BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem hukum Indonesia lembaga kepailitan bukan merupakan hal yang baru, karena pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah diwariskan pada zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Verordening op het Faillissement ende Surseance van Betaling de Europeanen in Nederlands Indie (Staatsblad 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad 1906 Nomor 348). 1 Krisis ekonomi di sebagian besar negara Asia termasuk di Indonesia 2, kredit macet dan hutang membengkak menjadi permasalahan utama pada saat itu menjadi lata belakang Pemerintah Indonesia untuk mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 3, kemudian Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan 1 M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & Praktik di Peradilan, Kencana, Jakarta, hlm. 6-8 2 Tata Wijayanta, 2014, Kajian Tentang Pengaturan Syarat Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 26, Nomor 1, Februari, hlm. 2 3 Vide, Bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 135, Huruf B: bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberi pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya, dan menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat.
2 atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UUK) pada tanggal 9 September 1998. 4 Pengaturan yang diperbaharui masalah kepailitan ini juga memicu terbentuknya suatu pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum, dalam hal ini yang dimaksud ialah pengadilan niaga. 5 Mekanisme Kepailitan berdasarkan UUK disempurnakan dengan adanya pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan absolut untuk menangani perkara-perkara kepailitan yaitu pengadilan niaga yang bertempat di Jakarta Pusat, Medan, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang. 6 Perkembangan perekonomian dan pengaruh globalisasi seiring dengan perkembangan hukum, membuat pemerintah merasa UUK perlu diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU). Perbedaan yang disoroti penulis antara UUK dengan UUK PKPU yaitu mengenai jangka waktu penyelesaian perkara, pada UUK menyatakan putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan 7 jangka waktu tersebut dianggap terlalu cepat padahal sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit dapat diselenggarakan paling lama 25 hari sejak tanggal permohonan 4 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 3 5 Zainal Asikin, 2001, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 21 6 Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 171-173 7 Vide, Pasal 6 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 135
3 didaftarkan. 8 UUK PKPU merasa perlu menambah jangka waktu penyelesaian perkara menjadi 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. 9 12 tahun berlalu setelah ditetapkannya UUK PKPU, nampaknya perkembangan di bidang perdagangan yang begitu pesat membuat kompleksitas dalam hal terdapat ketidak mampuan membayar hutang menemui kendala dalam menerapkan UUK PKPU. Berbagai pasal dalam UUK PKPU juga telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk ditinjau berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), salah satunya yang dikabulkan MK adalah Pasal 6 Ayat 3 UUK PKPU mengenai panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit jika tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, sehingga Pasal 6 Ayat (3) dan Pasal yang berhubungan dengan Pasal 6 Ayat (3) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 10 Terdapat beberapa kelemahan dalam penerapan UUK PKPU yang diungkapkan oleh Jamaslin James Purba Ketua Umum Asosiasi Kurator Indonesia dengan alasan undang-undang ini dibuat untuk 8 Vide, Pasal 4 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 135 9 Vide, Pasal 8 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131 10 Riki, et. all., 2014, Himpunan Perubahan Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, hlm. 23
4 menanggulangi krisis, sedangkan sekarang sudah tidak krisis sehingga UUK PKPU kini perlu direvisi. 11 Pengadilan memiliki kesan menakutkan bagi masyarakat, bahwa yang sampai di pengadilan ialah orang yang bersengketa yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Pengadilan memang tempat mencari keadilan, tetapi ibarat menang jadi abu dan kalah jadi abu seperti itulah pepatah yang kerap kali digunakan bagi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan. Menghabiskan waktu, tenaga, harta dan lain-lain. Berbicara dalam konteks penyelesaian perkara perdata, tata cara dan banyak formalitas lainnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar hingga keluarnya putusan, ditambah lagi jika terdapat upaya hukum. Banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung (MA) menjadi salah satu faktor penyebab penyelesaian perkara tidak dapat secepat yang diharapkan. Data dari situs resmi Kepaniteraan MA mencatat pada tahun 2014 terdapat 12.511 perkara yang masuk ke MA, yang mana 3.907 perkara merupakan perkara perdata dan 904 diantaranya merupakan perdata khusus. 12 Hal diatas belum termasuk semua perkara yang diperiksa pada tingkat pertama. Berbagai kasus baik besar maupun kecil ingin segera perkara yang berjalan dapat diselesaikan. Dalam pemberitaan di media, para pihak memohon agar perkara yang dijalani segera dapat diselesaikan, salah satunya yang dikutip melalui media elektronik Pikiran Rakyat, pada kasus antara Cipaganti Group melawan Paguyuban Mitra Koperasi 11 Fitri N Hariani, Enam Kesalahan Undang-Undang Kepailitan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt561737ed1a1cb/enam-kesalahan-uu-kepailitan, Hukum Online, diakses 27 Juni 2016 12 Mahkamah Agung, Keadaan Perkara Tahun 2014, http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/keadaan-perkara-ma/keadaan-perkara-ma-th-2014, diakses 1 Juni 2016.
5 Cipaganti alasan permohonan yang diajukan kepada majelis hakim yaitu bila berlarut-larut akan menambah penderitaan panjang bagi mitra usaha yang sudah terkuras habis tenaga, pikiran dan hartanya. 13 Asas peradilan cepat merupakan asas yang digunakan untuk mengantisipasi terjadi hal-hal merugikan mengenai lamanya waktu penyelesaian perkara. Kata cepat menunjuk pada jalannya peradilan di persidangan maupun formalitas lainnya seperti pada penyelesaian berita acara hingga keluarnya putusan pengadilan. 14 Dalam menerapkan asas peradilan cepat, hakim tetap harus memperhatikan penyelesaian perkara setelah adanya bukti-bukti yang akurat dari para pihak. 15 MA terus meningkatkan efektifitas peradilan, salah satu upaya yang dilakukan melalui aturan kewajiban menjalani mediasi khusunya pada perkara perdata. Bahwa dalam rangka reformasi birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berorientasi pada visi terwujudnya badan peradilan indonesia yang agung, salah satu elemen pendukung adalah Mediasi sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. 16 Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau dalam bahasa Inggris yang sering disebutkan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) relatif baru dikenal, tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa dengan 13 Yedi Supriadi, Mitra Cipaganti Minta Persidangan Dipercepat, http://www.pikiranrakyat.com/bandung-raya/2015/04/16/323791/mitra-cipaganti-minta-persidangan-dipercepat, dakses 1 Juni 2016 14 Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 36 15 Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 24 16 Vide, Bagian Menimbang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2016. Tujuan dari mediasi.
6 kesepakatan sudah lama dilakukan oleh masyarakat, pada intinya menekankan upaya musyawarah mufakat, kekelurgaan, perdamaian, dan sebagainya. Namun APS mempunyai daya tarik khusus di Indonesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdsarkan musyawarah mufakat. 17 Alasan lain yang menjadi dasar dari dilakukannya perdamaian dengan cara APS, yaitu sesuai dengan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersirat bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, sebagaimana juga tersirat dalam UUD 1945. 18 Dalam perkembangannya pada kasus dibidang usaha, para pihak kerap kali menggunakan APS berbentuk arbitrase. Namun pengadilan niaga khususnya dalam perkara kepailitan tidak terikat dengan klausul arbitrase 19 yang ditentukan para pihak, sehingga lebih tepat dilakukannya APS lain yang melekat dalam lingkup pengadilan yaitu mediasi. Relevansi antara ketentuan mengenai mediasi dengan ketentuan kepailitan dapat ditarik berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UUK PKPU menyatakan penyelesaian perkara kepailitan menjadi kewenangan pengadilan niaga secara khusus yang merupakan bagian dari peradilan umum. 20 Dihubungkan dengan ketentuan dalam pasal 130 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan pasal 154 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) bahwa pengadilan negeri memberi kesempatan kepada para pihak yang berpekara pada permulaan pemeriksaan 17 Sophar Maru H, 2014, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 311 18 Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 53 19 Vide, Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131 20 Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm. 115
7 perkaranya untuk mencapai perdamaian di muka sidang pengadilan. Secara khusus Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 (PERMA Mediasi) mengatur wajib dilakukannya mediasi dalam perkara perdata sebelum diproses lebih lanjut ke persidangan selanjutnya. Dalam Pasal 4 Ayat (2) PERMA Mediasi menyatakan beberapa perkara termasuk pemeriksaan kepailitan di pengadilan niaga yang dikecualikan dari kewajiban melakukan proses mediasi terlebih dahulu. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam perkara kepailitan masih memungkinkan diadakannya mediasi meskipun bukan merupakan kewajiban, menjadi menarik ketika jangka waktu mediasi dapat dilakukan hingga 30 hari dan dapat dilakukan perpanjangan yang dimungkinkan selama 30 hari 21, sedangkan perkara kepailitan juga dibatasi waktu 60 hari sejak didaftarkannya perkara pailit ke pengadilan. 22 Hal tersebut seakan dua mata pisau, jika mediasi berhasil perkara berarti berjalan lebih mudah, sederhana dan biaya ringan, sedangkan jika mediasi gagal berarti sebaliknya, perkara akan lebih lama bahkan melewati batas waktu yang telah ditentukan. Dalam praktek yang terjadi, terdapat beberapa putusan yang dalam perkara tersebut melakukan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Mengambil contoh dilakukannya mediasi pada Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 12/Pailit/2009/PN.Niaga menimbulkan sengketa lain dalam menerapkan hukum yang ada. Pada putusan kasasi yang dikeluarkan oleh MA Nomor 239K/Pdt.Sus-Pailit/2013, permohonan kasasi 21 Vide, Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta 22 Vide, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131
8 terhadap perkara Nomor 12/Pailit/2009/PN.Niaga mengajukan pemohonan mempermasalahkan dilakukannya mediasi pada peradilan tingkat pertama. Mediasi ini juga berdampak terhadap waktu penyelesaian perkara kepailitan yang seharusnya 60 hari terabaikan, yakni dimulai tanggal 10 September 2012 sampai dengan Putusan dikeluarkan tanggal 7 Februari 2013. Kepastian hukum dan keadilan yang selalu dinjung di negeri ini terkendala oleh adagium yang menyatakan hukum memang selalu tertinggal dari fakta, diharapkan dengan penelitian ini dapat mendorong hukum agar tetap maju kedepan mengejar perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan Uraian di atas, penulis melihat adanya urgensi untuk membahas beberapa hal terkait dengan pelaksanaan mediasi dalam perkara kepailitan. Adapun permasalahan yang diangkat penulis untuk dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Pengaturan Mediasi dalam Hukum Positif di Indonesia pada Perkara Kepailitan? 2. Bagaimana Penerapan Hukum Mengenai Mediasi dalam Gugatan Pembayaran Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator (Studi Kasus Putusan Gugatan Pembayaran Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator No. 12/ Pailit/2009/PN.Niaga)
9 C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Subyektif Penelitian ini disusun untuk memperoleh data yang berguna, berhubungan dengan obyek yang diteliti dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2. Tujuan Obyektif Melalui penelitian ini diharapkan mampu membawa manfaat yang diharapkan, antara lain sebagai berikut: a. Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis pengaturan mediasi dalam hukum positif di Indonesia pada perkara kepailitan. b. Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis penerapan hukum mengenai mediasi dalam Gugatan Pembayaran Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator berdasarkan studi kasus yang diambil dari Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang No. 12/ Pailit/2009/PN.Niaga.
10 D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penlus menemukan terdapat penulisan hukum dengan judul yang mengandung unsur-unsur mediasi dan pailit dalam praktik maupun teori yaitu: 1. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Melalui Mediasi oleh Mediator Disnakertrans Daerah Istimewa Yogykarta pada Perusahaan Pailit Merupakan laporan tugas akhir pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi D.I.Y. yang ditulis oleh Nurul Hidayah Basuki, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Permasalahan utama laporan tugas akhir tersebut ialah pelaksanaan mediasi dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja yang dilaksanakan oleh mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi D.I..Y dalam hal terjadi kepailitan pada perusahaan. Hal pembeda dari penulisan hukum ini dengan penulisan yang telah dilaksanakan diatas adalah penulisan diatas lebih menekankan mediasi yang dilakukan oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mana perkara tersebut merupakan jalur perkara Hubungan Industrial meskipu dilakukan dalam hal terjadi kepailitan pada perusahaan, sedangkan dalam penulisan hukum ini Penulis mengambil fokus pembahasan pada pelaksanaan mediasi pada perkara kepailitan dengan menggunakan sumber-sumber aturan kepailitan.
11 2. Kompetensi Pengadilan Niaga Mengadili Permohonan Pailit yang Memilih Arbitrase di Indonesia Merupakan Tesis yaitu Tugas Akhir Srata 2 (S-2) yang ditulis oleh I Gusti Agung Sumanatha, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pokok pembahasan Tesis tersebut ialah kewenangan absolut pengadilan niaga dalam mengadili permohonan pailit yang memuat klausul arbitrase di Indonesia. Hal pembeda penulisan hukum ini dengan penulisan yang telah dilaksanakan diatas adalah penulisan diatas lebih menekankan pelaksanaan APS dengan cara arbitrase kemudian dilihat apakah pengadilan niaga masih memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa perkara tersebut, sedangkan dalam penulisan ini Penulis mengambil fokus pembahasan APS berupa mediasi yang dilakukan dalam perkara kepailitan dan implikasinya terhadap pembatasan waktu yang telah ditetapkan dalam perkara pailit. Dengan demikian penulisan hukum ini dilakukan dengan dasar iktikad baik dan telah memiliki sifat keaslian, apabila terdapat penelitian yang serupa diluar pengetahuan penulis, hal tersebut bukan merupakan suatu kesengajaan, namun penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya sehingga dapat memperkaya pengetahuan serta penulisan hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
12 E. Manfaat Penelitian sebagai berikut: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan 1. Manfaat Teoritis. Hasil penelitian yang akan dituangkan dalam penulisan hukum diharapkan dapat memberi masukan dan banyak memperoleh kajian dari aspek ilmu hukum secara teori dan praktek yang bermanfaat mengenai mediasi dalam perkara kepailitan. 2. Manfaat Praktis. Penelitian yang akan dituangkan dalam penulisan hukum secara langsung bermanfaat untuk menjadi pembelajaran bagi penulis dalam menganalisa serta mencari pemecahan masalah atas suatu keadaan, khususnya dalam hal menangani perkara kepailitan. Memberi masukan bagi mahasiswa, akademisi, dan praktisi hukum dalam menangani masalah seputar perkara kepailitan yang melibatkan mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa.