TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Indigofera sp.

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba UP3 Jonggol Domba Garut

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

MATERI DAN METODE. Metode

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Jantan

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Ternak Domba. Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. dengan lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Beberapa kelebihan. banyak mengkonsumsi jenis pakan hijauan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

TINJAUAN PUSTAKA Domba garut Domba Ekor Tipis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kesadaran

MATERI DAN METODE. Materi

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

Komparasi Antara Silase dan Hay Sebagai Teknik Preservasi Daun Rami Menggunakan Model Respon Produktivitas

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari 10%-15% dari berat badan,

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2016.Lokasi penelitian di

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kelinci

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Indigofera sp. Indigofera sp. merupakan tanaman leguminosa dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara. Jenis leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia karena toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap salinitas (Hassen et al., 2007). Selain itu pertumbuhannya sangat cepat, adaptif terhadap tingkat kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya. Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak karena kandungan bahan organik hijauan ini dapat meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik sehingga nilai kecernaan juga dapat meningkat (Suharlina, 2010). Gambar 1. Indigofera sp. Produksi Indigofera sp. mencapai 4.096 kg bahan kering/ha saat dipanen pada hari ke-88 (Abdullah dan Suharlina, 2010). Abdullah (2010) menyatakan produksi bahan kering Indigofera sp. dapat mencapai 6,8 ton BK/ha dengan perlakuan pupuk daun dosis 30 g/10 liter. Produksi BK total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun (Hassen et al., 2007). Uji kecernaan in vivo potensi daun Indigofera sp. sebagai pakan kambing Boerka telah diteliti oleh Tarigan (2009). Pakan Indigofera sp. yang diberikan merupakan hasil perlakuan interval dan intensitas pemotongan terbaik yaitu interval pemotongan 60 hari dan tinggi pemotongan 1,5 meter. Pemberian Indigofera sp. sebanyak 45% dari total ransum kambing Boerka memperlihatkan nilai KCBK sebesar 60,07%, KCBO 62,53%, dan KCPK 69,80% (Tarigan, 2009). Indigofera sp. adalah hijauan dengan kandungan SK rendah dengan nilai kecernaan Neutral 3

Detergent Fibre (NDF) sebesar 52,13% dan nilai kecernaan Acid Detergent Fibre (ADF) sebesar 55,26% (Tarigan, 2009). Tepung daun Indigofera sp. mengandung PK 22,30%-31,10%, NDF 18,90%- 50,40%, kecernaan in vitro BO berkisar 55,80%-71,70%, SK sekitar 15,25%. Legum ini juga memiliki kandungan mineral yang cukup untuk pertumbuhan optimal ternak. Kandungan mineral yang terkandung, yaitu Ca 0,97%-4,52%, P 0,19%-0,33%, Mg 0,21%-1,07%, Cu 9 ppm-15,30 ppm, Zn 27,20 ppm-50,20 ppm, dan Mn 137,40 ppm- 281,30 ppm (Hassen et al., 2007). Hasil penelitian Abdullah dan Suharlina (2010), umur panen yang tepat untuk menghasilkan Indigofera sp. dengan kualitas terbaik adalah pada defoliasi umur 60 hari. Indigofera sp. memiliki kandungan PK 20,47%-27,60%, SK 10,97%-21,40%, NDF 49,40%-59,97%, ADF 26,23%-37,82%, KCBK in vitro 67,39%-81,80%, dan KCBO in vitro 65,77%-80,47% (Abdullah dan Suharlina, 2010). Kualitas daun Indigofera sp. dalam bentuk pellet mengandung PK sebesar 25,66% (Abdullah, 2010). Indigofera sp. dengan perlakuan pupuk daun berdosis 0-50 g/10 liter menghasilkan KCBK in vitro 65%-85%, dan KCBO in vitro 60%-83% (Abdullah, 2010). Perlakuan pemupukan pada daun mengakibatkan peningkatan nilai cerna (in vitro) menjadi 70%-80% untuk KCBK dan 67%-73% untuk KCBO (Intan dan Abdullah, 2011). KCBK in vitro Indigofera sp. berkisar antara 68,21%-73,15%, KCBO berkisar antara 65,33%-70,64%, sedangkan KCPK mencapai 90,64% (Suharlina, 2010). Pemberian Indigofera sp. sebanyak 40% dari total ransum kambing PE dan kambing Saanen menghasilkan KCBK sebesar 60,03% dan 66,34-73,91% (Apdini, 2011). Limbah Tauge Limbah tauge adalah bagian dari tauge kacang hijau yang tidak dikonsumsi oleh manusia, yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup tauge yang berwarna hijau. Limbah tauge biasanya bercampur dengan sedikit potongan-potongan ekor tauge dan kepala tauge yang tidak utuh. Limbah tauge pada umumnya termasuk limbah pasar, terutama pasar sayuran pagi. Potensi limbah tauge ini kemungkinan sangat besar di setiap kota, baik kota kabupaten maupun kota provinsi apalagi ibukota karena masyarakat Indonesia 4

hampir secara merata dalam kehidupan sehari-hari mengkonsumsi tauge sebagai lauk atau sayuran. Hasil survei potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor menunjukkan total produksi tauge sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang untuk menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010). Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari hanya membutuhkan waktu rata-rata 3 hari, limbah tauge memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Kadar air limbah tauge adalah 65-70% dan kandungan energi metabolis sebesar 3737 kcal/kg (Saenab, 2010). Limbah tauge mempunyai kadar BK 63,35%, abu 7,35%, LK 1,17%, PK 13,62%, SK 49,44%, dan TDN 64,65 % (Rahayu et al., 2010). Gambar 2. Limbah Tauge Kacang Hijau Berdasarkan survei di atas limbah tauge sangat berpotensi untuk dipakai sebagai pakan ternak, terutama pada peternakan-peternakan di wilayah urban (di pinggir kota). Penelitian yang telah dilakukan pada peternakan penggemukan domba ekor gemuk di wilayah Bogor dengan memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum menghasilkan PBBH sebesar 145 g/e/h yang lebih tinggi dibandingkan apabila hanya diberi ransum konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h (Rahayu et al., 2011). Potensi Domba Lokal Potensi untuk mengembangkan domba di Indonesia sangat terbuka lebar, karena kurang lebih 30% kebutuhan pangan dan pertanian dipenuhi oleh ternak sehingga keberadaan ternak menjadi sangat strategis dalam kehidupan manusia (Heriyadi, 2002). Domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial, dan budaya serta merupakan 5

sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor (Sumantri et al., 2007). Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa yaitu domba priangan, domba ekor gemuk, dan domba ekor tipis atau lebih dikenal dengan nama domba lokal. Jenis domba yang banyak dipelihara ada dua jenis yaitu domba ekor gemuk dan domba ekor tipis atau domba lokal. Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang memiliki daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan tidak mengenal adanya musim pembiakan (non seasonal breeding) sehingga perkembangbiakan dapat berlangsung sepanjang tahun (Roberts, 2000). Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan (2010), populasi ternak domba di Indonesia mencapai 9.514.184 ekor pada tahun 2007 dari keseluruhan populasi ternak sebanyak 1.363.847.312 ekor. Populasi ternak domba tersebut meningkat pada tahun 2008 menjadi 9.605.339 ekor dari total populasi ternak pada tahun tersebut sebanyak 1.348.828.995 ekor. Terdapat peningkatan populasi ternak domba meskipun populasi ternak secara keseluruhan mengalami penurunan. Populasi ternak domba tertinggi berada di daerah Jawa Barat yaitu 4.605.417 ekor pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 5.311.836 ekor pada tahun 2008. Adapun produksi daging domba di Jawa Barat sebesar 34.605 ton/tahun dan merupakan produksi tertinggi di seluruh Indonesia. Domba UP3 Jonggol Domba UP3 jonggol dapat dikatagorikan kedalam salah satu jenis domba lokal karena sudah dibudidayakan di Lingkungan UP3 Jonggol (Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol) sejak tahun 1980-an. Domba lokal merupakan berbagai jenis domba yang sudah lama dibudidayakan secara turun-temurun di suatu wilayah dan sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat (Sumoprastowo, 1987). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang memiliki daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan tidak mengenal adanya musim pembiakan (non seasonal breeding) sehingga perkembangbiakan dapat berlangsung sepanjang tahun (Roberts, 2000). Domba UP3 jonggol merupakan hasil persilangan secara acak domba ekor tipis setempat dengan domba garut atau priangan dan dipelihara dengan sistem 6

penggembalaan. Secara alami domba jonggol sudah terseleksi untuk lingkungan panas dan kering (Sumantri et al., 2007). Domba jonggol rata-rata mempunyai performa produksi yang lebih baik dibandingkan domba lokal lainnya. Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa domba jonggol mempunyai bobot tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan 26,1 kg untuk betina. Bobot tubuh dewasa domba jonggol tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot tubuh dewasa sejumlah domba lokal lainnya, seperti : domba donggala (25,3 dan 24,0 kg), domba kisar (25,8 dan 18,9 kg), dan domba rote (27,9 dan 20,3 kg). Namun bobot tubuh tersebut hampir sama dengan bobot dewasa domba sumbawa (33,8 dan 26,9 kg) masingmasing untuk jantan dan betina (Sumantri et al., 2007). Domba jonggol memiliki bobot badan yang tidak begitu besar, untuk jantan hanya berkisar 16,17-21,92 kg (Iswahyudi, 2011). Menurut Ilham (2008), domba jonggol memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Rataan bobot badan domba ekor tipis jonggol jantan dan betina pada umur 2-3 tahun masing-masing 34,90±6,96 kg dan 26,11±4,12 kg (Einstiana, 2006). Domba Garut Domba garut adalah domba asli Indonesia yang dikembangkan dari daerah Garut, Jawa Barat. Keunggulan domba garut yaitu memiliki produktivitas cukup baik dan memiliki keunggulan komparatif dalam performa, kekuatan dan bobot badan yang dapat bersaing dengan domba impor dalam hal kualitas dan produktivitas (Gunawan dan Noor, 2006). Domba garut dikategorikan ke dalam dua tipe, yaitu tipe tangkas dan tipe pedaging (Mansjoer et al., 2007). Domba garut adalah nama lain yang lebih populer dari domba priangan (Natasasmitha et al., 1986) yang diperkirakan berasal dari persilangan antara domba lokal, domba merino, dan domba ekor gemuk dari Afrika Selatan (Sosroamidjojo dan Saeradji, 1990). Domba garut banyak terdapat di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Garut sehingga disebut juga domba garut. Domba garut betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan yang jantan bertanduk. 7

Hasil penelitian Gunawan dan Noor (2006) menyatakan bahwa bobot sapih domba garut jantan super dapat mencapai 14,12±3,11 kg. Menurut Einstiana (2006), rataan bobot badan domba garut jantan umur 2-3 tahun sebesar 40,80±12,30 kg dan domba Garut betina sebesar 27,57±3,80 kg. Domba garut memiliki bobot badan yang besar dibandingkan dengan bobot badan domba lokal lain. Suswati (2010) menyatakan bahwa rataan bobot badan domba keturunan garut pada grade yang berbeda memiliki rataan bobot badan sebesar 30,28±3,40 kg lebih besar dibandingkan dengan domba lokal ekor tipis yang memiliki bobot badan sebesar 29,60±2,88 kg. Mansjoer et al. (2007) menyatakan bahwa masyarakat sudah dapat memisahkan antara tipe domba garut tangkas dan pedaging. Dijelaskan lebih lanjut bahwa persilangan antara domba garut tangkas dengan domba garut pedaging dapat meningkatkan performa domba garut pedaging yang semula berbobot badan lebih rendah. Pertumbuhan Domba Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponenkomponen tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1992). Mulliadi (1996) menyatakan bahwa keragaman ukuran tubuh pada ternak dapat disebabkan oleh kondisi pemeliharaan, pengaruh pemberian pakan, kondisi alat pencernaan dan keragaman genetik. Soeparno (1992) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hewan antara lain nutrisi, suhu, kelembaban, keracunan, polusi dan penyakit. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Pertumbuhan umumnya diukur dengan berat dan tinggi. Pengukuran bobot tubuh berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Herman (2003) menjelaskan bahwa domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan, kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan yang sesuai kebutuhannya. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% bobot pada 8

umur satu tahun dicapai dalam tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan ke dua dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir. Domba jantan muda mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda, pertambahan bobot hidup lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan. Fase pertumbuhan anak domba memiliki laju pertumbuhan yang tinggi, namun apabila tidak didukung oleh kecukupan pakan yang dikonsumsi maka laju pertumbuhannya menjadi rendah (Purbowati, 2007). Pertambahan Bobot Badan Bobot tubuh berfungsi sebagai salah satu kriteria ukuran yang penting dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan ternak. Selain itu, bobot tubuh juga berfungsi sebagai ukuran produksi dan penentu ekonomi. Bobot tubuh seekor ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan (NRC, 1985). Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makanan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zatzat makanan dari pakan yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan harian akan diketahui nilai suatu bahan pakan ternak (Church dan Pond, 1995). Hammond et al. (1984) menyatakan bahwa pada ternak yang sedang tumbuh terdapat dua hal, yaitu (1) pertambahan bobot badan sampai ternak mencapai dewasa yang dinamakan pertumbuhan dan (2) perubahan bentuk tubuh dan beberapa fungsi organ menjadi sempurna yang dinamakan perkembangan. Domba jantan muda mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda, pertambahan bobot hidup lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990). Menurut Soeparno (1992), hal ini dikarenakan adanya hormon testosteron. Sekresi testosteron yang tinggi akan menyebabkan sekresi androgen tinggi yang mengakibatkan pertumbuhan yang cepat, terutama setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder pada ternak jantan. Goodwin (1974) menyatakan bahwa pada semua hewan pertumbuhan pada awalnya berlangsung lambat dan meningkat dengan cepat, kemudian kembali lebih lambat pada saat hewan mendekati dewasa tubuh. 9

Menurut Church dan Pond (1988), proses penggilingan bahan makanan biasanya memberikan peningkatan performa ternak yang relatif besar untuk hijauan yang berkualitas rendah, karena partikel serat yang menjadi kecil. Kualitas pakan yang dikonsumsi ternak semakin baik maka akan diikuti oleh pertambahan bobot badan yang semakin tinggi. Beberapa hasil penelitian penggemukan domba dengan berbagai macam pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dari Berbagai Program Penggemukan Domba PBBH Waktu (g/e/h) (Minggu) Perlakuan Domba Lokal 64,99 a 8 Rumput Lapang dan Bekatul DET 47 b 12 Brachiaria humidicola DET Jantan 89,28 c 126,99 d 8 8 50% Rumput Lapang+50% Ampas Tahu Priangan Jantan 117,86 e 8 50% Rumput Lapang+50% Rumput Gajah DEG 90,16 a 8 Rumput Lapang dan Bekatul DEG Jantan 145,83 f 12 50% Konsentrat+50% Limbah Tauge DEG Betina 28,2 g 12 1,5 kg Rumput Alam+0,5 kg Gamal (Gliricidia sepium)+0,2 kg dedak Keterangan : DET (domba ekor tipis), DEG (domba ekor gemuk), (a) Baliarti, 1985, (b) Elia, 2005, (c) Purnomo, 2006, (d) Hasanah, 2006, (e) Setyowati, 2005, (f) Wandito, 2011, (g) Munier et al., 2004 Konsumsi Pakan Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan didalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan zat-zat nutrisi untuk memenuhi proses hidup saja, seperti menjaga fungsi tubuh tanpa adanya kegiatan dan produksi. Kebutuhan produksi adalah kebutuhan zat nutrisi untuk pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan kerja (Tillman et al., 1991). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak (Arora, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada ruminansia yaitu faktor makanan, faktor hewan dan faktor lingkungan (Parakkasi, 1999). Faktor makanan antara lain yaitu bentuk, bau, rasa, tekstur dan 10

komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain yaitu bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen, sedangkan faktor lingkungan antara lain yaitu suhu dan kelembaban udara. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan. Siregar (1984) menyatakan bahwa jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, dan lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara, juga mempengaruhi tingkat konsumsi. Legume pohon dapat digunakan sebagai alternatif sumber protein yang cukup tinggi, SK yang rendah dan palatabilitasnya yang tinggi sehingga konsumsi ternak meningkat (Winugroho dan Widiawati, 2009). Menurut Baloyi et al. (2007) pemberian suplemen pakan berupa leguminosa pada domba dapat meningkatkan konsumsi yang berdampak pada meningkatnya asupan BK dan nitrogen (N), selain itu dapat mencegah penurunan bobot badan yang cukup signifikan, walaupun demikian, konsumsi leguminosa tidak dapat menjaga kestabilan bobot badan domba pada kondisi kualitas hijauan yang rendah. Domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan halus dibandingkan pakan yang kasar. Konsumsi BK pakan kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3,0% untuk pakan dengan kualitas tinggi (Gatenby, 1991). Mathius et al. (2002) menyatakan tingkat konsumsi BK sangat mempengaruhi kecukupan pasokan nutrien (khususnya protein dan energi). Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999). Konsumsi BK mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi BO, hal ini disebabkan zat-zat yang terkandung dalam BO terdapat pula di dalam BK (Imansyah, 2008). NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan BK berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari. Faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah konsumsi BK dan kandungan PK dalam ransum (Rianto et al., 2008). Menurut Okmal (1993), kandungan PK ransum mempengaruhi nilai konsumsi BK. Protein yang dibutuhkan domba berkisar antara 10%-12% BK ransum. McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan juga mempengaruhi konsumsi 11

ransum. Kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat akan meningkatkan kosumsi ransum. Kecernaan Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh hewan (McDonald et al., 1991), apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman, 1989). Keberadaan pakan dalam alat pencernaan ruminansia akan mengalamai perubahan kimia, biologis dan fisik. Setiap jenis ternak memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi pakan sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Sutardi, 1980). Anggorodi (1994) menambahkan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentase zat makanan yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah zat makanan yang dikonsumsi dengan jumlah zat makanan yang dikeluarkan dalam feses. Proses pengeringan menyebabkan penurunan nilai kecernaan hijauan. Dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mengunyah hay dan membawanya masuk ke saluran pencernaan jika dibandingkan dengan hijuan segar. Penyimpanan pakan kering untuk beberapa bulan, walaupun lebih disukai, dapat menurunkan nilai kecernaan (Schneider dan William, 1975). Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengukur kecernaan suatu bahan pakan seperti in vitro, in sacco dan in vivo. Suparjo (2008) menyatakan bahwa teknik evaluasi pakan secara in vivo pada ternak seringkali menjadi alternatif terakhir karena pertimbangan biaya, waktu dan tenaga. Teknik ini dalam pelaksanaannya menggunakan sejumlah ternak sehingga banyak biaya dibutuhkan disamping tenaga untuk pengumpulan peubah dan pemeliharaan ternak. Hasil pengujian teknik in vivo mempunyai tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding teknik lain, seperti in vitro dan in sacco, karena sifat aplikatifnya pada ternak secara langsung. Kecernaan in vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrien menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrien pakan dan feses (Tillman et al., 1998). Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) 12

dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena saluran ekskresi feses (rektum) berjauhan dari saluran uretra. Ternak ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang diekskresikan (Cheeke, 2005). Pengukuran kecernaan pada ternak secara langsung tidak akan terlepas dari konsumsi pakan itu sendiri. Secara langsung kecernaan bahan pakan tergantung kepada kondisi fisiologis ternak yang sangat ditentukan oleh ketersedian dan kemampuan ternak untuk mengkonsumsi pakan (Suparjo, 2008). Pengukuran kecernaan pada ternak secara langsung dilakukan dalam tiga periode, yaitu periode adaptasi, periode pendahuluan dan periode koleksi feses. Sebelum melakukan koleksi feses, ternak harus beradaptasi terhadap pakan yang diberikan untuk memastikan kestabilan mikroflora dalam saluran pencernaan terhadap perlakukan pakan dan menghilangkan residu pakan yang diberikan sebelumnya. Adaptasi selama 10-14 hari dilakukan untuk memaksimalkan tingkat konsumsi pakan. Tingkat konsumsi yang konsisten ditetapkan selama periode pendahuluan untuk menghindari fluktuasi ekskresi yang dramatis, dan perbedaan jumlah feses dapat menyebabkan kesalahan dalam percobaan ini (Merchen, 1993). Ternak yang sudah melalui periode adaptasi dan periode pendahuluan selanjutnya akan dikoleksi fesesnya. Metode koleksi feses dibagi menjadi dua yaitu koleksi total feses dan koleksi sampel feses. Koleksi total dilakukan dengan mengumpulkan seluruh feses yang dikeluarkan ternak pada waktu yang sama setiap harinya (Cheeke, 2005). Selama percobaan tersebut feses dikumpulkan, ditimbang, dan dianalisis untuk mengetahui zat-zat makanannya (Anggorodi, 1994). Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Konsentrasi serat pakan yang meningkat tidak mempengaruhi volume digesta rumen maupun bobot digesta, akan tetapi menurunkan persentase bobot BK digesta. Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan BK, namun meningkatkan kecernan NDF (Tjardes, 2002). Menurut Sutardi (1980), nilai kecernaan BO dari suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Nilai rataan KCBK pada domba lokal adalah 57,34%, sedangkan nilai rataan KCBO adalah 60,74% (Elita, 2006). 13

Kecernaan Protein Kasar Kebutuhan protein domba secara teori dapat diperhitungkan, walaupun kandungan protein pakan maupun kebutuhan protein domba cukup baik untuk membuat lebih dari perkiraan yang sangat umum dari kekurangan atau kelebihan protein (Gatenby, 1991). Ginting (2000) melaporkan bahwa kecernaan PK domba yang diberi hijauan berkisar antara 38,19%-51,09%. Rendahnya kecernaan PK pada hijaun karena protein sel tumbuhan berada di dalam isi sel sehingga untuk mencernanya harus memecah dinding sel tumbuhan terlebih dahulu (Russel et al., 1992). Kecernaan Serat Kecernaan serat suatu bahan makanan sangat mempengaruhi kecernaan pakan secara keseluruhan, baik dari segi jumlah maupun dari komposisi kimia seratnya (Tillman et al., 1991). Serat tidak pernah digunakan secara keseluruhan oleh ruminansia, sekitar 20%-70% dari serat yang dikonsumsi ditemukan dalam feses (Cuthbertson, 1969). Ibrahim et al. (1995) menyatakan bahwa kecernaan SK yang rendah merupakan akibat dari proporsi lignin yang tinggi di daerah tropis dengan pemberian pakan hijauan dan pakan konsentrat yang menyebabkan laju pergerakan zat makanan yang tinggi sehingga kerja enzim tidak optimal serta mengakibatkan sejumlah zat makanan tidak dapat didegradasi dan diserap oleh tubuh. Parakkasi (1999) juga menambahkan bahwa dengan adanya bantuan mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural (karbohidrat pembangun); kandungan lignin dan silika pada bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis (ME), karena bahan makanan yang memiliki kandungan lignin dan silika yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses. Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat. 14