AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

dokumen-dokumen yang mirip
ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

ESTIMASI KETERSEDIAAN BIBIT SAPI POTONG DI PULAU SUMATERA

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

DINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMONA UTARA KABUPATEN POSO

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR

J. M. Tatipikalawan dan S. Ch. Hehanussa Staf Fakultas Pertanian Unpatti Ambon ABSTRACT

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

KAJIAN MENGURANGI KEMATIAN ANAK DAN MEMPERPENDEK JARAK KELAHIRAN SAPI BALI DI PULAU TIMOR

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

SEBARAN POPULASI DAN POTENSI KERBAU MOA DI PULAU MOA KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

NATURAL INCRESAE SAPI BALI DI WILAYAH INSTALASI POPULASI DASAR PROPINSI BALI

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU PROPINSI SULAWESI SELATAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

Tabel 1. Komponen teknologi introduksi pengkajian No. Jenis kegiatan Teknologi Ukuran/dosis penggunaan 1. Perbibitan sapi Kandang : Ukuran sesuai juml

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

RILIS HASIL PSPK2011

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

Estimasi Output Sapi Potong di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

ROAD MAP PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI KERBAU Kegiatan Pokok

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam

KAJIAN MENGURANGI ANGKA KEMATIAN ANAK DAN MEMPERPENDEK JARAK KELAHIRAN SAPI BALI DI PULAU TIMOR. Ati Rubianti, Amirudin Pohan dan Medo Kote

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sebesar ekor

Pengamatan Sifat-sifat yang Mempunyai Nilai Ekonomi Tinggi pada Sapi Bali di Kota Mataram

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

I. PENDAHULUAN. mengandangkan secara terus-menerus selama periode tertentu yang bertujuan

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

BAB III METODE PENELITIAN. bahwa Kabupaten Kendal merupakan salah satu kabupaten yang memiliki

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI

Transkripsi:

109 DINAMIKA POPULASI TERNAK KERBAU DI LEMBAH NAPU POSO BERDASARKAN PENAMPILAN REPRODUKSI, OUTPUT DANNATURAL INCREASE Marsudi 1), Sulmiyati 1), Taufik Dunialam Khaliq 1), Deka Uli Fahrodi 1), Nur Saidah Said 1), Rahmaniah H.M 1) 1)Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Sulawesi Barat ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi dan struktur populasi ternak kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso dan kemungkinan pengembangannya dengan membuat data stimulasi fisik dengan mengacu pada koefien teknis yang antara lain mengamati penampilan reproduksi dan mencari jumlah natural increase serta out put ternak (jumlah ternak yang dikeluarkan dan dipotong). Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode survei. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer yaitu dikumpulkan melalui pengamatan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampilan reproduksi terlihat umur kawin jantan 2,53 tahun dan kawin betina 3,21 tahun; jumlah perkawinan 1 kali; umur penyapihan 12 bulan; panen pedet 94,32%; umur beranak 4,21; jarak beranak (calving interval) 22,75 bulan; masa kosong 16,75 bulan; batas pemeliharan jantan 9,20 bulan; dan betina 15,80 bulan. Persentase Kelahiran Kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 21,54% terhadap populasi dengan kematian ternak 3,08% ; nilai pertambahan alami (natural increase) sebesar 33,25% serta out put ternak 30,67%. Kata Kunci : Kerbau, Reproduksi, Natural increase, Output, Napu Pendahuluan Ternak kerbau yang berkembang di Indonesia adalah kerbau sungai dan kerbau lumpur. Daya adaptasi kerbau sangat tinggi, sebagaimana terlihat dari penyebaran kerbau yang luas. Secara visual perkembangan kerbau di Indonesia menyebar di segala agroekosistem yang ada. Kerbau berkembang di daerah iklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian subur di Pulau Jawa, lahan rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari Asahan sampai Sumatera Selatan. Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara, Tengger dan sampai dataran rendah di pinggir laut seperti Banten, Tegal, Bengkulu dan Brebes, bahkan tanpa diurus, di Cagar Alam Baluran populasi kerbau mengalahkan perkembangan Banteng. Dari sisi etnik dan agama juga tidak ada penghalang, karena kerbau begitu tinggi nilainya bagi budaya masyarakat Minang, Batak, Toraja dan beberapa suku lain di Sulawesi Tengah, NTB dan NTT. Dengan demikian pengembangan usaha

110 peternakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau sangat luas hampir seluruh agrosistem dan sosiobudaya yang ada (Triwulanningsih, 2007). Ternak kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia besar sebagai sumber protein hewani yang juga merupakan komoditas berpotensi untuk dikembangkan berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi di Lembah Napu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Ternak kerbau yang berada di Sulawesi Tengah dikenal dengan nama kerbau Napu dan Tedong Bonga yang sebenarnya termasuk dalam bangsa kerbau lumpur. Penyebaran ternak kerbau terbanyak dengan melihat data populasi ternak se Sulawesi Tengah yaitu di Kabupaten Poso. Kenaikan populasi kerbau di Kabupaten Poso disebabkan karena pengeluaran dan pemotongan ternak yang ditekan serendah mungkin, adanya kelahiran setiap tahunnya dan pemasukan ternak yang terjadi pada 2 tahun terakhir. Populasi ternak kerbau di Lembah Napu pada Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Timur dan Kecamatan Lore Peore secara berurutan sebesar (230, 288 dan 38) ekor. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak, khususnya ternak kerbau adalah dengan pengendalian pemotongan dan importasi, pencegahan penyakit atau kematian serta peningkatan produktivitas ternak (Hardjosubroto dan Sudiono, 1975; Toelihere, 1993). Salah satu aspek penting yang dapat dijadikan acuan dalam pembinaan dan penentuan kebijakan pengendalian populasi ternak kerbau di Sulawesi Tengah khususnya di Lembah Napu Kabupaten Poso adalah dengan mengetahui penampilan reproduksi kerbau untuk menentukan tingkat natural increase dan output ternak kerbau sehingga tetap terjadi keseimbangan populasi yang diinginkan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dilakukan satu kajian tentang penampilan reproduksi ternak kerbau di lembah Napu Kabupaten Poso, untuk mengetahui tingkat natural increase dan output. Materi metode Penelitian dilaksanakan di daerah Lembah Napu pada tiga Kecamatan (Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Timur, dan Kecamatan Lore Peore) Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Materi penelitian adalah petani peternak yang memelihara ternak Kerbau yang tersebar di tiga Kecamatan. Pengambilan data di tiga Kecamatan di Lembah Napu, masing-masing Kecamatan di ambil tiga desa sampel yang disusun secara ordinal menurut kepadatan ternak. Tiap Kecamatan di ambil 3 Desa sampel berdasarkan kepadatan populasi tinggi, sedang dan rendah, maka diambil 9 Desa sampel yaitu

111 Kecamatan Lore Utara terdiri dari Desa Sedoa, Desa Wuasa dan Desa Kaduwaa; Kecamatan Lore Timur terdiri dari Desa Winowanga, Desa Tawa Due dan Desa Maholo; dan Kecamatan Lore Peore terdiri dari, Desa Wanga, Desa Watutau dan Talabosa. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode survei (survey method) untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari hasil wawancara dengan peternak sedangkan data sekunder diambil dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Poso. Variabel yang diamati adalah penampilan reproduksi dan komposisi ternak kerbau meliputi populasi kerbau, angka kelahiran, dan angka kematian. Data yang diperoleh ditabulasi sesuai dengan kebutuhan kemudian dianalisis. Adapun data yang dianalisis adalah: 1. Analisis Natural Increase Kebutuhan data untuk perhitungan natural increase adalah persentase betina terhadap populasi, persentase kelahiran, persentase kematian anak maupun ternak kerbau muda (Hardjosubroto, 1987). NI = % kelahiran per tahun - % kematian per tahun 2. Temak Pengganti (Replacement Stock) Replacement Stock diperoleh dari perhitungan data dan pola pengembangbiakan ternak dan persentase kematian. 3. Out put Ternak Data out put ternak diperoleh dengan menggunakan rekaan komposisi berdasarkan kelompok umur, dengan rumus Out put ternak = sisa replacement - target kenaikan populasi ternak di Desa. 4. Koefisien teknis yang digunakan dihitung dengan rumus : Jumlah anak yang lahir per tahun Kelahiran(%) Jumlah induk dalam populasi per tahun x100% Kematian anak (%)(0-6bulan) Jumlah anak yang mati per tahun Jumlah yang lahir per tahun x100% Kematian muda (%)(6-24bulan) Jumlah anak yang mati per tahun Jumlah yang lahir per tahun x100% Kematian dewasa (%)( 24 bulan) Jumlah dewasa yang mati per tahun Jumlah populasidewasaper tahun x100%

112 Hasil dan pembahasan Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lembah Napu mempunyai luas wilayah 2712,94 km 2, terletak pada ketinggian rata-rata 1200 meter dari permukaan laut (mdpl). Dengan luas dataran 262, 35%, perbukitan 8,85% dan pegunungan 28,80% terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu : Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Timur dan Kecamatan Lore Peore. Yang masing-masing letak geografisnya seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Letak Geografi dan Luas Wilayah Lembah Napu Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah No Kecamatan Luas Wilayah (km 2 ) Batas Wilayah 1. 2. Lore Utara Lore Timur 864,61 423,87 - Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Donggala - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Lore Peore - Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Lore Timur - Sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Sigi Biromaru 3. Lore Peore - Sebelah Utara berbatasan dengan Kec 327,87 Poso Pesisir Utara - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Lore Peore - Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Poso Pesisir Selatan - Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Lore Utara - Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Lore Utara - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Lore Tengah - Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Lore Timur - Sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Donggala Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso, 2008 Dengan keadaan iklim diwilayah Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh dua musim secara tetap yaitu musim barat yang kering yang ditandai dengan kurangnya turun hujan dan terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Maret dan musim timur yang banyak membawa uap air yang ditandai dengan banyaknya curah hujan dan terjadi pada bulan April sampai bulan September. Curah hujan sangat bervariasi antara 17,7 456,8 mm/tahun.

113 Penampilan Reproduksi Data penampilan reproduksi kerbau baik pengelolaan reproduksi maupun biologi reproduksi disajikan pada Tabel 2. Rata-rata umur kerbau jantan dikawinkan pertama kalinya adalah 2,53 ± 0,14 tahun dan umur paling tua dipelihara 9,20 ± 0,43 tahun, hal tersebut menunjukkan bahwa untuk kepentingan pembiakan kerbau jantan hanya digunakan sekitar 9 tahun. Kemajuan ilmu pengetahuan mengakibatkan fungsi pejantan sudah dibatasi untuk kawin alam melalui inseminasi buatan, namun sistem perkawinan kerbau di Lembah Napu, sistem perkawinan didominasi oleh kawin alam (INKA). Rata-rata umur perkawinan kerbau jantan dan betina yang dilakukan di Lembah Napu masingmasing 2,53 ± 0,14 tahun dan 3,21 ± 0,16 tahun. Umur pertama kali kerbau dikawinkan yang sudah tua lebih diutamakan karena tidak dilakukannya sistem penyapihan, sehingga tanda-tanda estrus tidak dapat teramati. Jumlah perkawinan per kebuntingan (service per conception) di Lembah Napu sangat baik yaitu 1,00 ± 0,00 kali. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan sistem perkawinan alam dan peternak kerbau yang sudah berpengalaman. Tabel 2. Pengelolaan dan biologi reproduksi kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso Uraian Rata-rata ± Standar Error A. Pengelolaan Reproduksi 1. Umur pertama kali di kawinkan (tahun) a. Jantan 2,53 ± 0,14 b. Betina 3,21 ± 0,16 2. Jumlah perkawinan/perkebuntingan (kali) 1,00 ± 0,00 3. Batas umur pemeliharaan (tahun) a. Jantan 9,20 ± 0,43 b. Betina 15,80 ± 0,61 4. Umur penyapihan ternak (bulan) 12,00 ± 0,00 5. Panen pedet (%) 94,32 ± 4,63 B. Biologi Reproduksi 1. Umur pertama kali beranak (tahun) 4,21 ± 0,16 2. Persen kelahiran (%) a. Terhadap induk 36,84 b. Terhadap populasi 21,54 3. Rasio kelahiran (%) a. Jantan 45,24 b. Betina 54,76 4. Jarak beranak (bulan) 22,75 ± 1,89 5. Masa kosong (bulan) 16,75 ± 1,89 Umur kerbau betina dikawinkan pertama kali adalah 3,21 ± 0,16 tahun dan dipelihara sampai batas umur 15,80 ± 0,61 tahun,

114 dengan demikian kerbau betina dapat beranak lebih kurang enam kali selama pembiakan, hal tersebut dapat diperhitungkan dengan melihat data induk melahirkan pertama pada umur rata-rata 4,21 ± 0,16 tahun dengan jarak beranak 22,75 ± 1,89 bulan. Pengusahaan perkawinan sedini mungkin dapat meminimumkan rata-rata umur tetua pada saat anaknya dilahirkan. Warwick dkk. (1995) menyatakan bahwa untuk meminimumkan interval generasi pada tiap spesies yakni dengan pengelolaan yang mengusahakan reproduksi pada umur semuda mungkin, dan memaksimumkan jumlah anak yang dibesarkan tiap kelahiran. Jarak beranak (calving interval) yang diperoleh dalam penelitian ini sangat tinggi yaitu 22,75 ± 1,89 bulan. Tingginya calving interval yang diperoleh oleh karena masa kosong yang diperoleh dalam penelitian juga tinggi yakni 16,75 ± 1,89 bulan. Rasio persentase kelahiran pedet di Lembah Napu adalah 45,24% untuk cempe jantan dan 54,76% untuk kelahiran pedet betina. Panen pedet dalam penelitian ini dihitung dari jumlah keturunan atau pedet umur sapihan (12 bulan) yang dihasilkan dalam setahun dibagi dengan populasi induk dan dikalikan dengan 100%. Sumadi (1993) menyatakan bahwa intensitas seleksi akan semakin besar apabila panen pedet dapat ditingkatkan. Struktur Populasi Struktur populasi kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Struktur populasi kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso Komposisi Persentase 1. Dewasa a. Jantan 11,28 (9,20)* b. Betina 58,46 (15,80)* 2. Muda a. Jantan 2,56 b. Betina 6,15 3. Anak a. Jantan 9,74 b. Betina 11,79 * Angka dalam kurung menunjukkan umur rata-rata Struktur populasi kerbau di Lembah Napu terdiri atas; jantan dewasa 11,28%, betina dewasa 58,46% (1 : 5,18), Jantan muda 2,56%, betina muda 6,15% (1 : 2,40), pedet jantan 9,74% dan pedet betina 11,79% (1:1,21), atau dapat diperhitungkan dari total populasi diperoleh komposisi kerbau jantan 23,59% dan betina 76,41% (1 : 3,24). Diperoleh umur rata-rata kerbau yang dipelihara untuk jantan

115 dewasa 9,20 tahun sedang betina dewasa 15,80 tahun. Komposisi pedet jantan lebih rendah dibandingkan dengan pedet betina, hal tersebut diakibatkan karena kelahiran pedet jantan lebih rendah dibanding pedet betina (45,24% : 54,76%). Selanjutnya selisih antara populasi kerbau jantan dan kerbau betina berbeda, hal ini berbeda diakibatkan jumlah kelahiran kerbau jantan lebih rendah dibanding kelahiran kerbau betina. Pertambahan Populasi Alami (natural increase) Perhitungan natural increase disajikan pada Tabel 4. Natural increase diperoleh dengan mengurangkan tingkat kelahiran dengan tingkat kematian dalam suatu wilayah tertentu dan waktu tertentu yang biasanya diukur dalam jangka waktu satu tahun. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa kelahiran pedet terhadap betina dewasa di Lembah Napu adalah 36,84%. Persentase kelahiran yang diperoleh dalam penelitian ini sangat rendah, hal tersebut disebabkan karena induk-induk yang ada belum beranak waktu diadakan observasi dan adanya induk muda yang baru masuk dalam pembiakan. Natural increase dalam penelitian ini yang diperoleh di Lembah Napu Kabupaten Poso sebesar 33,25%. Untuk lebih meningkatkan nilai natural increase adalah dengan cara mempertahankan betina-betina produktif dan mengeluarkan betina yang tidak produktif, terutama betina tua dengan umur pemeliharaan diatas lima belas tahun atau yang telah melahirkan enam atau tujuh kali. Warwick dkk. (1995) menyatakan bahwa seekor ternak dapat merugikan apabila ternak yang jelek yang dipertahankan untuk waktu yang lebih lama. Hal ini dapat memperpanjang interval generasi dan mungkin menurunkan kemajuan total/tahun dari seleksi untuk beberapa sifat. Tabel 4. Perhitungan pertambahan populasi alami (natural increase) kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso No Uraian Rata-rata 1. Persentase ternak betina dewasa (%) 58,46 2. Kelahiran pedet (%) a. Terhadap betina dewasa 36,84 b. Terhadap populasi 21,54 3. Kematian ternak (%) 3,59 4. Natural increase 33,25 Pengeluaran (Out put) Ternak Secara rinci komposisi out put ternak kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa natural increase untuk jantan umur dua tahun sebesar

116 14,96% dan betina 18,12%, sedang kebutuhan ternak pengganti untuk jantan hanya sebesar 0,62%. Rendahnya persentase ternak pengganti tiap periode oleh karena dari total populasi kerbau jantan yang ada hanya sekitar 23,59% yang digunakan dalam pembiakan, atau sekitar 1,23% selama dua tahun, sedang persentase ternak betina muda yang digunakan sebagai ternak pengganti sebesar 5,69%. Komposisi out put kerbau yang diperoleh di Lembah Napu sebesar; kerbau muda jantan 14,34%, kerbau muda betina 12,43% kerbau dewasa yang tidak digunakan lagi dalam pembiakan adalah; kerbau jantan 0,61% dan kerbau betina 3,29%, dengan demikian total out put kerbau di Lembah Napu sebesar 30,67% atau sebesar 56 ekor. Hardjosubroto (1992) menyatakan bahwa komposisi out put ternak tergantung dari berapa persen ternak yang harus disingkirkan dan diganti dari ternak yang baru, yang diambilkan dari ternak muda. Dijelaskan pula bahwa dalam suatu wilayah, apabila pengeluaran ternak sama dengan natural increase-nya maka populasi ternak akan tetap seimbang, sebab itu dapat dikatakan bahwa out put ternak dalam suatu wilayah adalah sama dengan natural increase-nya. Dengan melihat pertambahan populasi kerbau di Lembah Napu sebesar 21,54% per tahun maka rata-rata out put ternak dari wilayah tersebut adalah 27,08%. Jika dilihat dari persentase betina muda umur dua tahun yang tersedia maka target peningkatan populasi ini tidak dapat dicapai. Secara kuantitas out put ternak di Lembah Napu telah baik, oleh karena keseimbangan antara ternak yang digunakan sebagai bibit dan ternak yang dikeluarkan masih seimbang sehingga tidak mempengaruhi keseimbangan populasi. Tabel 5. Out put kerbau di Lembah Napu Kabupaten Poso No Uraian Persentase Ekor 1. Natural increase umur 2 tahun a. Jantan 14,96 29 b. Betina 18,12 35 2. Ternak pengganti a. Jantan 0,62 1 b. Betina 5,69 11 3. Komposisi out put a. kerbau muda jantan 14,34 26 b. kerbau muda betina 12,43 23 c. kerbau tua jantan 0,61 1 d. kerbau tua betina 3,29 6 Total out put 30,67 56

117 Kesimpulan Penampilan reproduksi ternak kerbau di Lembah Napu umur kawin jantan 2,53 tahun dan kawin betina 3,21 tahun; jumlah perkawinan 1 kali; umur penyapihan 12 bulan; panen pedet 94,32%; umur beranak 4,21; jarak beranak (calving interval) 22,75 bulan; masa kosong 16,75 bulan; batas pemeliharan jantan 9,20 bulan; dan betina 15,80 bulan. Nilai natural increase sebesar 33,25% dan Out put ternak 30,67% dimana produksi sangat dipengaruhi oleh struktur populasi, persentase kelahiran yang tinggi dengan persentase kematian yang rendah dan pola pembiakan ternak. Daftar pustaka BPS. Kabupaten Poso. 2008. Kabupaten Poso Dalam Angka. Katalok BPS : 1403.7204. Hardjosubroto, W dan G. Sudiono. 1975. Tatalaksana Reproduksi Sapi PO. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hardjosubroto, W. 1987. Metode Penentuan Output Ternak yang Dapat Dipotong dari Suatu Wilayah (DIY). Laporan Penelitian. Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi Direktorat Binlitabmas,. Ditjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hardjosubroto, W. 1992. Pola Pembiakan dan Out put sapi Potong, DPPM, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sumadi, 1993. Seleksi Bobot Sapih pada Sapi Daging di Ladang Ternak. Disertasi Program Doktor Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Toelihere, M. R., 1993. Rangkaian Study Tentang Berbagai Aspek Reproduksi Pada Ternak Sapi Bali di Pulau Timor, NTT, Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta. Triwulanningsih E. 2007. Inovasi Teknologi Untuk Mendukung Pengembangan Ternak Kerbau. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Bogor. Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Ilmu Pemuliaan Ternak. Ed ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.