4 PENDEKATAN RANCANGAN. Rancangan Fungsional

dokumen-dokumen yang mirip
IV. ANALISA PERANCANGAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENGUJIAN MODEL METERING DEVICE PUPUK

IV. PENDEKATAN PERANCANGAN

Lampiran 1 Prosedur Pengukuran Massa Jenis Pupuk

ANALISA PERANCANGAN. Maju. Penugalan lahan. Sensor magnet. Mikrokontroler. Motor driver. Metering device berputar. Open Gate

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancangan Prototipe Mesin Pemupuk

ANALISIS KEBUTUHAN TORSI DAN DESAIN PENJATAH PUPUK BUTIRAN TIPE EDGE-CELL UNTUK MESIN PEMUPUK JAGUNG ANNISA NUR ICHNIARSYAH

IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN B. DESAIN FUNGSIONAL

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Simulasi putaran/mekanisme pisau pemotong tebu (n:500 rpm, v:0.5 m/s, k: 8)

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan

Mulai. Studi Literatur. Gambar Sketsa. Perhitungan. Gambar 2D dan 3D. Pembelian Komponen Dan Peralatan. Proses Pembuatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TEORI PERHITUNGAN. Data data ini diambil dari eskalator Line ( lampiran ) Adapun data data eskalator tersebut adalah sebagai berikut :

IV. PENDEKATAN DESAIN

V.HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDEKATAN RANCANGAN Kriteria Perancangan Rancangan Fungsional Fungsi Penyaluran Daya

SISTEM MEKANIK MESIN SORTASI MANGGIS

Perbaikan Desain Mesin Penanam dan Pemupuk Jagung Bertenaga Traktor Tangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Antiremed Kelas 10 Fisika

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

Antiremed Kelas 10 Fisika

BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Transmisi 2.2 Motor Listrik

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

2.1 Pengertian Umum Mesin Pemipil Jagung. 2.2 Prinsip Kerja Mesin Pemipil Jagung BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. c) Untuk mencari torsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Konstruksi Mesin Pengupas Kulit Kentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perancangan yaitu tahap identifikasi kebutuhan, perumusan masalah, sintetis, analisis,

JURNAL RONA TEKNIK PERTANIAN ISSN :

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan 2.2 Motor 2.3 Reducer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

Pengolahan lada putih secara tradisional yang biasa

Hopper. Lempeng Panas. Pendisribusian Tenaga. Scrubber. Media Penampung Akhir

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

RAMGANG BANGUN ALAT PEWAMAM DAN PEMUPUK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai motor penggerak utama Forklift ini digunakan mesin diesel 115

II. TINJAUAN PUSTAKA

4 PENDEKATAN RANCANGAN

Jumlah serasah di lapangan

BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN

ALAT DAN MESIN PEMUPUKAN TANAMAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Efisiensi Turbin Vortex Dengan Casing Berpenampang Lingkaran Pada Sudu Berdiameter 56 Cm Untuk 3 Variasi Jarak Sudu Dengan Saluran Keluar

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN BAGIAN BAGIAN CONVEYOR

UJI PERFORMANSI DAN KENYAMANAN MODIFIKASI ALAT PENGEBOR TANAH MEKANIS UNTUK MEMBUAT LUBANG TANAM ARIEF SALEH

BAB II LANDASAN TIORI

3. METODE PENELITIAN

BAB IV PROSES, HASIL, DAN PEMBAHASAN. panjang 750x lebar 750x tinggi 800 mm. mempermudah proses perbaikan mesin.

III. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TRANSMISI RANTAI ROL

DESAIN DAN UJI KINERJA PENJATAH PUPUK UNTUK MESIN PEMUPUKAN KELAPA SAWIT DIMA ABDILLAH IRFANSYAH

Evaluasi Sistem Penggerak dan Modifikasi Mesin Penanam Jagung Bertenaga Traktor Tangan

SOAL TRY OUT FISIKA 2

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Analisis Kebutuhan Daya Diketahui: Massa silinder pencacah (m)

TRANSMISI RANTAI ROL 12/15/2011

PROTOTYPE PERANCANGAN PEMINDAH DAYA PADA TURBIN PELTON

LAMPIRAN. Mulai. Dipasang pulley dan v-belt yang sesuai. Ditimbang kelapa parut sebanyak 2 kg. Dihidupkan mesin pemeras santan sistem screw press

TUJUAN PEMBELAJARAN. 3. Setelah melalui penjelasan dan diskusi. mahasiswa dapat mendefinisikan pasak dengan benar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

GESER LANGSUNG (ASTM D

Pertemuan ke-12. A.Tujuan Instruksional 1. Umum Setelah mengikuti matakuliah ini mahasiswa

Contoh Soal dan Pembahasan Dinamika Rotasi, Materi Fisika kelas 2 SMA. Pembahasan. a) percepatan gerak turunnya benda m.

PENGARUH PROFIL POROS PENGGERAK TERHADAP GERAKAN SABUK DALAM SUATU SISTEM BAN BERJALAN. Ishak Nandika G., Adri Maldi S.

BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Maret 2013

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL...iii. DAFTAR GAMBAR...iv. DAFTAR LAMPIRAN...vi PENDAHULUAN...1

Presentasi Tugas Akhir

BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN. Mulai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SOAL DINAMIKA ROTASI

dan kurangnya peran mekanisasi pertanian pada proses produksi. Sejalan dengan

RANCANG BANGUN MESIN PEMERAS KOPRA DENGAN KAPASITAS 3 LITER/JAM

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III ANALISA PERHITUNGAN

DRAFT PATENT LINTASAN RANTAI BERBENTUK SEGITIGA PYTHAGORAS PADA ALAT PEMBANGKIT ENERGI MEKANIK DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI POTENSIAL AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PERANCANGAN DAN PABRIKASI PROTOTIPE PENGUPAS KULIT SINGKONG BERPENGGERAK MOTOR LISTRIK

Rancang Bangun dan Uji Kinerja Dinamometer Tipe Rem Cakram

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

Transkripsi:

25 4 PENDEKATAN RANCANGAN Rancangan Fungsional Analisis pendugaan torsi dan desain penjatah pupuk tipe edge-cell (prototipe-3) diawali dengan merancang komponen-komponen utamanya, antara lain: 1) hopper, 2) rotor, dan 3) penjatah pupuk. Penjatah pupuk baru diharapkan membutuhkan torsi putar yang lebih rendah dari model yang telah ada dan memiliki akurasi yang tinggi. Hopper Hopper atau kotak pupuk berfungsi untuk menampung pupuk sebelum masuk ke dalam ruang penjatahan. Selain itu, bentuk hopper dirancang agar pupuk mengalir ke ruang penjatahan sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, kemiringan hopper diperhitungkan agar tidak ada pupuk yang tertinggal di dinding-dinding hopper. Kemiringan hopper agar pupuk mengalir dengan baik ke dalam penjatah pupuk adalah lebih besar dari sudut curah pupuk. Posisi hopper berada di bagian atas penjatah pupuk sehingga pupuk yang berada di hopper akan langsung memasuki ruang penjatah saat mesin dijalankan. Rotor Rotor berfungsi untuk menyalurkan tenaga putar dari motor AC variable speed kemudian menggunakan tenaga putar tersebut untuk memutar penjatah pupuk. Kecepatan putar dari mesin disalurkan dengan bantuan sproket dan rantai. Kecepatan putar yang tinggi dari mesin dapat diperkecil dengan mengubah jumlah gigi pada sproket sehingga diperoleh kecepatan putar rotor yang diinginkan. Penjatah Pupuk Penjatah pupuk berfungsi untuk membawa pupuk dari hopper menuju saluran pupuk dan mengatur volume penjatahan pupuk sesuai dengan dosis yang direncanakan. Alternatif komponen yang dapat diberikan antara lain menggunakan tipe penjatah pupuk yang sesuai dan mengatur pengambilan volume pupuk dari hopper untuk disalurkan ke saluran pengeluaran pupuk. Tipe penjatah pupuk yang digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu adalah penjatah pupuk tipe agitator feed. Penggunaan penjatah pupuk tipe agitator feed masih menghasilkan dosis pemupukan yang kurang memuaskan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan digunakan penjatah pupuk tipe rotor bercelah (edge-cell). Pengaturan volume pengambilan pupuk dapat diatur melalui beberapa pilihan antara lain: 1) mekanisme penutup dasar hopper tipe geser dan 2) mekanisme silinder penutup celah rotor tipe geser. Dari kedua jenis pengatur volume pengambilan pupuk tersebut, mekanisme silinder penutup celah rotor tipe geser dipilih karena mudah pembuatan dan pengaplikasiannya pada alat dibandingkan dengan tipe satunya. Silinder penutup celah rotor tipe geser ini dibuat agar dapat menutup ruang rotor sebanyak 50 dan 75%.

26 Sumber tenaga gerak penjatah pupuk berasal dari pergerakan rotor. Pada saat rotor memutar penjatah pupuk, pupuk yang berasal dari hopper masuk ke dalam celah penjatah dan kemudian dikeluarkan oleh saluran pupuk. Seringkali pupuk yang masuk ke dalam celah penjatah terlalu banyak sehingga menyebabkan kemacetan pada ruang penjatah dan juga menyebabkan akurasi penjatahan menurun karena pupuk yang keluar tidak sesuai dengan dosis. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas antara lain: Sikat penjatah. Sikat ini diletakkan pada bagian atas penjatah pupuk. Fungsi sikat ini adalah memindahkan pupuk yang berlebih di ruang penjatah sehingga pupuk yang masuk ke saluran pupuk jumlahnya sesuai dengan dosis yang diinginkan. Perubahan letak penjatah pupuk. Pada penjatah pupuk yang telah ada, letak hopper berada langsung di atas penjatah pupuk. Sebagai alternatif, letak penjatah pupuk digeser ke samping hopper sehingga pupuk tidak langsung masuk ke ruang penjatah. Rancangan Struktural Rancangan struktural adalah analisis dari komponen-komponen alat yang akan dibuat yang telah dibahas pada rancangan fungsional. Bentuk, ukuran, dan bahan dari masing-masing komponen ditentukan dari rancangan struktural. Hopper Hopper didesain dengan menggunakan bahan akrilik ketebalan 5 mm. Pemilihan akrilik dilakukan karena kuat dan tahan terhadap karat yang ditimbulkan oleh pupuk. Volume hopper dapat ditentukan dengan melihat dosis pupuk per hektar, berat jenis pupuk, dan efisiensi pengisian pupuk. Volume kotak pupuk ditentukan dengan persamaan berikut ini:... 29 Keterangan: V hp : volume hopper (cm 3 ) A : luas pemupukan sekali mengisi kotak pupuk (1000 m 2 ) D : dosis pemupukan (kg/ha) u : jumlah unit mesin pemupuk dalam satu lintasan operasi (1 unit) ρp : kerapatan pupuk (g/cm 3 ) Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil perhitungan kebutuhan volume hopper pupuk Jenis pupuk A (m 2 ) Dosis (kg/ha) p (g/cm 3 ) V hp (cm 3 ) Urea 1000 150 1.09 13736.26 TSP 1000 200 1.26 15873.02 TSP+KCl (2:1) 1000 300 1.24 24154.59

27 Hopper pupuk diletakkan di atas penjatah pupuk agar pupuk tersebut langsung mengalir pada ruang penjatah pupuk. Agar pupuk dapat mengalir dengan lancar, bidang miring kotak pupuk dipertimbangkan melalui sudut curah pupuk. Sudut curah pupuk berkisar antara 27 hingga 31. Sehingga kemiringan kotak pupuk dirancang sebesar 45. Ukuran kotak pupuk dengan panjang 40 cm, lebar 8 cm, dan tinggi 40 cm. Bentuk profil kotak pupuk dirancang seperti Gambar 21 berikut. Adapun gambar teknik hopper dapat dilihat pada Lampiran 11. Gambar 21 Desain dasar hopper pupuk Rotor Perancangan penjatah pupuk disesuaikan dengan kebutuhan pupuk untuk tanaman jagung (150 kg/ha urea, 200 kg/ha TSP, dan 100 kg/ha KCl) dengan menggunakan jarak tanam 75 cm. Rotor yang dibuat pada penelitian kali ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terdapat 6 buah sudu pada rotor dan bentuk disesuaikan dengan hopper yang tersedia. Roda penggerak memiliki 14 gigi sedangkan poros rotor menggunakan sproket dengan 18 gigi. Putaran motor ditransmisikan ke rotor menggunakan rantai dan sproket. Tahapan perancangan penjatah pupuk antara lain: menghitung jumlah pupuk yang harus dijatahkan per panjang alur. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:... 30 Keterangan: P plm D p a : jumlah pupuk yang harus dijatahkan per meter panjang alur pupuk (g/m) : dosis pemupukan (kg/ha) : jarak antar-baris tanaman (m) Mekanisme perputaran rotor penjatah di lapangan menggunakan roda penggerak melalui transmisi rantai dan sproket dan memasukkan tingkat kemacetan roda penggerak. Sehingga jumlah pupuk yang harus dijatahkan dalam setiap putaran rotor dapat dihitung melalui rumus berikut ini: ( ( )) ( )... 31

28 Keterangan: P 1put d rp k rp N rt N rp : jumlah pupuk yang harus dijatahkan per putaran rotor penjatah (g) : diameter roda penggerak (m) : tingkat kemacetan roda penggerak (desimal) : jumlah gigi pada poros rotor : jumlah gigi pada roda penggerak Sehingga, hasil perhitungan pupuk per putaran rotor dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil Perhitungan Penjatahan Pupuk per Putaran Rotor Pupuk D p (kg/ha) a (m) P 1pm (g/m) P 1put (g/putaran) Urea 150 0.75 11.25 14.99 TSP 200 0.75 15.00 19.99 TSP+KCl (2:1) 300 0.75 22.50 29.99 Adapun perhitungan volume pupuk yang harus dijatahkan dalam satu putaran rotor (dalam cm 3 ) menggunakan data kerapatan isi pupuk (dalam g/cm 3 ) menggunakan rumus:... 32 Dari bentuk penampang celah rotor seperti yang terdapat pada Gambar 22, luas penampang celah penjatah rotor (luasan daerah yang diarsir) dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan rumus sebagai berikut: ( - ) ( - )... 33 Keterangan: A pc : luas penampang celah rotor penjatah (cm 2 ) A I : luas juring lingkaran (cm 2 ) A II : luas daerah II yang berbentuk segitiga (cm 2 ) A III : luas daerah III yang berbentuk persegi panjang (cm 2 ) A IV : luasan daerah kurva lingkaran (cm 2 ) A V : luas daerah yang berbentuk seperempat lingkaran (cm 2 ) Gambar 22 Penampang celah rotor

29 Secara ringkas, perhitungan luasan daerah penyusun celah penampang rotor ditampilkan dalam Tabel 5. Perhitungan lengkap luasan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 5 Perhitungan luas penampang celah rotor Keterangan Rumus Luas (cm 2 ) A I 1.22 A II 0.56 A III 0.67 A IV (( ( ) ) ( )) 0.89 A V 0.16 A pc 1.04 Rotor penjatah ini memiliki 6 celah. Adapun hasil perhitungan panjang rotor dapat dilihat pada Tabel 6. Oleh karena itu, panjang rotor L r ditentukan dengan rumus:... 34 Tabel 6 Hasil perhitungan panjang rotor Pupuk P 1pm (g/putaran) V 1put (cm 3 ) A pc (cm 2 ) L r (cm) Urea 14.99 13.73 1.038 2.20 TSP 19.99 15.87 1.038 2.55 TSP+KCl (2:1) 29.99 24.15 1.038 3.88 Untuk mengantisipasi kegiatan pemupukan dengan dosis yang jauh lebih besar, panjang rotor yang digunakan dalam penelitian adalah 8 cm. Saat pemupukan dengan dosis yang lebih kecil dilakukan penyesuaian berupa penggunaan selubung penutup celah yang dapat digeser untuk mengubah panjang celah rotor yang digunakan. Selubung rotor berasal dari sok pipa PVC dengan diameter 1.5 inci yang sesuai dengan diameter rotor. Kemudian, dop pipa PVC tersebut dibentuk sesuai bentuk sirip rotor agar mudah digeser (Gambar 23). Gambar teknik rotor dan selubung dapat dilihat pada Lampiran 11. Gambar 23 Rotor dan selubung rotor

30 Penentuan kecepatan putar rotor berdasarkan pada kecepatan maju alat penanam dan pemupuk jagung rancangan Syafri (2010). Kecepatan prototipe mesin sebesar 0.48 m/s (1.73 km/jam) dan dapat ditingkatkan hingga 0.68 m/s (2.45 km/jam). Oleh karena itu, diambil kecepatan maju alat sebesar 1-3 km/jam. Penentuan kecepatan putar rotor dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Penentuan kecepatan putar rotor pada saat pengujian Kecepatan maju (km/jam) Kecepatan putar roda penggerak (RPM) Kecepatan putar poros rotor (RPM) Kecepatan pada pengujian (RPM) 1 16.12 12.54 15 2 32.24 25.07 25 3 48.35 37.61 35 Penjatah Pupuk Model penjatah pupuk pupuk terlihat seperti pada gambar-gambar berikut ini. Perbedaan antara model lama dan model baru penjatah pupuk ada pada posisi penjatah pupuk terhadap hopper dan adanya sikat penjatah pada protitipe-3 untuk menjaga agar tidak ada pupuk berlebih yang ditampung celah penjatah. Gambar 24 Bentuk dan letak penjatah pupuk prototipe-2 Letak penjatah pupuk prototipe-2 langsung berada di bawah hopper. Sehingga pupuk dari dalam hopper akan langsung mengalir ke bagian penjatah pupuk. Sedangkan pada penjatah pupuk yang telah dimodifikasi, letak penjatah pupuk tidak tepat berada di bukaan hopper, melainkan digeser sedikit ke samping bukaan hopper. Perbedaan lainnya ada pada posisi rotor terhadap rumah rotor. Jarak antara dinding rumah rotor dan ujung sudu rotor pada prototipe-2 dibuat serapat mungkin. Hal ini bertujuan untuk mencegah pupuk yang jatuh melewati sela-sela celah tersebut. Sebaliknya, dinding prototipe-3 berjarak cukup jauh dari dinding rotor. Tujuannya adalah untuk mengurangi gaya gesek antara dinding rumah rotor dan sudu rotor. Adanya gaya gesek ini mengakibatkan torsi yang dibutuhkan untuk memutar poros rotor semakin besar. Selain itu, pada hopper juga dilengkapi sikat yang letaknya berada di atas penjatah pupuk. Fungsi sikat ini adalah untuk mengontrol kelebihan pengambilan pupuk yang dilakukan oleh penjatah pupuk sehingga pupuk yang berlebih tidak bergesekan dengan dinding penjatah. Gambar 25 berikut ini menunjukkan sketsa

31 penjatah pupuk yang telah dimodifikasi. Gambar teknik penjatah pupuk prototipe- 2 dan prototipe-3 dapat dilihat pada Lampiran 11. Gambar 25 Bentuk dan letak penjatah prototipe-3

32 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Alat Pemupuk Jagung Pupuk yang digunakan untuk pengujian ini adalah pupuk urea, TSP, dan campuran pupuk TSP+KCl dengan perbandingan 2:1. Pupuk KCl tidak dapat dijatah menggunakan alat pemupuk karena mengalami interlocking arc baik pada prototipe-2 maupun prototipe-3 seperti terlihat pada Gambar 26. Karena adanya interlocking arc, pupuk KCl tidak jatuh ke penjatah pupuk. Akibatnya, pupuk tidak bisa dijatahkan. Oleh karena itu, pupuk KCl dicampur dengan pupuk TSP dengan perbandingan TSP+KCl 2:1. Gambar 26 Interlocking arc pupuk KCl pada alat penjatah; (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Pupuk KCl dapat bergerak ke ruang penjatah jika pupuk yang berada dalam hopper tersebut diaduk. Jika pengadukan dihentikan, interlocking arc segera terbentuk kembali. Gambar 27 berikut menunjukkan kondisi pupuk dalam hopper saat pengadukan dihentikan. Gambar 27 Kondisi pupuk KCl dalam hopper Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengatasi masalah pada penjatahan pupuk KCl adalah dengan menambahkan sistem pengaduk pada hopper yang bekerja selama proses penjatahan berlangsung. Melalui cara tersebut, pupuk mudah mengalir dari hopper ke rotor penjatah. Mekanisme pengadukan dapat dibuat mengikuti mekanisme pengadukan pada duster yang disajikan pada Gambar 28.

33 Gambar 28 Duster tipe gendong Interlocking arc dapat terjadi saat bagian dasar bukaan hopper lebih kecil daripada nilai kritis bahan. Meskipun demikian, belum banyak yang diketahui tentang kapan terjadinya perubahan aliran bahan hingga muncul interlocking arc (To et al. 2002). Sehingga, cara lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan penjatahan pupuk KCl adalah dengan memperlebar bagian dasar hopper yang menuju ruang penjatahan jika tetap menggunakan tipe penjatah edgecell. Adapun jika tipe penjatahnya yang diganti, tipe penjatah pupuk yang mungkin dapat digunakan adalah penjatah tipe auger (ulir). Distribusi Ukuran Partikel Pupuk Pengukuran distribusi ukuran partikel pupuk dilakukan untuk mengetahui sebaran ukuran pupuk yang digunakan yaitu urea, TSP, dan campuran pupuk TSP dan KCl (2:1). Ukuran partikel pupuk memiliki pengaruh yang besar pada gerakan partikel. Pengukuran distribusi partikel pupuk dilakukan dengan pengayakan pupuk menggunakan beberapa jenis ukuran ayakan. Adapun distribusi sebaran ukuran partikel pupuk disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Distribusi ukuran pupuk urea, TSP, dan TSP+KCl (2:1) Jenis pupuk Distribusi ukuran partikel pupuk (%) <1.4 mm 1.44-2.36 mm 2.36-4.76 mm >4.76 mm Urea 4.86 84.74 10.5 0 TSP 19.02 11.97 59.70 9.31 KCl 100 0 0 0 TSP+KCl (2:1) 39.49 5.85 45.35 9.31 Dari Tabel 8 di atas, terlihat bahwa ukuran partikel pupuk urea yang lebih kecil dari 1.4 mm jumlahnya tidak lebih dari 5% dari massa total pupuk yang diukur dan tidak ada butiran pupuk yang berukuran lebih besar dari 4.76 mm. Ukuran partikel pupuk urea sebagian besar pada kisaran 1.44-2.36 mm. Sedangkan pupuk TSP, ukuran pupuk yang paling dominan berada pada ukuran 2.36-4.76 mm. Namun, tidak seperti pupuk urea, terdapat pula partikel pupuk TSP yang berukuran lebih besar dari 4.76 mm dan lebih kecil dari 1.4 mm. Pupuk KCl berbentuk serbuk yang halus dan seluruhnya berukuran kurang dari 1.4 mm. Adapun campuran pupuk TSP dan KCl memiliki nilai sebaran yang merata antara ukuran butiran pupuk yang halus maupun kasar karena perbedaan ukuran TSP dan KCl yang cukup jauh.

34 Tingkat Ketepatan Penjatahan Pengujian tingkat ketepatan penjatahan berhubungan dengan lebar bukaan rotor karena adanya pergeseran selubung rotor. Secara teori, jumlah pupuk yang keluar saat bukaan 100% berbeda secara signifikan dengan jumlah pupuk yang dijatahkan saat bukaan selubung 50 dan 75%. Gambar 29 menunjukkan hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk urea prototipe-2 dan prototipe-3 pada masing-masing kecepatan putar dengan volume hopper sebesar 100%. Gambar 29 Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk urea; (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Gambar 29 menunjukkan bahwa perubahan lebar bukaan selubung rotor memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penjatahan pupuk. Rataan jumlah penjatahan pupuk prototipe-3 pada bukaan 50, 75, dan 100% secara berturut-turut adalah 20.76 g/putaran, 26.00 g/putaran, dan 33.56 g/putaran. Jika dihitung, pada saat bukaan 75% dan 50%, jumlah penjatahan pupuk seharusnya berturut-turut sebesar 26.85 g/putaran dan 17.90 g/putaran. Selisih antara hasil perhitungan dengan hasil pengukuran cukup kecil sehingga pada penjatahan pupuk urea, tingkat ketepatan penjatahannya cukup baik. Adapun hasil perhitungan teoritis jumlah penjatahan pupuk per putaran rotor pada bukaan 50, 75, dan 100% berturut-turut sebesar 27.21 g/putaran, 40.81 g/putaran, dan 54.42 g/putaran. Jumlah penjatahan pupuk hasil pengukuran lebih kecil daripada hasil penjatahan teoritis. Penyebabnya adalah ukuran dan bentuk penampang celah yang mempengaruhi luasan celah penjatah riil sehingga tidak benar-benar persis dengan rancangannya karena keterbatasan kemampuan saat pembuatan rotor penjatah. Ukuran butiran pupuk urea yang kecil menyebabkan perbedaan jumlah penjatahan pupuk yang signifikan saat ukuran penampang celah berubah sedikit. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk TSP disajikan pada Gambar 30. Dari hasil pengujian, diperoleh bahwa perubahan lebar bukaan selubung rotor memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penjatahan pupuk. Jumlah penjatahan pupuk prototipe-3 pada bukaan 50, 75, dan 100% secara berturut-turut adalah 39.81 g/putaran, 50.92 g/putaran, dan 62.72 g/putaran. Jika dihitung, pada saat bukaan 75% dan 50%, jumlah penjatahan pupuk seharusnya berturut-turut sebesar 33.45 g/putaran dan 50.18 g/putaran. Perbedaan jumlah penjatahan hasil perhitungan dengan pengukuran cukup kecil sehingga pada penjatahan pupuk TSP menunjukkan tingkat ketepatan penjatahan yang cukup akurat.

35 Gambar 30 Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk TSP; (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Adapun hasil perhitungan teoritis jumlah penjatahan pupuk per putaran rotor untuk pupuk TSP tersebut pada bukaan 50, 75, dan 100% berturut-turut sebesar 31.40 g/putaran, 47.09 g/putaran, dan 62.79 g/putaran. Hasil pengukuran menunjukkan nilai cukup dekat dengan hasil perhitungan teoritis sehingga penjatah pupuk tipe edge-cell pada prototipe-3 ini menunjukkan hasil penjatahan yang memuaskan. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk TSP+KCl (2:1) disajikan pada Gambar 31. Gambar 31 Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk TSP+KCl (2:1); (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Rataan jumlah penjatahan pupuk tipe edge-cell pada bukaan 50, 75, dan 100% berturut-turut sebesar 32.82 g/putaran, 45.83 g/putaran, dan 54.58 g/putaran. Jumlah penjatahan pupuk pada bukaan 50 dan 75% yang paling tepat adalah sebesar 29.11 g/putaran dan 43.67 g/putaran. Selisih nilai tersebut cukup kecil sehingga penjatah pupuk pada prototipe-3 juga menunjukkan hasil yang cukup akurat untuk penjatahan campuran pupuk TSP dan KCl. Hasil perhitungan teoritis jumlah penjatahan campuran pupuk TSP dan KCl pada bukaan 50, 75, dan 100% berturut-turut sebesar 30.95 g/putaran, 46.42 g/putaran, dan 61.89 g/putaran. Hasil pengukuran ketepatan penjatahan campuran pupuk TSP dan KCl menunjukkan hasil yang cukup mendekati hasil perhitungan

36 teoritis. Data hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk dapat dilihat pada Lampiran 6. Tingkat Keseragaman Penjatahan Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah jumlah pupuk saat penjatahan mengeluarkan hasil yang konstan dan tidak dipengaruhi oleh volume pupuk dalam hopper pada lebar bukaan selubung rotor yang sama. Jika jumlah pupuk yang dikeluarkan memiliki jumlah yang konstan, penjatah pupuk telah mampu memberikan hasil keluaran yang seragam. Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk urea pada saat bukaan selubung 100% disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk urea; (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk urea pada Gambar 32 menunjukkan hasil keseragaman penjatahan pupuk prototipe-3 cukup baik. Perubahan volume pupuk dalam hopper tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan jumlah penjatahan pupuk. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penjatah pupuk tipe edge-cell yang ada pada prototipe-3 mampu menjatahkan pupuk secara seragam pada berbagai tingkat volume pupuk dalam hopper. Perubahan kecepatan putar pada kecepatan putar rotor 15 dan 25 RPM tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan jumlah penjatahan pupuk. Dari Gambar 32 terlihat bahwa pada saat kecepatan putar rotor sebesar 35 RPM, jumlah pupuk yang dijatahkan yang paling rendah. Hal ini disebabkan oleh kecepatan putar rotor penjatah yang tinggi sehingga celah metering device belum sempat terisi penuh oleh jatuhan pupuk dari hopper. Meskipun demikian, pengujian keseragaman pada kecepatan putar 35 RPM menunjukkan tingkat keseragaman penjatahan yang cukup baik. Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk TSP dapat dilihat pada Gambar 33.

37 Gambar 33 Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk TSP; (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk TSP pada Gambar 33 menunjukkan bahwa pada prototipe-3, perubahan volume pupuk dalam hopper tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penjatahan pupuk. Hal ini menunjukkan tingkat keseragaman penjatahan prototipe-3 menggunakan penjatah tipe edge-cell yang cukup baik. Perbedaan kecepatan putar rotor juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penjatahan pupuk. Hal ini dapat dilihat dari selisih jumlah penjatahan yang cukup kecil pada kecepatan putar 15 dan 35 RPM. Seperti halnya pada penjatahan pupuk urea, kecepatan putar rotor 35 RPM menunjukkan hasil penjatahan yang paling kecil dibandingkan dengan kecepatan putar rotor yang lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pupuk yang tidak mengisi penuh celah metering device karena putaran rotor penjatah yang tinggi. Hasil pengujian tingkat keseragaman campuran pupuk TSP+KCl (2:1) dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34 Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatah pupuk TSP+KCl (2:1); (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Gambar 34 menunjukkan bahwa keseragaman penjatahan pupuk pada penjatah tipe edge-cell cukup baik. Perubahan volume pupuk dalam hopper tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan jumlah penjatahan pupuk. Adapun perubahan kecepatan putar rotor pada 15 dan 25 RPM, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan jumlah pupuk yang dijatahkan. Pada

38 pengujian ini, kecepatan putar rotor 35 RPM menunjukkan hasil jumlah penjatahan yang paling rendah dibandingkan kecepatan putar lainnya. Diduga bahwa kecepatan putar 35 RPM cukup tinggi sehingga celah metering device tidak terisi penuh oleh pupuk saat pengujian dilakukan. Data lengkap hasil pengujian tingkat keseragaman penjatah pupuk dapat dilihat pada Lampiran 7. Analisis Kebutuhan Torsi Penjatah Pupuk Pengujian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran kebutuhan torsi penjatah pupuk pada kedua tipe penjatah. Jika penjatah tipe edge-cell pada prototipe-3 menunjukkan nilai kebutuhan torsi yang lebih kecil dibandingkan dengan prototipe-2, prototipe-3 layak digunakan untuk menggantikan tipe penjatah yang sebelumnya digunakan dalam rancangan alat pemupuk jagung. Gambar 35 menunjukkan perbandingan kebutuhan torsi penjatahan pupuk urea kedua tipe penjatah pada tiga tingkat kecepatan putar rotor dengan bukaan selubung 100%. Gambar 35 Perbandingan kebutuhan torsi penjatahan pupuk urea bukaan selubung 100%; (a) 15 RPM, (b) 25 RPM, dan (c) 35 RPM Hasil pengujian menunjukkan kebutuhan torsi penjatahan prototipe-3 lebih kecil daripada prototipe-2. Penurunan kebutuhan torsi yang dihasilkan oleh prototipe-3 mencapai hingga 61%. Gambar 35 juga menunjukkan bahwa perubahan volume pupuk dalam hopper pada prototipe-3 tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebutuhan torsi. Selain itu, kecepatan putar rotor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan besar kebutuhan torsi. Untuk keperluan perancangan mesin penjatah pupuk, disarankan menggunakan kecepatan putar rotor 15 RPM karena nilai kebutuhan torsi yang paling minimum pada bukaan selubung 100%.

39 Pengujian kebutuhan torsi juga dilakukan pada bukaan selubung rotor 75% untuk mengetahui ada atau tidaknya penurunan kebutuhan torsi pada prototipe-3 ketika panjang selubung rotor yang bekerja diperkecil seperti yang disajikan pada Gambar 36. Gambar 36 Perbandingan kebutuhan torsi penjatahan pupuk urea bukaan selubung 75%; (a) 15 RPM, (b) 25 RPM, dan (c) 35 RPM Hasil pengujian kebutuhan torsi pada penjatahan pupuk urea dengan bukaan selubung 75% juga menunjukkan kebutuhan torsi untuk prototipe-3 lebih rendah daripada prototipe-2. Penurunan kebutuhan torsi yang dihasilkan oleh penjatah tipe edge-cell mencapai 68%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa kebutuhan torsi penjatah prototipe-3 tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan volume pupuk dalam hopper. Selain itu, perubahan kecepatan rotor tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kebutuhan torsi. Oleh karena itu, kecepatan putar rotor 15, 25, dan 35 RPM dapat dipilih untuk penjatahan pupuk pada bukaan selubung 75%. Pengujian kebutuhan torsi pada penjatahan pupuk urea dengan bukaan selubung 50% dapat dilihat pada Gambar 37. Pengujian kebutuhan torsi pada bukaan selubung 50% (Gambar 37) juga menunjukkan bahwa kebutuhan torsi penjatah pupuk prototipe-3 jauh lebih rendah daripada prototipe-2. Penurunan kebutuhan torsi dapat dicapai hingga 47%. Adapun perubahan volume pupuk dalam hopper tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kebutuhan torsi pada penjatah pupuk tipe edge-cell. Selain itu, perubahan kecepatan putar rotor tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebutuhan torsi. Kecepatan putar rotor yang paling rendah kebutuhan torsinya adalah pada 15 RPM. Sehingga, kecepatan putar tersebut disarankan untuk digunakan pada pemutaran rotor penjatah pupuk karena nilai torsi yang paling rendah.

40 Gambar 37 Perbandingan kebutuhan torsi penjatahan pupuk urea bukaan selubung 50%; (a) 15 RPM, (b) 25 RPM, dan (c) 35 RPM Secara teoritis, terdapat pengaruh lebar bukaan selubung rotor terhadap kebutuhan torsi seperti yang dilampirkan pada persamaan 13, dimana semakin besar bukaan selubung rotor, semakin besar gaya geser antara butiran pupuk sehingga menyebabkan torsi pendugaan pada bukaan selubung rotor 100% lebih besar daripada torsi pendugaan pada selubung rotor 50 dan 75%. Meskipun demikian, pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Hasil pengujian menunjukkan kebutuhan torsi putar paling tinggi terdapat pada bukaan selubung 50% di ketiga tingkat kecepatan putar rotor. Diduga penyebabnya adalah ada bagian selubung yang tidak rata sehingga menyebabkan adanya gesekan dengan butiran pupuk dan mengakibatkan terjadinya peningkatan torsi putar rotor penjatah. Perbandingan hasil kebutuhan torsi penjatahan prototipe-2 dan prototipe-3 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Adapun data pengujian kebutuhan torsi untuk jenis pupuk TSP disajikan pada Gambar 38. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kebutuhan torsi penjatahan pupuk TSP pada prototipe-2 jauh lebih tinggi daripada prototipe-3, dimana semakin meningkatnya kecepatan putar rotor penjatah menyebabkan selisih kebutuhan torsi antara kedua tipe penjatah pupuk semakin besar. Pada prototipe-3, perubahan kecepatan putar rotor penjatah dan volume pupuk dalam hopper tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebutuhan torsi pupuk. Perubahan volume pupuk dalam hopper dan kecepatan putar pada prototipe- 3 tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kebutuhan torsi. Kebutuhan torsi yang paling minimum terdapat pada kecepatan putar rotor penjatah 35 RPM sehingga untuk keperluan penjatahan pupuk TSP, kecepatan

41 putar inilah yang disarankan untuk kecepatan putar rotor penjatah pada penjatahan pupuk TSP. Gambar 38 Perbandingan kebutuhan torsi penjatahan pupuk TSP; (a) 15 RPM, (b) 25 RPM, dan (c) 35 RPM Adapun besarnya penurunan kebutuhan torsi yang diperoleh menggunakan penjatah tipe edge-cell dapat mencapai hingga 80%. Hal ini disebabkan oleh sempitnya ruang penjatah prototipe-2 sehingga pupuk TSP yang butirannya besar dan kasar bergesekan langsung dengan dinding ruang penjatah. Karena ruang penjatah terbuat dari bahan akrilik, ruang penjatah mudah retak/pecah saat menjatahkan pupuk TSP (Gambar 39). Gambar 39 Retakan pada ruang penjatah pupuk prototipe-2

42 Validasi Model Pendugaan Torsi Putar Penjatah Pupuk Validasi model ini dilakukan untuk membandingkan torsi penjatahan pupuk antara model dan pengujian. Pendugaan nilai torsi penjatahan pupuk dibangun dengan menggunakan Persamaan 1-28. Melalui validasi ini, ketepatan model torsi yang dibangun akan dibandingkan dengan hasil pengujian torsi penjatahan pupuk. Hasil validasi model penjatahan pupuk urea prototipe-2 dapat dilihat pada Gambar 40 berikut ini. Gambar 40 Validasi model pendugaan torsi penjatah pupuk urea pada prototipe-2; (a) 15 RPM, (b) 25 RPM, dan (c) 35 RPM Pengujian tersebut dilakukan pada tiga kondisi volume pupuk dalam hopper. Titik-titik yang mengumpul pada bagian kiri grafik adalah saat volume hopper 25 %. Sedangkan titik-titik yang berada pada bagian tengah adalah saat volume hopper 50% dan titik-titik yang mengumpul pada bagian kanan adalah saat volume hopper 100%. Hasil pengujian validasi model prototipe-2 untuk penjatahan pupuk urea pada Gambar 40 menunjukkan bahwa saat volume hopper 25%, hasil pengukuran torsi hampir sesuai dengan hasil pendugaan torsi. Akan tetapi, adanya pertambahan volume hopper menunjukkan semakin jauh hasil pendugaan dan

43 pengujian yang diperoleh. Pada saat volume hopper 50%, torsi pendugaan berada pada kisaran dua kali hasil torsi pengukuran. Sedangkan pada saat volume hopper 100%, torsi pendugaan berada pada kisaran nilai lima kali hasil torsi pengukuran. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa perubahan volume pupuk dalam hopper tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kebutuhan torsi penjatahan pupuk. Hasil validasi model penjatahan pupuk urea prototipe-3 disajikan pada Gambar 41. Gambar 41 Validasi model pendugaan torsi penjatah pupuk urea pada prototipe-3; (a) 15 RPM, (b) 25 RPM, dan (c) 35 RPM Hasil validasi model prototipe-3 tersebut menunjukkan bahwa hasil pengukuran kebutuhan torsi pada volume pupuk dalam hopper 25% cukup mendekati hasil pendugaan torsi. Namun, semakin meningkatnya volume pupuk dalam hopper menyebabkan perbedaan nilai kebutuhan torsi antara hasil pendugaan dan pengukuran yang semakin jauh. Pada saat volume pupuk dalam hopper 100%, nilai torsi pendugaan sekitar tiga kali nilai torsi pengukuran. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan volume hopper tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kebutuhan torsi. Terdapat dua dugaan yang menyebabkan torsi hasil pengukuran lebih kecil daripada torsi pendugaan pada tingkat volume pupuk dalam hopper tertentu. Pertama, besarnya berat pupuk diperoleh melalui pendugaan gaya berat pupuk yang terdapat pada seluruh ruang hopper seperti yang dicantumkan pada

44 persamaan 1-5. Melalui hasil pengukuran torsi diperoleh hasil bahwa berat pupuk yang memberi pengaruh signifikan dalam perhitungan torsi pendugaan adalah berat pupuk dalam hopper yang akan masuk ruang penjatah (volume pupuk 25% dalam hopper). Sehingga, komponen gaya berat pupuk dalam hopper yang dihitung cukup pada daerah hopper hingga ketinggian t 2 seperti yang diilustrasikan pada Gambar 42 berikut. Gambar 42 Koreksi perhitungan pendugaan gaya berat pupuk dalam hopper Kedua, diduga terjadi gesekan (F s ) antar pupuk sepanjang daerah W p3 yang bekerja terhadap pupuk pada sisi hopper (F 1 dan F 2 ) seperti yang disajikan pada Gambar 42 di atas dan sebelumnya tidak dimasukkan dalam perhitungan. Hal ini menyebabkan pada kondisi riil besar gaya berat pupuk W p3 lebih kecil daripada hasil perhitungan berdasarkan model yang dibangun karena terhambat oleh gaya gesek tersebut. Pada saat volume pupuk dalam hopper penuh (100%), gaya gesek yang terjadi antara pupuk di daerah W p3 dengan pupuk pada sisi hopper lebih besar daripada saat volume pupuk 25%. Penyebabnya adalah saat hopper penuh diisi pupuk, gaya gesek antar pupuk lebih besar karena lebih banyak jumlah pupuk yang bergesekan daripada saat volume pupuk hanya 25% dalam hopper (Balevič 8 Kedua pendugaan yang telah dikemukakan di atas juga berlaku pada model yang dibangun untuk prototipe-3. Hasil validasi model panjatah pupuk TSP dapat dilihat pada Gambar 43. Hasil pendugaan torsi jauh lebih besar daripada hasil pengukuran torsi penjatahan pupuk TSP. Salah satu penyebabnya adalah karena tingginya nilai kohesi pupuk yang diperoleh melalui hasil pengujian karakteristik teknik pupuk TSP. Hal ini mempengaruhi nilai gaya geser (Fs 1 ) pada model yang dibangun sehingga menyebabkan tingginya torsi pendugaan. Sejauh ini, belum dapat disimpulkan penyebab besarnya nilai kohesi TSP ini. Oleh karena itu, kedepannya perlu ada pengkajian ulang pada hal-hal yang berkenaan dengan karakteristik teknik pupuk TSP.

45 Gambar 43 Validasi model pendugaan torsi penjatah pupuk TSP; (a) prototipe-2, (b) prototipe-3 Seperti halnya pada validasi model pendugaan pupuk urea, parameter perubahan volume pupuk dalam hopper tidak perlu dimasukkan ke dalam perhitungan. Volume pupuk dalam hopper yang perlu dimasukkan dalam perhitungan adalah volume pupuk yang akan masuk ke dalam ruang penjatahan seperti yang disajikan pada Gambar 42. Selain itu, diduga terjadi gaya geser antar butiran pupuk pada daerah W p3 terhadap pupuk pada sisi hopper sehingga kemungkinan secara riil gaya berat pupuk (W p3 ) yang mengalir ke ruang penjatah memiliki nilai yang lebih kecil daripada hasil pendugaan berdasarkan model yang dibangun.