahulu datang ke Puskesmas dengan berbagai keluhan yang tidak jelas dan terkait dengan kondisi fisik (Retnowati, 2011). Dalam hal ini, sensitivitas dokter dan perawat dalam mengidentifikasi keluhan pasien menjadi faktor yang sangat penting. Akan tetapi, jumlah pasien yang sangat banyak, serta terbatasnya tenaga medis, seringkali membuat dokter dan perawat di Puskesmas terbatas dalam melakukan asesmen. Oleh karena itu, seringkali pasien yang sebenarnya mengalami gangguan mental, mendapatkan diagnosis yang kurang tepat dan menghabiskan biaya untuk pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang tidak tepat (Oktarina & Praseyawati, 2009). Salah satu gangguan yang memiliki prevalensi tinggi adalah Gangguan Obsesif Kompulsif. Dalam sejumlah penelitian epidemiologis di Eropa, Asia, dan Afrika, Gangguan Obsesif Kompulsif termasuk dalam 4 besar gangguan yang paling sering ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Menurut National Institute of Mental Health (2004), sekitar 2,2 juta orang dewasa di Amerika (usia 3

18 tahun atau lebih) memiliki OCD. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh National Comorbidity Survey, ditemukan bahwa dari 2073 responden, lebih dari seperempatnya menunjukkan simtom-simtom OCD (Ruscio, 2008). Selain itu, setidaknya 1 dari 200 anak-anak dan remaja mengalami OCD (Bell, 2012). Berdasarkan DSM IV-TR, Gangguan Obsesif-Kompulsif dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria: (A) memiliki obsesi atau kompulsi, atau keduanya; (B) pada beberapa titik selama gangguan, pasien mengakui bahwa obsesi atau kompulsi mereka tidak masuk akal; (C) obsesi atau kompulsi tersebut menyebabkan penderitaan, menyita waktu, dan secara signifikan mengganggu rutinitas atau kehidupan sosial pasien, pekerjaan (atau akademik), atau fungsi hidupnya; (D) jika pasien memiliki gangguan lain pada Axis I, isi obsesi atau kompulsi tidak dibatasi oleh itu; dan (E) gejala yang muncul tidak disebabkan oleh efek dari suatu zat atau kondisi medis umum (American Psychiatric Association, 2000). Obsesi dalam Gangguan Obsesif Kompulsif didefinisikan sebagai (1) pikiran dan impuls yang berulang dan terus-menerus, yang menyebabkan distres dan kecemasan; (2) pikiran dan impuls tidak hanya kekhawatiran berlebihan tentang masalah sehari-hari; (3) pasien mencoba untuk mengabaikan atau menekan pikiran dan impuls, atau mencoba untuk menetralisir dengan beberapa pemikiran atau tindakan lain; dan (4) pasien mengakui bahwa pikiran atau impuls tersebut adalah hasil dari pikirannya sendiri. Sedangkan kompulsif memiliki gejala berikut: (1) pasien merasa harus mengulang beberapa perilaku fisik (misalnya, mencuci tangan, memeriksa pintu) atau perilaku mental (misalnya, 4

berdoa, menghitung sesuatu, mengulangi kata-kata); (2) perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk menanggapi obsesi, atau harus dilakukan dengan mengikuti aturan yang keras; (3) perilaku-perilaku tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi distres atau mencegah peristiwa yang ditakuti; dan (4) perilakuperilaku tersebut secara realistis tidak terhubung dengan peristiwa yang dirancang untuk menetralisir atau mencegah distres (American Psychiatric Association, 2000). Gangguan Obsesif Kompulsif memiliki beragam dimensi, antara lain obsesi untuk menjaga diri dari kemungkinan mengalami bahaya dengan perilaku kompulsi mengecek dan terus bersembunyi; obsesi bentuk simetris dengan ritual mengurutkan dan menghitung; obsesi tentang kontaminasi, perilaku kompulsi mencuci tangan dan membersihkan; obsesi disertai rasa jijik terhadap seks, kekerasan, dan ritual keagamaan; dan obsesi untuk mendapatkan atau mempertahankan barang-barang, dengan perilaku kompulsi mengumpulkan dan menimbun. Beragamnya dimensi dalam Gangguan Obsesif Kompulsif sering membuat perbedaan yang cukup besar antara simtom yang dimunculkan penderita Gangguan Obsesif Kompulsif yang satu dengan penderita Gangguan Obsesif Kompulsif yang lain (Abramowitz, Taylor, & McKay, 2009). Menurut Kaplan, Sadock, & Grebb (2010), pada orang dewasa, laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif. Pada remaja, laki-laki lebih sering mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif dibandingkan perempuan. Usia rata-rata pertama kali seseorang mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif adalah 20 tahun. Laki-laki 5

cenderung mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif di usia yang lebih awal, yaitu sekitar 19 tahun, sedangkan perempuan di usia 22 tahun. Pasien dengan Gangguan Obsesif Kompulsif umumnya dipengaruhi oleh gangguan mental lain. Diagnosis psikiatrik komorbid untuk Gangguan Obsesif Kompulsif adalah depresi berat, fobia sosial, penggunaan alkohol, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan. Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM), yang dibuat oleh Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, terdapat 4 pasien dengan Gangguan Obsesif Kompulsif pada tahun 2011. Jumlah tersebut berarti, dari 7846 pasien yang terdiagnosis gangguan mental, 0,05% di antaranya adalah pasien dengan Gangguan Obsesif Kompulsif (CPMH, 2011). Prevalensi Gangguan Obsesif Kompulsif yang cenderung kecil di Sleman, bukan berati kondisi tersebut dapat diabaikan. Orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif tidak dapat merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam keseharian hidupnya (Suryaningrum, 2013). Selain itu, Gangguan Obsesif Kompulsif yang tidak ditangani sejak dini, kemungkinan besar akan menjadi kronis. Tidak jarang, muncul periode dimana seseorang kehilangan insight dan mulai timbul ide paranoid sehingga menunjukkan adanya gejala psikotik (Rodowski, Cagande, & Riddle, 2008). Prevalensi yang kecil juga bukan berati bahwa orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif memang sedikit di Indonesia. Stigma di masyarakat Indonesia yang masih sangat kuat terhadap orang dengan gangguan mental, menghalangi mereka untuk memeriksakan diri (Syaharia, 2008). Orang dengan Gangguan 6

Obsesif Kompulsif juga sering merasa malu dengan perilakunya yang aneh sehingga cenderung merahasiakan gangguannya. Hal ini membuat Gangguan Obsesif Kompulsif sering disebut sebagai hidden disease atau gangguan tersembunyi (Torres, Prince, Bebbington, Bhugra, Brugha, Farrell, dkk., 2006). Ketidakpahaman masyarakat mengenai Gangguan Obsesif Kompulsif juga menjadi salah satu penyebab sedikitnya laporan mengenai gangguan tersebut. Melihat besarnya resiko Gangguan Obsesif Kompulsif dan keterbatasan dalam mendeteksi gangguan mental umum, termasuk Gangguan Obsesif Kompulsif, perlu adanya alat skrining untuk mendeteksi gangguan mental dengan cepat. Sayangnya, saat ini puskesmas belum memiliki alat skrining yang valid dan diakui secara luas sebagai alat deteksi dini masalah kesehatan mental umum, termasuk Gangguan Obsesif Kompulsif. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk mencari alat skrining yang valid dan mudah digunakan di Puskesmas. Dengan adanya alat skrining tersebut, diharapkan Gangguan Obsesif Kompulsif dapat segera terdeteksi. Adanya alat skrining juga dapat menunjang upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan mental dan mempersempit treatment gap di Indonesia. Salah satu instrumen skrining yang sering digunakan untuk mendeteksi gangguan mental umum di layanan kesehatan primer adalah General Health Questionnaire-12 atau GHQ-12 (Schmitz, Kruse, & Tress, 2001). GHQ-12 sering digunakan sebagai alat skrining gangguan mental umum karena ringkas, yaitu berisi 12 aitem, mudah diadministrasikan sehingga dapat diisi sendiri, serta memiliki reliabilitas, validitas, sensitivitas, dan spesivisitas yang memuaskan (Kawada, 7

Otsuka, Inagaki, Wakayama, Katsumata, Li, dkk., 2011; Lee, Yip, Chen, Meng, & Kleinman, 2006; Navarro, Ascaso, Esteve, Aguado, Torres, & Santos, 2007). Beberapa penelitian mununjukkan bahwa GHQ-12 dapat digunakan di kalangan remaja, dewasa, dan lansia (Kawada, Otsuka, Inagaki, Wakayama, Katsumata, Li, dkk., 2011; Padron, Galan, Durban, Gandarillas, & Artalejo, 2012). Respon dari pernyataan dalam GHQ-12 dipilih dengan membandingkan kondisi individu saat ini dengan keadaan normal. Respon terdiri dari 4 pilihan, yang berisi kalimat kurang dari biasanya hingga sangat lebih dari biasanya. Dalam penskoringannya, GHQ-12 memiliki 3 metode skoring, yaitu metode bimodal atau metode GHQ, metode Likert, dan metode Chronic GHQ atau CGHQ. Goldberg sebagai penyusun GHQ menyarankan metode GHQ atau bimodal sebagai standar skoring GHQ-12. Metode ini memiliki skor 0 untuk kolom respon 1, 2 dan skor 1 untuk kolom respon 3, 4. Metode lain yang dapat digunakan menurut Goldberg adalah metode Likert dengan skor 0, 1, 2, dan 3. Metode terakhir, Chronic GHQ atau CGHQ, diciptakan oleh Goodchild dan Jones untuk mengantisipasi hilangnya data dari pasien dengan gangguan kronis karena menjawab sama seperti biasanya pada simtom yang sudah lama diderita. Metode CGHQ memiliki skor 0, 0, 1, 1 untuk aitem positif dan 0, 1, 1, 1 untuk aitem negatif. Aitem positif adalah aitem yang merujuk pada keadaan sehat dan aitem negatif adalah aitem yang merujuk pada keadaan mengalami gangguan (Goldberg & Williams, 2006). GHQ sendiri memiliki berbagai versi yang telah diterjemahkan dalam 38 bahasa, serta telah teruji validitas dan reliabiltasnya sehingga dapat digunakan di 8

lebih dari 50 negara (Bell, Watson, Sharp, Lyons & Lewis, 2005). Versi pertama dan terlengkap adalah GHQ-60, dengan total 60 item. Versi kedua, yaitu GHQ-30, menghilangkan aspek berkaitan dengan gangguan fisik, sehingga menjadi 30 item dan lebih singkat (Jackson, 2007). Versi ketiga adalah GHQ-28, terdiri dari 28 item dan memiliki 4 subskala, yaitu depresi, simtom somatik, kecemasan, dan disfungsi sosial (Boyd, Le, & Somberg, 2005). GHQ sering digunakan untuk memprediksi prevalensi gangguan dalam populasi, serta mendeteksi adanya potensi permasalahan psikiatrik (Richard, Lussier, Gagnon, & Lamarche, 2004). Beberapa penelitian mengatakan bahwa GHQ memiliki reliabilitas antara 0,78 sampai 0,95 (Yusoff, Rahim, & Yacoob, 2009). GHQ-12 didesain sebagai alat skrining yang unidimensional, dengan tujuan untuk mendeteksi ketidak mampuan seseorang dalam menjalankan fungsinya secara normal, serta mendeteksi adanya distres baru (Goldberg & Williams, 2006). Seiring berjalannya waktu, bermunculan penelitian-penelitian yang berusaha melihat dimensi lain dalam GHQ-12. Emeldah (2012) menemukan bahwa GHQ-12 terdiri dari 3 komponen, yaitu depresi dan kecemasan (aitem 2, 5, 6, 9.10, 11, 12.), positive self regard (aitem 3, 4, 7, 8), dan well-being (aitem 1,7). Gangguan Obsesif Kompulsif sendiri merupakan bagian dari Gangguan Kecemasan (American Psychiatric Association, 1994). Ciri utama Gangguan Kecemasan adalah adanya kekhawatiran berlebihan, yang cenderung tidak realistis, dan menyebabkan ketidaknyamanan dalam hidup seseorang. Saat akan menegakkan diagnosis, ciri kecemasan di atas juga menjadi salah satu kriteria apakah Obsesif Kompulsif dianggap sebagai normal atau abnormal (Nevid, Rathus, & Green, 2005). 9

Aitem-aitem dalam GHQ-12 tampak dominan berkaitan dengan pikiran dan perasaan pada diri individu. Aitem-aitem tersebut berkaitan dengan perasaan tertekan, merasa bersalah, merasa tidak percaya diri, merasa tidak bahagia, dll. Hal ini sangat berkaitan dengan Gangguan Obsesif Kompulsif. Menurut Abramowitz & Houts (2005), aspek kognitif sangat mempengaruhi Gangguan Obsesif Kompulsif pada seseorang dan sering digunakan dalam menjelaskan bagaimana obsesi dan kompulsi yang berkembang pada orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif. Kaplan, Sadock, & Grebb (2010) juga menjelaskan bahwa Gangguan Obsesif Kompulsif berkaitan dengan pikiran mengenai pembalasan dendam, perasaan kehilangan, perasaan bersalah, cinta, yang memunculkan ambivalensi emosional pada seseorang sehingga muncul obsesi atau kompulsi. Dalam sebuah penelitian, GHQ-12 pernah digunakan untuk menskrining Gangguan Obsesif Kompulsif, dengan Composite International Diagnostic Interview (CIDI) sebagai standar emas. Dari 241 subjek yang terdeteksi positif mengalami gangguan mental umum oleh GHQ-12, 33 di antaranya terdiagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif menggunakan CIDI. Dalam penelitian tersebut, GHQ-12 diskoring dengan metode bimodal dan menghasilkan titik potong 12. Korelasi reliabilitas yang diperoleh sebesar 0,78, sensitivitas sebesar 0,74, dan spesifisitas sebesar 0,84 (Yoldascan, Ozenli, Kutlu, Topal, & Bozkurt, 2009). GHQ-12 versi Bahasa Inggris sudah pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Idaiani & Suhardi (2006). Agar lebih sesuai digunakan di seting layanan kesehatan primer, GHQ-12 mengalami adaptasi kembali dari versi Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Emeldah, Nurwanti, & Primasari (2012). 10

Proses adaptasi yang dilakukan menggunakan metode forward translation, yaitu dengan menerjemahkan GHQ-12 Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh 2 ahli bahasa non-psikologi yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Selanjutnya, hasil terjemahan oleh Ahli Bahasa Inggris dievaluasi oleh 3 Ahli Psikologi, yang sudah bertahun-tahun mendalami Psikologi Klinis dan Psikologi Lintas Budaya. GHQ-12 Bahasa Indonesia tersebut kemudian diuji coba kepada 16 pasien Balai Pengobatan Umum (BPU) di 2 Puskesmas Kabupaten Sleman. GHQ-12 versi adaptasi oleh Emeldah, Nurwanti, dan Primasari inilah yang kemudian digunakan dalam penelitian ini. Pengujian validitas klinik GHQ-12 dalam penelitian ini terkait dengan pengembangan alat ukur yang dapat membantu penegakan diagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif di Puskesmas. Menurut Azwar (2003), salah satu metode pengujian validitas adalah dengan membandingkan hasil dari alat yang akan diuji dengan hasil alat lain yang telah terbukti memiliki validitas yang baik. Dalam penelitian ini, hasil GHQ-12 dibandingkan dengan diagnosis Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis I Disorders (SCID-I), untuk mengetahui kemampuannya dalam mendeteksi Gangguan Obsesif Kompulsif. SCID-I adalah panduan wawancara klinis yang telah terstruktur berdasarkan DSM IV. SCID-I dikenal memiliki keakuratan tinggi dan sering digunakan sebagai standar emas dalam berbagai penelitian validasi klinik alat ukur (Rumpf, Meyer, Hapke, & John, 2001). Reliabilitas SCID-I diuji melalui inter-rater reliability (dalam koefisien Kappa) yang melibatkan psikiater atau psikolog profesional sebagai rater (Lobbestael, Leurgans, & Arntz, 2010). 11

Hal penting yang harus dilakukan dalam pengujian validitas klinik adalah melihat kaitan antara hasil tes dengan diagnosis yang sesungguhnya. Hal tersebut dapat dilihat melalui uji diagnostik yang menunjukkan sensitivitas, spesifitas, titik potong, serta nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif dari alat yang diuji, yaitu GHQ-12. Sensitivitas adalah kemampuan alat tes mendeteksi orang yang menderita suatu gangguan dan menunjukkan hasil tes positif terhadap gangguan tersebut. Sedangkan spesifisitas adalah kemampuan alat tes mendeteksi orang yang tidak menderita suatu gangguan dan menunjukkan hasil tes negatif terhadap gangguan tersebut. Hubungan antara sensitivitas dan spesifisitas dilihat dengan membuat Receiver Operating Curve (ROC). Wilayah di bawah kurva memperlihatkan ketepatan hasil tes atau nilai Area Under Curve (AUC). Berdasarkan analisis ROC, ditetapkan titik potong yang paling sesuai dengan tujuan pengujian alat tes (Fletcher, Fletcher, & Wagner, 1991). Langkah terakhir dari penelitian validasi klinik adalah melihat rasio kemungkinan atau nilai prediktif atau Likelihood Ratio dari alat tersebut. Likelihood Ratio terdiri dari Likelihood Ratio Positive dan Likelihood Ratio Negative. Likelihood Ratio Positive adalah peningkatan kemungkinan seorang pasien mengalami gangguan, saat hasil tesnya yang positif. Sedangkan Likelihood Ratio Negative adalah peningkatan kemungkinan pasien tidak mengalami gangguan, saat hasil tesnya negatif. Ketika hasil Likelihood Ratio pasien positif (atau negatif), berapa besar kemungkinan pasien tersebut menderita (atau tidak menderita) gangguan (Fletcher, Fletcher, & Wagner, 1991). 12

Sebelum GHQ-12 digunakan sebagai alat skrining gangguan mental umum di Puskesmas, perlu dilakukan penelitian validitas klinik GHQ-12 sebagai alat skrining gangguan dengan prevalensi tinggi di Puskesmas. Penelitian yang menguji validitas klinik GHQ-12 sudah dilakukan oleh Primasari (2012) untuk Gangguan Penyesuaian, Emeldah (2012) untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh, Nurwanti (2012) untuk Gangguan Depresi, dan Salma (2013) untuk Gangguan Somatoform. Hasil dari seluruh penelitian menunjukkan bahwa GHQ- 12 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, dengan titik potong tertentu untuk masing-masing gangguan. Penelitian ini berperan menguji validitas klinik GHQ-12 sebagai alat skrining Gangguan Obsesif Kompulsif. Pertanyaan yang ingin dijawab berdasarkan latar belakang di atas adalah: 1. Bagaimana validitas klinik GHQ-12 sebagai instrumen skrining Gangguan Obsesif Kompulsif? 2. Metode skoring GHQ-12 manakah yang paling tepat digunakan sebagai skrining Gangguan Obsesif Kompulsif di Puskesmas? Hasil penelitian ini, secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya ilmu psikologi. Selain itu, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi alat skrining yang dapat meningkatkan layanan kesehatan mental, terutama sensitivitas paramedis dalam mendeteksi Gangguan Obsesif Kompulsif di Puskesmas. 13