Penelitian Biogeokimia Batubara Peringkat Rendah Formasi Sajau Di Cekungan Berau Untuk memahami Pembentukan Gas Metana Batubara Di Cekungan Berau, Kalimantan Utara Ahmad Helman Hamdani 1, 1 Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung- Sumedang Km. 21 Jatinangor, 10560 Jawa Barat Email :ahmad_helman_pgp@yahoo.com Abstrak Telah dilakukan penelitian biogeokimia batubara peringkat rendah dari Formasi Sajau di Cekungan Berau, Kalimantan Utara; yang merupakan penelitian geologi yang diintergasikan dengan penelitian kimia dan mikrobiologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batubara Formasi Sajau menunjukkan tingkat kematangan yang rendah (Ro < 0.5%); dengan didominasi kandungan maseral huminite; dan memiliki kandungan hidrogen yang tinggi. Penelitian kandungan isotop karbon gas metana batubara menunjukkan bahwa gas metana batubara terbentuk secara biogenic (biogenic gas). Analisa isotop karbon menunjukkan bahwa gas metana batubara di Formasi Sajau terbentuk dengan cara fermentasi asetat dan reduksi karbon dioksida. Penelitian komunitas mikroba menjelaskan adanya keragaman mikroba yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan gas metana batubara dari batubara peringkat rendah Formasi Sajau. Kata Kunci : Biogeokimia, batubara, peringkat rendah, Formasi Sajau, Cekungan Berau 1. Pendahuluan Meningkatnya permintaan sumber energi, terutama minyak dan gas bumi; serta kekhawatiran yang berkembang terhadap efek pemanasan global dimana terjadi peningkatan yang tajam emisi gas rumah kaca (GRK) antropogenik mengakibatkan perubahan iklim yang berimplikasi buruk terhadap berbagai kegiatan hidup manusia. Hasil analisis International Energi Agency (IEA) menunjukkan kepada situasi bumi yang suram, dimana diproyeksikan pada tahun 2030 kelak akan terjadi peningkatan ekonomi negara-negara berkembang berpacu dengan peningkatan kebutuhan energi negara-negara industri yang terus beranjak naik mencapai 40% dari kebutuhan saat ini. Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang timbul akibat adanya krisis energi global (doomsday) di masa depan; maka di dunia pada saat ini mulai berkembang pemikiran penggunaan energi non-konventional, salah satunya adalah gas metana dalam batubara (GMB) sebagai sumber energi. Pada saat ini GMB telah menjadi sumber energi yang penting di dunia dan salah satunya adalah di Amerika Serikat (Harpalani and Shimin, 2013); sedangkan negara lainnya seperti Australia, Kanada. China, India dan Selandia Baru sudah mulai melakukan eksplorasi gas metana pada skala besar di berbagai cekungan utama batubara, dan sedang mendekati produksi komersial (Kong et al., 2011). Sejumlah penelitian yang telah dilakukan di Cekungan Berau (Gambar.1 ) Kalimantan Utara telah menemukan adanya potensi kandungan GMB dalam batubara peringkat rendah (sub bituminous) di Formasi Latih yang berumur Miosen Tengah (Nana Suwarna dan Bambang Hermanto,
2006), dan dalam batubara peringkat rendah (lignite sub bituminous) Formasi Sajau yang berumur Pliosen Pleistosen Bawah (Hamdani, 2012). Namun demikian, bagaimana proses terjadinya gas metana batubara tipe biogenik di batubara peringkat rendah di cekungan Berau masih terbatas dan bersifat parsial. Gambar 1. Lokasi daerah penelitian di Cekungan Berau, Kalimantan Utara 2. Gas Metana Batubara (GMB) Gas metana dalam batubara (GMB) yang diserap oleh ruang antarmuka permukaan batubara, merupakan gas alam non-konvensional yang dihasilkan dan disimpan sendiri oleh batubara yang dikendalikan oleh multi-faktor. Pada awal proses pembatubaraan (coalification) pada batubara peringkat rendah (lignite subbituminus) akibat proses degradasi mikroba terhadap unsur organik dalam batubara akan terbentuk gas metana biogenik. Dengan meningkatnya kematangan batubara berkaitan dengan meningkatnya tekanan dan temperatu, maka gas metana termogenik akan terbentuk pada batubara tipe bituminous (Rice, 1993). Batubara merupakan batuan sedimen yang sangat kaya bahan organik kompleks dan sumber karbon untuk biodegradasi mikroba di dalam GMB; disamping itu batubara sebagai material batuan sedimen padat namun mengandung pori-pori yang banyak berukuran lebih kecil dari skala micron menyebabkan batubara mempunyai luas permukaan yang luas; dengan demikian mampu menyerap dan menyimpan gas lebih besar ( 6 s/d 7 kali) dibandingkan dengan batuan reservoir gas konvensional (batupasir, atau batugamping). Sehingga dalam sistem enegi gas metana diklasifikasikan sebagai unconventional gas. Sebagai batuan reservoir GMB, batubara merupakan akifer pembawa air yang baik dan dan akan membentuk lingkungan yang memungkinkan aktivitas mikroba berlangsung dengan baik. Penelitian dari ;Strapoć et al., 2008, 2011) menunjukkan bahwa air dalam jumlah besar yang mengandung populasi mikroba terkait dengan pembentukan metana. Konsorsium metanogen hidup dalam sampel batubara dan menggunakan volatile materi dalam batubara untuk menghasilkan metana. Gas metana batubara biogenik terjadi oleh adanya reduksi bakteri dari CO2, menghasilkan methanogens, dan selanjutnya bakteri anaerobik menggunakan H2 yang tersedia untuk mengkonversi asetat dan CO2 menjadi metana sebagai produk samping dari metabolismenya. Sejumlah methanogens membuat amina, sulfida, dan methanol untuk memproduksi metane. Aliran air dibawah permukaan dapat memperbaharui aktivitas bakteri, sehingga gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan maksimum terjadi, temperatur maksimum pada lapisan batubara mencapai 40-90 C; kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri metana. Apabila air tanah turun, maka tekanan pada reservoir
turun, pada saat itu GMB bermigrasi menuju reservoir dari sumber lapisan batubara. Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi dari gas biogenik. Kejadian ini dipicu oleh naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci oleh air. Hal tersebut yang memberikan indikasi bahwa GMB merupakan energi yang dapat terbaharui. Dalam hal eksploitasi GMB, dapat dijelaskan bahwa di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan GMB menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Batubara peringkat rendah Formasi Sajau di Cekungan Berau, didominasi oleh lignit dengan subordinat subbituminous, mempunyai kandungan air yang tinggi, disusun oleh material organik yang kaya unsur seperti liptinit dan huminit ( Hamdani, et al., 2013); sehingga batubara peringkat rendah tersebut dapat berperan sebagai batuan induk yang sangat baik untuk produksi gas metana biogenik. Bakteri sangat berperan penting dalam pembentukan GMB tipe biogenic, misalnya bakteri syntrophic. Bakteri Syntrophic melakukan fermentasi dengan mendegradasi molekul organik dari batubara menjadi asam organik dan asam lemak yang digunakan sebagai substrat untuk bakteri metanogen. Beberapa jenis bakteri lain yang terlibat dalam pembentukan GMB yaitu, bakteri homoacetogenic, bacteri acetolastic dan metylotrophic. Dalam kondisi aerobik, molekul organik dari batubara yang dihidrolisis oleh aktivitas enzim ekstraseluler dari bakteri penghasil molekul, seperti fumarat, isoprenoid dan alkana rantai panjang, moekul ini menurunkan asam asetat, asam lemak, metanol, hidrogen dan CO2 dan digunakan sebagai substrat untuk bakteri metanogen. Produksi GMB dapat ditingkatkan dan diperbaharui dengan memanfaatkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi molekul organik dan mengkonversi molekul menjadi metan. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui konsorsium bakteri metanogen dan proses pembentukan gas metana batubara tipe biogenik di batubara peringkat rendah Formasi Sajau dengan metoda biogeokimia; yang mengintegrasikan penelitian mikrobiologi, geologi dan kimia. 2. Geologi Cekungan Berau Daerah penelitian termasuk ke dalam bagian Cekungan Berau (beberapa peneliti menyebutkan sebagai sub-cekungan Berau); yang merupakan bagian blok yang stabil dari Cekungan Tarakan Besar (Lentini and Darman, 1996; Noon et al., 2003; Hidayati et al., 2007), terletak di bagian timuirlaut pulau Kalimantan. Secara fisiografi Cekungan Berau di batasi di bagian selatan - tenggara oleh Punggungan Suikerbrood, Tinggian Mangkalihat /Peninsula dan sepanjang sungai Berau, serta sesar mendatar mengiri dengan arah NW-SE (Mangkalihat Fault) yang merupakan kepanjangan dari sesar Palu Koro yang memisahkannya dengan Cekungan Kutai dan Cekungan Muara; ke arah bagian barat Cekungan Berau dibatasi oleh Tinggian Sekatak - Berau yang tersusun oleh batuan Pre-Tersier; sementara itu ke arah utara di batasi oleh sesar mendatar mengiri dari Maratua Fault dan di utara oleh Tinggian Latong yang memisahkan dengan Cekungan Tidung; serta cekungan ini membuka membentuk busur ke arah barat berbatasan dengan CekunganTarakan Tatanan geologi daerah penelitian Daerah Sajau dan sekitarnya, cekungan Berau telah diteliti oleh Situmorang R.L. dan Burhan (1995), Delma r Mining (2005). Peta geologi permukaan yang disusun oleh Situmorang R.L. dan Burhan (199 5) pada
Lembar Tanjung Redeb menunjukkan arah antiklin dan sinklin di Cekungan Berau berarah NW-SE dan NNW-SSE, dan arah sesar normal NNW SSE. Sedangkan urutan stratigrafi dari yang tertua hingga muda adalah : Formasi Sembakung, Formasi Birang, Formasi Latih, Formasi Labanan dan Formasi Domaring / Sajau; yang diendapkan sejak Eosen Awal s/d Pleistosen. Formasi Sajau yang menjadi objek penelitian merupakan formasi pembawa batubara berumur Pleistosen dengan ketebalan 775 m. Terdiri atas perselingan batulempung, batulanau, batupasir, konglomerat dan lapisan batubara. Formasi Sajau diendapkan di lingkungan fluvial dan delta. Pengukuran isotop karbon (δ 13 C) dan isotop hidrogen (δd) gas metana dilakukan untuk menentukan cara terbentuknya gas metana. 3. Metodologi Penelitian 3.1. Pengambilan contoh Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan contoh air formasi, batubara dan gas metana pada Formasi Sajau di tiga (3) blok tambang batubara; yakni Blok Kasai (SH-101), Blok Mangkupadi (CH-34) dan Blok Tanah Kuning (NH-15) yang terletak di Cekungan Berau, Kaltara ( Gambar 1). Percontoh air formasi digunakan untuk percobaan mikrobiologi untuk mengidentifikasi komunitas bakteri metanogenik. Percobaan kultur dilakukan dengan menggunakan air formasi yang diambil dari pemboran eksplorasi yang dicampur dengan substrat batubara dari berbagai seam A, B dan K dari lokasi SH-101, CH-34 dan NH-15 Adapun pada contoh batubara dilakukan analisa petrografi orgamik untuk mengetahui komposisi maseralnya. Pengukuran proksimat dan ultimat dilakukan untuk menentukan kualitas batubara. Analisa geokimia organik pada fraksi aromatik ditujukan untuk mengetahui komposisi biomarker fraksi aromatik. Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh air formasi, batubara dan gas batubara di Formasi Sajau, Cekungan Berau, Kalimantan Utara 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Kimia Air Analisa kimia air yang dilakukan di laboratorium Succofindo, Balikpapan; diketahui bahwa didominasi oleh kandungan yang tinggi dari konsentrasi klorida dan sodium bikarbonat. Sedangkan konsentrasi magnesium, calcium dan potassium kecil. Tabel 1. Hasil analisa Kimia Air Formasi Parameters Units Coal Exploration Wells SH-101 CH-34 NH-15 Temperature 0 C 33.0 32.0 32.0 ph 7.0 6.8 6.8 Salinity mg.l -1 962.8 1102.6 1029.6 Conductivity mscm -1 3.2 2.1 3.6 Carbonate alkalinity mg.l -1 nd nd nd Bicarbonate alkalinity mg.l -1 1027.4 973.6 826.6 Sulfate mg.l -1 2.5 3.7 3.1 Chloride mg.l -1 475.2 481.6 429.6 Calcium mg.l -1 8.1 11.9 9.1 Magnesium mg.l -1 7.2 8.6 6.4 Sodium mg.l -1 681.2 726.4 612.7 Potasium mg.l -1 58.2 98.4 63.8
Dengan memperhatikan tabel di atas maka kisaran komposisi dan konsentrasi kimia air formasi di daerah penelitian dapat menjadi tempat proses pertumbuhan bakteri methanogen untuk berkembang dengan baik. 4.2. Maseral dan Kualitas Batubara Hasil pengamatan petrografi organik, pengukuran proksimat dan ultimat contoh batubara untuk seam A, B dan K ditampilkan dalam tabel 2. Tabel 2. Komposisi Maseral dan Analisa Proksimat dan Ultimat Parameters Units Coal Seam A B K Komposisi Maseral Huminit % 84.32 72.08 81.46 Liptinit % 12.90 11.97 14.52 Inertinit % 2.68 15.10 3.10 Mineral Matter % 7.12 2.30 4.26 Kualitas Batubara (proksimat) Total Moisture % adb 52.35 54.32 50.48 Inheren Moisture % arb 16.75 14.32 15.21 Karbon Tertambat % adb 40.37 43.65 41.17 Zat Terbang % adb 39.26 39.14 39.44 Abu % adb 3.62 2.89 6.10 Total Sulfur % adb 1.24 1.02 1.94 Kualitas Batubara (ultimat) Karbon % daf 62.13 67.2 71.28 Hidrogen % daf 7.27 8.15 6.27 Nitrogen % daf 1.82 1.28 1.35 Sulfur % daf 1.55 1.23 2.46 Oxygen % daf 27.23 22.14 18.64 Dari tabel 2 terlihat bahwa maseral huminit mendominasi komposisi maseral pada semua seam batubara Formasi Sajau (coal seam A, B dan K). Sedang kelompok maseral liptinit menunjukkan jumlah yang lebih besar dibandingkan maseral inertinit. Dengan memperhatikan komposisi huminit yang besar dan inertnit yang kecil; menunjukkan bahwa unsure organik dalam batubara Formasi Sajau mempunyai kecenderungan akan lebih mudah terbiodegradasi oleh mikroba methanogens. Hal ini juga ditunjang dengan kandungan air yang tinggi (50,48 54.32%), akan memudahkan proses pembentukan gas metana oleh aktivitas mikroba yang terdapat dalam air ( Strapoć et al. 2008 ; Midgley et al. 2010;Strapoć et al. 2011). 4.3. Polisiklik Aromatik Analisa biomarker fraksi aromatik pada contoh batubara ditampilkan dalam tabel 3. Secara umum konsetrasi polisiklik aromatic cukup signifikan dalam batubara. Senyawa tri-tetra aromatic pentacyclic telah diketahui banyak ditemukan dalam berbagai contoh batubara peringkat rendah dan merupakan rombakan dari triterpenoid. Senyawa A-ring opened isohexyl alky aromatic, seperti 8-isopropyl-1, 62- dimethylnaphthalene dan methylated 8- isopropyl-2, 4-dimethyl-1-(4-methylpentyl) naphthalene telah teridentifikasi dalam fraksi aromatik. Senyawa-senyawa tersebut berasal dari phyllocladane (Stefanova, et al., 2002). Penelitian geokimia organik batubara Formasi Sajau pada fraksi aromatik menunjukkan adanya kandungan senyawa polisiklik aromatic yang mudah terbakar seperti fluoranthene, benzo-[b]fluoranthene, benzo[k]fluoranthene, ben-zo[a] anthracene; memungkinkan batubara tipe lignite lebih mudah terurai dibandingkan dengan tipe batubara yang tinggi peringkatnya. Tabel 3. Komposisi Polisiklik aromatic Compound A B K Phenathrenes Phenanthrene-4a-trimethyl-7-4.9 - Phenanthrenone-4a-trimethyl 2.51 8.16-4-Methyl Phenanthrene 45.22 72.62 31.61 2,5-Dimethyl Phenanthrene 1.25 0.71 3.35 Naphthalene 1(2H) Napthalenone, 8- trimethyl 4.16 5.46-8-isopropyl -tetrahydronaphthalene - 3.16-8-isopropyl,1, 6 dimethylnaphthalene - 5.44-1-Benzylnaphthalene 8.26 13.17 12.90 1,4-Dibuthyl-tetrahydro Naphthalene 4.81 5.96-2,6-Dimethyl-3-octyl-Naphthalene 12.29 48.16-5,1-decylundency tetrahydro Naphthalene 4.16 6.43 9.01 Fluoranthene Benzene(k) fluoranthene 61.81 67.54 90.92 Quinones Benzo(a)anthracen-7,12-dion 17.28 8.0 23.11
4.4. Isotop Karbon dan Hidrogen GMB Hasil pengukuran fraksi isotop karbon (δ 13 C) dan isotop hidrogen (δd) contoh gas metana batubara ditunjukkan pada tabel 4. Tabel 4. Komposisi Isotop karbon dan hidrogen Lokasi Seam Fraksi Isotop δ 13 C- CH 4( ) δd-ch 4 ( ) CH-101 A -53.18-315 SH-101 B -52,41-308 CH-53 A -65.18-210 CH-34 B -62.54-205 NH-15 K -55.16-198 Analisa karbon isotop (δ 13 C) dan isotop hidrogen (δd ) yang dilakukan dari contoh gas metana, etana dari 3 (tiga) seam batubara menunjukkan kisaran δ 13 C dengan kisaran 52,41 sampai dengan -65,18 dan kisaran δd 315 s/d 198; yang mengindikasikan bahwa gas tersebut terbentuk berasal dari proses fermentasi dan reduksi karbon dioksida ( Whiticar, 1996) oleh aktivitas bakteria (Gambar 2). Gambar 2. Plot data isotop karbon dan deuterium gas metana batubara Formasi Sajau dari Seam A, B dan C dari 5 (lima) sumur eksplorasi. 4.5. Percobaan Kultur Mikroba Hasil percobaan kultur mikroba pada contoh air formasi dengan substrat batubara ditemapilkan dalam tabel 5. Tabel 5. Komposisi Mikroba Pada Kultur dengan Substrat batubara Formasi Sajau Substrat Batubara Tipe Mikroba SeamA Seam B Seam K (CH-101) (CH-34) (NH-15) % OTU % OTU % OTU Methanospirillum 2 6 4 Methanobacterium 5 3 2 Methanosarcina 55 4 6 Methanosaeta 11 58 62 Clostridia 6 9 4 Deltaproteobacteria 4 8 5 Spirochates 1 2 6 Synergistia 3 3 5 Unclassified 5 2 3 Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat dijelaskan bahwa dalam kultur air formasi dan substrat batubara Formasi Sajau menunjukkan adanya keragaman komunitas dan jumlah kelimpahan bakteria dan archea di dalam kultur. Kelompok bakteria terdiri dari Bacteroides (3-8% OTU), Deltoproteobacteria (4-8% OTU), Synergistia (1-5% OTU), Spirochaetes (1-6%, OTU sedangkan komunitasnya archea terdiri dari Methanosarcina (4-55% OTU ), Methanobacterium (2-5% OTU), Methanosaeta (11-62 % OTU). Keragaman komposisi dan konsentrasi mikroba yang ditunjukkan pada contoh menunjukkan bahwa contoh kultur air formasi dengan substrat batubara seam B dan seam K menunjukkan dominasi kandungan Methanosaeta (>50%). Hal ini berkaitan dengan proses terbentuknya gas metana dalam jalur reduksi CO2., sebagaimana tercermin dalam pengukuran isotop karbon dan hidrogen gas metana (gambar 2). Pada contoh batubara seam A (S H-101) lebih didominasi kandungan Methanosarcina (55%) dimana gas metana pada sumur SH- 101 terbentuk melalui proses fermentasi asetat. (Gambar 2).
5. Kesimpulan Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa gas metana batubara yang didapat dari batubara Formasi Sajau terbentuk melalui dua jalur yakni fermentasi asetat dan reduksi karbon dioksida. Selain itu dari percobaan kultur menunjukkan adanya aktivitas aktif dari mikroba dalam proses pembentukan gas metana batubara. Pustaka Delmar Mining, 2005. Laporan Eksplorasi Batubara Konsesi PT. Delmar Mining, Di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (tidak dipublikasikan) Hamdani A.H., (2012). The Application of High Resolution Sequence Stratigraphy to the Sajau (Pliocene) Coal Distribution in Berau Basin, Northeast Kalimantan Hamdani A.H., Sunardi E., Yoga A.S, (2013). Petrographical characteristics and environmental characteristics and depositional environment of Sajau Coal Formation in Berau Basin, East Kalimantan. ICFS 10, University of Leeds, United Kingdom, p. 19. Harpalani and Shimin, (2013). Coalbed Methane: Important Source of Natural Gas Resource. 47 th US Rock Mechanics Geomechanics Symposium, San Fransisco Hidayati, S., Guritno, E., Argenton, A., Ziza, W., Campana, I. D., 2007. Re-visited structural framework of the Tarakan Sub- Basin northeast Kalimantan Indonesia. 31 st Proceeding Indonesian Petroleum Association : 255-269. Kong Chai Chen, Irawan S, Chow W.S., Salem Q. T., (2011). Preliminary Study on Gas Storage Capacity and Gas-in-Place for CBM Potential in Balingian Coalfield, Sarawak Malaysia. International Journal of Applied Science and Technology 1 No. 2: 82 94. Lentini M. R. and Darman R.; (1996). Aspect of the Neogene Tectonic History and Hydrocarbon Geology of the Tarakan Basin. 25 th Proceeding Indonesian Petroleum Association : p 241-251. Midgley et al. (2010). Characterisation of a microbial community associated with a deep, coal seam methane reservoir in the Gippsland Basin, Australia.Int.J. Coal Geol. 82:232 239. Nana Suwarna, Bambang Hermanto,(2006). Coalbed methane potential and coal characteristics in the Lati region, Berau basin, East Kalimantan. Jurnal Geologi Indonesia 1 no. 1: 19-30 Noon Stephen, John Harrington, Herman Darman. (2003). The Tarakan Basin, East Kalimantan : Proven Neogene Fluvio- Deltaic, Prospective Deep-Water and Paleogene Plays in A regional Stratigraphic Context. 29th Proceedings Indonesian Petroleum Association. p.16. Rice, D. D., (1993). Composition and Origin of Coalbed Gas. In: Law, B.E., Rice, D.D. (Eds.), Hydrocarbons from coal. American Association of Petroleum Geologists Studies in Geology 38. 159-184. Situmorang, R.L., and Burhan, G., (1995). Geological Map of the Tanjungredeb Quadrangle, Kalimantan, scale 1:250.000. Geological Research and Development Centre, Bandung. Stefanova, M., Oros, D.R., Otto, A., Simoneit, B.R.T., (2002). Polar aromatic biomarkers in themiocene Maritza East lignite, Bulgaria. Org. Geochem. 33, 1079 1091 Strapoć D, Picardal FW, Turich C, Schaperdoth I, Macalady JL, Lipp JS,Lin YS, Ertefai TF, Schubotz F, Hinrichs KU, Mastalerz M, Schimmelmann A. (2008). Methane producing microbial community
in a coal bed of the Illinois Basin. Appl Environ Microbiol 74:2424 2432 StrapocD, et al. 2011. Biogeochemistry of coal-bed methane. Annu. Rev. Earth Planet. Sci. 39:617 656. Whiticar, M.J. (1996). Stable isotope geochemistry of coals, humic kerogens and related natural gases. International Journal of Geology 71. 358-370.