BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN"

Transkripsi

1 29 BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tanggal 22 April 1998 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Perpu tersebut mulai berlaku 120 hari sejak diundangkan yaitu pada tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya dikenal dengan UUK. 70 UUK merupakan penyempurnaan dari peraturan kepailitan yang lama yaitu Faillissement Verordening (FV). Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan menambah dan mengubah aturan kepailitan yang sebelumnya diatur dalam FV. Salah satu perubahan antara UUK dengan FV adalah proses penyelesaian perkara permohonan kepailitan yang cepat dengan menentukan kerangka waktu yang pasti dalam penyelesaian perkara kepailitan. 71 UUK juga telah membentuk peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan yaitu pembentukan pengadilan niaga. 72 Pembentukan pengadilan niaga sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan semata-mata 70 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal Elijana, Pengadilan Niaga Pelaksanaan Dan Dampaknya, Jakarta 14 Mei 1998, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Editor Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Benny Ponto, (Bandung : Alumni, 2001), hal Pasal 280 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa ''Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Bab pertama dan Bab kedua diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum''

2 30 bertujuan untuk mendukung kerangka waktu yang telah diatur dalam UUK. 73 Pengadilan niaga diharapkan akan mengefisienkan prosedur pemeriksaan perkara kepailitan. Hukum acara yang berlaku dalam proses pemeriksaan perkara kepailitan di pengadilan niaga adalah hukum acara perdata sebagaimana hukum acara yang berlaku pada pengadilan negeri. 74 Penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan niaga juga menyediakan upaya hukum bagi pihak yang keberatan dengan putusan hakim layaknya pada perkara perdata. Upaya hukum yang disediakan dalam perkara kepailitan merupakan bentuk upaya hukum yang diatur dalam perkara perdata, hanya saja upaya hukum pada perkara kepailitan disesuaikan dengan prinsip penyelesaian perkara kepailitan yang cepat, efisien dan adil, sehingga upaya hukum pada perkara kepailitan memiliki kekhususan tersendiri dalam prosesnya. A. Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata 1. Pengertian Upaya Hukum Upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan kepada seseorang untuk dalam hal tertentu melawan keputusan hakim. 75 Seseorang yang merasa keputusan yang diberikan oleh hakim merugikan haknya untuk memperoleh keadilan, perlindungan, dan kepastian 73 J. Djohansjah, Pengadilan Niaga, Jakarta 7 Juli 1998, Dalam Buku Kumpulan Makalah Tentang Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal Pasal 284 UUK menyebutkan bahwa ''kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap pengadilan niaga'' 75 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 61

3 31 hukum dapat melakukan cara-cara upaya hukum yang telah ditetapkan oleh undangundang. 76 Undang-undang memberikan upaya hukum kepada seseorang terhadap keputusan yang diberikan hakim bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan yang telah dilakukan hakim dalam membuat keputusan. 77 Pada dasarnya hakim juga merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sehingga berpotensi melakukan kekeliruan dan kekhilafan dalam membuat keputusan atas pekara yang diajukan kehadapannya, maka demi kebenaran dan keadilan terhadap perkara tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum. 2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. 78 Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap keputusan hakim yang bersifat menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara, kecuali apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, seperti yang tercantum dalam Pasal 180 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Bentuk upaya hukum biasa terdiri dari verzet, banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa adalah perlawanan terhadap keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat tidak dapat menangguhkan pelaksanaan putusan hakim. Bentuk 76 H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal Muhammad Nasir, Op. Cit., hal M. Nur Rasaid, Op. Cit., hal

4 32 upaya hukum luar biasa terdiri dari peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). 1. Upaya Hukum Verzet Verzet adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat atau putusan verstek. 79 Pada dasarnya verzet disediakan bagi pihak tergugat yang kalah. Oleh karena itu, pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan ini tidak diperkenankan untuk menggunakan upaya hukum verzet. Maka bagi penggugat yang dikalahkan melalui putusan verstek dapat menggunakan upaya hukum lain yaitu upaya hukum banding. 80 Dalam praktik peradilan, verzet diajukan kepada pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan verstek dan kedua perkara tersebut yaitu verstek dan verzet dijadikan satu dalam register nomor perkara. 81 Oleh karena itu perkara verzet terhadap putusan verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru yang berdiri sendiri. 2. Upaya Hukum Banding Banding adalah upaya hukum terhadap keputusan hakim pada persidangan tingkat pertama di pengadilan negeri, agar diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi yaitu pengadilan tinggi. 82 Pengadilan tinggi yang berwenang adalah pengadilan tinggi yang 79 Pasal 125 ayat (3) dan 129 HIR serta Pasal 149 ayat (3) dan 153 RBg 80 Pasal 200 RBg 81 Muhammad Nasir, Op. Cit., hal H.A. Mukti Arto, Op. Cit., hal. 280

5 33 wilayah hukumnya meliputi wilayah hukum pengadilan negeri yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama. 83 Upaya hukum banding adalah salah satu bentuk upaya hukum yang disediakan bagi pihak yang kalah untuk mendapatkan perbaikan terhadap putusan hakim pada persidangan tingkat pertama. 84 Secara garis besar isi putusan banding adalah : 85 a. Menguatkan putusan pengadilan negeri b. Memperbaiki putusan pengadilan negeri c. Membatalkan putusan pengadilan negeri dan mengadili sendiri, termasuk pula putusan-putusan yang : 1) Menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili 2) Memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan 3. Upaya Hukum Kasasi Kasasi berasal dari kata casser dalam bahasa Perancis yang artinya memecahkan atau membatalkan. 86 Upaya hukum kasasi ini asal muasalnya timbul di Perancis. Kemudian setelah Belanda dijajah Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Belanda dan selanjutnya oleh Pemerintah Belanda di bawa dan diterapkan di Indonesia. Upaya hukum kasasi adalah tindakan yang dapat digunakan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tinggi yang telah memeriksa perkara pada tingkat 83 H.M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2003), hal Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 199 RBg dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata Dan Yurisprudensi, (Bandung : Mandar Maju, 2005), hal Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. 163

6 34 banding dengan cara mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. 87 Pada tingkat kasasi ini Mahkamah Agung (judex juris) bertugas menguji dan meneliti kesalahan penerapan hukum yang berlaku terhadap putusan pengadilan dibawahnya (judex factie) dan dapat melakukan pembatalan terhadap putusan tersebut, jika : 88 a. Pengadilan yang lebih rendah lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya apabila dalam putusan tidak memuat kalimat kepala putusan ''Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'' b. Pengadilan yang lebih rendah melampaui batas wewenangnya apabila yang dilanggar wewenang pengadilan secara absolut c. Pengadilan yang lebih rendah salah menerapkan atau melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dan hal ini yang sering terjadi dalam praktik karena perkembangan hukum terus meningkat sedangkan buku-buku hukum dan yurisprudensi masih jarang diterbitkan 4. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordening (R.V) untuk memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan dibuka upaya hukum terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang disebut dengan request civil. 89 Kemudian dalam perundang-undangan nasional istilah request civil diganti dengan peninjauan kembali. Istilah peninjauan kembali dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung) dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Namun upaya hukum peninjauan kembali tidak dapat digunakan hanya karena 87 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata- Teknis Menangani Perkara Di Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal A.T. Hamid, Hukum Acara Perdata Serta Susunan Dan Kekuasaan Pengadilan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), hal. 208

7 35 ada pihak yang keberatan dengan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ada alasan-alasan tertentu yang harus dipenuhi pemohon upaya hukum peninjauan kembali sehingga dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, yaitu : 90 a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu b. Apabila setelah perkara diputus kemudian ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung juga memberi batasan dalam penggunaan upaya hukum peninjauan kembali sehingga permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pembatasan upaya hukum kasasi hanya satu kali dan alasan-alasan yang telah disebutkan dalam Pasal 67 UU Mahkamah Agung tersebut merupakan batasanbatasan yang diberikan hukum untuk menghormati dan menjamin kepastian hukum dari putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada undang-undang kekuasaan kehakiman terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) juga diatur ketentuan upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal 90 Pasal 67 UU Mahkamah Agung

8 36 tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 juga memberi petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk tidak menerima dan tidak mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung terkait upaya hukum peninjauan kembali terhadap perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, kecuali permohonan peninjauan kembali diajukan terhadap suatu objek perkara yang memiliki dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan dan diantaranya ada yang diajukan peninjauan kembali maka SEMA Nomor 10 Tahun 2009 memberi petunjuk agar berkas permohonan peninjauan kembali diterima dan tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Pada tahun 2010, Herry Wijaya yang mewakili PT. Harangganjang memohon ke Mahkamah Konstitusi agar peninjauan kembali yang hanya satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah agung, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena ketentuan tersebut telah menghalangi hak konstitusionalnya untuk dapat mengajukan kembali upaya hukum peninjauan kembali terhadap sengketa hak milik atas tanah yang telah ditolak oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 1PK/Pdt/2004 tanggal 31 Januari Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010 menolak permohonan Herry Wijaya dengan pertimbangan ketentuan upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali tidak melanggar UUD Mahkamah Konstitusi berpendapat

9 37 apabila ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang. 91 Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang selaku Direktur CV. Kurnia Abadi juga mengajukan permohonan yang sama ke Mahkamah Konstitusi yaitu memohon agar peninjauan kembali yang hanya satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah agung, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permohonan ini diajukan karena Mahkamah Agung dengan putusan Nomor : 33PK/Pid.Sus/2009 tanggal 2 Juni 2009 telah menolak upaya hukum peninjauan kembalinya atas sengketa merek. Kemudian Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor : 64/PUU-VIII/2010 menolak permohonan Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang dengan pertimbangan bahwa terhadap permohonannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan dalam Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010, sehingga pertimbangan dalam Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010 secara mutatis mutandis berlaku juga kepada permohonan Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi 92 Putusan Nomor : 64/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi

10 38 Pada tahun 2013, ketentuan upaya hukum peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan sekali saja kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun ketentuan batasan peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi khusus hanya Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Pemohon juga tidak memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menghilangkan batasan satu kali pada peninjauan kembali melainkan memohon agar ditambahkan ketentuan peninjauan kembali dapat diajukan kembali apabila ditemukan keadaan baru berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi. 93 Permohonan tersebut diajukan oleh Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty (isteri dari Antasari Azhar) dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (puteri dari Antasari Azhar). Antasari Azhar merupakan terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta selatan Nomor : 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel atas kasus pembunuhan alm. Nasrudin Zulkarnaen yang telah diputus pada tanggal 11 Februari Putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan putusan Mahkamah Agung Nomor : 1429K/Pid/2010 pada tanggal 21 September Kemudian Antasari Azhar mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor : 117PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012 yang pada intinya menolak upaya hukum peninjauan kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Antasari Azhar tidak memiliki upaya hukum lain untuk membersihkan namanya jika suatu saat terdapat bukti baru yang dapat memberikan putusan berbeda dengan putusan hakim sebelumnya Putusan Nomor : 34/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi 94 Ibid., hal. 16

11 39 Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan Antasari Azhar dan memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan sekali dimaknai dengan mengecualikan ditemukannya keadaan baru. Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP menjadi berbunyi ''Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum) dapat diajukan lebih dari sekali.'' 95 Pada Tahun 2014 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 sebagai petunjuk bagi Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013. SEMA tersebut mengatur bahwa ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak serta merta menghapus norma hukum batasan peninjauan kembali yang telah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Dan permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang telah diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali. Pada penyelesaian perkara perdata maka peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja namun terbuka kemungkinan untuk diajukan lebih dari satu kali apabila permohonan peninjauan kembali terjadi dengan kondisi terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan terhadap suatu objek perkara yang sama dan 95 Ibid., hal. 24

12 40 terhadap salah satu putusan peninjauan kembali tersebut diajukan peninjauan kembali. Hal tersebut berlaku sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun Upaya Hukum Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun jika hak-hak pihak ketiga dirugikan oleh suatu putusan hakim, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. 96 Perlawanan oleh pihak ketiga ini disebut Derden verzet yaitu tindakan perlawanan dari pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam perkara yang diperiksa oleh hakim. 97 Biasanya, Derden verzet digunakan sebagai upaya hukum oleh pihak ketiga atas penyitaan benda yang merupakan miliknya. 98 Derden verzet ini diajukan kepada hakim yang memutuskan perkara dengan menggugat para pihak yang bersangkutan karena nyata-nyata hak perdatanya telah dirugikan dengan keputusan hakim tersebut. 99 Derden verzet yang diajukan atas sita jaminan yang diletakkan pengadilan negeri dalam suatu perkara perdata hanya dapat dilakukan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta sita jaminan tersebut belum diangkat. 100 Apabila perlawanan 96 Pasal 378 R.V 97 Riduan Syahrani, Op. Cit., hal M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal Sophar Maru Hutagalung, Op. Cit., hal M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 300

13 41 tersebut dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga. 101 Bentuk-bentuk upaya hukum dalam perkara perdata apabila dibuat dalam suatu alur, maka penyelesaian satu perkara perdata dapat melalui beberapa tahapan seperti berikut : Gambar 1. Alur Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata Upaya hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara pada pengadilan tingkat pertama Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bukan merupakan pihak yang berperkara Verzet Derden Verzet Banding Kasasi Peninjauan Kembali Sumber : HIR dan RBg Alur upaya hukum dalam penyelesaian perkara perdata sebagaimana telah digambarkan di atas terlihat bahwa satu perkara perdata dapat menempuh beberapa tahapan upaya hukum untuk dapat mencapai suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Tahapan upaya hukum tersebut jika dihubungkan dengan konsep keadilan John Rawls yang menyatakan bahwa apabila hukum tidak memberikan jaminan keadilan yang sama bagi semua pihak maka terhadap hukum tersebut harus diperbaiki dengan hukum yang 101 Pasal 382 R.V

14 42 memberikan keadilan bagi semua pihak. 102 Maka bentuk upaya hukum yang disediakan dalam hukum perdata adalah upaya untuk mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya bagi masyarakat dengan menyediakan berbagai upaya hukum tersebut guna memperbaiki putusan-putusan hakim yang belum memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Namun suatu putusan baru dapat dilaksanakan apabila telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Kekuatan hukum yang pasti disini maksudnya adalah terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum untuk melawannya, sehingga harus dilaksanakan oleh para pihak dengan sukarela. 103 Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 195 HIR bahwa pihak yang menang dengan perantara hakim dapat menggunakan haknya untuk memaksa pihak lawan guna melaksanakan putusan hakim, akan tetapi putusan tersebut harus benar-benar telah dapat dijalankan karena telah memperoleh kepastian hukum yang artinya semua upaya hukum untuk melawan putusan itu sudah digunakan atau tidak dipergunakan karena telah lewat waktunya. Tahapan upaya hukum yang sangat banyak tersebut diperlukan prosedur pelaksanaan yang jelas. Prosedur tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dalam penyelesaian perkara perdata. Sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch bahwa ''kepastian hukum hanya dapat dicapai apabila hukum dirumuskan dengan aturan yang jelas dan mudah dilaksanakan.'' 104 Dengan demikian tujuan hukum perdata untuk memberi keadilan kepada masyarakat dengan menyediakan upaya hukum dalam proses berperkaranya dapat terwujud dengan pasti. 102 John Rawls, Loc. Cit. 103 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal Sulaeman Jajuli, Loc. Cit

15 43 3. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata Pada prinsipnya, putusan hakim dalam perkara perdata bersifat memaksa sehingga harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan Pasal 195 HIR. Namun putusan hakim tersebut bisa saja belum dapat dilaksanakan apabila pihak yang kalah merasa tidak puas atau ada pihak ketiga yang juga merasa keberatan dengan putusan hakim tersebut. Sehingga pihak-pihak tersebut melakukan upaya hukum untuk mempertahankan kepentingannya. Dalam mengajukan upaya hukum, ada prosedur-prosedur yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak tersebut agar pelaksanaan upaya hukum berjalan tertib, prosedur tersebut adalah : 1. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Verzet Pihak tergugat yang keberatan dengan putusan verstek dapat mengajukan upaya hukum verzet dalam batas waktu yang telah ditentukan, yaitu : 105 a. Dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan putusan verstek diberitahukan kepada tergugat secara sah dan patut b. Sampai dengan hari ke-8 setelah dilakukan peringatan pelaksanaan putusan sebagaimana ketentuan Pasal 196 HIR dan 207 RBg dalam hal pemberitahuan putusan verstek tidak diberitahukan kepada tergugat itu sendiri c. Sampai hari ke-8 setelah sita eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 129 ayat (2) HIR dan 153 ayat (2) RBg apabila tergugat tidak datang pada waktu peringatan Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa dan hanya dapat diajukan sekali saja. 106 Apabila tergugat tetap mengajukan perlawanan verzet untuk kedua kalinya, berdasarkan Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 53 ayat (6) RBg maka hakim harus menyatakan tidak dapat menerima perlawanan verzet. 105 Pasal 129 ayat (1) HIR dan Pasal 153 ayat (1) Reglement Buitengewesten (RBg) 106 Muhammad Nasir, Loc. Cit.

16 44 Berdasarkan Pasal 200 RBg upaya hukum yang tersedia bagi tergugat yang memperoleh putusan verstek untuk kedua kalinya adalah upaya hukum banding. 2. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Banding Upaya hukum banding dapat diajukan ke kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 hari setelah putusan dari persidangan tingkat pertama diucapkan atau diberitahukan kepada pihak yang kalah, dengan prosedur sebagai berikut : 107 a. Apabila permohonan banding diajukan melampaui tenggang waktu 14 hari sebagaimana tersebut di atas maka terhadap permohonan tersebut tetap diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau waktu b. Menuangkan panjar biaya banding dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) c. Menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada pemegang kas pengadilan negeri d. Setelah panjar biaya banding dibayar lunas maka pengadilan membuat akta pernyataan banding dan mencatat permohonan banding dalam register induk perkara perdata dan register permohonan banding e. Setelah permohonan banding dalam waktu 7 hari kalender disampaikan kepada terbanding, kepada para pihak pembanding dan terbanding diberikan kesempatan untuk mempelajari dan memeriksa berkas perkara sebelum berkas perkara dikirim ke pengadilan tinggi f. Berkas banding sudah harus dikirim ke pengadilan tinggi dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding diajukan g. Pencabutan permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pembanding dengan menyertakan akta panitera 3. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Kasasi Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara, dengan prosedur sebagai berikut : Buku II Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum Dan Perdata Khusus, Edisi 2007, (Jakarta : Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2008), hal Ibid, hal. 7-10

17 45 a. Permohonan kasasi diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon b. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan c. Setelah pemohon membayar biaya perkara, panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara d. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan e. Pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan menggunakan upaya hukum kasasi dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar f. Panitera Pengadilan Negeri memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari g. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap.memori kasasi kepada panitera dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi h. Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi, Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari i. Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Ketua Mahkamah Agung j. Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau k. Apabila pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka berkas perkara itu tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung

18 46 4. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Permohonan peninjauan kembali diajukan pemohon ke Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri dengan membayar biaya perkara yang diperlukan, dengan ketentuan sebagai berikut : 109 a. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dalam waktu 180 hari, dalam hal : 1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara 2) Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang 3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut atau apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya dan apabila antara pihak-pihak yang sama serta mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara 4) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara b. Permohonan peninjauan kembali yang melampaui tenggang waktu tidak dapat diterima dan berkas perkara tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri c. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut 109 Ibid, hal

19 47 d. Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan, dengan maksud : 1) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau huruf b UU Mahkamah Agung agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya 2) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut dalam Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f UU Mahkamah Agung agar dapat diketahui oleh pihak lawan e. Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya sebagaimana dimaksudkan huruf d bagian (1) diatas adalah 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali. Kemudian surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada pengadilan negeri yang memutus perkara dan pada surat jawaban itu oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut dan salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui f. Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari g. Pencabutan permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon peninjauan kembali. Kemudian panitera mengirimkan pencabutan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh panitera Secara keseluruhan, prosedur mengajukan upaya hukum pada perkara perdata sebagaimana yang diterangkan di atas, telah memberikan aturan yang jelas mengenai tata cara mengajukan upaya hukum. Prosedur tersebut sudah menyebutkan batas waktu yang disediakan oleh hukum untuk dapat menggunakan upaya hukum tersebut. Dengan adanya batas waktu dalam pengajuan upaya hukum maka pelaksanaan putusan hakim terdahulu memiliki kepastian hukum. Apabila upaya hukum yang diajukan telah melewati waktu pengajuan maka hakim dapat menolak upaya hukum yang digunakan. Dengan demikian

20 48 putusan hakim terdahulu harus dilaksanakan karena telah memiliki kekuatan hukum tetap. 110 Prosedur upaya hukum pada perkara perdata tidak mengatur kerangka waktu dalam proses pemeriksaan dan putusan hakim. Akibatnya, upaya hukum yang disediakan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang menggunakannya. Karena hukum tidak menjamin kepastian waktu bagi pihak-pihak yang berperkara untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan. Hal ini juga mengakibatkan proses beracara di pengadilan perdata menjadi tidak sederhana dan membutuhkan biaya besar karena waktu penyelesaian perkara tidak dapat dipastikan. Dengan demikian prosedur upaya hukum pada perkara perdata kurang tepat untuk diimplementasikan pada perkara-perkara kepailitan, meskipun hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian perkara kepailitan adalah hukum acara perdata. Perkara kepailitan menuntut penyelesaian perkara yang cepat, adil dan efisien. Maka upaya hukum pada perkara kepailitan membutuhkan prosedur khusus yang berbeda dengan prosedur upaya hukum yang berlaku pada perkara perdata. 110 Pasal 195 HIR

21 49 B. Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan Gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu dampaknya adalah ketidakmampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur bahkan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Setelah perjanjian kredit ditandatangani atau surat utang dikeluarkan ternyata rupiah melemah drastis. Akibatnya debitur mengalami keadaan yang tidak mampu diduga karena nilai tukar rupiah yang sebelumnya bernilai Rp per-dollar Amerika Serikat menjadi bernilai sampai Rp per-dollar Amerika Serikat dalam tempo satu tahun. 111 Dunia usaha memerlukan kerangka hukum yang cepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah utang-piutang yang sudah terjadi. Kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah utang-piutang tersebut pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kepercayaan dan rasa aman kepada para investor baik nasional maupun asing untuk menanamkan modal atau mengembangkan usaha di Indonesia. Maka peraturan kepailitan yang sudah ada harus disesuaikan dengan keadaan tersebut. 112 Peraturan kepailitan harus menyelesaikan masalah utang-piutang dengan cepat dan efektif untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional. 113 Sehingga kegiatan perekonomian nasional akan berjalan kembali dan dapat mengurangi tekanan sosial yang 111 Erman Rajagukguk, Latar Belakang Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal Retnowulan Sutantio, Kesiapan Dunia Usaha Menghadapi Berlakunya Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Dalam Buku Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal Penjelasan Umum UUKPKPU

22 50 disebabkan hilangnya banyak lapangan kerja. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya UUK sebagai perbaikan dari FV yang dinilai sangat lama dalam menyelesaikan perkara kepailitan. Bagian dari perbaikan peraturan kepailitan tersebut salah satunya adalah bagian upaya hukum. Upaya hukum juga termasuk mekanisme penyelesaian perkara kepailitan sehingga perlu diperbaiki agar dapat mendukung penyelesaian perkara kepailitan secara cepat dan efektif. 1. Bentuk-bentuk Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan Pada awalnya, peraturan kepailitan di Indonesia diatur dalam FV yaitu peraturan kepailitan warisan Belanda. Berdasarkan Pasal 8 FV, upaya hukum yang dapat digunakan oleh debitur jika keberatan dengan keputusan hakim yaitu : a. Jika debitur hadir dalam persidangan maka upaya hukum yang dapat digunakan adalah upaya hukum banding. b. Jika debitur tidak hadir dalam persidangan maka upaya hukum yang dapat digunakan adalah perlawanan. c. Dan terhadap putusan yang dijatuhkan setelah dilakukan upaya hukum perlawanan, jika debitur tetap tidak menerima keputusan hakim maka debitur dapat mengajukan banding Berdasarkan Pasal 10 FV kreditur yang tidak mengajukan permohonan kepailitan maupun pihak ketiga yang keberatan dengan keputusan hakim dapat mengajukan upaya hukum perlawanan. Berdasarkan Pasal 11 FV apabila perlawanan dari kreditur yang tidak mengajukan permohonan kepailitan maupun pihak ketiga ditolak oleh pengadilan negeri maka dapat mengajukan upaya hukum banding.

23 51 Kreditur dan jaksa yang mengajukan permohonan kepailitan atas diri debitur juga dapat mengajukan upaya hukum banding apabila pengajuan permohonan kepailitan ditolak oleh pengadilan negeri atau apabila putusan kepailitan dibatalkan oleh pengadilan negeri akibat adanya perlawanan dari debitur. 114 Apabila pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara kepailitan masih belum puas dengan keputusan yang telah dijatuhkan pengadilan tinggi maka pihak yang keberatan dapat mengajukan upaya hukum kasasi. 115 Seiring dengan perkembangan perekonomian Indonesia dan semakin banyak perusahaan yang mengalami permasalahan finansial sehingga tidak bisa membayar utangnya, akhirnya FV yang dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan pelaku ekonomi diganti dengan UUK. Dengan berlakunya UUK maka terjadi perubahan dalam bentuk upaya hukum yang dapat digunakan jika ada pihak yang keberatan terhadap putusan hakim dalam perkara kepailitan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UUK, upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan hakim pengadilan niaga adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Upaya hukum banding dihapuskan dan diganti dengan langsung melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 11 UUK terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. UUK ternyata dinilai masih belum mampu menampung kebutuhan hukum masyarakat. Maka pada tanggal 18 Oktober 2004 lahirlah UUKPKPU yang hingga saat ini 114 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2002), hal Ibid, hal. 44

24 52 masih berlaku sebagai pembaharuan dari UUK. 116 Upaya hukum yang diatur dalam UUKPKU pada dasarnya sama dengan pengaturan yang ada dalam UUK yaitu upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. Sehingga UUKPKPU tetap menghilangkan upaya hukum banding. Secara sederhana perubahan bentuk upaya hukum dalam undang-undang tentang kepailitan dapat dilihat pada bagan berikut ini : Gambar 2. Upaya Hukum Dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan Sumber : Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11 FV, Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 UUK dan Pasal 11, Pasal 14 UUKPKPU Pada hakikatnya, pengadilan tingkat banding adalah sama dengan pengadilan tingkat pertama. Keduanya sama-sama sebagai pengadilan judex factie. Dengan demikian cenderung terjadi tumpang tindih antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan 116 Victorianus M.H. Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit, (Bandung : Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, 2011), hal. 7

25 53 tingkat banding. 117 Keberadaan pengadilan tingkat banding tidak memberi nilai tambah bagi pencari keadilan dan tidak efektif untuk mendukung penyelesaian perkara kepailitan yang cepat. Oleh karena itu penghapusan upaya hukum banding dalam penyelesaian perkara kepailitan adalah keputusan yang tepat. Perlindungan hukum bagi pihak yang bukan merupakan para pihak pada persidangan tingkat pertama atau kreditur lain juga kembali diakomodir dalam UUKPKPU yang mana sebelumnya pernah diatur dalam FV. Hanya saja perlindungan hukum yang diberikan UUKPKPU lebih baik dari perlindungan hukum yang pernah diatur dalam FV. Pada FV, perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur lain sama seperti perlindungan hukum yang diberikan hukum acara perdata terhadap pihak ketiga yaitu melalui upaya hukum perlawanan ke pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara kepailitan. Pada UUKPKPU, kreditur lain meskipun bukan para pihak pada persidangan tingkat pertama dapat langsung menggunakan upaya hukum kasasi atas keberatannya terhadap putusan kepailitan debitur yang telah merugikan kepentinganya. Hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa kreditur lain yang bukan merupakan pihak dalam perkara kepailitan dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit. Ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang telah memberikan hak kepada kreditur lain untuk dapat mengajukan upaya hukum kasasi merupakan terobosan baru dalam hukum acara. Dalam hukum acara peradilan apa pun yang ada di Indonesia, pihak 117 Supriyono, Op. Cit., hal. 378

26 54 lain diluar para pihak yang berperkara pada persidangan tingkat pertama tidak bisa langsung mengajukan upaya hukum kasasi. 118 Pihak lain tersebut terlebih dahulu harus melalui perlawanan di pengadilan tingkat pertama dan banding di tingkat pengadilan tinggi. Namun dalam perkara kepailitan, kreditur lain yang bukan para pihak pada pengadilan tingkat pertama dapat langsung mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Terobosan tersebut merupakan perbaikan yang baik dari upaya hukum dalam perkara kepailitan karena telah memperhatikan perlindungan hukum yang adil terhadap kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama. Sesuai dengan asas keadilan yang dianut dalam UUKPKPU maka ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU telah mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing tanpa memperdulikan kepentingan kreditur lainnya. 119 Ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara kepailitan yang cepat dan efisien. Upaya hukum kasasi yang dapat langsung digunakan kreditur lain dalam melawan putusan pengadilan niaga telah mempersingkat proses beracara dalam perkara kepailitan. Sehingga suatu putusan dalam perkara kepailitan yang mendapat penolakan dari kreditur lain tidak perlu mengulang pemeriksaan perkara ke pengadilan tingkat pertama yang membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai keputusan yang berkekuatan hukum tetap. 118 Ibid., hal Penjelasan atas UUKPKPU

27 55 Perubahan yang terjadi dalam peraturan-peraturan tentang kepailitan telah berupaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Perubahan bentuk-bentuk upaya hukum yang disediakan pada perkara kepailitan telah disesuaikan dengan kebutuhan penyelesaian perkara kepailitan dalam masyarakat yang membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat, efektif dan adil. Sehingga perubahan-perubahan tersebut sejalan dengan teori keadilan yang disampaikan oleh John Rawls. John Rawls berpendapat bahwa ''keadilan harus dirasakan oleh semua orang. Oleh karena itu hukum yang tidak memberikan keadilan bagi semua orang sebaiknya diperbaiki''. 120 Penghapusan upaya hukum banding dalam bentuk-bentuk upaya hukum pada perkara kepailitan merupakan salah satu perbaikan untuk memberikan kepastian hukum terhadap keadilan yang ingin dicapai oleh para pihak yang berperkara dalam perkara kepailitan melalui penyelesaian perkara yang lebih cepat, efektif dan tidak berlarut-larut. 2. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan Prosedur mengajukan upaya hukum adalah hal penting yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara kepailitan. Sama halnya dengan prosedur mengajukan upaya hukum pada perkara perdata, prosedur mengajukan upaya hukum pada perkara kepailitan juga mengatur berbagai pedoman tata cara dan batas waktu dalam mengajukan upaya hukum. 120 John Rawls, Loc. Cit.

28 56 1. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Kasasi Pasal 11 ayat (2) UUKPKPU menerangkan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan pengadilan niaga dengan melakukan pendaftaran melalui panitera pengadilan niaga yang telah memutuskan permohonan pernyataan pailit. Sedangkan permohonan kasasi yang diajukan melebihi jangka waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang dapat berakibat pada dibatalkannya putusan kasasi. 121 Setelah semua berkas terkumpul maka dalam waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan kontra memori kasasi kepada Mahkamah Agung melalui panitera Mahkamah Agung. 122 Pasal 13 UUKPKPU mengatur bahwa kerangka waktu pemeriksaan dan putusan upaya hukum kasasi adalah sebagai berikut : a. Dalam waktu 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima dan dipelajari oleh Mahkamah Agung maka ditetapkan hari sidang b. Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung c. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung d. Putusan atas permohonan kasasi harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat dalam putusan kasasi 121 Rahayu Hartini, Op. Cit., hal Pasal 12 UUKPKPU

29 57 2. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Pasal 295 ayat (2) UUKPKPU menentukan bahwa permohonan peninjauan kembali dapat diajukan, apabila : a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada tetapi belum ditemukan, atau b. Terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan hakim Selanjutnya Pasal 296 UUKPKPU telah memberikan batasan waktu dalam mengajukan upaya hukum kasasi berdasarkan alasan yang disebutkan pada Pasal 295 ayat (2) UUKPKPU, yaitu : a. Pengajuan permohonan peninjauan kembali karena ditemukan bukti baru dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap b. Pengajuan permohonan peninjauan kembali karena terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan hakim dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap c. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada panitera pengadilan Selanjutnya, Pasal 297 UUKPKPU menyebutkan bahwa : a. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada panitera pengadilan, salinan peninjauan kembali dan salinan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan didaftarkan untuk disampaikan oleh panitera pengadilan kepada termohon peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan b. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan dalam jangka waktu 10 hari sejak tanggal permohonan didaftarkan c. Panitera pengadilan menyampaikan jawaban tersebut kepada panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu 12 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan

30 58 Mahkamah Agung dalam jangka waktu 30 hari setelah tanggal permohonan diterima panitera Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan peninjauan kembali yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. 123 Dengan demikian, uraian prosedur mengajukan upaya hukum dalam perkara kepailitan tersebut di atas menjelaskan bahwa kerangka waktu upaya hukum pada perkara kepailitan lebih singkat dibandingkan dengan kerangka waktu pada upaya hukum perkara perdata. Secara sederhana perbedaan kerangka waktu dapat dilihat pada gambar tabel di bawah ini : 123 Pasal 298 UUKPKPU

31 59 Gambar 3. Kerangka Waktu Upaya Hukum Pada Perkara Perdata Dan Perkara Kepailitan KERANGKA WAKTU UPAYA HUKUM PERKARA PERKARA KEPAILITAN PROSEDUR PERDATA Banding Kasasi Peninjauan Kembali Kasasi Peninjauan Kembali Pengajuan Permohonan Upaya Hukum 14 hari setelah putusan pengadilan tingkat pertama 14 hari setelah putusan banding 180 hari dihitung berdasarkan ketentuan alasan pengajuan peninjauan 8 hari setelah putusan pengadilan niaga hari karena bukti baru - 30 hari karena kekeliruan putusan Penyerahan Berkas Permohonan Upaya Hukum Kepada Pengadilan Selanjutnya Sidang Pemeriksaan Permohonan Upaya Hukum Putusan 30 hari sejak permohonan banding didaftarkan 30 hari sejak permohonan didaftarkan kembali 30 hari sejak permohonan didaftarkan 14 hari sejak permohonan didaftarkan Hakim * setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung Sumber : HIR, RBg dan UUKPKPU hakim - 2 hari sejak tanggal permohonan didaftarkan - 12 hari untuk penyerahan jawaban pihak termohon 20 hari* 30 hari setelah tanggal permohonan diterima 60 hari* Mahkamah Agung

32 60 Kekurangan dari kerangka waktu yang telah diatur dalam UUKPKPU adalah tidak diaturnya sanksi hukum terhadap pelanggaran kerangka waktu. Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak 124 yang menjabat sebagai Hakim Utama Muda pada Pengadilan Negeri Medan mengungkapkan bahwa pada prakteknya kerangka waktu yang telah diatur dengan sangat baik dalam UUKPKPU tersebut tidak berjalan sesuai aturan yang berlaku karena tidak adanya sanksi yang tegas. Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak menyebutkan salah satu contohnya adalah keterlambatan pengiriman salinan putusan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan pailit pada pengadilan niaga. Seharusnya salinan putusan pada tingkat upaya hukum kasasi dikirimkan oleh Panitera Mahkamah Agung kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat tiga hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. Namun salinan putusan tersebut tiba di pengadilan niaga setelah hampir satu tahun sejak tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. 125 Pasal 16 ayat (1) UUKPKU menyebutkan bahwa putusan pada perkara kepailitan bersifat dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Sehingga kurator sudah dapat bertugas untuk mengurus dan membereskan harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan oleh majelis hakim pengadilan niaga. Apabila pada tingkat kasasi atau peninjauan kembali ternyata putusan kepailitan dibatalkan, maka segala tindakan kurator yang dilakukan 124 Wawancara dilakukan pada tanggal 9 Mei 2016 di Pengadilan Negeri Medan 125 Ibid

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrachman, H.M., Hukum Acara Perdata, Jakarta : Universitas Trisakti, 2003

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrachman, H.M., Hukum Acara Perdata, Jakarta : Universitas Trisakti, 2003 155 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdurrachman, H.M., Hukum Acara Perdata, Jakarta : Universitas Trisakti, 2003 Agung, Mahkamah, Buku II Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum Dan Perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet) Syahrul Sitorus

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet) Syahrul Sitorus UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet) Syahrul Sitorus Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sumatera Medan Jln. Sambu No. 64 Medan e-mail:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA Drs.H.M.TARSI HAWI, S.H. (PTA BANJARMASIN) A. PENDAHULUAN Pencabutan gugatan perkara perdata pada tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan bahkan pada

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi

BAB II PEMBAHASAN Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi BAB II PEMBAHASAN Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap keputusan hakim perlu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI A. Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-I/2003

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-I/2003 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-I/2003 I. PEMOHON Main bin Rinan, dkk (selaku ahli waris Rinan bin Nyirin). II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1 menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak hari Selasa, tanggal 15 Februari

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14 TAHUN 1985 (14/1985) Tanggal : 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/73; TLN NO. 3316 DENGAN

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : SHAFIRA HIJRIYA

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan KESIMPULAN Kesimpulan yg dibuat oleh para pihak ttg jalannya persidangan sebelum dijatuhkan Putusan. Kesimpulan bersifat Fakultatif, artinya boleh diajukan, boleh tidak Sebaiknya dimasukan point yg menguntungkan

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERBEDAAN PENILAIAN DALAM PEMERIKSAAN PAJAK ANTARA PETUGAS PEMERIKSA PAJAK DENGAN WAJIB PAJAK NOTARIS/PPAT

BAB III AKIBAT HUKUM PERBEDAAN PENILAIAN DALAM PEMERIKSAAN PAJAK ANTARA PETUGAS PEMERIKSA PAJAK DENGAN WAJIB PAJAK NOTARIS/PPAT BAB III AKIBAT HUKUM PERBEDAAN PENILAIAN DALAM PEMERIKSAAN PAJAK ANTARA PETUGAS PEMERIKSA PAJAK DENGAN WAJIB PAJAK NOTARIS/PPAT 3.1 Sanksi atas Perbedaan Penilaian pada Pemeriksaan Pajak Hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA BLOKIR

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 007/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 09 Mei 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 007/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 09 Mei 2006 I. PEMOHON RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 007/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 09 Mei 2006 F.X. Cahyo Baroto (ahli waris Drs. R.J.Kaptin Adisumarta) KUASA HUKUM Dominggus Maurits Luitnan, SH., dkk II. PENGUJIAN

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-002/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA BANTUAN HUKUM JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.1112, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Blokir dan Sita. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam tingkat banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

ANALISA HUKUM ATAS KEDUDUKAN KREDITUR LAIN DALAM UPAYA HUKUM KASASI PADA PERKARA KEPAILITAN (STUDI TERHADAP TIGA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG)

ANALISA HUKUM ATAS KEDUDUKAN KREDITUR LAIN DALAM UPAYA HUKUM KASASI PADA PERKARA KEPAILITAN (STUDI TERHADAP TIGA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG) NUR ELFIRA NIRMALA POHAN 1 ANALISA HUKUM ATAS KEDUDUKAN KREDITUR LAIN DALAM UPAYA HUKUM KASASI PADA PERKARA KEPAILITAN (STUDI TERHADAP TIGA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG) NUR ELFIRA NIRMALA POHAN ABSTRACT Another

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa gejolak moneter

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET (Oleh H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Dalam praktek beracara di muka Pengadilan sering kita dapati perkara gugatan derden

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

Pelayanan Perkara Perdata

Pelayanan Perkara Perdata Pelayanan Perkara Perdata Pelayanan Perkara Perdata Meja Pertama Menerima permohonan gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali, permohonan eksekusi, dan permohonan somasi.

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang mengadili perkara tertentu pada tingkat banding

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR PENYITAAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Pengertian Penyitaan Sita (Beslag) adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama? PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK)

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK) PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK) Pertama : Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan. Kedua : Pihak berperkara menghadap petugas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem hukum Indonesia lembaga kepailitan bukan merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem hukum Indonesia lembaga kepailitan bukan merupakan hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem hukum Indonesia lembaga kepailitan bukan merupakan hal yang baru, karena pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah diwariskan pada zaman Hindia

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci