17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone (Sulawesi), serta Papua yaitu di Jayapura dan Teluk Bintuni (Gambar 6). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan daerah sebaran hutan mangrove di Indonesia, karena kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran (Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004). Kegiatan penelitian meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Secara keseluruhan penelitian berlangsung selama 13 bulan, mulai dari bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Juli 2009. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Metode Kerja 3.2.1. Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau dari genus Scylla, yang berasal dari berbagai lokasi di Indonesia antara lain: Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone (Sulawesi), serta Papua di Jayapura, Babo dan Bintuni (Teluk Bintuni). Peralatan yang digunakan meliputi timbangan, jangka sorong 0,01 mm, meteran, penggaris, alat tulis, kamera digital, alat bedah, plastik transparan, tisu (Lampiran 1). Selain itu juga digunakan komputer, program MS. Excel, dan Sigmaplot untuk mengolah data morfometrik yang diperoleh.
Gambar 6. Peta lokasi penelitian (diadopsi dari Hino 2009) 18
19 3.2.2. Pengambilan sampel Penentuan lokasi pengambilan sampel kepiting bakau berdasarkan sebaran hutan mangrove di masing-masing pulau. Titik sampling di masing-masing lokasi pengamatan tidak ditentukan karena mengikuti dimana nelayan menangkap kepiting bakau dengan menggunakan metode pengambilan contoh acak (PCA). Sampel yang diambil jumlahnya bervariasi sesuai dengan yang tertangkap oleh nelayan dan tidak melihat ukuran maupun spesiesnya. Umumnya nelayan di Indonesia menangkap kepiting bakau dengan alat tangkap yang dirancang sederhana dan dikembangkan oleh nelayan itu sendiri. Alat tangkap yang sering digunakan dalam penangkapan kepiting adalah wadong (bubu), pintur, rakkang, tangkul, dan pancing (Cholik dan Hanafi 1992). Kegiatan pengambilan sampel meliputi pengambilan secara langsung kepiting bakau yang berasal dari Pulau Jawa diantaranya Karawang, Subang, dan Cirebon, yang dilakukan dengan mendatangi nelayan atau pengumpul kepiting. Sampel tersebut dipilih secara acak dengan metode purposive sampling sehingga setiap individu atau unit contoh memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Sebagai pembanding, sampel kepiting bakau juga didatangkan setiap bulan dari luar Pulau Jawa yang dikirim dalam wadah ice box dan diberi daun mangrove untuk menjaga agar kondisi sampel masih tetap hidup. Berikut ini adalah bulan-bulan pengambilan sampel berdasarkan daerah pengamatan (Tabel 3). Tabel 3. Waktu pengambilan sampel berdasarkan daerah pengamatan Lokasi Bulan pengambilan sampel Sumatera Agustus (2008) dan Januari (2009) Jawa Juli (2008), Maret, dan Mei (2009) Kalimantan November (2008) dan Maret (2009) Sulawesi Maret (2009) Papua September, November, Desember (2008) dan Mei (2009) 3.2.3. Penanganan sampel Langkah pertama yang dilakukan ketika sampel datang adalah membersihkan kepiting dari kotoran atau lumpur menggunakan tisu dan diberi nomor dengan kertas
20 label. Kemudian kepiting bakau dipisahkan berdasarkan jenis kelamin jantan atau betina dengan melihat bentuk abdomen, pada kepiting jantan berbentuk segitiga meruncing sedangkan pada betina berbentuk segitiga melebar. Selanjutnya, dilakukan pengukuran morfometrik yang meliputi lebar karapas (mm) dan berat tubuh (gr) serta pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG). Data yang diperoleh dicatat pada datasheet yang telah tersedia dan selanjutnya akan digunakan dalam analisis sebaran variasi ukuran lebar karapas dan pendugaan pola pertumbuhan. Pengukuran karakter tersebut meliputi parameter lebar karapas dan berat. Data lebar karapas hasil pengukuran dikelompokkan berdasarkan kelas ukuran lebar karapas masing-masing spesies pada tiap-tiap lokasi. Selanjutnya, dilakukan identifikasi jenis kepiting bakau. Acuan dalam mengidentifikasi jenis kepiting bakau pada penelitian ini adalah berdasarkan Estampador (1949) in Fushimi dan Watanabe (2001) yang telah mengklasifikasikan kepiting bakau kedalam tiga spesies yaitu, S. serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica (Gambar 7). Gambar 7. Perbandingan karapas (dorsal dan ventral) dan cheliped pada tiga spesies dari genus Scylla spp. jantan (Fushimi & Watanabe 2001) Saat ini masih terdapat perdebatan antara para ahli mengenai jenis-jenis kepiting bakau. Oleh karena itu, Estampador (1949) in Fushimi dan Watanabe (2001) mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas,
21 yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filipina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal; warna karapas dan kaki, gigi anterolateral pada karapas, duri luar pada cheliped carpus, dan gametogenesis. Pada penelitian ini identifikasi dilakukan dengan mengamati karakteristik yang terdapat pada kepiting bakau antara lain warna dan alur H pada karapas, duri pada cheliped carpus, duri pada frontal margin serta corak pada pleopod. 3.2.4. Bahan dan peralatan pada pengamatan perkembangan gonad Bahan yang digunakan dalam pengamatan gonad adalah gonad kepiting jantan dan betina TKG I-IV, larutan formalin 4% dan larutan bouin. Alat yang digunakan antara lain timbangan digital, mikroskop yang dilengkapi mikrometer, alat bedah, plastik, cawan petri, gelas ukur, pipet, kaca obyek, dan counter. Pengamatan preparat histologi menggunakan mikroskop yang dilengkapi kamera, komputer serta software Mothic Image Plus 2.0. Kegiatan di Laboratorium BIMA I meliputi pengelompokan TKG kepiting bakau jantan dan betina, penimbangan gonad, penghitungan fekunditas dan diameter telur serta pemotretan preparat histologi. 3.2.5. Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) Penentuan TKG dilakukan dengan dua cara: (1) morfologi yaitu pengamatan gonad kepiting secara visual yang dilakukan di lapangan, dan (2) histologi yaitu pengamatan gonad yang dilakukan di laboratorium. Pengamatan gonad secara morfologi dalam penelitian ini ialah berdasarkan klasifikasi Poovachiranon (1992) untuk kepiting betina dan Castiglioni dan Fransozo (2006) in Siahainenia (2008) untuk kepiting jantan (Tabel 4 dan 5). Organ reproduksi kepiting jantan terdiri atas sepasang testis dan sepasang vas deferens. Testis berbentuk lonjong, berwarna putih dan terletak pada bagian atas posterior hepatopankreas dan jantung. Sementara itu, organ reproduksi kepiting betina terdiri atas sepasang indung telur (ovarium), sepasang saluran telur (oviduct), serta sepasang wadah sperma (spermatheca). Ovarium adalah organ berbentuk sabit, terletak melintang pada bagian dorsal hepatopankreas (Siahainenia 2008).
22 Tabel 4. Tingkat perkembangan gonad kepiting bakau betina menurut Poovachiranon (1992) Tingkat Kematangan Gonad Keterangan TKG I Gonad belum masak; kecil dan transparan. Abdomen sedikit berbentuk segitiga dan tidak begitu membundar pada betina yang lebih muda. TKG II TKG III TKG IV Menggambarkan kondisi perkembangan gonad. Gonad berwarna putih susu atau kekuningkuningan mengisi sekitar seperempat area pada kedua kelenjar pencernaan. Kondisi gonad sedang masak. Ovarium membesar, mengisi sekitar setengah hingga tiga perempat dari kelenjar pencernaan, berwarna kuning-oranye. Gonad berwarna oranye atau oranye-merah, hampir mengisi seluruh rongga bagian tubuh dan karapas bagian dorsal. Tabel 5. Tingkat perkembangan gonad kepiting Uca rapax jantan menurut Castiglioni dan Fransozo (2006) in Siahainenia (2008) Tingkat Kematangan Gonad TKG I (belum matang) TKG II (belum sempurna) TKG III (sedang berkembang) TKG IV (berkembang) Testis tidak terlihat Keterangan Testis mulai nampak berbentuk filamen, tidak berwarna transparan Testis nampak, bergelung, berwarna buram Testis berkembang mencapai ukuran terbesar, bergelung dan berwarna putih. Seluruh sampel kepiting bakau jantan dan betina yang telah diukur morfometriknya kemudian dibedah untuk diambil gonadnya menggunakan alat bedah, lalu gonad dimasukkan ke dalam plastik berlabel dan diawetkan dengan larutan formalin 4%. Gonad yang telah diawetkan tersebut selanjutnya akan dianalisis di laboratorium untuk dihitung fekunditas, diameter telur, dan preparat histologi. Penghitungan fekunditas dilakukan terhadap gonad kepiting betina yang telah mencapai TKG III dan IV. Cara yang digunakan untuk menghitung fekunditas
23 kepiting bakau adalah dengan metode gabungan antara gravimetrik, volumetrik, dan hitung (Effendie 1979). Gonad yang telah diawetkan dengan formalin 4% dikering udarakan terlebih dahulu diatas tisu agar formalin menguap kemudian gonad ditimbang seluruhnya. Setelah ditimbang dan diketahui berat totalnya, diambil contoh telur yang mewakili bagian gonad (anterior, tengah, dan posterior), kemudian ditimbang lagi hingga mencapai ukuran berat tertentu, misalnya Q gram. Selanjutnya, telur contoh tersebut diencerkan dengan air menjadi 10 cc. Satu cc dari cairan tersebut dikocok merata, diteteskan dengan pipet di atas kaca obyek dan dipasang pada mikroskop dengan perbesaran 10x10 untuk dihitung fekunditas atau jumlah telurnya menggunakan counter dengan metode sensus. Pengukuran diameter telur menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer dengan perbesaran 40x10. Setelah selesai dilakukan penghitungan fekunditas, selanjutnya dilakukan pengukuran diameter telur masing-masing 100 butir untuk setiap gonad TKG III dan IV agar didapatkan sebaran ukuran telur. Persiapan untuk analisis histologi, terlebih dahulu gonad kepiting jantan dan betina direndam dalam larutan bouin lalu sampel tersebut dibawa ke Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Proses pembuatan preparat histologi yang mengacu pada Banks (1986), seperti yang disajikan pada Lampiran 2. Selanjutnya, preparat hasil analisis histologi difoto dengan mikroskop yang dilengkapi kamera dan tersambung dengan komputer menggunakan software Mothic Image Plus 2.0. 3.3. Analisis Data 3.3.1. Hubungan lebar karapas berat Pertumbuhan kepiting bakau diduga dengan menggunakan metode distribusi frekuensi lebar karapas menggunakan program MS. Excel 2003. Berikut ini analisis pertumbuhan dengan parameter lebar karapas-berat yang menggunakan rumus hubungan lebar karapas-berat sesuai dengan Hartnoll 1982: W = al b
24 Keterangan: W = berat kepiting (gr) L = lebar karapas (mm) a = intersep (perpotongan kurva hubungan lebar karapas-berat dengan sumbu y) b = penduga pola pertumbuhan lebar karapas-berat Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus: Log W = Log a + b Log L Y = a + b x Uji nilai b menggunakan uji t, dengan hipotesis: H 0 : b = 1, hubungan lebar karapas-berat adalah isometrik H 1 : b 1, hubungan lebar karapas-berat adalah allometrik, yaitu: Allometrik positif (b>1), pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan lebar karapas. Allometrik negatif (b<1), pertumbuhan lebar karapas lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat. t hitung = b b 1 Sb 1 0 Keterangan: b 1 = nilai b (dari hubungan panjang-berat) b 0 = 1 Sb 1 = simpangan koefisien b Kemudian, t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel, menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya, kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (H 0 ) t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol (H 0 )
25 3.3.2. Fekunditas Penghitungan fekunditas kepiting bakau menggunakan metode gabungan gravimetrik, volumetrik, dan hitung (Effendie 1979) yaitu: F = G xv x X Q Keterangan : F = Fekunditas G = Berat gonad total (gram) V = Isi pengenceran (cc) X = Jumlah telur tiap cc Q = Berat telur contoh (gram)