IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakteristik Sifat Fisik dan Kimiawi Susu Kambing Segar

5.1 Total Bakteri Probiotik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS B. KARAKTERISASI AWAL YOGURT KACANG HIJAU

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

FORMULASI MINUMAN SINBIOTIK DENGAN PENAMBAHAN PUREE PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DAN INULIN MENGGUNAKAN INOKULUM Lactobacillus casei

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu produk olahan susu di Indonesia yang berkembang pesat

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Yoghurt adalah salah satu produk olahan pangan bersifat probiotik yang

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu ialah cairan hasil sekresi yang keluar dari kelenjar susu (kolostrum) pada

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan susu segar sebagai bahan dasarnya, karena total padatan

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi. Jamur juga termasuk bahan pangan alternatif yang disukai oleh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah

3. HASIL PENELITIAN Acar Kubis Putih (Brassica oleracea)

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia,

BAB I PENDAHULUAN. Pembuatan Yoghurt Page 1

LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Variasi konsentrasi ekstrak buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

merupakan salah satu produk pangan yang cukup digemari oleh masyarakat lokal seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Penggunaan bahan baku yang

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dan buah pisang yang sudah matang (Musa paradisiaca) yang diperoleh dari petani yang ada di Gedong Tataan dan starter

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi meningkat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI YOGHURT SARI BUAH SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP BAKTERI FLORA USUS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

I. PENDAHULUAN. Pampekan, merupakan kerabat dekat durian yaitu masuk dalam genus Durio.

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembuatan starter di pondok pesantren pertanian Darul Fallah

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

Proses Pembuatan Madu

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 :

Chemistry In Our Daily Life

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengandung 83-87,5 g air; 3,3 4,9 g protein dan; 4 7,3 g lemak. Susu kambing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dadih merupakan hasil olahan susu fermentasi yang berasal dari Sumatera Barat, Jambi dan Riau.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Yogurt adalah bahan makanan yang terbuat dari susu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.

KARAKTERISTIK YOGHURT TERSUBTITUSI SARI BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA-BEDA

BAB I PENDAHULUAN. Amerika misalnya, sebagian besar masyarakat menyukai minuman ini, sehingga

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Pengaruh waktu dan Nutrien dalam pembuatan yoghurt dari susu dengan starter plain Lactobacillus Bulgaricus menggunakan alat fermentor

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah kasus gizi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram

UJI KUALITAS YOGHURT SUSU SAPI DENGAN PENAMBAHAN MADU dan Lactobacillus bulgaricus PADA KONSENTRASI YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikrobiologi adalah suatu kajian tentang mikroorganisme.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 OPTIMASI PUREE PISANG DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK 4.1.1 Persiapan Kultur Menurut Rahman et al. (1992), kultur starter merupakan bagian yang penting dalam pembuatan yoghurt. Viabilitas kultur starter yang tinggi sangat diharapkan untuk proses fermentasi susu. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kultur starter yang baik dilakukan beberapa tahap pengerjaan persiapan kultur yaitu: (1) pengamatan morfologi sel dengan uji pewarnaan gram, (2) pemeliharaan kultur dengan metode pendinginan, dan (3) pembuatan kultur induk dan kultur starter. Kultur yang didapatkan adalah kultur L. casei cair dalam MRSB sebanyak 1 buah. Kultur tersebut diamati keseragaman dan bentuk morfologinya dengan uji pewarnaan gram. Hasil pengamatan kultur di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Kultur Lactobacillus casei Perbesaran 1000x Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kultur L. casei secara seragam, keseluruhannya berbentuk batang dan sel-selnya berwarna ungu serta tidak terdapat kontaminasi dari bakteri gram negatif. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa kultur murni yang diperoleh dapat digunakan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Pemeliharaan kultur dilakukan dengan metode pendinginan dengan cara membuat tusukan pada MRS chalk semi solid dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 48 jam, kemudian disimpan pada lemari es. Kultur disimpan pada media MRS chalk semi solid agar dapat berumur hingga 6 minggu. Untuk menumbuhkannya kembali, diambil satu loop kultur kemudian diinokulasi pada MRS broth dan inkubasi 37 C selama satu atau dua hari sampai terbentuknya kekeruhan pada MRS broth. Kultur murni pada MRS broth inilah yang dipergunakan dalam tahap selanjutnya, yaitu pembuatan kultur induk dan kultur starter. Berikut dapat dilihat gambar dari kultur pada MRS chalk semi solid dan MRS broth pada Gambar 11. 25

(a) (b) Gambar 11. Pengawetan Kultur dalam (a) MRS chalk semi solid dan (b) MRS broth Pembuatan produk yoghurt dengan kualitas yang baik sangat tergantung pada kultur yang digunakan. Kultur dalam pembuatan yoghurt menggunakan kultur biakan murni L. casei yang dibuat menjadi kultur starter yang siap ditambahkan kedalam susu dan bahan lainnya. Tujuan dibuatnya kultur starter adalah untuk menjaga viabilitas dari sel bakteri agar tetap tinggi dan memberikan waktu adaptasi terhadap lingkungan yang terdapat susu, gula, dan bahan baku lain seperti puree pisang sehingga jumlah bakteri asam laktat dapat mencapai 10 6-10 8 cfu /ml. Sebelum membuat kultur starter, terlebih dahulu dibuat kultur induk. Kultur induk dibuat dengan cara menambah sebanyak 1% kultur murni (dari MRS broth) ke dalam susu skim yang telah dipasteurisasi dan diinkubasi pada suhu 37 C selama satu 1 hari. Pembuatan kultur starter sama dengan cara pembutan kultur induk, namun menggunakan medium susu skim yang ditambah dengan glukosa 3% dan puree pisang sebanyak 1:1 dengan susu skim. Hal ini dimaksudkan untuk masa penyesuaian kultur agar tetap viabel terhadap bahan baku tambahan lain yaitu puree pisang. Selain itu penambahan glukosa sebanyak 3% bertujuan untuk menyediakan sumber energi awal yang mudah digunakan oleh bakteri sehingga memudahkan kultur melakukan penyesuaian terhadap media. Campuran susu skim, glukosa dan puree pisang tersebut kemudian dipasteurisasi dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 1 hari. Kultur induk dan kultur kerja yang telah dibuat dilakukan perhitungan jumlah total BAL. Jumlah total BAL pada kutur induk dan kultur starter berturut-turut adalah 7.4 x 10 8 dan 4.85 x 10 9 cfu/ml. Jumlah kultur yang lebih dari 10 6 cfu/ml ini sudah mampu menggumpalkan protein susu dengan baik dan mampu menghasilkan aroma asam khas yoghurt. Gambar dari kultur induk dan kultur starter dapat dilihat dari Gambar 12. (a) (b) Gambar 12. (a) Kultur Induk dan (b) Kultur Kerja 26

4.1.2 Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang Formulasi yoghurt sinbiotik dibuat dengan menambahkan puree pisang. Puree pisang yang digunakan adalah puree pisang Ambon. Alasan dipilihnya pisang Ambon dibanding pisang meja yang lainnya karena pisang Ambon memiliki kandungan gizi yang tinggi, terutama karbohidrat sebagai penyumbang gula. Pisang Mas, pisang Raja, dan pisang Susu juga termasuk pisang yang mempunyai kandungan gula yang tinggi. Akan tetapi jenis pisang ini teksturnya lebih keras dan kandungan airnya lebih rendah dibanding pisang Ambon sehingga lebih susah untuk dilakukan penghancuran menjadi puree dengan menggunakan blender. Pisang Ambon juga salah satu jenis pisang yang memiliki flavor yang kuat, mempunyai rasa yang manis, enak, dan beraroma kuat. Selain itu pisang Ambon mudah didapatkan di daerah Jawa barat dan kebanyakan berasal dari daerah Jawa Barat sehingga dari segi ketersediaan sangat mudah untuk didapat dan harganya terjangkau. Terdapat tiga formulasi yang dibuat pada yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang yaitu dengan perbandingan susu skim : puree pisang A (1:0.5), B (1:1), dan C (1:2). Gambar produk yoghurt yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Yoghurt dengan Penambahan Puree Pisang Ketiga jenis formulasi tersebut diranking oleh panelis berdasarkan urutan kesukaannya (ranking 1 untuk sampel yang paling disukai dan ranking 3 untuk sampel yang paling tidak disukai). Berdasarkan hasil uji rangking hedonik diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Gambar 14-17. Aroma Aroma merupakan salah satu parameter mutu yang penting pada yoghurt. Yoghurt yang dibuat dalam penelitian ini merupakan yoghurt yang ditambahkan bahan baku puree pisang sehingga aroma yang terbentuk pada yoghurt selain merupakan hasil pembentukan senyawa volatil oleh bakteri asam laktat, juga merupakan kontribusi dari senyawa volatil yang terdapat pada puree pisang. Menurut Tamime dan Robinson (1989), terdapat 4 kategori senyawa pendukung flavor yoghurt, yaitu: (1) asam tidak menguap, yaitu asam piruvat, asam laktat, dan asam oksalat; (2) asam yang mudah menguap, yaitu asam format, asam asetat, dan asam butirat; (3) senyawa karbonil, yaitu asetaldehid, aseton, asetoin, dan diasetil; dan (4) senyawa dari hasil degradasi laktosa, protein, dan lemak hasil pemanasan. Asam yang mudah menguap merupakan senyawa yang mempengaruhi aroma dari yoghurt terutama kelompok karbonil yang menurut penelitian Kaminarides et al. (2007) memberi dampak yang signifikan terhadap aroma yoghurt karena konsentrasinya relatif lebih tinggi. Kelompok senyawa karbonil yang paling berperan memberi aroma khas pada yoghurt adalah asetaldehid (Hamdan et al., 1971). Sedangkan komponen volatil yang berasal dari pisang yang juga memberi peran dalam membentuk flavor akhir pada yoghurt antara lain amil asetat, amil butirat, dan asetaldehid. Amil asetat adalah 27

komponen utama dari bau khas buah pisang. Komponen tersebut terutama terdapat banyak pada pisang matang penuh (Loesecke, 1950). Atribut aroma yang dihasilkan pada semua formula sudah menghasilkan aroma khas yoghurt dimana telah sesuai dengan ketentuan SNI 01.2981-2009. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 14 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap atribut aroma mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.96 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua sampel yang lainnya. Skor penilaian tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan skor penilaian pada formula C yaitu sebesar 1.99. Akan tetapi berbeda halnya dengan formula A yang mempunyai skor penilaian yang sedikit jauh berbeda yaitu sebesar 2.06. Hal ini menyimpulkan bahwa konsumen menyukai penambahan puree pisang dalam pembuatan yoghurt. Menurut hasil survei penelitian Ningsih (2002) tentang pengembangan agribisnis pisang Ambon, menunjukkan bahwa pisang Ambon tergolong jenis pisang yang paling digemari oleh penduduk Indonesia sehingga penambahannya sebagai bahan baku yoghurt akan berdampak baik terhadap penilaian panelis. Rata-rata penilaian uji ranking hedonik 2.10 2.06 2.05 2.00 1.95 1.90 1.96 A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2) 1.99 Aroma 1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai Gambar 14. Histogram Uji Ranking Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Tekstur Atribut tekstur yang dihasilkan pada semua formula produk yoghurt berada pada kisaran kental-semi padat. Tekstur tersebut sesuai dengan persyaratan SNI 01.2981-2009. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 15 menunjukkan bahwa, rata-rata penilaian panelis terhadap atribut tekstur mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturutturut adalah formula A, formula B, dan formula C. Formula A dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:0.5 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.83 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua formula yang lainnya. 28

Rata-rata penilaian uji ranking hedonik 2.20 2.10 2.00 1.90 1.80 1.70 1.60 A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2) 1.83 A B C Gambar 15. Histogram Uji Ranking Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik 1.99 Tekstur 2.19 1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai Tekstur pada yoghurt yang dihasilkan jika dilakukan proses pengadukan dan pencicipan, dapat dibedakan satu sama lain kepadatan dan kelembutannya. Pada formula A tekstur yang terbentuk lebih padat dan lembut dibandingkan pada formula B dan C. Sedangkan pada formula C teksturnya rapuh, tidak lembut (terdapat granula-granula), dan tidak homogen jika dibanding dengan formula A dan B. Hal tersebut menyimpulkan bahwa semakin banyak puree pisang yang ditambahkan maka menghasilkan tekstur yoghurt yang semakin kasar. Gambar 15 memperlihatkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur yoghurt berbanding terbalik dengan semakin banyaknya puree pisang yang ditambahkan pada yoghurt. Panelis lebih menyukai tekstur yoghurt yang padat dan lembut dibanding dengan tekstur yang kasar. Hal tersebut terlihat dari skor penilaian formula B dan C yang lebih tinggi (semakin tidak disukai) yaitu 1.99 dan 2.19 dibandingkan dengan formula A yaitu 1.83. Penambahan puree pisang yang lebih sedikit menghasilkan tekstur yang lebih bagus karena penambahan puree pisang dapat menyebabkan berkurangnya homogenitas adonan. Puree pisang yang ditambahkan memiliki ukuran granula yang lebih besar dibandingkan dengan susu skim sehingga menimbulkan kesan kasar saat di lidah. Selain itu komponen protein yang terdapat pada susu skim mengalami penggumpalan yang disebut curd yang teksturnya padat dan lembut, sedangkan puree pisang tidak mengalami penggumpalan. Oleh karena itulah semakin sedikit puree pisang yang ditambahkan maka tekstur yoghurt menjadi semakin padat dan lembut seperti pada formula A dimana sampel ini paling disukai oleh panelis. Sedangkan yoghurt yang ditambah puree pisang paling banyak menghasilkan tekstur yang tidak padat (rapuh) dan kasar karena kandungan puree pisangnya yang dominan seperti pada formula C dimana sampel ini paling tidak disukai oleh panelis. Rasa Atribut rasa yang terbentuk pada yoghurt dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kemampuan bakteri yang digunakan sebagai kultur untuk melakukan pemecahan laktosa. Bakteri L. casei mampu memecah laktosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil asam sitrat, malat, asetat, suksinat, asetaldehid, diasetil, dan asetoin (Varnam & Sutherland, 1994). Selain pemecahan laktosa, pemecahan protein oleh bakteri juga menghasilkan cita rasa atau flavor yang enak pada yoghurt (Tamime & Robinson, 1989). Selain itu rasa juga dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 29

oleh Kuntarso (2007), penambahan buah-buahan dapat membuat penerimaan konsumen terhadap produk yoghurt semakin meningkat atau mempunyai tingkat kesukaan yang yang lebih tinggi jika dibanding dengan yoghurt tanpa penambahan buah (yoghurt plain). Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 16 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap atribut rasa mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.87 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua formula yang lainnya. Penambahan puree pisang yang tepat dapat menghasilkan rasa yang disukai karena penambahan puree pisang yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya rasa sepat. Menurut Loesecke (1950) rasa sepat pada pisang disebabkan karena kandungan tanin yang dapat menggumpalkan protein sehingga terjadi penyamakan pada bagian mukosa rongga mulut. Rata-rata penilaian uji ranking hedonik 2.20 2.10 2.00 1.90 1.80 1.70 2.13 A B C 1 = paling disukai Rasa 2 = biasa 3 = tidak disukai Gambar 16. Histogram Uji Ranking Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik 1.87 A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2) 2.00 Keseluruhan Atribut terakhir yang dilihat adalah atribut secara keseluruhan. Uji sensori keseluruhan atribut yoghurt perlu dilakukan untuk melihat penilaian panelis terhadap produk yoghurt sebagai suatu kesatuan. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 17 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap atribut secara keseluruhan mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.84 yang berarti paling disukai oleh panelis dibanding dua formula yang lainnya. Secara keseluruhan, yoghurt dengan penambahan puree pisang yang paling sedikit kurang disukai panelis dibanding formula yang ditambahkan puree pisang dengan konsentrasi yang lebih banyak. Hal ini menyimpulkan bahwa panelis menyukai penambahan puree pisang pada yoghurt dengan konsentrasi yang tepat. 30

Rata-rata penilaian uji ranking hedonik 2.20 2.10 2.00 1.90 1.80 1.70 1.60 2.14 Gambar 17. Histogram Uji Ranking Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik 1.84 A B C Keseluruhan A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2) 2.01 1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai Hasil secara keseluruhan menyebutkan bahwa formula B memiliki ranking terbaik (skor terendah) atau paling disukai untuk atribut aroma, rasa, dan keseluruhan dengan rata-rata penilaian berturut-turut adalah 1.96, 1.87, dan 1.84. Sedangkan untuk atribut tekstur, formula yang memiliki ranking terbaik adalah formula A. Akan tetapi formula A dipilih panelis memiliki ranking terburuk (skor terbesar) untuk atribut aroma, rasa, dan keseluruhan. Formula C sebagai peringkat kedua formula yang disukai panelis untuk atribut keseluruhan, jika dibandingkan dengan formula A, hanya memiliki kelemahan pada atribut tekstur. Sedangkan untuk atribut rasa, aroma, dan keseluruhan formula C dinilai lebih disukai oleh panelis dibanding formula A. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian panelis terhadap atribut keseluruhan lebih mempertimbangkan kesukaan terhadap atribut rasa dan aroma dari yoghurt dibandingkan atribut tekstur. Oleh karena itu formula yang terpilih sebagai formula yang paling disukai dan dipilih sebagai formula yang digunakan pada tahap selanjutnya adalah formula B. 4.2 OPTIMASI INULIN DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK Penelitian selanjutnya yang dilakukan adalah penelitian tahap II yaitu tahap optimasi inulin dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Tujuan tahapan ini adalah menambahkan inulin komersial sebagai penambah sumber prebiotik selain dari puree pisang dan melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap yoghurt yang ditambahkan inulin. Penelitian ini menggunakan formula terpilih tahap I yaitu yoghurt sampel B dengan penambahan puree pisang:susu skim sebanyak 1:1. Pada tahap ini dibuat yoghurt menjadi 4 formula yaitu sampel A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D (3% inulin). Proses pembuatan yoghurt pada tahap ini sama dengan pada tahap sebelumnya, hanya saja dilakukan proses penambahan inulin sebelum proses pasteurisasi. Penambahan inulin dilakukan sebelum proses pasteurisasi agar menghindari terjadi kontaminasi oleh inulin jika ditambahkan setelah proses pasteurisasi. Hal ini juga didukung bahwa menurut Roberfroid (2005), inulin tahan jika dipanaskan hingga proses pasteurisasi. Keempat sampel tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesukaannya oleh panelis dengan menggunakan uji rating hedonik. Panelis pada uji ini diminta untuk mengungkapkan tanggapannya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sampel yang disajikan dengan parameter yang dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Berdasarkan hasil uji rating hedonik, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Gambar 18-21. 31

Aroma Hasil analisis sidik ragam uji hedonik atribut aroma pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan inulin yang diberikan pada yoghurt sebagai penambah sumber prebiotik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aroma yoghurt. Hal ini berarti penambahan inulin tidak mengubah aroma dari yoghurt hingga penambahan sebanyak 3%. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa salah satu karakeristik inulin adalah tidak berbau (Roberfroid, 2005). Akan tetapi berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa formula yoghurt tanpa penambahan inulin (formulal A) dinilai oleh panelis mempunyai aroma dengan tingkat kesukaan yang paling tinggi dengan skor penilaian 4.60. Sedangkan formula sampel B (1% inulin) dinilai oleh panelis sebagai formula yang memiliki tingkat kesukaan yang paling rendah dengan skor penilaian 4.16. Skor yang diberikan oleh panelis menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen dengan nilai netral hingga agak suka. Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik 4.60 4.40 4.20 4.00 3.80 4.60 4.16 A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) Aroma D (inulin 3%) 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 18. Histogram Uji Rating Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik 4.31 4.37 Tekstur Hasil analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut tekstur yoghurt (Lampiran 8) menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Artinya panelis menilai tekstur yoghurt pada semua formulasi penambahan inulin adalah sama. Formula yang dinilai memiliki tekstur dengan tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan Gambar 19 adalah formula C (2% inulin) dengan skor penilaian 4.74. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor 4.31. Skor penilaian tersebut menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen yaitu dari netral hingga agak suka. 32

Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik 4.80 4.70 4.60 4.50 4.40 4.30 4.20 4.10 4.00 4.69 4.31 A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) Tekstur D (inulin 3%) 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 19. Histogram Uji Rating Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Rasa Rasa yang dihasilkan pada yoghurt dengan penambahan inulin konsentrasi 0-3% tidak menimbulkan perbedaan satu sama lain. Hal ini dilihat berdasarkan hasil analisis sidik ragam uji hedonik terhadap rasa yoghurt (Lampiran 8) yang menunjukkan bahwa penambahan berbagai konsentrasi inulin yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa yoghurt pada selang kepercayaan 95%. Penambahan inulin yang tidak memberikan efek berbeda nyata terhadap atribut rasa pada yoghurt menandakan bahwa penambahan inulin tidak memberi rasa yang negatif atau menyimpang terhadap penilaian konsumen. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa inulin memiliki karakteristik tidak berasa (Roberfroid, 2005). Formula yang dinilai memiliki rasa dengan tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan Gambar 20 adalah formula D (3% inulin) dengan skor penilaian 4.80. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor penilaian 4.34. Skor penilaian yang diberikan berkisar dari netral hingga agak suka, yang menunjukkan produk yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen. 4.74 4.46 Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik 4.80 4.70 4.60 4.50 4.40 4.30 4.20 4.10 4.71 4.34 A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) Rasa D (inulin 3%) 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 20. Histogram Uji Rating Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik 4.76 4.80 33

Keseluruhan Atribut terakhir yang dilihat adalah atribut secara keseluruhan. Hasil analisa sidik ragam uji hedonik terhadap keseluruan atribut yoghurt dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan inulin pada konsentrasi 0-3% pada yoghurt tidak berpengaruh nyata terhadap keseluruhan atribut yoghurt pada selang kepercayaan 95%. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Roberfroid (2005) yang menyatakan bahwa inulin mempunyai karakter tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna putih sehingga jika ditambahkan pada produk yoghurt tidak memberi pengaruh yang signifikan secara organoleptik. Penambahan inulin dalam jumlah 1-3% ke dalam produk yoghurt lebih dimanfaatkan sifat fisiologisnya yaitu sebagai sumber prebiotik (Franck & De Leenheer, 2005). Formula yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan atribut keseluruhan pada Gambar 21 adalah formula C (2% inulin) dengan skor penilaian 4.69. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan panelis yang paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor penilaian 4.27. Skor penilaian ini berkisar antara netral hingga agak suka yang menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen. Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik 4.70 4.60 4.50 4.40 4.30 4.20 4.10 4.00 4.59 4.27 4.69 4.67 A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) Keseluruhan D (inulin 3%) 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 21. Histogram Uji Rating Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Semua atribut yang diujikan yaitu aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan mendapat penilaian dari panelis dengan nilai diantara 4 sampai 5 yang artinya menurut panelis, yoghurt sinbiotik yang dihasilkan bernilai netral hingga agak suka. Selain itu berdasarkan hasil analisis sidik ragam, untuk semua atribut yang diujikan seluruhnya tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan inulin tidak memberikan pengaruh negatif terhadap organoleptik produk yoghurt. Oleh karena itu, semua formula yoghurt dengan penambahan inulin (1, 2, dan 3%) dapat dipilih sebagai formula terpilih tahap II. Formula yang dipilih sebagai formula terpilih tahap II adalah formula C dengan penambahan inulin 2%. Alasan dipilih formula C adalah memiliki kandungan prebiotik yang lebih tinggi jika dibanding formula B (1% inulin). Selain itu formula B adalah formula dengan penambahan inulin dengan batas bawah suatu produk dikatakan prebiotik yaitu 1%. Hal ini tidak dapat menjamin bahwa pada produk akhir kandungan inulin masih sebesar 1% karena bisa saja terjadi fermentasi inulin oleh kultur pada saat inkubasi walaupun hal tersebut kecil peluangnya untuk terjadi. Sedangkan formula D dengan penambahan inulin 3% merupakan produk yang paling banyak penambahan inulinnya sehingga mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi dibanding formula yang lainnya. Oleh karena 34

itu dipilih yoghurt dengan penambahan inulin sebanyak 2%. Penambahan inulin sebanyak 2% sudah dapat memberikan efek prebiotik yang baik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sadek et al., (2004), yang menyatakan bahwa penambahan 2% inulin ke dalam yoghurt dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri asam laktat. 4.3 ANALISIS MUTU YOGHURT SINBIOTIK Pengujian mutu yoghurt sinbiotik yang dilakukan adalah analisis mutu kimia dan mutu mikrobiologi. Analisis mutu kimia meliputi ph, TAT, total padatan, kadar inulin dan uji proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Sedangkan analisis mutu mikrobiologi meliputi jumlah total BAL produk serta cemaran mikrobanya yaitu koliform dan Salmonella. Hasil uji tersebut kemudian dibandingkan dengan SNI yoghurt tahun 2009. 4.3.1 Analisis Mutu Kimia Mutu kimia merupakan salah satu hal yang perlu diketahui dalam pembuatan suatu produk. Pengukuran mutu kimia produk yoghurt sinbiotik meliputi ph, TAT, total padatan, kadar inulin dan analisis proksimat pada formula terbaik. Hasil analisis mutu kimia produk yoghurt sinbiotik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Mutu Kimia Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik ph (Derajat Keasaman) TAT (% asam laktat) TPT Kadar inulin (g/100g) 4.3 0.74 15.36 3.88 4.3.1.1 Derajat Keasaman (ph) Nilai ph merupakan faktor penting dalam menentukan ketahanan bahan pangan terhadap kontaminasi mikroorganisme, karena peranan asam (ph) terhadap daya hambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Nilai ph ini merupakan salah satu ciri khas dari suatu produk fermentasi, terutama yoghurt. Nilai ph yang rendah pada produk yoghurt terbentuk karena adanya asam laktat sebagai hasil degradasi laktosa oleh bakteri asam laktat. Semakin banyak total asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat maka nilai ph semakin menurun. Produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan memiliki ph 4.3. Nilai ini sudah memenuhi ph yoghurt yang baik. Menurut Tamime dan Robinson (1989) yoghurt yang baik memiliki ph 3.8-4.6, bahkan Jay (2000) memberikan kisaran ph yoghurt yang lebih luas lagi yaitu antara 3.65-4.40. Penelitian tentang yoghurt dengan penambahan buah yang dilakukan oleh Kuntarso (2007) juga mempunyai kisaran ph yang sama yaitu 4.3, begitu pula dengan hasil penelitian Aryana dan McGrew (2007) yang membuat yoghurt dengan bakteri L. casei dan penambahan berbagai jenis inulin yang mempunyai ph antara 4.32-4.60. Nilai ph yang rendah yaitu < 4.5 sudah dapat menggumpalkan protein kasein pada susu dan membentuk tekstur yang baik. Hasil penelitian membuktikan bahwa yoghurt yang dihasilkan dengan nilai ph 4.3 sudah mampu menggumpalkan kasein dan membentuk tekstur yang baik, selain itu dengan tingkat keasaman tersebut sudah menghasilkan flavor yoghurt yang khas yaitu aroma asam susu fermentasi. Nilai ph yang cukup rendah pada produk yoghurt memiliki kemungkinan yang sangat kecil timbulnya pertumbuhan bakteri patogen. Selain itu, yoghurt dengan ph 4.3 dapat mempertahankan viabilitas dari bakteri probiotik (Lankaputhra, 1996). 35

4.3.1.2 Total Asam Tertitrasi Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) didasarkan atas komponen asam yang ada, dan nilai tersebut sebanding dengan jumlah asam laktat. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata total asam tertitrasi sampel terpilih yoghurt sinbiotik adalah sebesar 0,74%. Nilai ini menurut Silvia (2002) sudah cukup dalam menghasilkan tekstur yang lembut serta flavor asam yang cukup kuat. Selain itu hasil tersebut menurut SNI 01.2981-2009 tentang standar mutu yoghurt masih mempunyai nilai yang baik yaitu termasuk dalam kisaran 0.5-2% (b/b). Banyaknya asam laktat yang terbentuk dari hasil fermentasi susu dapat mempengaruhi pembentukkan tekstur pada yoghurt. Hal ini terbukti dari tekstur yang terbentuk pada yoghurt mengalami penggumpalan atau pembentukan gel yang baik. Yoghurt sinbiotik yang dibuat mempunyai tekstur padat dan telah memenuhi standar SNI 01.2981-2009. Pembentukkan gel yang baik pada yoghurt karena tersedianya cukup asam yang dapat menggumpalkan protein kasein yang berasal dari susu. 4.3.1.3 Total Padatan Mutu yoghurt juga ditentukan oleh kandungan total padatan pada yoghurt. Nilai total padatan dapat mempengaruhi tekstur yoghurt yang dihasilkan. Total padatan produk ditentukan berdasarkan kadar air dengan cara menguapkan air dari bahan atau hasil dari 100%-kadar air. Berdasarkan hasil analisis, yoghurt sinbiotik mempunyai total padatan sebesar 15.36%. Hasil ini sesuai dengan literatur menurut Tamime dan Robinson (1989) yang menyatakan bahwa yoghurt yang baik memiliki nilai total padatan berkisar antara 14-18%. Nilai ini juga sudah memenuhi persyaratan SNI 01.2981-2009 yang menyebutkan bahwa total padatan produk yoghurt minimal 8.2%. Total padatan yang tinggi pada produk yoghurt diperoleh karena bahan baku yang digunakan adalah susu skim. Menurut Tamime dan Robinson (1989) penambahan susu skim bubuk dapat meningkatkan kandungan protein, selain sebagai sumber laktosa bagi kehidupan kultur bakteri asam laktat. Kandungan protein yang semakin meningkat akan menaikkan total padatan susu karena penggumpalan kasein yang terjadi semakin banyak. Penggumpalan kasein ini yang kemudian akan mempengaruhi kekentalan susu fermentasi dan meningkatkan total padatannya. Selain itu, penambahan pisang tidak dalam bentuk ekstrak melainkan dalam bentuk puree juga dapat menambah jumlah total padatan pada produk yoghurt. 4.3.1.4 Kadar Inulin Penentuan kadar inulin pada produk yoghurt sinbiotik penting dilakukan untuk mengetahui jumlah prebiotik yang terkadung dalam produk agar memenuhi persyaratan suatu produk dapat dikatakan berprebiotik. Penambahan inulin sebagai sumber prebiotik pada produk fermentasi menurut Frank (2005) yaitu sebesar 1-3% per kemasannya. Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan pada tahap II, formula yoghurt yang terpilih adalah yoghurt dengan penambahan 2% inulin. Hasil pengujian inulin menggunakan HPLC menunjukkan bahwa kadar inulin pada produk akhir yoghurt sinbiotik adalah sebesar 3.88g/100g. Jumlah ini sudah memenuhi persyaratan yoghurt berprebiotik. Namun jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah inulin komersial yang ditambahkan pada awal proses pengolahan produk yaitu 2g/100g. Hal ini disebabkan karena kadar inulin yang terdapat pada produk akhir tidak hanya berasal dari penambahan inulin komersial pada produk, tetapi juga berasal dari bahan baku pisang yang digunakan. 36

Proses fermentasi oleh bakteri asam laktat tidak menyebabkan banyak penurunan jumlah kadar inulin. Bakteri asam laktat melakukan seleksi prioritas dalam menggunakan gula yang terdapat dalam medium susu. Bakteri menggunakan substrat yang tergolong gula-gula sederhana terlebih dahulu sebelum menggunakan substrat yang lebih kompleks. Oleh karena itu, substrat berupa susu skim dan gula pada yoghurt digunakan terlebih dahulu oleh bakteri sebelum menggunakan inulin. Standar dan metode yang digunakan dalam pengukuran inulin juga turut mempengaruhi kadar inulin yang dihasilkan. Standar yang digunakan adalah fruktosa, sedangkan metode yang digunakan adalah penambahan enzim inulinase pada preparasi sampel agar inulin yang terdapat pada produk terhidrolisis menjadi fruktosa dan dapat dihitung kadarnya dengan kurva standar fruktosa. Hal tersebut menyebabkan kadar inulin yang terukur merupakan jumlah seluruh fruktosa yang terdapat pada produk yoghurt, baik fruktosa yang berasal dari hasil pemecahan inulin oleh enzim inulinase maupun yang berasal dari gula (fruktosa) yang ditambahkan saat pengolahan yoghurt. Oleh karena itulah kadar inulin yang terukur sedikit lebih besar dibanding inulin yang ditambahkan. 4.3.1.5 Analisis Proksimat Uji proksimat bertujuan untuk mengetahui komponen kimia pada suatu bahan pangan. Hasil analisis proksimat yang dihasilkan memberi gambaran secara umum tentang nilai gizi dari produk yoghurt sinbiotik. Uji proksimat pada penelitian ini dilakukan pada sampel yoghurt terbaik hasil dari formula terpilih tahap I dan II yang diperoleh dari uji ranking hedonik dan rating hedonik yaitu sampel dengan penambahan puree pisang 10% dan inulin 2%. Hasil uji tersebut kemudian dibandingkan dengan SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk yoghurt dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil uji analisis proksimat sampel terpilih yoghurt sinbiotik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik (berdasarkan %bb). Komposisi Kandungan (%) Kadar Air 84.46 Kadar Abu 0.75 Kadar Protein 2.79 Kadar Lemak 0.20 Kadar Karbohidrat 11.80 SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt pada Tabel 1 menyebutkan bahwa kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak berturut-turut adalah maksimal 1.0%, minimal 2.7%, dan <0.5%. Berdasarkan hasil uji proksimat pada Tabel 5 terlihat bahwa kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak pada produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan. Kadar air pada produk berdasarkan hasil analisis proksimat adalah sebesar 84.46%. Nilai kadar air ini sudah tergolong baik untuk produk yoghurt walaupun kadar air bukan termasuk salah satu persyaratan produk yoghurt menurut SNI (2009). Nilai kadar air produk yoghurt yang tergolong baik, dapat dilihat dari sudah tercukupinya nilai total padatan dari produk yoghurt yang dihasilkan dimana dengan kadar air 84.46%, total padatannya sudah memenuhi persyaratan SNI yaitu sebesar 15.54% dan menghasilkan tekstur yoghurt yang padat. Kadar abu pada produk pangan dipengaruhi oleh kandungan mineral di dalam produk. Kandungan mineral yang terkandung dalam produk yoghurt dapat berasal dari bahan baku 37

pisang dan susu skim. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa kandungan mineral pada susu skim adalah sekitar 8%. Artinya penambahan susu skim sebanyak 10% akan menyumbang mineral sebanyak 0.8% pada produk yoghurt. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis proksimat yang tertera pada Tabel 5 yaitu sebesar 0.75%. Kadar protein pada produk adalah sebesar 2.79%. Kadar protein pada produk yoghurt banyak disumbangkan oleh susu skim sebagai bahan bakunya. Akan tetapi nilai ini sedikit lebih kecil dibandingkan dengan nilai kadar protein pada susu skim yaitu sebesar 3.7% (Buckle et al., 1987). Kadar protein pada yoghurt umumnya tidak terdapat perubahan yang signifikan hanya saja terjadi peningkatan daya cerna karena terjadi penguraian protein menjadi unit-unit yang sederhana. Hasil uji proksimat kadar lemak pada yoghurt sinbiotik yaitu sebesar 0.2%. Kadar lemak yang terkandung pada produk tergantung pada bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Kadar lemak yang diperoleh sangat rendah karena yoghurt dibuat menggunakan susu skim yang rendah lemak dan puree pisang yang juga mengandung lemak yang sangat kecil. Menurut Buckle et al. (1987) susu skim hanya mengandung sekitar 0.1% lemak, sehingga jika yoghurt yang dibuat hanya menggunakan susu skim akan memiliki kadar lemak yang rendah pula. Data ini dapat digunakan untuk mengklaim bahwa produk yoghurt yang dihasilkan digolongkan sebagai yoghurt non-fat (kadar lemak <0.5%). Hasil analisis proksimat yang terakhir adalah kadar karbohidrat. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat kadar karbohidratnya sebesar 11.8%. Nilai kadar karbohidrat ini sangat tergantung pada bahan-bahan lain yang ditambahkan pada yoghurt. Pada penelitian ini, sumber karbohidrat dapat berasal dari susu skim, selain itu bahan baku pisang sebagai buah yang ditambahkan ke dalam yoghurt tentunya berperan dalam meningkatkan kadar karbohidrat pada yoghurt. 4.3.2 Analisis Mutu Mikrobiologi 4.3.2.1 Total Bakteri Asam Laktat Probiotik menurut FAO/WHO (2002) adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Jumlah yang cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2002) ini adalah 10 6-10 8 cfu/ml dan diharapkan dapat berkembang menjadi 10 12 cfu/ml di dalam kolon. Oleh karena itulah penting untuk mengetahui jumlah total bakteri asam laktat pada sampel terpilih yoghurt sinbiotik dan mengetahui viabilitasnya selama penyimpanan. Pembuatan yoghurt sinbiotik ini hanya menggunakan kultur tunggal bakteri yang sudah terbukti probiotik yaitu Lactobacillus casei. Pengamatan terhadap total bakteri asam laktat (BAL) dari segi kuantitas dan viabilitas pada yoghurt, dilakukan selama 14 hari pada yoghurt yang disimpan di suhu dingin dan pengamatan dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Pengamatan dilakukan pada yoghurt yang disimpan pada suhu dingin karena suhu yang tepat untuk menyimpan produk-produk hasil fermentasi adalah suhu dingin. Alasan lain yaitu berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan, jumlah total BAL yang mampu bertahan hingga hari terakhir penyimpanan pada suhu dingin lebih banyak dari pada jumlah BAL yang mampu bertahan hingga hari terakhir penyimpanan suhu ruang. Hasil perhitungan total bakteri asam laktat yang terdapat dalam produk yoghurt sinbiotik formulasi terpilih berdasarkan Gambar 22 adalah sebanyak 3.6 x 10 9 cfu/ml. Jumlah tersebut sudah memenuhi persyaratan suatu produk dapat dikatakan probiotik menurut FAO/WHO (2002) yaitu 10 6-10 8 cfu/ml. Jumlah total BAL ini pada hari ke-0 hingga hari ke-5 pada produk yoghurt sinbiotik mengalami kenaikan yaitu mulai dari 3.6 x 10 9 hingga 8.6 x 10 9 38

cfu/ml. Sedangkan dari hari ke-6 hingga hari ke-12 terjadi penurunan jumlah total BAL yaitu menurun hingga 3.7 x 10 9 cfu/ml dan mengalami kenaikan kembali pada hari terakhir yaitu hari ke-14 menjadi 4.1 x 10 9 cfu/ml. Jumlah BAL (Logaritmik) cfu/ml 10 9 8 7 6 5 9.8 9.9 9.9 9.6 9.7 9.6 0 3 5 7 10 12 14 Penyimpanan Hari Ke- 9.6 Gambar 22. Jumlah Total BAL selama 14 hari Peningkatan jumlah total BAL yang terlihat pada hasil penelitian tidak terlalu signifikan. Peningkatannya hingga hari ke-5 hanya sekitar 3.1% (kurang dari 1 siklus log). Pada penyimpanan suhu dingin, terdapat hambatan aktivitas mikroorganisme berupa temperatur yang rendah. Hal ini menyebabkan aktivitas bakteri tidak optimal dan pertumbuhannya menjadi lambat atau bahkan terhambat. Menurut Buckle et al. (1987), faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme salah satunya adalah suhu. Peningkatan jumlah total BAL selama disimpan hingga hari ke-5 disebabkan masih banyaknya substrat yang terdapat pada bahan baku seperti susu skim, gula, dan puree pisang yang dimetabolisme oleh bakteri. Terutama bahan baku susu skim yang mengandung lebih dari 50% laktosa yang merupakan karbohidrat utama dalam susu. Jumlah laktosa yang mencapai separuh komposisi susu skim mengakibatkan BAL memperoleh nutrisi yang cukup (Winarno, 1997). Menurut Sunarlim dan Usmiati (2006), pada waktu tertentu jumlah substrat dalam bahan baku untuk melakukan fermentasi masih tersedia cukup banyak sehingga bakteri masih bisa memperbanyak diri dengan lambat walaupun disimpan pada suhu dingin. Hasil penelitian yang sama juga didapat oleh Setiawan (2010) yang mendapatkan hasil bahwa bakteri L. casei yang ditumbuhkan pada produk dadih yang disimpan pada suhu dingin mengalami peningkatan yang tidak signifikan hingga hari ke-7 dan memiliki rata-rata jumlah total bakteri asam laktat sebanyak 2.2 x 10 11 cfu/ml. Jumlah substrat atau laktosa sebagai sumber karbon utama semakin lama semakin menurun sehingga bakteri relatif tidak aktif memperbanyak diri dan bakteri sudah melewati fase logaritmik. Oleh karena itu terjadi penurunan total bakteri asam laktat (BAL) selama penyimpanan sehingga viabilitasnya menurun. Selain itu, faktor yang menyebabkan jumlah total BAL menurun adalah ketidakmampuan bakteri tersebut untuk melawan sifat toksik dari hasil metabolitnya yang menumpuk di lingkungan seperti jumlah asam laktat yang tinggi. Menurut Oberman (1985), jumlah BAL pada yoghurt sebesar 2.0 x 10 8-1.0 x 10 9, tetapi jumlah tersebut terus mengalami penurunan selama penyimpanan. Meskipun begitu penurunan total bakteri asam laktat tidak signifikan yaitu hanya sekitar 3.1%. Perubahan ini masih kurang dari satu siklus log, hal ini menunjukkan bahwa Lactobacillus 39

casei memiliki ketahanan yang baik pada kondisi asam. Hal serupa juga dikemukakan oleh Aryana dan McGrew (2007) tentang hasil penelitiannya yang melihat pertumbuhan L. casei dengan penambahan inulin pada yoghurt yang disimpan pada suhu 4 C yang menyatakan bahwa selama penyimpanan L. casei mengalami penurunan kurang dari 1 siklus log selama 2 minggu. Menurut Yamazaki et al. (1973) dikutip dalam Lee dan Wong (1998), Lactobacillus dan Bifidobacteria memiliki ketahanan yang baik pada ph yang rendah, begitu pula menurut Salminen dan Wright (1998), Lactobacillus casei dapat bertahan lebih lama dalam susu fermentasi. 4.3.2.2 Bakteri Koliform Uji total koliform perlu untuk dilakukan dalam produk yoghurt. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan mikroba koliform atau indikator sanitasi pada suatu produk. Jenis bakteri koliform ini yaitu bakteri Esherichia coli dan Enterobacter yang pada produk yoghurt dapat berasal dari susu, air, dan buah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt. Uji koliform dilakukan dengan metode MPN yang bersifat kuantitatif. Pengamatan dilakukan dengan melihat tabung positif dengan mengamati timbulnya kekeruhan, atau terbentuknya gas di dalam tabung Durham dalam media BGLBB untuk mikroba pembentuk gas. Pada umumnya setiap pengenceran digunakan tiga atau lima seri tabung. Lebih banyak tabung yang digunakan menunjukkan ketelitian yang lebih tinggi, tetapi alat gelas yang digunakan juga lebih banyak. Pada penelitian ini digunakan tiga seri tabung, karena produk yang diuji yaitu produk yoghurt yang telah diproduksi secara pasteurisasi dan tergolong kedalam pangan berasam tinggi sehingga kemungkinan terjadinya pertumbuhan koliform kecil dan mengandung sedikit koliform. Pengujian bakteri koliform pada yoghurt dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-14 yang disimpan pada suhu dingin. Uji kuantitatif yang dilakukan adalah uji penduga. Berikut data hasil pengujian koliform dari uji penduga dengan menggunakan media BGLBB pada produk yoghurt hari ke-0 dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Uji Koliform Hari ke- Hasil Kuantitatif (MPN/g) 0 <3.0 14 <3.0 Berdasarkan data uji penduga diperoleh bahwa seluruh tabung reaksi dengan 4 tingkat pengenceran tidak ditemukan adanya pembentukan gas pada tabung Durham, baik itu pada hari ke-0 produk yoghurt maupun dengan hari ke-14. Sehingga berdasarkan penggunaan tabel MPN seri 3 tabung diperoleh total koliform pada produk yoghurt sebesar <3 MPN/100ml. Menurut hasil tersebut maka dapat dikatakan produk yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang dan inulin ini memenuhi persyaratan SNI 01.2981-2009. Produk yang telah diolah dengan cara yang baik dan benar, memiliki kemungkinan kontaminasi oleh bakteri koliform yang rendah. Dengan adanya blansir pada bahan baku pisang dan proses pasteurisasi pada susu sudah dapat mematikan bakteri koliform. Hal ini didukung oleh pernyataan menurut Tamime dan Robinson (1989) yang menyatakan bahwa grup koliform tidak tahan pada ph rendah, penyimpanan suhu rendah dan tidak tahan dengan adanya zat hasil 40

metabolisme BAL seperti zat antimikroba dan asam laktat sehingga adanya bakteri koliform pada yoghurt sangat kecil. 4.3.2.3 Keberadaan Bakteri Salmonella Salmonella adalah salah satu kelompok bakteri enteropatogenik penyebab infeksi gastrointestinal dan keracunan makanan. Di dalam SNI 01.2981-2009 dinyatakan bahwa produk yoghurt paling tidak harus negatif Salmonella dalam 25 g setelah diuji secara kualitatif. Selain itu walaupun yoghurt tergolong makanan yang aman dikonsumsi, namun bahan baku susu yang digunakan dapat saja terkontaminasi oleh Salmonella jika pembuatan susu bubuknya menggunakan metode penyemprotan dan proses sanitasinya tidak baik. Susu skim yang beredar di pasaran jika sudah memenuhi persyaratan SNI 01.2970-2006 pasti mengandung negatif koloni Salmonella/100 g. Oleh karena itu perlu dilakukan uji Salmonella pada produk yoghurt. Uji Salmonella dilakukan secara kualitatif pada produk yoghurt hari ke-0 dan hari ke- 14 yang disimpan pada suhu dingin dengan melakukan tahap enrichment dan tahap seleksi. Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui apakah produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan mengandung Salmonella atau tidak. Berikut data hasil uji Salmonella pada hari ke-0 dan ke-14 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Salmonella Hari ke- Hasil Kualitatif (MPN/g) 0 Negatif/25g 14 Negatif/25g Hasil uji yang telah dilakukan terhadap produk yoghurt formula terpilih, menyatakan bahwa jumlah Salmonella pada hari ke-0 negatif Salmonella/25 g yoghurt. Begitu pula dengan jumlah Salmonella pada hari ke-14. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 23, dimana pada media HEA (media berwarna coklat) tidak terdapat koloni berwarna biru kehijauan, dengan atau tanpa warna hitam ditengahnya. Pada media XLDA (media berwarna merah) tidak terdapat koloni berwarna merah muda dengan atau tanpa warna hitam di tengahnya dan tidak tampak koloni yang besar, berwarna hitam mengkilap ditengahnya. Begitu pula pada media BSA (media berwarna abu-abu) tidak terdapat koloni berwarna coklat, abu-abu atau hitam berwarna kilau metalik. Menurut hasil uji inilah maka dapat dikatakan bahwa produk yoghurt yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan dan aman dari cemaran mikroba enteropatogenik. (a) (b) (c) Gambar 23. Media Selektif Perumbuhan Salmonella Produk yoghurt yang dihasilkan tidak mengandung bakteri Salmonella karena produk ini telah diolah dengan baik dan benar, salah satunya penerapan proses pasteurisasi. Salmonella tidak tahan terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi. Menurut Jay (2000) Salmonella dapat dihancurkan pada proses pemanggangan pada suhu 71.1 C dan menurut Lund 41

(2000) dengan suhu pasteurisasi tersebut mampu menurunkan jumlah sel hidup Salmonella sebanyak 10 5 sel. Selain itu produk-produk yoghurt mempunyai ph yang rendah sehingga mikroba patogen tidak dapat tumbuh, serta terbentuknya asam-asam organik dan zat antimikroba yang berasal dari bakteri probiotik dapat membunuh mikroba-mikroba patogen (Tamime & Robinson, 1989). Produk yoghurt yang dihasilkan tidak mengandung bakteri indikator sanitasi koliform dan Salmonella yang menandakan bahwa proses pasteurisasi yang dilakukan sudah cukup untuk membunuh kedua jenis bakteri tersebut. Selain itu, tidak terjadi kontaminasi kembali setelah proses pengolahan sehingga produk tidak terkontaminasi bakteri indikator sanitasi hingga diakhir penyimpanan suhu dingin selama 14 hari. 42