HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Aldehid. Tatanama Aldehida. a. IUPAC Nama aldehida dinerikan dengan mengganti akhiran a pada nama alkana dengan al.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil

PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI SKRIPSI. Oleh AGUS FAISAL F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

c. Suhu atau Temperatur

BAB I PENDAHULUAN. kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar

HASIL DAN PEMBAHASAN

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Sebelum Perendaman Dengan Minyak Jelantah

HASIL DAN PEMBAHASAN

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Randemen Arang Tempurung Kelapa

TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

4 Hasil dan Pembahasan

KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM

PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan bahan baku awal yang akan digunakan untuk membuat karet crepe sehingga harus selalu dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui mutu lateks kebun, sebagai kontrol, dan meminimalkan keragaman lateks. Sebelum diolah menjadi karet crepe, lateks kebun digumpalkan terlebih dahulu dengan menggunakan asam format (asam semut). Asam format atau juga kadang disebut asam semut atau asam metanoat mempunyai rumus kimia HCOOH dan merupakan asam terkuat dari seri homolog gugus karboksilat yang mengalami beberapa reaksi kimia (dekomposisi, reaksi adisi, siklisasi, asilasi). Bahan penggumpal lateks yang selama ini banyak digunakan dan direkomendasikan adalah asam format. Penggumpalan dengan asam format dapat menghasilkan karet dengan sifat teknis yang baik. Selain asam format, untuk menggumpalkan lateks juga dapat digunakan bahan lain seperti tawas maupun asam sulfat (H 2 SO 4 ). Menurut Goutara et al. (1985), mekanisme penggumpalan lateks diawali ketika partikel karet dalam cairan lateks diselubungi oleh protein sebagai stabilisator. Karena protein bermuatan maka partikel karet seolah-olah menjadi bermuatan sehingga akan saling tolak-menolak. Pada saat penambahan asam, berarti terjadi penambahan ion H + pada asam amino sehingga ph turun dan mencapai titik isoelektris yaitu ph dimana protein mempunyai muatan positif yang sama dengan muatan negatif sehingga akibatnya partikel karet akan saling mendekat dan menggumpal. Pembekuan atau koagulasi pada karet ini bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan) butiran-butiran karet yang terdapat pada cairan lateks agar menjadi suatu gumpalan (koagulum). Menurut Goutara et al. (1985), nilai ph isoelektris untuk penggumpalan lateks adalah 4,5-4,8 dengan zat pembeku yang direkomendasikan untuk digunakan adalah asam format 1-2% dan jumlahnya 350-370 ml/kg karet kering. Pada saat penambahan asam dilakukan pengadukan agar asam dapat tercampur merata dan buih yang timbul dihilangkan. Umumnya, proses pembekuan atau koagulasi dilakukan selama 2 jam. Setelah beku dilakukan penambahan air untuk mencegah lengketnya bekuan lateks dengan pembeku. Setelah karet menggumpal, karet kemudian diolah menjadi crepe dengan menggunakan creper. Prinsip pengolahan karet crepe adalah mengubah lateks segar dari kebun menjadi lembaran crepe melalui proses pembekuan, penggilingan, dan pengeringan. Analisis yang dilakukan pada karet crepe adalah Kadar Karet Kering (KKK). Kadar Karet Kering (KKK) merupakan parameter terukur yang menunjukkan persentase jumlah karet dalam lateks. Kadar karet kering dari lateks kebun yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 69,1 %. Pengukuran KKK ini menggunakan basis karet gumpalan (lumb). Dalam penelitian ini, lateks tidak diberi pengawet berupa amonia ataupun surfaktan sebagai penstabil karena lateks kebun langsung dibentuk menjadi crepe (karet padat) tanpa diberi perlakuan apapun. Umumnya, penambahan amonia dan surfaktan diberikan pada lateks yang pengolahannya masih dalam bentuk lateks cair. 4.1.2 Lindi Hitam Lindi hitam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari residu pirolisis cangkang kelapa sawit. Tabel 4 menunjukkan karakteristik dari lindi hitam tersebut. Tabel 4. Karakteristik Lindi Hitam Karakteristik Nilai Kadar padatan 21,64 % Kadar air 78,36 % ph 2 Kadar abu 0,03 % 4.1.3 Aspal Pen 60 Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal jenis pen 60. Aspal pen 60 yang akan digunakan terlebih dahulu diuji nilai titik lembeknya untuk mengetahui kemampuan aspal untuk melunak. Hasil pengujian titik lembek aspal pen 60 adalah sebesar 51 C dengan persyaratan berdasarkan SNI 06-2456-1991 dan SNI 06-2434-1991 pada rentang 48-58 C. 4.2 Degradasi Karet Menggunakan Lindi Hitam Proses degradasi karet alam dapat terjadi secara kimia dengan bantuan senyawasenyawa tertentu. Dalam penelitian ini digunakan lindi hitam karena diduga salah satu senyawa yang terdapat dalam lindi hitam dapat berperan sebagai senyawa kimia pendegradasi karet alam. Proses degradasi yang dilakukan pada karet ini juga memanfaatkan panas. Pemberian perlakuan panas ini bertujuan untuk mempercepat proses reaksi degradasi karet. Petrucci (1987) mengemukakan bahwa jika suhu dinaikkan, maka kalor yang diberikan akan menambah energi kinetik partikel pereaksi sehingga pergerakan partikel-partikel pereaksi makin cepat. Semakin cepat pergerakan partikel akan menyebabkan terjadinya tumbukan antar zat pereaksi semakin banyak, sehingga reaksi makin cepat. Dalam penelitian ini, dilakukan variasi perendaman selama 3 dan 5 jam. Pemberian variasi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa jumlah lindi hitam yang terserap semakin meningkat seiring dengan waktu reaksi. Dengan demikian, diharapkan semakin lama reaksi tersebut, jumlah lindi hitam yang terserap semakin meningkat sehingga degradasi yang terjadi pada karet pun semakin signifikan. Pemberian panas pada reaksi ini bertujuan agar reaksi terjadi semakin cepat sehingga jumlah lindi hitam yang terserap juga semakin meningkat

sehingga karet terdegradasi yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dalam hal sifat fisik jika dibandingkan dengan karet kontrol. Setelah proses degradasi selesai, dilakukan pengeringan terhadap karet untuk menguapkan sisa-sisa lindi hitam yang tidak terserap oleh karet. Dalam proses pengeringan ini, dilakukan variasi pada durasi pengeringan, yaitu pengeringan normal pada suhu 100 C hingga benar-benar kering, lalu ditambah 1 jam dan 2 jam. Variasi pada durasi pengeringan ini dilakukan untuk membuktikan bahwa nilai Plastisitas awal (Po) akan menurun seiring dengan penambahan durasi pengeringan. Plastisitas awal (Po) adalah plastisitas karet yang langsung diuji tanpa perlakuan khusus sebelumnya. Refrizon (2003) telah mengungkapkan bahwa umumnya pengeringan pada suhu tinggi dan waktu lama selalu akan menurunkan nilai Po dan Viskositas Mooney, karena pada suhu tinggi dan waktu lama terjadinya pemutusan molekul karet akan berlangsung lebih cepat. Setelah rangkaian proses degradasi selesai, dilakukan pengujian nilai Po dan pengujian terhadap jumlah lindi hitam yang diserap oleh karet. Pengukuran plastisitas awal (Po) dilakukan untuk mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap selama waktu dan suhu tertentu sedangkan pengujian jumlah lindi hitam yang diserap bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak lindi hitam yang diserap oleh karet sebagai indikator reaksi degradasi tersebut. Setelah dilakukan proses degradasi, karet padat selanjutnya dicampur dengan aspal. Pencampuran karet ke dalam aspal diawali dengan pemanasan aspal pada suhu 160-170 C. Pada suhu tersebut aspal mencair dengan sempurna. Aspal tersebut dipanaskan atau dicairkan pada wadah dengan volume aspal 2/3 volume wadah atau minimal 100 gram. Sebelum pencampuran, karet padat diperkecil ukurannya terlebih dahulu. Pengecilan ukuran ini bertujuan untuk memperluas bidang permukaan karet sehingga pencampuran antara aspal dengan karet dapat berlangsung dengan lebih cepat. 4.3 Pengaruh Degradasi Terhadap Jumlah Lindi Hitam yang Terserap oleh Karet Pada penelitian ini, salah satu indikator yang dikaji dari proses degradasi karet menggunakan lindi hitam adalah jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Pengujian jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak lindi hitam yang diserap oleh karet dan mengetahui trend penyerapan lindi hitam oleh karet pada variasi perlakuan yang dilakukan. Nilai plastisitas awal (Po) dari sampel dapat dilihat pada Gambar 7. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet berkisar antara 7,85 sampai 16,65 gram Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah membuat karet menyerap lindi hitam dengan trend yang semakin meningkat.

R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 7. Histogram Jumlah Lindi Hitam Terserap Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram pada Gambar 7, terlihat bahwa jumlah lindi hitam terserap yang tertinggi adalah 16,65 gram yaitu pada perlakuan waktu perendaman 7 jam. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal ditambah 1 jam dan 2 jam yaitu sebesar 7,83 gram. perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam terserap dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam dan 7 jam. Jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam dan 7 jam. Begitu pula dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam dan 5 jam. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan jumlah lindi hitam terserap yang semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam. Dengan demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet semakin meningkat. perlakuan variasi waktu pengeringan karet tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam

yang terserap oleh karet dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Begitu pula dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam terserap dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan uji lanjut Duncan, jika ditinjau dari jumlah lindi hitam terserap terlihat bahwa karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet R7K1 dan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet R7Kn dan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K2 tidak berbeda nyata dengan karet R7Kn dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5Kn tidak berbeda nyata dengan karet R5K1 dan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet R5Kn dan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan karet R5Kn dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3Kn tidak berbeda nyata dengan karet R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet R3Kn dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet R3Kn dan R3K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa terserapnya lindi hitam oleh karet menyebabkan karet menjadi semakin plastis. Semakin plastisnya karet ditunjukkan oleh nilai plastisitas awal (Po) karet yang telah terdegradasi yang nilainya telah turun jika dibandingkan dengan karet kontrol.

4.4 Pengaruh Degradasi Terhadap Nilai Plastisitas Awal Karet Plastisitas merupakan salah satu komponen analisis dari karet yang ikut menentukan mutu karet tersebut. Dalam pengukuran plastisitas karet, ada dua jenis plastisitas, yaitu plastisitas awal (Po) dan plastisitas akhir (Pa). Menurut Refrizon (2003), plastisitas awal (Po) dilakukan untuk mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap selama waktu dan suhu tertentu. Nilai Po ini secara tidak langsung juga menggambarkan panjang rantai molekul karet. Umumnya karet dengan nilai Po tinggi menunjukkan nilai bobot molekul yang tinggi. Nilai plastisitas awal (Po) dari sampel dapat dilihat pada Gambar 8. R0 : waktu perendaman 0 jam Kn : waktu pengeringan normal R3 : waktu perendaman 3 jam K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam R5 : waktu perendaman 5 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Gambar 8. Histogram Nilai Plastisitas Awal (Po) Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai plastisitas awal yang dihasilkan berkisar antara 19 sampai 28,5 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 61. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah membuat nilai plastisitas karet tersebut menurun secara signifikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai plastisitas tertinggi dari sampel yaitu 28,5 yang nilainya turun lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan nilai plastisitas awal kontrol. Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram di atas, terlihat bahwa nilai plastisitas karet terdegradasi yang tertinggi adalah 28,5 yaitu pada kombinasi perlakuan waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 5 jam dan waktu pengeringan 2 jam serta pada kombinasi waktu perendaman 7 jam dan waktu pengeringan 2 jam yaitu sebesar 19. perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap nilai

plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 3 jam, dan 7 jam Begitu pula dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 3 jam, dan 5 jam. Hasil pengujian plastisitas awal karet menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam sehingga secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka nilai plastisitas awalnya (Po) akan semakin rendah. Hal ini juga menggambarkan rantai molekul karet yang semakin pendek seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman. perlakuan variasi waktu pengeringan karet berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal dan waktu normal ditambah 2 jam. Begitu pula dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 2 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal dan waktu normal ditambah 1 jam. Hasil pengujian plastisitas awal karet menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan karet sehingga secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka nilai plastisitas awalnya (Po) akan semakin rendah. Hal ini juga menggambarkan rantai molekul karet yang semakin pendek seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan. menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan uji lanjut Duncan, dari nilai plastisitas awalnya (Po) terlihat bahwa karet kombinasi R0Kn, R3Kn dan R5Kn berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K1 dan R3K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R7Kn tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi

lainnya. Sementara itu, karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Demikian juga karet kombinasi R7K2 tidak berbeda nyata dengan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Dalam penelitian ini, nilai plastisitas awal (Po) karet hasil degradasi tidak dibandingkan dengan nilai plastisitas awal (Po) pada SNI (Standar Nasional Indonesia) karena tujuan utama penelitian ini adalah untuk menurunkan nilai Po seminimal mungkin agar dengan beberapa perlakuan agar rantai molekul karet semakin pendek, tetapi pada SNI, nilai plastisitas tidak diperbolehkan melebihi nilai minimal yang telah ditentukan. Semakin menurunnya nilai plastisitas awal karet juga dipengaruhi oleh jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Grafik hubungan antara jumlah lindi hitam yang terserap dengan nilai Po dapat dilihat pada Gambar 9. Dari grafik pada Gambar 9 tersebut terlihat bahwa nilai plastisitas awal (Po) semakin menurun seiring dengan meningkatnya jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet pada reaksi degradasi. Penurunan nilai Po ini dapat disebabkan karena karet yang semakin plastis ketika karet tersebut mampu menyerap lindi hitam dalam jumlah banyak. Gambar 9. Grafik Hubungan Jumlah Lindi Hitam Terserap dan Plastisitas Awal (Po) Proses degradasi karet menggunakan lindi hitam ini diduga karena peran dari dari ion fenoksida (C 6 H 5 O - ) yang terdapat pada fenol. Fenol merupakan senyawa yang bersifat sedikit asam. Oleh karena itu fenol lebih berkecenderungan untuk melepas ion H + dan membentuk fenoksida (C 6 H 5 O - ) yang lebih larut dalam air. Ion fenoksida yang dihasilkan cukup reaktif dan dapat menarik salah satu atom H yang terdapat pada polimer karet terutama menyerang ikatan karbon rangkap, sehingga dihasilkan radikal bebas isoprena yang aktif. Radikal bebas pada molekul isoprena tersebut mudah bereaksi dan berikatan dengan oksigen yang ada dalam karet dan membentuk molekul yang tidak stabil hingga mengalami reaksi autooksidasi sampai terjadi pemutusan ikatan. Pada akhir reaksi pemutusan, terbentuk gugus karbonil. Gugus karbon aktif yang dihasilkan langsung bereaksi dengan gugus aktif dari reduktor yang dihasilkan gugus karbonil yang tidak bermuatan. Gugus karbon yang dihasilkan memiliki gugus ujung berupa

keton dan aldehid. Mekanisme proses degradasi karet menggunakan fenol melalui reaksi autooksidasi terdapat pada Gambar 10. Gambar 10. Mekanisme Reaksi Pemutusan Rantai Poliisopren Melalui Autooksidasi (Roberts, 1988) Nilai plastisitas awal (Po) yang semakin turun ini juga menyebabkan proses pencampuran antara karet dengan aspal menjadi semakin cepat. Grafik hubungan antara waktu pencampuran aspal dan karet dengan Po dapat dilihat pada Gambar 11. Hal ini membuktikan bahwa semakin pendek rantai molekul karet, maka pencampuran antara karet dengan aspal pun semakin cepat karena bobot molekul antara karet dengan aspal semakin mendekati kesetaraan. Semakin memendeknya rantai molekul karet dapat ditandai dengan menurunnya nilai plastisitas awal (Po) dari karet.

R0 : waktu perendaman 0 jam R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 11. Grafik Hubungan Po dan Waktu Pencampuran Aspal dengan Karet 4.5 Pengaruh Degradasi Terhadap Titik Lembek Aspal Termodifikasi Titik lembek aspal atau titik leleh aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk pengerasan jalan. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil jika nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek sampel dapat dilihat pada histogram nilai titik lembek (Gambar 12). Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai titik lembek yang dihasilkan berkisar antara 58 sampai 61 C dengan nilai titik lembek awal kontrol sebesar 62 C. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah berhasil membuat nilai titik lembek karet tersebut menurun. Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram tersebut, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang tertinggi adalah 61 C yaitu pada kombinasi perlakuan waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 5 jam dan waktu pengeringan normal serta pada kombinasi waktu pengeringan 5 jam dan waktu pengeringan normal ditambah 2 jam yaitu sebesar 59 C.

R0 : waktu perendaman 0 jam R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 12. Histogram Nilai Titik Lembek perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari aspal termodifikasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam dan 3 jam. Begitu pula dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam dan 3 jam. Hasil pengujian titik lembek aspal termodifikasi menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam. Dengan

demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka nilai titik lembek dari campuran aspal karetnya akan semakin rendah. perlakuan variasi waktu pengeringan karet berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari karet aspal termodifikasi. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 1 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 1 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal dan waktu pengeringan normal ditambah 1 jam. Hasil pengujian titik lembek aspal termodifikasi menunjukkan nilai titik lembek yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan karet. Dengan demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka nilai titik lembek dari campuran aspal karetnya akan semakin rendah. menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari karet aspal termodifikasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan uji lanjut Duncan, dari nilai titik lembeknya terlihat bahwa karet kombinasi R0Kn, R3Kn, dan R7K2 berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K2 dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R7Kn, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K2, R7Kn, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R5K2, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Dan karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R5K2, dan R7Kn tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa nilai titik lembek akan semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman dan waktu pengeringan karet. Hal

demikian juga berlaku pada nilai plastisitas awal (Po) yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman dan pengeringan. Grafik hubungan antara nilai Po dengan titik lembek dapat dilihat pada Gambar 13. R0 : waktu perendaman 0 jam R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 13. Grafik Hubungan Po dan Titik Lembek Aspal Termodifikasi Pada grafik pada Gambar 13 terlihat bahwa secara umum titik lembek semakin turun seiring dengan penurunan nilai plastisitas awal (Po). Hal ini dapat disebabkan karena karet akan semakin plastis ketika nilai plastisitasnya semakin turun. Ketika karet tersebut dicampur dengan aspal, keplastisitasan karet ini juga akan mempengaruhi campuran aspal-karet walaupun tidak drastis karena karet hanya dicampurkan 3% dari total bobot aspal. Dengan demikian, aspal termodifikasi tersebut menghasilkan nilai titik lembek yang semakin turun. Perlakuan yang terbaik dari penelitian ini adalah pada kombinasi karet R7K2 yaitu karet dengan perendaman dalam lindi hitam selama 7 jam dan pengeringan normal ditambah 2 jam. Pada jenis kombinasi karet tersebut, nilai Po merupakan nilai yang terendah. Nilai Po yang terendah mengindikasikan rantai molekul karet yang terpendek dari semua sampel dan hal ini juga menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki rantai molekul karet terpendek. Jenis karet tersebut juga memiliki waktu pencampuran antara karet dengan aspal yang terendah, yaitu selama 349 menit. Waktu pencampuran ini kurang dari sepertiga jika dibandingkan dengan waktu pencampuran karet kontrol dengan aspal. Sementara pada aspek titik lembek, walaupun memiliki titik lembek yang terendah, yaitu 58 C, nilai titik lembek dari aspal termodifikasi ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai titik lembek aspal polimer sesuai SNI yaitu 56 C.

Dalam proses pencampuran antara aspal dengan karet, proses yang terjadi adalah proses secara fisik tanpa ada proses pencampuran secara kimiawi. Gambar 14 menunjukkan ilustrasi komposisi dari aspal minyak. Ilustrasi ini juga merepresentasikan aspal minyak jenis pen 60 yang digunakan dalam penelitian ini. Gambar 14. Ilustrasi Komposisi Aspal Minyak (Sentosa, 2010) Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa aspal minyak semi padat yang dipakai memiliki komponen penyusun seperti aspalten, resin, dan minyak. Selanjutnya apabila aspal dipanaskan, minyak dari aspal tersebut akan keluar dan aspal mencair. Proses pemanasan ini juga membuat jarak antar partikel aspal menjadi renggang. Pada saat partikel aspal menjadi renggang, partikel karet akan masuk ke dalam ruang-ruang partikel aspal dan menyerap minyak yang ada pada aspal sehingga karet mengembang. Partikel karet tersebut mengisi ruang-ruang partikel aspal sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan menjadi lebih padat dan keras.