BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis, dapat diambil kesimpulan, sebagi berikut : 1. Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dibagi menjadi 2 (dua) periode yaitu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. a. Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di dominasi oleh ketidakpuasan pelaku usaha terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang dikarenakan rendahnya tingkat asset recovery. Selain
131 itu muncul sarana/lembaga lain disamping Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yaitu The Jakarta Initiative. The Jakarta Initiative adalah lembaga yang bernaung di bawah Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang menawarkan model mediasi diluar pengadilan (out of court settlement). The Jakarta Initiative menawarkan berbagai insentif bagi debitur yang beritikad baik untuk merestrukturisasi utangnya. Pada periode sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masih terdapat beberapa perkara yang digugurkan karena pemohon pernyataan pailit tidak hadir pada sidang pertama padahal telah dipanggil secara resmi (official) dan patut (properly), sehingga menyebabkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengugurkan beberapa perkara yang diajukan. b. Eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masih di dominasi oleh ketidakpuasan terhadap rendahnya asset recovery. Selain itu, faktor krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat imbasnya juga menerpa Indonesia serta keluarnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus juga berpengaruh terhadap eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam
132 menyelesaikan perkara kepailitan. Bahkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus yang diterbitkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada awal tahun 2013 menyebabkan lebih banyaknya permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dibandingkan dengan permohonan pernyataan kepailitan. 2. Kendala yang dihadapi oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat antara lain: a. Jumlah hakim yang tidak memadai di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat; b. Kualitas hakim niaga satu dengan hakim niaga yang lain berbeda; c. Tidak adanya hakim niaga tetap di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat; d. Jumlah pengadilan niaga di Indonesia terlalu sedikit menyebabkan daerah hukum pengadilan niaga yang sudah ada menjadi terlalu luas; e. Tidak jelasnya kedudukan para kreditur; f. Terbatasnya kompetensi relatif suatu pengadilan niaga; g. Terlalu cepatnya waktu yang disediakan untuk menyelesaikan perkara kepailitan; h. Tidak adanya satu ruangan khusus untuk menyelesaikan perkara kepailitan; i. Kurangnya jumlah staf niaga di Kepaniteraan Niaga Pengadilan Niaga pada Pengadian Negeri Jakarta Pusat.
133 B. Saran Setelah dilakukan penelitian mengenai eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan, maka berdasarkan datadata yang diperoleh penulis mencoba memberikan saran-saran sebagai bahan evaluasi, yaitu: 1. Mengenai eksistensi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan: a. Terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia hendaknya mempertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus terutama mengenai persoalan mengenai siapa yang dibebankan atas fee kurator jika putusan permohonan pernyataan pailit dibatalkan di tingkat kasasi ataupun dengan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung karena di dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus apabila putusan permohonan pernyataan pailit dibatalkan di tingkat kasasi ataupun dengan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung, maka pemohon pailit lah yang dibebankan untuk membayar fee kurator, sehingga hal
134 ini menyebabkan pemohon pailit lebih memilih untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dibandingkan langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Agar pemohon pailit lebih memilih untuk langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat daripada mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terlebih dahulu, haruslah dilakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus. b. Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat: Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya mempertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap peraturan kepailitan yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terutama mengenai persoalan asset recovery dan jangka waktu pemberesan harta pailit. Di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak dijelaskan mengenai asset recovery dan jangka waktu pemberesan harta pailit. Hal ini menyebabkan menurunnya permohonan pernyataan kepailitan yang masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Agar permohonan pernyataan kepailitan yang masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
135 tidak terus menurun dan cenderung konsisten, haruslah dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Mengenai kendala Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara kepailitan: a. Terhadap Pengadilan Niaga Jakarta Pusat: a) Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai salah satu dari 5 (lima) pengadilan yang ada di Indonesia hendaknya melakukan pembenahan dengan menambah jumlah staf niaga di Kepaniteraan Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan melakukan peningkatan terhadap sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya proses peradilan yang efisien; b) Hakim yang ada di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat hendaknya mau meningkatkan pengetahuannya terhadap hukum kepailitan sehingga tidak ada lagi hakim niaga yang kurang begitu paham masalah hukum kepailitan. b. Terhadap Mahkamah Agung: a) Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi hendaknya mempertimbangkan untuk menambah jumlah pengadilan niaga minimal ada di setiap ibukota propinsi agar terciptanya proses peradilan yang efektif;
136 b) Mahkamah Agung hendaknya mempertimbangkan untuk menambah jumlah hakim yang memiliki keahlian di bidang niaga di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat agar proses persidangan niaga di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dapat berjalan dengan efektif. c) Mahkamah Agung hendaknya mempertimbangkan untuk mutasi terhadap hakim niaga hanya di antara lingkungan pengadilan niaga satu dengan pengadilan niaga lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi hakim yang berasal dari daerah yang tidak ada pengadilan niaga nya dan minim pengetahuan soal kepailitan yang otomatis membutuhkan waktu untuk mempelajari soal kepailitan duduk sebagai hakim pengadilan niaga. Namun begitu hakim tersebut telah menguasai ilmu kepailitan, hakim itu sudah saatnya dipindahkan ke daerah lain yang tidak ada pengadilan niaga nya. d) Mahkamah Agung hendaknya mempertimbangkan untuk mempermudah jalur koordinasi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kepada pengadilan-pengadilan negeri lain di Indonesia, agar terhadap pemberesan harta pailit dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Mempermudah disini maksudnya adalah jalur koordinasi sebaiknya dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ataupun pengadilan niaga-pengadilan niaga lain di Indonesia langsung kepada Mahkamah Agung. Untuk selanjutnya dibuatkan surat keputusan.
137 Tanpa perlu melalui ketua pengadilan negeri tempat harta pailit berada. c. Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat: Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya juga mempertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap peraturan kepailitan yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terutama mengenai persoalan jangka waktu penyelesaian perkara kepailitan mulai dari awal sampai dengan penjatuhan putusan permohonan pernyataan pailit. Selain itu, mengenai kedudukan para kreditur. Agar lebih diperjelas di dalam peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan yang baru nantinya mengenai kedudukan para kreditor dan kreditor mana yang lebih berhak atas harta pailit. Agar terciptanya peraturan kepailitan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.