1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen. Deposisi kompleks imun yang mengendap di ginjal memberikan kontribusi besar terhadap patogenesis nefritis lupus (Borchers dkk., 2012). Keterlibatan ginjal pada LES merupakan manifestasi penyakit yang umum dijumpai. Inflamasi ginjal adalah salah satu manifestasi yang paling parah dari SLE dan ditandai oleh deposisi autoantibodi dan komplemen, produksi sitokin/kemokin, aktivasi dan perekrutan sel-sel inflamasi, dan kerusakan mikrovaskuler dan parenkim di ginjal (Schwartz, 2007; Adalid-Peralta dkk.,2008). Pengendapan kompleks imun memicu kaskade respon inflamasi disertai aktivasi reactive oxygen species (ROS), yang memainkan peran penting dalam terjadinya injuri glomerulus akut dan kronis pada pasien nefritis lupus. Nefritis lupus merupakan salah satumanifestasi paling serius dari LES, biasanya muncul dalam lima tahun setelah diagnosis. Bagaimanapun, gagal ginjal jarang terjadi sebelum kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) terpenuhi. Nefritis lupus tampak jelas secara histologis pada kebanyakan pasien dengan LES, bahkan mereka yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal (Borchers dkk., 2012). Prevalensi pasien LES di RSUD dr.moewardi Surakarta tahun 2011 adalah 2,75% dari seluruh kunjungan pasien poli Rematologi (Adnan, 201). Berdasarkan data dari Asia, keterlibatan ginjal berkisar antara 6-100% secara keseluruhan (Isbagio dkk., 2006), sedangkan hasil penelitian di RS dr Moewardi Surakarta gangguan fungsi ginjal ditemukan pada 68% penderita LES dan kelainan ini merupakan penyebab kematian yang paling banyak (Guntur,2006). Nefritis lupus merupakan masalah yang berdampak pada 30-60% pasien dengan LES. Hasil setelah terapi imunosupresif spektrum luas tetap tidak 1
2 memuaskan, dengan tingkat remisi lengkap paling baik mencapai 50%, dengan tingkat kambuh hingga 30% selama periode 2 tahun dan terjadinya efek toksik yang tidak diinginkan. Meskipun penerapan rejimen pemeliharaan telah dilakukan, kejadian penyakit ginjal stadium akhir pada LES masih tetap meningkat (Costenbader dkk.,2008). Banyak hambatan untuk melakukan uji klinis informatif obat baru untuk nefritis lupus. Heterogenitas penyakit, efek pengganggu dari obat imunosupresif lain dan masalah medis secara bersamaan berkontribusi terhadap kesulitan-kesulitan tersebut. Meskipun kemajuan dalam terapi imunosupresif efektif untuk berbagai penyakit autoimun, lupus nefritis masih sulit untuk diobati dan merupakan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada pasien lupus. Terapi dengan kortikosteroid, siklofosfamid, dan agen imunosupresif lain meningkatkan risiko infeksi. Terapi kortikosteroid jangka panjang dapat mengarah pada osteoporosis, nekrosis avaskular, diabetes melitus dan hipertensi, selain komplikasi kosmetik (seperti kerontokan rambut, moon face) dan infertilitas. Terapi siklofosfamid dapat menyebabkan sitopenia, sistitis hemoragik, infertilitas dan peningkatan risiko keganasan (Ruiz-Irastorza dkk.,2013). Transforming growth factor β1 (TGF-β1) adalah sitokin profibrotik pada penyakit ginjal kronis, yang memulai dan memodulasi berbagai proses patofisiologi. TGF-β1 disintesis oleh berbagai jenis sel ginjal dan aktivitas fungsi biologisnya melalui berbagai jalur, termasuk jalur Smad dan MAPK (Loeffler dan Wolf, 2013). TGF-β1 yang diekspresikan oleh sel podosit dan mesangial pada nefritis lupus, menggantikan ekspresi laminin-11 yang biasanya ditemukan di membran basalis glomerulus yang sudah matur (Jones, 2014). Pada penyakit ginjal, TGF-β1 ditingkatkan dan menginduksi sel ginjal untuk menghasilkan protein matriks ekstraselular yang menyebabkan glomerulosklerosis serta fibrosis tubulointerstitial. Berbagai jenis sel ginjal mengalami perubahan patofisiologi yang berbeda akibat induksi TGF-β1, yang menyebabkan apoptosis, hipertrofi dan kelainan prosesus Podosit, yang akhirnya mengakibatkan disfungsi ginjal (Loeffler dan Wolf, 2013). Disfungsi ginjal ini akan memicu terjadinya proteinuria sebagai respons tubulus ginjal yang bisa menggambarkan
3 perkembangan penyakit ginjal. Secara klinis, penurunan proteinuria menggambarkan perbaikan disfungsi ginjal (Hill dkk., 2001). Transforming growth factor β1 (TGF-β1) memiliki peran besar dalam pengendalian autoimunitas. Produksi TGF-β1 oleh limfosit berkurang pada LES. Penurunan kadar TGF-β1 mungkin berkaitan dengan kerentanan penyakit, aktivitas dan kerusakan organ pada LES. Jumlah total kadar TGF-β1 berkorelasi negatif dengan laju endap eritrosit dan berkorelasi positif dengan trombosit darah. Total kadar TGF-β1 lebih rendah pada pasien SLE dengan aktivitas penyakit yang tinggi dan kerusakan organ yang parah. Tingkat keparahan kerusakan ginjal dikaitkan dengan penurunan kadar TGF-β1 serum, hal ini menunjukkan bahwa TGF-β1 terlibat dalam pathogenesis kerusakan ginjal yang disebabkan oleh lupus nephritis (Jin dkk., 2012). Selain itu, hasil penelitian Hammad dkk., 2006 didapatkan kadar TGF-β1 serum pada anak dengan penyakit aktif secara signifikan lebih rendah daripada kontrol. Kadar TGF-β1 serum berkorelasi negatif dengan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI). Sebaliknya, kadar TGF-β1 urin pada anak dengan penyakit aktif secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Kadar TGF-β1 urin berkorelasi positif dengan titer anti-ds DNA dan berkorelasi negatif dengan kadar C3 serum. Pasien nefritis simptomatis secara signifikan kadar TGF-β1 urin lebih meningkat dibandingkan dengan nefritis asimptomatis. Dari data ini kita menyimpulkan bahwa penurunan kadar TGF-β1 menggambarkan disfungsi imunitas sistemik pada anak dengan lupus aktif sementara peningkatan produksi TGF-β1 ginjal tampaknya memiliki peran dalam presentasi klinis lupus nephritis (Hammad dkk.,2006). Obat-obatan yang memiliki efek seperti ROS scavenging, penghambatan jalur NF-κB dan TGF-β1 memiliki efek perlindungan terhadap progesifitas nefritis lupus. Jalur NF-κB sangat penting dalam perkembangan lupus, jalur ini mengontrol ekspresi sejumlah gen proinflamasi, seperti inos yang kadarnya tinggi pada lupus dan berkorelasi dengan keparahan penyakitnya (Jiang dkk., 2014). N-Asetil Sistein merupakan suatu senyawa yang mengandung tiol dengan efek antioksidan dan antiinflamasi. Efek antioksidan N-Asetil Sistein dapat terjadi
4 secara langsung melalui interaksi dengan ROS elektrofilik maupun sebagai prekusor glutation, suatu antioksidan yang dapat melindungi sel dari stres oksidatif (De Backer dkk., 2013). B. Rumusan Masalah 1. Adakah pengaruh N-asetil sistein terhadap ekspresi TGF-β1 pada mencit model nefritis lupus induksi pristan. 2. Adakah pengaruh N-asetil sistein terhadap kadar mikroalbuminuria pada mencit model nefritis lupus induksi pristan. C. Tujuan Penelitian : 1. Tujuan umum : Membuktikan, mengetahui dan membandingkan pengaruh N- asetilsistein terhadap ekspresi TGF-β1 dan kadar mikroalbuminuria pada mencit model nefritis lupus induksi pristan. 2. Tujuan khusus : a. Menganalisis pengaruh N-asetil sistein terhadap ekspresi TGF-β1 pada mencit model nefritis lupus induksi pristan. b. Menganalisis pengaruh N-asetil sistein terhadap kadar mikroalbuminuria pada mencit model nefritis lupus induksi pristan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan bukti ilmiah mengenai pengaruh N-asetil sistein terhadap ekspresi TGF-β1 pada mencit model nefritis lupus induksi pristan. b. Memberikan bukti ilmiah mengenai pengaruh N-asetil sistein terhadap kadar mikroalbuminuria pada mencit model nefritis lupus induksi pristan.
5 2. Manfaat Terapan a. Menjadikan N-asetil sistein sebagai salah satu terapi tambahan atau suplementasi pada pasien nefritis lupus untuk menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas. b. Efek N-asetil sistein pada peningkatan outcome pasien nefritis lupus.
6