2 TINJAUAN PUSTAKA. Antennule. Antennae. Carapace. Abdomen. Gambar 1 Bagian-bagian tubuh lobster. Sumber: (http://research.myfwc.

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH PERBEDAAN ATRAKTOR PADA KORANG TERHADAP HASIL TANGKAPAN JUVENIL LOBSTER DI DESA SANGRAWAYANG, PALABUHANRATU

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi spiny lobster.

JURNAL JENIS LOBSTER DI PANTAI BARON GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA. Disusun oleh : Mesi Verianta

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

PENGARUH PERBEDAAN ATRAKTOR TERHADAP HASIL TANGKAPAN JUVENIL LOBSTER DENGAN KORANG DI DESA SANGRAWAYAN, PALABUHANRATU

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Lobster laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang penting,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (1): ISSN:

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia. Kima Lubang (Tridacna crosea)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March :22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

Pengalaman Membuat dan Memasang Tanda Batas Di Taman Nasional Kepulauan Seribu

UJI COBA DUA MACAM KRENDET UNTUK MENANGKAP SPINY LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN WONOGIRI. Oleh : ANDRIE LESMANA C

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

SELEKSI POLA DINDING BUBU PLASTIK UNTUK MENANGKAP LOBSTER HIJAU PASIR

DINAMIKA EKOSISTEM PERAIRAN BUDIDAYA TIRAM DAN PEMANFAATANNYA. IRMA DEWIYANTI, S.Pi., M.Sc

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

KEMIRINGAN DINDING LINTASAN MASUK BUBU LOBSTER HIJAU PASIR. Oleh : Meita Maria Adriani Ritonga C

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

PELATIHAN PEMBUATAN RUMPON BAGI KELOMPOK NELAYAN DI DESA LES, KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG

F. Kunci Identifikasi Bergambar kepada Bangsa

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Poduksi perikanan Indonesia (ribu ton) tahun

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

STATUS PEMANFAATAN LOBSTER (Panulirus sp) DI PERAIRAN KEBUMEN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

TINJAUAN PUSTAKA Botani Manggis

BUDIDAYA PEMBESARAN UDANG KARANG (Panulirus spp.)

TINJAUAN PUSTAKA. dan tajam. bentuk daunnya menyirip, tersusun rozet pada ujung batang (Hartono,

PENGARUH ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP BAGAN TANCAP DI PERAIRAN JEPARA

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Udang Barong ( Spiny Lobster) Klasifikasi dan morfologi

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

Transkripsi:

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lobster 2.1.1 Biologi lobster Lobster merupakan hewan nokturnal, yang berarti mencari makan di malam hari. Lobster memakan kumpulan benthic yang berbeda jenis dan spesies fauna lainnya. Lobster juga memakan hewan lunak (mollusca) seperti siput, krustasea kecil, echinoderm, polychaeta (Phillip & Kittaka 2000). Tubuh lobster diselubungi dengan kerangka kulit yang keras dan berzat kapur serta terdapat duri-duri. Pada kerangka kulit ini terdapat warna-warna yang indah. Duri-duri besar dan kecil yang kukuh serta tajam-tajam mulai dari ujung sungut kedua (second antenna), kepala, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya (Subani 1978). Antennule Antennae Carapace Abdomen Sumber: (http://research.myfwc.com 18 Sep 2011) Gambar 1 Bagian-bagian tubuh lobster

5 Menurut Holthuis (1991), lobster yang terkait dengan Genus Panulirus, diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda Class : Crustacea Order : Decapoda Sub Order : Macrura Reptantia Super Family : Palinuroidea Family : Palinuridae Genus : Panulirus Species : Panulirus homarus (Linnaeus 1758) Panulirus longipes (Milne Edward 1868) Panulirus ornatus (Fabricius 1798) Panulirus penicillatus (Olivier 1791) Panulirus polyphagus (Herbst 1793) Panulirus versicolor (Latreille 1804) Menurut Williams (1986), jenis lobster yang tertangkap di perairan selatan Jawa adalah: (1) Lobster hijau pasir (Panulirus homarus); (2) Lobster bunga (Panulirus longipes); (3) Lobster mutiara (Panulirus ornatus); (4) Lobster batu (Panulirus penicillatus); (5) Lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus); dan (6) Lobster hijau (Panulirus versicolor). Ciri-ciri khusus lobster yang hidup di seluruh perairan pantai di Indonesia adalah (Moosa dan Aswandy 1984; Holthuis 1991): (1) Lobster hijau pasir (Panulirus homarus Linnaeus 1758) Lobster ini bernama Scalloped spiny lobster (nama internasional) dan lobster hijau pasir (nama indonesia). Lobster ini mempunyai warna dasar kehijauan atau kecoklatan dengan dihiasi bintik-bintik terang tersebar di seluruh permukaan segmen abdomen dan kaki bebercak-bercak putih. Ukuran panjang tubuh maksimum adalah 31 cm, panjang karapas 12 cm dan rata-rata panjang tubuh antara 20 25 cm. Panulirus homarus aktif di malam hari dan hidup berkoloni. Lobster mendiami perairan dangkal antara 1 90 meter, kebanyakan berada pada kedalaman 1 5 meter dan tinggal diantara batu-batu, sering di zona ombak,

6 kadang-kadang di air agak keruh. Lobster muda mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kekeruhan, sedangkan lobster dewasa lebih menyukai perairan yang cerah. Gambar 2 Lobster hijau pasir (Panulirus homarus Linnaeus 1758) Penyebaran secara geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik Barat, Afrika Timur ke Jepang, Indonesia, Australia dan Kaledonia Baru. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, Pacitan, Tanjung Panaitan, dan Kepulauan Seribu. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan derah sebaran lobster Panulirus homarus di seluruh dunia. Gambar 3 Penyebaran lobster hijau pasir (Panulirus homarusi Linnaeus 1758)

7 (2) Lobster bunga (Panulirus longipes Milne Edwards 1868) Lobster ini bernama Longlegged spiny lobster (nama internasional) dan lobster bunga (nama indonesia). Lobster ini berwarna dasar kecoklatan dengan warna kebiruan pada ruas I antenna. Lobster ini memiliki bintik puti di bagian abdomen. Kaki jalan berbintik-bintik putih dengan warna pucat memanjang pada tiap-tiap ruas kaki. Ukuran panjang tubuh maksimum adalah 30 cm dengan rata-rata panjang tubuh antara 20 25 cm, dan maksimum panjang karapas 12 cm dengan rata-rata panjang karapas antara 8 10 cm. Panulirus longipes mendiami tempat yang sedikit terlindung dan menyukai perairan yang bersifat oseanik. Lobster ini tinggal di dalam lubang batu atau karang dan pada malam hari naik ke tubir untuk mencari makan. Lobster hidup di air yang jernih atau sedikit keruh pada kedalaman antara 1 18 m (meskipun ditemukan juga pada kedalaman perairan 122 m) di daerah berbatu dan terumbu karang, aktif di malam hari dan hidup soliter. Gambar 4 Lobster bunga (Panulirus longipes Milne Edwards 1868). Penyebaran geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik Barat, Afrika Timur ke Jepang dan Polinesia. Dua sub-spesies yang dikenali sebagai Panulirus longipes adalah lobster wilayah barat yang mendiami dari Afrika Timur ke Thailand, Taiwan, Filipina dan Indonesia, sedangkan lobster wilayah timur yang dikenali dengan sub-spesies Panulirus femoristriga mendiami Jepang, Maluku, Papua New Guinea, Australia timur, Kaledonia baru dan Polinesia. Penyebaran

8 lobster ini di wilayah perairan Pulau Jawa adalah di perairan Pangandaran dan Situbondo. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan derah sebaran lobster Panulirus longipes di seluruh dunia. Gambar 5 Penyebaran lobster bunga (Panulirus longipes Milne Edwards 1868) (3) Lobster mutiara (Panulirus ornatus Fabricius 1798) Lobster ini bernama Ornate spiny lobster (nama internasional) dan lobster mutiara (nama indonesia). Lobster ini memiliki warna dasar biru kehijauan sampai biru kekuningan. Pada bagian segmen abdomen berwarna kegelapan pada bagian tengah dan bagian sisi mempunyai bercak putih. Lobster ini memiliki kaki bebercak putih. Lobster ini mendiami perairan dangkal di pantai antara 1 8 m yang kadang-kadang sedikit keruh, tetapi juga ditemukan pada kedalaman lebih dari 50 m. Hidup di substrat berpasir dan berlumpur, kadang-kadang di bawah batu dan terumbu karang. Lobster ini memiliki ukuran panjang maksimum hingga 50 cm. Lobster mutiara (Panulirus ornatus) biasanya ukurannya jauh lebih kecil, yaitu antara 30 35 cm.

9 Gambar 6 Lobster mutiara (Panulirus ornatus Fabricius 1798) Penyebaran geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik Barat dari Laut Merah dan Afrika Timur, ke selatan Jepang, Kepulauan Solomon, Papua New Guinea, Australia, Kaledonia Baru dan Fiji. Tahun 1988, lobster ini ditemukan di pantai timur Israel di Mediterania. Penyebaran lobster ini adalah di wilayah perairan selatan Pulau Jawa yaitu di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, Tanjung Panaitan, dan kepulauan Seribu. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus ornatus di seluruh dunia. Gambar 7 Penyebaran lobster mutiara (Panulirus ornatus Fabricius 1798) (4) Lobster batu (Panulirus penicillatus Olivier 1791) Lobster ini bernama pronghorn spiny lobster (nama internasional) dan

10 lobster batu (nama indonesia). Lobster ini berwarna dasar hijau muda sampai hijau kecoklatan. Lobster jantan biasanya berwarna lebih gelap. Kaki berwarna putih. Habitat dari lobster batu (Panulirus penicillatus) ini mendiami perairan dangkal antara 1 4 m dengan substrat berbatu dan kondisi air jernih serta tidak dipengaruhi oleh adanya keberadaan sungai. Lobster ini seringkali berada dalam zona surfing dan dalam perairan bergelombang. Oleh karena itu sering berada di dekat pantai dan pulau-pulau kecil. Lobster ini aktif pada malam hari dan hidup soliter. Panjang tubuh maksimum sekitar 40 cm, panjang tubuh lobster dewasa sekitar 30 cm. Lobster jantan biasanya memiliki ukuran tubuh jauh lebih besar dibandingkan betina. Gambar 8 Lobster batu (Panulirus penicillatus Olivier 1791) Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik Barat dan Pasifik Timur: Laut Merah, timur Afrika ke Jepang, Hawaii, Samoa, dan Kepulauan Tuamotu dan lebih ke timur ke pulau-pulau lepas pantai barat Amerika (Pulau Clipperton, Kepulauan Revillagigedo, Pulau Cocos, Kepulauan Galapagos) dan di beberapa daerah dekat pantai Meksiko (Sinaloa, Nayarit, dan Guerrero). Penyebaran lobster ini di wilayah perairan selatan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, Pacitan, dan Tanjung Panaitan.

11 Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus penicillatus di seluruh dunia. Gambar 9 Penyebaran lobster batu (Panulirus penicillatus Olivier 1791) (5) Lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus Herbst 1793) Lobster ini bernama mud spiny lobster (nama internasional) dan lobster bambu coklat (nama indonesia). Lobster ini memiliki warna dasar hijau muda kebiruan dengan garis putih melintang terdapat pada setiap segmen. Kaki bercak putih. Panulirus polyphagus mendiami perairan yang keruh dan sering ditemukan hidup pada dasar laut yang berlumpur dengan kisaran kedalaman perairan antara 3 90 m, tapi biasanya pada kedalaman di bawah 40 m. Panjang tubuh maksimum dapat mencapai 40 cm dengan rata-rata panjang tubuh antara 20 25 cm. Gambar 10 Lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus Herbst 1793)

12 Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik Barat: mulai dari pantai Pakistan dan India ke Vietnam, Filipina, Indonesia, Barat Laut Australia dan Teluk Papua. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan selatan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, dan Tanjung Panaitan. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus polyphagus di seluruh dunia. Gambar 11 Penyebaran lobster bambu coklat (Panulirus polyphagus Herbst 1739) (6) Lobster hijau (Panulirus versicolor Latreille 1804) Lobster ini bernama painted spiny lobster (nama internasional) dan lobster hijau (nama indonesia). Lobster ini memiliki warna-warni yang indah. Antenna berwarna merah jambu di bagian dasarnya dan warna yang serupa juga terlihat pada bagian sisi karapas. Warna dasar lobster adalah hijau terang dengan garis putih melintang yang diapit oleh garis hitam. Pada lobster yang masih muda warna dasarnya adalah kebiruan atau keunguan. Panulirus versicolor mendiami perairan dangkal dari sublitoral hingga ke kedalaman 15 m, di daerah terumbu karang, di perairan yang jernih dan daerah surfing. Lobster ini aktif pada malam hari dan hidup soliter. Panjang tubuh maksimum dapat mencapai 40 cm dan ratarata panjang tubuh adalah kurang dari 30 cm.

13 Gambar 12 Lobster hijau (Panulirus versicolor Latreille 1804) Penyebaran geografis pada lobster hijau (Panulirus versicolor) berada di Indo-Pasifik Barat: mulai dari Laut Merah dan seluruh pantai timur Afrika, ke selatan Jepang, Mikronesia, Melanesia, Australia Utara dan Polinesia. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, Tanjung Panaitan, kepulauan Seribu, dan Situbondo. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran lobster Panulirus versicolor di seluruh dunia. Gambar 13 Penyebaran lobster hijau (Panulirus versicolor Latreille 1804) Salah satu yang paling mengesankan dan menjadi karakteristik dari Panulirus sp. adalah jarak tempuh migrasi selama hidupnya yang terkadang

14 membuat suatu model tertentu (Herrnkind 1980). Migrasi dari Panulirus sp. berupa musiman dan terjadi di sekitar pantai, lepas pantai dan sepanjang garis pantai serta melakukan migrasi secara bergerombol (Phillips & Kittaka 2000). 2.1.2 Siklus hidup lobster Phillips et al. (1980) mengatakan bahwa lobster memiliki lima fase yaitu dewasa, telur, filosoma (larva), puerulus (post-larva) dan juvenil. Tiap fase diikuti dengan pergantian kulit. Menurut Subani (1984) dalam Utami (1999), semenjak telur menetas menjadi larva hingga mencapai tingkat dewasa dan akhirnya mati, maka selama pertumbuhannya lobster selalu mengalami pergantian kulit (molting). Pergantian kulit tersebut lebih sering terjadi pada stadia larva. Menurut Subani (1984) dalam Nawangwulan (2001), secara umum dikenal adanya tahapan stadia larva, yaitu naupliosoma, filosoma, puerulus. Perubahan dari stadia satu ke stadia berikutnya selalu terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan-perubahan bentuk (metamorpose) yang terlihat dengan adanya modfikas-modifikasi terutama pada alat geraknya. Pada stadia filosoma pergantian kulit yang terakhir, terjadi stadia baru yang bentuknya sudah mirip lobster dewasa walaupun kulitnya belum mengeras atau belum mengandung zat kapur. Pertumbuhan berikutnya setelah mengalami pergantian kulit lagi, terbentuklah lobster muda yang kulitnya sudah mengeras karena diperkuat adanya zat kapur. Bentuk dan sifatnya sudah mirip lobster dewasa (induknya) atau disebut dengan juvenil. Naupliosoma biasanya terjadi dalam tempo pendek, kemudian setelah mengalami pergantian kulit menjadi yang disebut filosoma. Stadia ini berbentuk pipih, tembus cahaya dan memiliki kaki-kaki yang berfungsi sebagai alat apug (berenang). Stadia filosoma terdiri dari beberapa tingkatan dan tiap tingkatan dicirikan oleh adanya umbai-umbai, bulu-bulu (cetae) dan bentuk dari cephalic shield (Subani 1984). Pergantian kulit yang terakhir dari stadia filosoma, terjadi stadia baru yang bentuknya sudah mirip lobster dewasa walaupun kulitnya belum mengeras (belum mengandung zat kapur). Stadia ini disebut puerila. Pertumbuhan berikutnya

15 setelah mengalami pergantian kulit lagi, terbentuklah lobster muda yang kulitnya sudah mengeras karena diperkuat adanya zat kapur. Bentuk dan sifatnya sudah mirip dengan lobster dewasa (induknya) atau disebut sebagai juvenil. Mereka hidup di dasar perairan karang, liang-liang atau lubang-lubang karang (Subani 1984). Phillips & Kittaka (2000) mengatakan bahwa pada fase juvenil, mereka baru terpisah menjadi hewan yang hidupnya di alga atau memasuki fase benthic. Juvenil lobster ini memiliki tiga perbedaan fase ekologi yaitu fase algal, muda, dan post-algal. Pada fase algal, juvenil lobster memiliki panjang karapas (CL) sekitar 5-15 mm. Pada juvenil muda, ukuran panjang yang dimiliki yaitu sekitar 20-45 mm, sedangkan pada fase post-algal panjang karapas yang dimiliki juvenil lobster sekitar 45 mm. Fase ini banyak ditemukan pada bulan September sampai dengan November (Phillips & Kittaka 2000). Lama hidup sebagai stadia larva untuk lobster berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Lobster yang hidup di perairan tropis prosesnya lebih cepat dibandingkan yang hidup di daerah sub-tropis, yaitu memerlukan waktu sekitar 3 sampai 7 bulan (Subani 1984 diacu dalam Utami 1999). 2.1.3 Musim dan daerah penangkapan lobster Menurut Muljanah et al. (1994), pada perikanan lobster dikenal 2 siklus musim, yaitu: 1) Siklus Musim Lima Tahunan Siklus musim ini merupakan musim besar yang terjadi setiap 4-5 tahun sekali. Siklus ini pernah dialami pada tahun 1886 yang diikuti tahun 1991. Pada musim besar yang tertangkap sangat banyak dan berlangsung setiap bulan sepanjang tahun. 2) Siklus Musim Tahunan Siklus musim ini berlangsung sekitar 5 bulan per tahun. Siklus ini umumnya berlangsung antara bulan September sampai dengan bulan Januari yang biasanya bersamaan dengan musim hujan. Pada musim paceklik biasanya ombak besar sehingga nelayan sulit melaut. Lobster banyak terdapat di Perairan Indonesia karena terdapatnya habitat yang baik berupa karang yang tumbuh subur. Perairan Indonesia mempunyai

16 iklim tropis dan mempunyai suhu rata-rata 28 o C (Suman et al. 1993). Lobster ini biasanya terdapat pada kedalaman 10-15 m. Pada siang hari lobster ini bersembunyi diantara karang-karang, gua-gua karang dan pada malam hari keluar mencari makan ke tempat-tempat yang relatif dekat sekali dengan pantai terutama pada waktu air pasang (Suman et al. 1993). 2.2 Rumpon Rumpon adalah suatu benda menyerupai pepohonan yang dipasang di suatu tempat di laut. Menurut SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu, penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat pemasangan dan pemanfaatan rumpon menurut SK tersebut, dikategorikan ada 3 jenis rumpon, yaitu : 1) Rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut. 2) Rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter. 3) Rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih 200 meter. Martasuganda (2008) mengatakan bahwa tujuan pemasangan rumpon di suatu perairan adalah untuk memikat ikan yang beruaya agar mau singgah, beristirahat, berkumpul, atau terkonsentrasi di sekitar rumpon, sehingga akan mempermudah nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kepastian daerah penangkapan ikan menyebabkan waktu dan biaya operasi penangkapan bisa diprediksi secara akurat sehingga usaha penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien. Disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, rumpon pada prinsipnya juga memudahkan kawanan ikan untuk ditangkap sesuai dengan alat tangkap yang dikehendaki. Penggunaan rumpon oleh kapal penangkap ikan juga dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar gerombolan-gerombolan ikan (Subani 1986; Wudianto dan Linting 1988).

17 Menurut Badan Litbang Perikanan (1992), rumpon yang dikembangkan saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan : 1) Posisi dari pemikat atau pengumpul (agregator), rumpon dibagi mejadi rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah dan dasar. Rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah terdiri dari jenis rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam. 2) Kriteria portabilitas, rumpon dikelompokkan menjadi rumpon yang dijangkar secara tetap (statis) dan rumpon yang dijangkar tetapi dapat dipindah-pindah (dinamis) 3) Tingkat teknologi yang digunakan, rumpon dikelompokkan menjadi tradisional dan moderen. Rumpon tradisional umumnya digunakan oleh nelayan tradisional yang terdiri dari pelampung, tali jangkar atau pemberat serta pemikat yang dipasang pada kedalaman 200-300 meter. Rumpon moderen umumnya terdiri dari pelampung yang terbuat dari bahan plat besi atau drum, tali jangkar terbuat dari kabel baja (steel wire), tali sintesis dan dilengkapi dengan swivel, pemberat biasanya terbuat dari semen cor. Pemikat biasanya terbuat dari bahan alami dan bahan sintesis seperti ban, pita plastik dan lain-lain (Nahumury 2001). Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah (Subani 1972). Cara pengumpulan ikan dengan pikatan berupa benda terapung tersebut menurut Sondita (1986) yang merupakan salah satu bentuk dari Fish Aggregating Device (FAD), yaitu metode benda atau bangunan yang dipakai sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan mengumpulkan ikan tersebut. Subani (1972) menerangkan bahwa biasanya kegiatan penangkapan di sekitar rumpon dilakukan setelah sepuluh hari rumpon tersebut dipasang. Beberapa hari setelah rumpon ditanam dan bila diketahui bahwa di sekitar rumpon tersebut banyak kerumunan ikan kemudian baru dilakukan operasi penangkapan ikan. Rumpon laut dalam maupun rumpon laut dangkal secara garis besar terdiri dari empat komponen utama yaitu (1) pelampung atau float, (2) tali panjang atau

18 rope, (3) pemikat ikan atau atraktor, (4) pemberat atau sinker. Pada tali yang menghubungkan antara pemberat dan pelampung pada jarak tertentu disisipkan atraktor dengan panjang tali yang bervariasi. Setelah dipasang kedudukan rumpon ini ada yang dapat diangkat-angkat, tetapi ada pula yang bersifat tetap tergantung pada pemberat yang digunakan (Subani 1986). Tim Pengkaji Rumpon Institut Pertanian Bogor (1987) mengemukakan bahwa persyaratan umum komponen dari konstruksi rumpon adalah: 1) Pelampung (float); mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang mengapung di atas 1/3 bagian), konstruksi cukup kuat, tahan terhadap gelombang, mudah dikenali dari jarak jauh dan bahan pembuatannya mudah diperoleh. 2) Pemikat (atraktor); mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan, tahan lama, mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah dan terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan kuat. 3) Tali temali (rope); terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah busuk, harga relatif murah, mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus dan tidak bersimpul (less knot). 4) Pemberat (sinker); bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh serta massa jenisnya besar, permukaannya tidak licin dan dapat mencengkram. Boy dan Smith (1984) menerangkan bahwa appendage atau atraktor yang berupa daun kelapa, tyrewall, jaring dan kumpulan tali-temali yang diikatkan pada bagian rakit telah berhasil meningkatkan efektivitas rumpon untuk memikat ikan. Keng (1978) mengemukakan bahwa atraktor alami seperti daun kelapa (Cocos nucifera Linn), daun kelapa sawit (Elaeis gunieensis Jacq.) dan daun aren (Arenga saccharifera Labiil) masuk ke dalam famili yang sama yaitu famili Cycadaceae, hanya genus dan spesiesnya saja yang berbeda. Betuk fisik diantara ketiganya hampir sama yaitu: pohon tinggi, bentuk daun pinnate atau palmate (seperti kipas), pelepah daun berserabut, tidak kasar dan bentuknya tidak tubular serta buah simetris. Soedharma (1994) menyatakan bahwa hal yag perlu diperhatikan pada rumpon adalah penggantian atraktor secara berkala, karena atraktor merupakan

19 komponen yang paling mudah rusak dibandingkan komponen rumpon lainnya. Atraktor yang terlalu lama diletakkan pada rumpon akan menyebabkan semakin sedikit ikan-ikan yang berkumpul disekitarnya.