BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

HORMON REPRODUKSI JANTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 KINERJA REPRODUKSI

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class:

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mencapai tata kehidupan yang selaras dan seimbang dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

I. PENDAHULUAN. disfungsi ereksi, dan ejakulasi dini. Pada tahun 2025, diduga terdapat 322 juta

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan


II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Seksualitas Remaja dan Kesehatan Reproduksi Rachmah Laksmi Ambardini Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat, Populasi ayam lokal pada tahun 2014

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon)

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

BAB III METODE PENELITIAN

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

BAB I PENDAHULUAN. penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas. dan rumit (Hermawanto & Hadiwijaya, 2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN

FISIOLOGI HORMON STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN

STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) merupakan tanaman berupa pohon

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

Bab IV Memahami Tubuh Kita

TIU : Mahasiswa diharapkan. proses fisiologi organ. berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK :

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Tatap mukake 6 KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Kampung Super

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Population Data Sheet (2014), Indonesia merupakan

Transkripsi:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pasak Bumi Salah satu suku tumbuhan yang mempunyai banyak anggota dan berkhasiat obat adalah Simaroubaceae. Anggotanya yang paling terkenal adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack). Suku Dayak Kenyah menggunakannya untuk obat sakit perut dan demam, dan suku Banjar menggunakannya untuk afrodisiak (perangsang) sedangkan di Thailand digunakan sebagai antimalaria. Saat ini pasak bumi sudah merupakan komoditi ekspor (Mandang dan Andianto 2007). Ciri utama kayu pasak bumi adalah berpembuluh baur dengan diameter agak kecil, rata-rata kurang dari 100 mikron, kayu pasak bumi dari bagian batang sulit dibedakan dari kayu bagian akar. Akar berbentuk lancip sedangkan batang berbentuk silindris. Kondisi habitat pasak bumi bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 15-45%, ketinggian tempat 250-300 m dari permukaan laut. Habitat pasak bumi merupakan hutan tropis dan tanah tidak pernah tergenang air, datar tetapi lebih disukai kondisi tanah yang miring, aerasi baik atau banyak mengandung pasir. Pada tingkat semai, tumbuhan ini banyak dijumpai mengelompok di bawah tajuk hutan. Tumbuhan muda tidak menyukai cahaya langsung, tetapi memerlukan cahaya langsung sejak tumbuhan memasuki tingkat pohon (Heriyanto et al. 2006). Menurut Zumrotun (2006), tumbuhan yang digolongkan dalam kelompok afrodisiaka menunjukkan adanya aktivitas hormonal yaitu hormon androgenik. Hormon androgenik adalah hormon untuk hewan jantan dan mempunyai peranan dalam aktivitas atau tingkah laku kawin hewan jantan. Peningkatan hormon androgenik akan berpengaruh terhadap peningkatan libido seksualnya. Berdasarkan hasil analisis pasak bumi yang dilakukan oleh Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB, No. 405.016/LPSB/1/12 (hasil analisis terlampir) bahwasanya sampel serbuk pasak bumi mengandung Alkaloid (wagner dan dragendorf), Flavonoid, dan Steroid. Teknis analisis sampel pasak bumi

27 yang dilakukan, yaitu teknik visualisasi warna untuk menentukan kandungan senyawa dalam serbuk. Pada umumnya alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar yang terdapat dalam tumbuhan dan mencakup senyawa bersifat basa serta mengandung atom nitrogen. Alkaloid memiliki karakteristik rasa pahit di lidah. Flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air yang mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi, sedangkan steroid merupakan senyawa sebagai hormon kelamin pada satwa (Harborne 1987). Fungsi steroid disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Fungsi utama senyawa steroid Tempat dihasilkan Hormon Jenis Kimia Fungsi Utama Ovarium Estrogen Steroid - Tingkah laku kawin - Sifat-sifat seksual sekunder Ovarium Progesteron Steroid - Mempertahankan kebuntingan - Pertumbuhan ambing Testis Androgen (testosteron) Steroid - Tingkah laku kawin jantan - Spermatositogenesis - Mempertahankan sistem saluran kelamin jantan - Fungsi dari kelenjer tambahan Korteks ginjal Kortisol Steroid - Kelahiran - Sintesis susu Plasenta Estrogen Steroid - Pengenalan kebuntingan oleh induk pada babi Plasenta Progestin Steroid - Mempertahankan kebuntingan Sumber : Tomaszweska et al. (1991). Berdasarkan tabel di atas, steroid sangat berperan penting dalam reproduksi. Keberadaan senyawa steroid dalam tumbuhan pasak bumi, dapat mempengaruhi perilaku seksual dan proses reproduksi rusa timor jantan. Berbeda dengan alkaloid dan flavonoid tidak berpengaruh langsung kepada perilaku seksual dan proses reproduksi. Alkaloid adalah basa organik yang mengandung amina sekunder, tersier atau siklik. Senyawa alkaloid yang berasal baik dari tanaman maupun hewan menunjukkan beragam aktivitas biologi. Di Brazil, beberapa perusahaan farmasi telah menggunakan tanaman yang mengandung alkaloid ini sebagai bahan baku fitokimia. Kebutuhannya senantiasa meningkat setiap tahun sehingga mendorong para peneliti untuk mengembangkan tanaman, terutama di bidang pertanian dan obat-obatan. Salah satu penggunaan tanaman Ageratum conyzoides terutama dibidang pertanian dan obat-obatan. Penggunaan tanaman ini secara tradisional dapat menyembuhkan berbagai jenis

28 penyakit, bisa menjadi sumber ekonomi yang penting bagi Indonesia (Utami dan Robara 2008). Menurut Waji dan Sugrani (2009), flavanoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau kecuali alga dan merupakan kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini berwarna merah, ungu dan biru, sedangkan dalam tumbuhan ditemukan berwarna kuning. Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktif sebagai obat. Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron O-glikosida dan dihidroflavonol O- glikosida. Kuersetin adalah salah satu zat aktif kelas flavonoid yang secara biologis amat kuat. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, 2 cincin benzena (C 6 ) terikat pada suatu rantai propane (C 3 ) sehingga membentuk susunan C 6 -C 3 -C 6. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok itu adalah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin (Lenny 2006). Menurut Pratomo et al. (2010), pemberian pasak bumi dengan dosis 40 mg/200 g bb (bb=berat badan) fraksi air yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari pada tikus dilanjutkan pengamatan melalui tingkah laku, menguap (yawning) dan meregangkan tubuh (stretching). Gerakan stretching dan yawning dianggap suatu gerakan yang mencerminkan adanya timbul nafsu libido pada tikus tua. Diperoleh hasil bahwa pasak bumi mempunyai peran sebagai afrodisiaka pada tikus putih tua. 5.2 Pengaruh Pasak Bumi terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan 5.2.1 Perilaku istirahat rusa timor jantan Perilaku istirahat pada rusa di penangkaran yang dikelola dengan sistem ranch terjadi pada interval between feeding bout. Pada kondisi ini rusa lebih

29 banyak melakukan aktivitas memamah biak sambil duduk atau berbaring di bawah naungan pohon-pohon yang banyak serasahnya. Perilaku ini umumnya dilakukan pada saat tengah hari dan terik matahari mencapai maksimum (Zumrotun 2006). Hasil pengolahan data pada pengamatan penelitian ini terhadap waktu yang digunakan untuk aktivitas istirahat dapat diketahui bahwa rusa dengan dosis pasak bumi 0 mg (R0), 3000 mg (R1), 5000 mg (R2) dan 7000 mg (R3) tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti yang terlihat Tabel 4. Hal ini karena kondisi alat kelamin sekunder (ranggah) keempat rusa timor jantan berbeda-beda. Berbeda dengan laporan Zumrotun (2006) bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan adanya kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat. Semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan, akan semakin rendah atau singkat waktu yang digunakan untuk istirahat. Kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat, disebabkan satwa dalam kondisi birahi atau libidonya meningkat, sehingga sebagian besar waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksualnya. Semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktivitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina untuk mendekati, mencium, menggosokkan ranggah dan agonistik, sehingga semakin kecil atau semakin rendah waktu yang tersedia untuk istirahat. Perbedaan hasil analisis ini, karena perbedaan tempat perlakuan. Penelitian ini di lakukan di dalam kandang individu sehingga pakan yang dikonsumsi rusa menjadi terbatas, sedangkan Zumrotun (2006) di penangkaran sistem ranch sehingga rusa bebas menkonsumsi pakan (merumput). Kegiatan mencari makan pada rusa dapat dilakukan secara kelompok atau secara sendiri-sendiri. Rusa memiliki apa yang disebut feeding bout atau periode makan yaitu periode dimana terjadi aktivitas gerak pindah mencari pakan dilanjutkan dengan menemukan pakan dan memakannya. Setelah berkali-kali menemukan pakan dan memakan pakan, periode makan berakhir dan satwa memasuki periode interval between feeding bout (interval antara periode makan). Interval ini banyak diisi dengan aktivitas duduk dan memamah biak (Kurniawan 1997). Rata-rata waktu istirahat pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 4,13 ± 0,25 jam, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 4,25 ± 0,5 jam,

30 pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 4,25 ± 0,25 jam, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 4,25 ± 0,25 jam. Tabel 4 Analisis sidik ragam perilaku istirahat rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P Nilai tengah Kolom 3 0.77 49.00 0.00 Nilai tengah Baris 3 0.02 1.00 0.44 Galat 9 0.02 Total 15 Hasil analisis tersebut di atas merupakan hasil pengamatan yang dilakukan selama 4 (empat) periode dan total pengamatan 40 hari, dengan waktu pengamatan setiap hari dimulai pukul 08.00-17.00, dan pengamatan dilakukan lebih kurang selama 9 jam. Rusa melakukan perilaku istirahat setelah mengkonsumsi pakan, baik setelah mengkonsumsi pakan pagi (pukul 08.00) maupun siang (pukul 12.00). Hal ini sesuai dengan penelitian Zumrotun (2006) bahwa rusa yang berada di penangkaran BKPH Jonggol, umumnya beristirahat setelah merumput sampai pukul 12.00 atau setelah merumput siang hari dan beristirahat sampai pukul 16.00. Kemudian merumput kembali sampai pukul 17.00. Aktivitas merumput hanya dilakukan pada siang hari, sedangkan malam hari digunakan untuk beristirahat. Semua rusa (1, 2, 3 dan 4) yang diberi perlakuan (R0, R1, R2 dan R3) rata-rata melakukan perilaku istirahat selama 4,22 ± 0,41 jam setiap hari. Adapun cara rusa melakukan perilaku istirahat yaitu, dua kaki depan ditekuk, lalu diikuti dua kaki belakang juga ditekuk (Gambar 10). Gambar 10 Rusa timor jantan yang sedang istirahat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada malam hari sampai pukul 22.00, rusa timor jantan masih tetap beristirahat. Hal ini berbeda dengan laporan Semiadi (2006), rusa timor termasuk rusa tropis dikenal paling aktif pada malam

31 hari (nocturnal), sedangkan siang hari digunakan untuk mencari makan dan beristirahat. Perbedaan ini karena habitat yang berbeda yaitu antara habitat asli (hutan) dan habitat bukan asli (penangkaran). 5.2.2 Perilaku makan dan tingkat konsumsi rusa timor jantan Pakan yang diberikan pada rusa timor jantan selama perlakuan yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum) dan kaliandra (Calliandra calllothyrsus Meissn). Jumlah rumput gajah dan kaliandra yang diberikan setiap hari disesuaikan dengan bobot badan rusa. Jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan dalam berbagai perlakuan terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan di penangkaran (kg/individu/hari) Periode Ulangan Jumlah Rata-rata 1.A 2.B 3.C 4.D I R3/7,63 R0/7,53 R2/6,50 R1/5,31 26,97 6,74 II R1/5,67 R3/6,35 R0/5,267 R2/5,21 22,49 5,62 III R0/6,61 R2/5,06 R1/5,15 R3/5,29 22,10 5,53 IV R2/6,67 R1/5,39 R3/5,04 R0/4,56 21,67 5,42 Jumlah 26,58 24,33 21,95 20,37 93,22 23,31 Rata2 6,64 6,08 5,49 5,09 23,31 5,83 Adapun rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan pada setiap dosis pasak bumi yang diberikan terlihat pada Gambar 11, bahwasanya pada dosis pasak bumi 0 mg (R0), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,99 ± 1,33 kg. Pada dosis 3000 mg (R1), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,38 ± 0,22 kg, pada dosis 5000 mg (R2), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,86 ± 0,84 kg sedangkan dosis 7000 mg (R3) rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 6,08 ± 1,18 kg. Total rata-rata rusa timor jantan mengkonsumsi pakan selama perlakuan sebanyak 5,83 kg ± 0,93 kg. Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwasanya terjadi peningkatan dan penurunan jumlah pakan yang dikonsumsi pada periode dosis tertentu. Tingkat konsumsi pakan rusa paling tinggi berada pada saat rusa diberi dosis pasak bumi 7000 mg (R3), selanjutnya 0 mg (R0), 5000 mg (R2) dan 3000 mg (R1). Hal ini berbeda dengan dugaan sebelumnya, bahwasanya semakin tinggi dosis pasak

32 bumi yang diberikan semakin meningkat libido seksual rusa timor jantan dan nafsu mengkonsumsi pakan akan menurun (penurunan jumlah pakan yang dikonsumsinya, sesuai dengan pernyataan Zumrotun 2006 dan Takandjandji 2009 bahwa rusa yang sedang birahi umumnya nafsu makannya akan menurun. Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi (kg) Perlakuan Gambar 11 Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi fisiologi reproduksi usia kawin siap kawin pada rusa timor jantan, selain itu termasuk juga kondisi fisiologi organ kelamin sekunder rusa timor jantan yaitu ranggah rusa, ranggah keras keinginan untuk kawin akan tinggi dan nafsu makan berkurang dan sebaliknya ranggah lepas keinginan untuk kawin akan menurun, nafsu makan akan meningkat. Kesehatan, rusa jantan dalam kondisi sakit akan menurun konsumsi pakannya dan sebaliknya jika dalam kondisi sehat konsumsi pakan akan meningkat. Bobot badan, semakin besar bobot badan, jumlah pakan yang diberikan juga akan semakin banyak dan jumlah yang dikonsumsi rusa timor jantan juga akan semakin banyak, dan sebaliknya bobot badan yang kecil, jumlah pakan yang diberikan juga lebih kecil dan pakan yang dikonsumsi juga kecil. Sedangkan faktor eksternal diantaranya ketersediaan pakan di penangkaran atau kebun pakan, jika ketersediaan pakan banyak, maka pakan yang dikonsumsi juga akan banyak dan sebaliknya juga ketersediaan pakan sedikit, jumlah pakan yang dikonsumsi juga akan sedikit. Palatabilitas pakan (tingkat kesukaan satwa

33 terhadap pakan yang diberikan) semakin palatabel suatu pakan, maka konsumsi pakan satwa tersebut akan semakin meningkat, dan sebaliknya jika pakan tersebut tidak palatabel, maka pakan yang dikonsumsi juga sedikit. Musim, pada musim hujan, nafsu makan akan meningkat, dan sebaliknya musim kemarau nafsu makan akan menurun. (Zumrotun 2006). Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan, ternyata tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05). Menurut Semiadi (2006), rataan tingkat konsumsi bahan kering dengan bahan asal pelet pada rusa timor dewasa adalah 79 gr/kgbb 0,75 /hari, namun nilai ini dapat dipengaruhi oleh jenis hijauan yang diberikan. Pada pemberian rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebesar 81 gr/kgbb 0,75 /hari. Menurut Zumrotun (2006) lamanya periode makan dipengaruhi oleh kontraksi perut. Berakhirnya periode makan berhubungan erat dengan proses pengenyangan yang pada gilirannya tergantung pada salah satunya faktor pengembangan perut. Pengembangan perut merangsang suatu reseptor yang mengaktifkan pusat pengenyangan pada hypothalamus. Lebih lanjut dikatakan bahwa lama periode makan juga tergantung juga oleh faktor-faktor oropharhyngeal meskipun bukan merupakan faktor dominan. Rusa merupakan satwa yang tahan terhadap daerah kering, dan jarang sekali terlihat turun untuk mencari minum. Air yang dibutuhkan diperoleh dari pakan yang dimakannya, air embun dan kandungan air yang terdapat pada pakan rusa yang diberikan. Ciri khas dari satwa yang minim sekali membutuhkan air adalah kotorannya yang relatif keras dan kering karena sedikit mengandung air. Berdasarkan analisis statistika, lamanya rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 melakukan perilaku makan yaitu 4,781 jam ± 0,407 jam. Melalui uji Least Significant Difference (LSD) terhadap perilaku makan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap lama perilaku makan rusa timor jantan (Tabel 6). Tabel 6 Analisis sidik ragam perilaku makan rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P Nilai tengah Kolom 3 0.77 49.00 0.00 Nilai tengah Baris 3 0.02 1.00 0.44 Galat 9 0.02 Total 15

34 Perilaku makan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 4,88 ± 0,25 jam, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 4,75 ± 0,5 jam, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 4,75 ± 0,25 jam, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 4,75 ± 0,25 jam. Pada saat perlakuan, rusa diberi pakan sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu waktu pagi hari, siang hari dan sore hari. Seperti halnya dengan rusa sambar di alam pada lingkungan asli subtropis seperti Nepal, mulai aktif merumput sebelum fajar dan matahari terbenam, dan terlihat paling aktif merumput (mencari pakan) pada pukul 06.00-09.00 dan 16.00-19.00. Sedangkan rusa sambar yang berada di dalam kandang pedok merumput selama 9,1 jam dan 6,2 jam per hari yang dilakukan pada sore hingga dini hari sedang sisanya pagi hingga sore hari (Semiadi 2006). Selama perlakuan semua rusa (1, 2, 3, dan 4) yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 mengkonsumsi pakan pagi pada pukul 08.00-10.00, siang hari pukul 12.00-14.00 dan sore hari pada pukul 14.00-17.00 (pengamatan selesai pada pukul 17.00). Perilaku makan dimulai dengan mencium pakan dan kemudian mengkonsumsinya. Adapun perilaku makan rusa terlihat pada Gambar 12. Pengamatan dilakukan pada musim hujan, dengan suhu rata-rata 21-28 0 C dan kelembaban berkisar antara 40-70%. Menurut Toelihere et al. (2005) pada musim hujan, ketersediaan pakan hijauan melimpah, maka rusa yang ranggahnya dalam tahap pedicle memiliki kesempatan untuk memulihkan kondisi tubuhnya untuk memasuki tahap ranggah keras berikutnya. Hal ini terlihat pada rusa 2 dan 4 yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 yang meningkat bobot badannya sebelum dan setelah selesai perlakuan. Rusa 2 (R0, R1, R2 dan R3), awalnya memiliki bobot badan 61,00 kg menjadi 67,66 kg dan rusa 4 (R0, R1, R2 dan R3), awalnya 46,00 kg menjadi 56,81 kg. Berbeda halnya dengan rusa 1 dan 3 yang memiliki ranggah keras, dimana perilaku seksual ditandai dengan nafsu makan berkurang, sehingga terjadi penurunan bobot badan rusa. Rusa 1 (R0, R1, R2 dan R3), dimana awalnya memiliki bobot badan 66,00 kg menjadi 61,40 kg dan rusa 3 (R0, R1, R2 dan R3) awalnya 58,70 kg menjadi 57,63 kg.

35 (a) (b) Gambar 12a dan 12b Perilaku makan pada rusa timor jantan. 5.3 Pengaruh Pasak Bumi terhadap Perilaku Seksual Rusa Timor Jantan Perilaku seksual rusa yang muncul selama pemberian pasak bumi yaitu nyengir (flehmen), menggosok-gosokkan ranggah (rutting), berputar-putar di dalam kandang (rusa dalam keadaan gelisah), dan mengangkat leher sambil mengeluarkan suara (perilaku ini diamati di dalam kandang individu), sedangkan perilaku mendekati betina, mengendus urine rusa betina, mencium alat kelamin betina, menaiki punggung betina (mounting), diamati ketika rusa jantan digabungkan dengan rusa betina di dalam kandang individu. Menurut Zumrotun (2006) semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktifitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina seperti mendekati, mencium, menggosokkan ranggahnya dan agonistik. Menurut Prawigit (2007) anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes. Menurut Masy ud (1997), hormon reproduksi yang secara langsung berperan dalam mengatur aktivitas reproduksi rusa jantan yaitu, GnRH, FSH (Follikel Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan testosteron (androgen). GnRH berperan dalam menstimulasi diskresikan FSH dan LH dari hipofisa anterior, selanjutya masing-masing FSH merangsang tabuli seminiferi

36 testis untuk spermatogenesis sedangkan LH merangsang sel-sel interstitial testis untuk mensekresikan testosteron yang bertanggung jawab atas aspek-aspek reproduksi rusa jantan. Salah satu tanda pada rusa jantan mulai memasuki musim kawin adalah perkembangan ranggah, sehingga ada hubungan antara perkembangn ranggah dengan musim kawin. Peningkatan panjang (ranggah) dalam satu siklus, sejalan dengan meningkatnya konsentrasi androgen serum. Hubungan pola hormonal androgen dengan siklus perkembangan (ranggah) tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidup rusa. Menurut Semiadi (2006), konsentrasi sperma pada rusa timor jantan dewasa mencapai 1,5 x 10 9 /ml dengan tingkat motilitas >90% dan jumlah sperma sekitar 4 x 10 9 /ejakulasi. Setelah ranggah keras luruh, ada sebagian pejantan yang tetap menghasilkan sperma, walau dengan produksi yang rendah, tetapi ada juga pejantan yang tidak memproduksi sperma sama sekali. Pertumbuhan ranggah berkaitan dengan siklus hormon testosteron. Puncak konsentrasi hormon testosteron pada rusa timor terjadi pada hari ke 112 (kisaran hari ke 96-131) setelah proses kulit velvet mengelupas dengan konsentrasi 28,70 ng/ml. Pada fase pertumbuhan ranggah velvet konsentrasi hormon testosteron menurun drastis pada kisaran <0,2-6,7 ng/ml (Handarini 2005). Lama pertumbuhan spiker (ranggah tahun pertama tumbuh) pada rusa timor dilaporkan 90 hari. Rangsangan dapat berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Sedangkan Masy ud (1989) melaporkan bahwa rangsangan yang berasal dari dalam tubuh tersebut antara lain dapat berupa faktor fisiologis seperti sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan dan insentif akibat dari perangsangan mekanisme syaraf. Menurut Tomaszewska et al. (1991), nyengir atau pelipatan bibir (flehmen) adalah satu diantara beberapa respon yang sering diperlihatkan selama periode perangsangan seksual. Waktu nyengir, kepala diangkat dan dijulurkan, bibir atas dilipat ke atas dengan mulut sedikit dibuka (Gambar 13). Dalam keadaan birahi rusa jantan biasanya mencium rusa betina pada daerah sekitar alat kelamin. Respon normal yang ditunjukkan oleh rusa betina adalah mengeluarkan urine. Rusa jantan kemudian melakukan perilaku nyengir sebagai tanda adanya penciuman bau badan dengan organ vumero-nasal (organ Jacobson). Organ ini adalah penerima bau yang berbentuk sepasang pada saluran buntu yang terletak

37 diantara rongga hidung dan dihubungkan ke atas langit-langit mulut serta terus ke pusat penglihatan ke otak. Feromon dalam urine dijadikan tanda oleh rusa jantan bahwa betina dalam keadaan birahi. Gambar 13 Perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan. Frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 berbeda dan mengalami perubahan di setiap perlakuan yang diberikan (Tabel 7). Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas yang biasanya terlihat jelas di permukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding servik, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa masuk menemui ovum. Ini yang menyebabkan urine betina berahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka (flehmen). Tabel 7 Frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan Periode Hasil Pengacakan Jumlah Rata-rata 1.A 2.B 3.C 4.D I R3/8,2 R0/0.0 R2/10,1 R1/5,7 24,0 6,0 II R1/21,6 R3/0,1 R0/21,1 R2/5,0 47,8 11,9 III R0/15,6 R2/0,0 R1/21,5 R3/1,9 39,0 9,7 IV R2/27,1 R1/3,7 R3/27,9 R0/6,8 65,5 16,4 Jumlah 72,5 3,8 80,6 19,4 154,3 44,0 Rata2 18,1 0,95 20,15 4,85 44,0 11,0

38 Tabel 8 Analisis sidik ragam perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung Sig. Kolom 3 7361.08 3.11 0.11 Baris 3 1188.25 0.50 0.70 Error 6 2366.58 Total 15 Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05 (Tabel 8). Adapun frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 10,88 ± 9,34 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 13,13 ± 9,76 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 10,55 ± 12,66 kali, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 9,53 ± 12,73 kali. Secara keseluruhan frekuensi rata-rata perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan yaitu 11,02 kali. Rata-rata frekuensi perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan (Gambar 14), paling rendah pada perlakuan R3 (dosis pasak bumi 7000 mg) dan paling tinggi pada perlakuan R1 (dosis pasak bumi 3000 mg). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 14 Rata-rata frekuensi perilaku nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan di penangkaran. Adapun frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) rusa timor jantan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 19,98 ± 23,94 kali, pada perlakuan

39 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 23,60 ± 29,66 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 28,80 ± 31,34 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 22,80 ± 40,75 kali. Secara keseluruhan frekuensi rata-rata perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting)rusa timor jantan yaitu 23,79 kali (Tabel 9). Tabel 9 Frekuensi menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan Periode Hasil Pengacakan Jumlah Rata-rata 1.A 2.B 3.C 4.D I R3/7,4 R0/0,0 R2/48,8 R1/5,3 61,5 15,4 II R1/23,7 R3/0,1 R0/32,1 R2/5,0 60,9 15,2 III R0/47,8 R2/0,0 R1/65,4 R3/0,0 113,2 28,3 IV R2/62,2 R1/0,0 R3/83,7 R0/0,0 145,9 36,5 Jumlah 141,1 0,1 230,0 10,3 381,5 95,4 Rata2 35,3 0,0 57,5 2,6 95,4 23,8 Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05 (Tabel 10). Menurut Handarini dan Nalley (2008), pola konsentrasi hormon testosteron pada tahap ranggah keras mengalami peningkatan yang signifikan, menandakan bahwa terjadi suatu dorongan internal yang kuat pada tahap ranggah keras untuk aktivitas reproduksi didorong oleh libido yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan Handarini dan Nalley (2008) mengemukakan bahwa konsentrasi testosteron rendah pada tahap pembentukan velvet mulai meningkat pada saat shedding dan mencapai puncak konsentrasi pada tahap ranggah keras serta konsentrasi testosteron rendah pada saat ranggah lepas (casting). Induksi GnRH menunjukkan rendahnya respon hipofisa pada sekresi LH selama ranggah lepas dan tahap awal pembentukan ranggah. Respons tertinggi diperoleh pada tahap pembentukan ranggah keras telah selesai. Respons LH yang rendah dan konsentrasi testosteron yang tinggi menunjukkan terjadinya feedback negatif dari testosteron pada LH.

40 Tabel 10 Analisis sidik ragam perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P Rata-rata frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah pada (ruttting) rusa timor jantan (Gambar 15), paling rendah pada perlakuan R0 (dosis pasak bumi 0 mg) dan paling tinggi pada perlakuan R2 (dosis pasak bumi 5000 mg). Tingginya konsentrasi hormon testosteron pada ranggah tahap keras diiringi dengan tampilan tingkah laku reproduksi. Secara visual rusa mulai menunjukkan agresivitas dan tingkah laku rutting yang merupakan karakter spesifik pada rusa jantan. Kolom 3 438.52 0.36 0.78 Baris 3 54.23 0.04 0.99 Error 9 1219.34 Total 15 Rusa jantan yang memasuki tahap ranggah keras akan menunjukkan dominansinya dalam kelompok dengan cara perebutan pakan, tempat berkubang dan perkelahian. Perilaku lain yang ditampilkan untuk menarik perhatian betina adalah berguling, meloncat-loncat, membuat mahkota dengan dedaunan di atas kepala dan trash urination (spray urine) untuk menandai daerah teritori. Puncak aktivitas reproduksi ditandai dengan meningkatnya frekuensi tingkah laku kawin (Handarini dan Nalley 2008). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 15 Rata-rata frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan.

41 Tingginya penggunaan waktu untuk aktivitas rutting menurunkan frekuensi makan rusa selama tahap ranggah keras sehingga pada tahap ini terjadi penurunan bobot badan pada rusa jantan. Rusa yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 mengalami peningkatan dan penurunan bobot badan yaitu rusa 1 sebelum perlakuan dimulai memiliki bobot badan 66,00 kg, setelah perlakuan selesai bobot badan berkurang menjadi 61,40 kg. Terjadi penurunan bobot badan pada rusa 1 akibat aktivitas rutting selama pengamatan. Tahap casting merupakan tahap transisi dari tanggal ranggah ke tahap pertumbuhan velvet pada siklus ranggah berikutnya. Casting merupakan masa istirahat reproduksi pada rusa jantan dan dianggap sebagai masa tidak aktif reproduksi rusa timor jantan. Secara visual dapat dilihat bentuk ranggah yang belum simetris (asimetris) antara ranggah kanan dan kiri. Meskipun gambaran pola hormon rusa sub-adult ini hanya diwakili oleh satu ekor rusa yang baru memasuki pubertas, namun dari beberapa penelitian menunjukkan pola yang tidak stabil pada awal pertumbuhan ranggah (Handarini dan Nalley 2008). Begitu halnya selama perlakuan rusa 2 dan 4, ranggahnya dalam tahap casting, meskipun diberikan obat yang bersifat afrodisiak (perlakuan R0, R1, R2 dan R3) seperti pasak bumi, tetapi belum memberikan pengaruh yang nyata. Menurut Handarini dan Nalley 2008 secara visual pada tahap ranggah velvet, rusa jantan menunjukkan sifat soliter dengan tujuan untuk melindungi ranggah muda (velvet) yang sedang tumbuh. Ranggah muda merupakan jaringan lunak yang mempunyai banyak pembuluh darah dan sangat sensitif, sehingga masing-masing rusa saling menghindar persinggungan satu sama lain. Pada tahap velvet terjadi peningkatan frekuensi makan (hampir seluruh aktivitas digunakan untuk makan). Begitu halnya dengan rusa 4 dalam kondisi ranggah lepas dan tahap velvet, memiliki frekuensi aktivitas makan yang tinggi, sehingga terjadi peningkatan bobot badan. Rusa 1 selama perlakuan sangat agresif, hal ini terlihat dari frekuensi nyengir dan menggosokkan-gosokkan ranggah. Bahkan saat rusa 1 melihat rusa betina, perilaku rusa 1 sangat agresif, sehingga dapat dipastikan rusa tersebut dalam kondisi birahi saat itu. Hal ini terbukti dengan jebolnya pintu kandang akibat dorongan kepala rusa (Gambar 16a) dan rusaknya

42 dinding kandang akibat gosokkan ranggah (Gambar 16b). Perilaku menggosokgosokkan ranggah pada rusa terlihat pada Gambar 16c dan 16d. (a) (b) (c) (d) Gambar 16 Perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting). (a) Pintu kandang yang jebol; (b) Dinding kandang yang rusak; (c) Menggosok-gosokkan ranggah pada pintu kandang; (d) Menggosok-gosokkan ranggah pada kawat kandang. Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku mendekati betina yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3, ternyata tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun Frekuensi mendekati betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 15 ± 1,87 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 19 ± 2,75 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 23 ± 2,87 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi mendekati betina yaitu 14,25 kali (Gambar 17). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 17 Frekuensi perilaku mendekati betina pada rusa timor jantan

43 Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku mencium alat kelamin betina yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun frekuensi menciumlaat kelamin betina betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 28 ± 13 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 24 ± 3 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 46 ± 5,75 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi mendekati betina yaitu 24,5 kali (Gambar 18). Perilaku mencium alat kelamin betina yang dilakukan oleh rusa timor jantan terlihat pada Gambar 19. Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 18 Frekuensi perilaku mencium alat kelamin betina pada rusa timor jantan. Gambar 19 Perilaku mencium alat kelamin betina. Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku menaiki betina (mounting) yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun Frekuensi menaiki betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 7 ± 3,87 kali, pada perlakuan 3/ dosis 5000 mg (R2) yaitu 31 ± 4,63 kali, pada perlakuan 4/dosis

44 7000 mg (R3) yaitu 37 ± 5,37 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi menaiki betina yaitu 18,75 kali (Gambar 20). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 20 Frekuensi perilaku menaiki betina pada rusa timor jantan. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa antar berbagai tingkat perlakuan tidak semuanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat terjadi karena intensitas kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hormonal saja, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain. Telah diketahui bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah hormon dan syaraf yang keduanya bekerja dengan peran yang berbeda tetapi saling ketergantungan dan berinteraksi yang disebut neurohormonal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah adanya rangsangan luar seperti adanya betina birahi. Rangsangan dari luar tersebut dapat berupa suara, penglihatan, perabaan dan bau atau penciuman (Zumrotun 2006). Menurut Siswanto (2006) status fisiologis reproduksi rusa jantan meliputi status ranggah, lingkar leher dan lingkar testis. Siklus reproduksi rusa dikenal dengan istilah siklus ranggah (antler cycle). Siklus ranggah ini teramati dari pertumbuhan ranggah yang masih terbungkus kulit atau disebut dengan tahap velvet, selanjutnya kulit ranggah mengelupas dinamakan dengan tahap shedding, berikutnya ialah ranggah rusa dalam tahap keras dan akhirnya ranggah rusa lepas. Siklus ini berkaitan dengan kemampuan berkembangbiak. Pada saat ranggah rusa

45 berada pada tahap keras, maka lingkar testis maksimum dengan produksi spermatozoa juga maksimum, kadar testosteron darah tinggi dan rusa sangat agresif. Sebaliknya jika ranggah rusa lepas maka lingkar testis akan minimum, produksi spermatozoa menurun, kadar testosteron darah rendah, dan lingkar leher juga mengecil. Pada saat itu semen yang dihasilkan mengandung jumlah spermatozoa sedikit, dengan persentase abnormalitas yang tinggi. Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 21 Rerata frekuensi perilaku seksual pada rusa timor jantan. Berdasarkan Gambar 21 di atas terlihat bahwa frekuensi perilaku nyengir tertinggi pada pemberian pasak bumi dengan dosis 7000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Berbeda dengan perilaku menggosok-gosok ranggah tertinggi pada dosis 5000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Frekuensi tertinggi pada perilaku mendekati betina, mencium alat kelamin betina dan menaiki betina pada dosis 7000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Hal ini berarti semakin tinggi dosis yang diberikan, akan terjadi peningkatan libido seksual rusa timor jantan yang terlihat pada frekuensi perilaku seksual yang semakin meningkat. Perbedaan intensitas berbagai perilaku seksual yang ditunjukkan oleh R0, R1, R2 dan R3 ini disebabkan adanya perbedaan steroid yang terkandung dalam tubuh (konsentrasi steroid dalam serum) pada rusa tersebut. Semakin tinggi dosis pasak bumi yang diberikan, akan semakin naik pula konsentrasi androgen (testosteron) serumnya. Setelah mengalami proses pencernaan, maka steroid yang

46 terkandung dalam pasak bumi yang bersifat sebagai androgenik, akan diserap dan masuk dalam peredaran darah. Steroid yaitu testosteron dalam darah akan memberikan reaksi pada organ-organ sasarannya atau menimbulkan perilaku seksual yang lebih jelas. Pasak bumi mengandung senyawa-senyawa bioaktif, salah satu diantaranya adalah steroid. Dalam tubuh steroid akan bekerja atau berfungsi seperti androgen (testosteron) yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial (sel Leydig) yang terdapat diantara tubuli seminiferi testis, yang kemudian disekresikan dan masuk pada peredaran darah sehingga akan mempengaruhi kelakuan reproduksinya atau peningkatan libidonya (Zumrotun 2006).