BAB I PENDAHULUAN. suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997).

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

2011, No Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB Mengenai Keaneka

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1.! Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Banteng Taksonomi dan Morfologi Banteng

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Perburuan satwa liar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN. Produksi Minyak Sawit Dunia, Gambar 1.1 Grafik Produksi Minyak Sawit Dunia, (FAO, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. utama terus mengalami pergeseran dan lebih membuka diri bagi aktor non-state

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMA KASIH... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK... iv. ABSTRACT...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

I. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2011 enhut-ii/2011 TENTANG

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Konservasi Biodiversitas Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah burung. endemik Pulau Bali, dan distribusinya sampai tahun 2005 hanya ada di Taman

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

PEMILIHAN OBJEK WISATA DI SUMATERA UTARA DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Luas Taman Nasional. Luas Resort TN Gunung Gede ha ha TN Alas Purwo ha ,67 ha TN Way Kambas 125.

4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA, BANDUNG

PENDAHULUAN Latar Belakang

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN HUTAN RAYA R.

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Habitat merupakan kondisi yang ada pada suatu area yang menyebabkan suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997). Pengelolaan habitat satwa liar, membutuhkan informasi detail tentang persebaran dan kelimpahan satwa untuk memahami ekologi sekaligus untuk menyusun arahan pengelolaan (Singh et al, 2009). Salah satu pendekatan untuk mendeskripsikan habitat adalah menggunakan indeks kesesuaian habitat ( habitat suitability index). Habitat suitability index (HSI) adalah sebuah alat untuk memprediksi kualitas atau kesesuaian habitat untuk spesies tertentu berdasarakan penilaian faktor-faktor habitat seperti struktur, tipe, dan pengaturan spasialnya. HSI merupakan permodelan sederhana yang berguna untuk melihatfaktor-faktor utama yang mempengaruhi kelimpahan dan keberadaan satwa liar (Morrisson et al, 2006). Menimbang potensi pendekatan HSI yang besar dalam memprediksi distribusi satwa dan sulitnya penelitian lapangan untuk mencapai seluruh lokasi, maka pendekatan HSI untuk memprediksi distribusi banteng merupakan pendekatan yang paling reliable saat ini. Status konservasi Banteng dalam IUCN Red List of Threatened Spesies adalah Endangered (Terancam Punah). Banteng memiliki persebaran alami di 1

2 pulau Jawa dan Kalimantan dengan rincian sebagai berikut (Prosiding Workshop Pengelolaan Banteng di Tamana Nasional Baluran, 2011): a. Sebaran Banteng di Pulau Jawa Semenanjung Ujung Kulon Jawa Barat, di Taman Nasional Ujung Kulon tercatat bahwa pada tahun 1997 populasi banteng pada saat itu berjumlah 905 ekor. Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng mencatat pada tahun 2003 populasi banteng berjumlah 25 sampai 65 ekor. Di Bonjonglarang Jayanti pada tahun 1988 sudah tidak tercatat adanya populasi banteng. Cimapag serta Cikamurang juga terdapat banteng sampai pada tahun 1970 tetapi tidak disertai dengan adanya data kuantitatif yang akurat. Sama halnya dengan keberadaan banteng di Kediri Jawa Timur di mana tidak tercatat adanya banteng sampai tahun 1970. Begitu pula dengan di Cagar Alam Leuwung sancang, Pantai Malang dan Pantai Malang. Keberadaan banteng yang tercatat masih banyak dijumpai adalah di Taman NAsional Meru Betiri, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo. b. Persebaran Habitat Banteng di Pulau Kalimantan Kabupaten Lamandau, Kabupten Nunukan, Kabupaten Malinau serta Kabupaten Berau terdapat populasi banteng tetapi tidak didukung dengan adanya data kuantitatif yang akurat pada kawasan tersebut. Berbeda dengan Taman Nasional Kutai yang populasi banteng sampai dengan tahun 2003 terdapat sebanyak 34 ekor. Taman Nasional Kayan Mentarang juga terdapat keberadaan populasi banteng sampai pada tahun 2009 berjumlah 40 sampai 50 ekor.

3 Sebaran banteng di Kabupaten Banyuwangi berada di beberapa kawasan konservasi seperti di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo. Selain itu populasi banteng juga didapati di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Peruhutani yaitu di KPH Banyuwangi Selatan. Data-data empiris mengenai keberadaan banteng di dalam kawasan KPH Banyuwangi Selatan sudah ada dan tercatat di dalam lembar buku kegiatan pengelolaan lingkungan perusahaan, namun data persebaran prediktif untuk keberadaan banteng belum tersedia. Prediksi keberadaan banteng di luar kawasan konservasi dirasa penting untuk dilakukan, mengingat daya jelajah banteng yang merupakan mamalia besar yang cukup jauh sehingga tidak menutup kemungkinan banteng dapat bergerak keluar kawasan konservasi dan menempuh perjalanan yang panjang. Pengetahuan mengenai kebutuhan habitat atau kesesuaian habitat serta distribusi spesies yang terancam punah seperti banteng merupakan informasi yang penting agar koservasi dan manajemen populasinya berhasil (Rushton et al, 2004). Hal tersebut mungkin terjadi jika suatu kawasan di luar kawasan konservasi memiliki kesamaan kualitas habitat dengan habitatnya di dalam kawasan konservasi. Sistem informasi geografis (SIG) memiliki kemampuan khusus dan ideal untuk menganalisa data-data spasial yang bisa diaplikasikan dalam berbagai kegiatan dan berbagai bidang (Prahasta, 2009). SIG juga diharapkan mampu untuk menganalisa dan memberikan solusi terhadap isu konservasi kawasan dan konservasi satwa liar. Pada kenyataannya pergerakan satwa liar dalam habitat serta sekitar habitatnya menjadikan analisis secara spasial menjadi bagian penting

4 dalam pemodelan habitat sehingga penggunaan aplikasi SIG menjadi penting dalam pemodelan habitat (Rickers et., al 1995). Situasi sulit dalam pemodelan spasial yang memerlukan analisis multikriteria seperti pemodelan kesesuaian habitat banteng adalah bagaimana menentukan besaran bobot atau nilai relatif suatu kriteria yang akan dievaluasi besarnya pengaruh kriteria tersebut dalam suatu habitat satwa. Salah satu teknik yang sangat populer untuk menghitung pembobotan variabel-variabel adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP dikembangkan oleh Saaty (1980). AHP sangat membantu untuk menghitung bobot banyak faktor dengan membangun tingkatan yang terstruktur pada kriteria yang digunakan dan nantinya akan dibandingkan dengan faktor lain yang relevan dengan masalah yang dihadapi (Duc, 2006). 1.2 Perumusan masalah 1. banteng Perum Perhutani.kbKPH Banyuwangi Selatan kb banteng Oleh karena itu, ubt:bkbkph Banyuwangi Selatan?Apakah penggunaan data empiris yang ada selama ini memberikan hasil yang lebih baik daripada HSI Map yang berbasiskan hipotesa distribusi untuk populasi banteng di Perum Perhutani? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi distribusi banteng di Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini adalah:

5 a. Mengetahui karakter habitat yang penting bagi distribusi banteng di KPH Banyuwangi Selatan. b. Mengetahui lokasib terkhusus di Perum Perhutani KPH Banyuwangi SelatanMengestimasi persebaran banteng menggunakan HSI map dan membandingkan data empiris keberadaan banteng di Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan untuk dapat mengetahui apakah HIS Map lebih baik dari data empiris. 1.4 Manfaat Penelitian Banteng merupakan spesies prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk dipulihkan populasinya di alam (Arahan strategis konservasi spesies nasional 2008-2018, Peraturan Menteri Kehutanan No P.57/Menhut-II/2008). Hingga saa tini data distribusi banteng yang akura tbelum dimiliki oleh berbagai kawasan konservasi di Indonesia. Kawasan konservasi di Indonesia saat ini menerima ancaman serius dari perilaku manusia yang mengancam kawasan dan spesies-spesies yang dilindungi. Data terakhir menunjukkan bahwa banteng hanya tersebar di 13 kawasan lindung di pulau Jawa (Pudyatmoko, 2004). Sayangya ketiga belas kawasan tersebut terpisah satu sama dengan lainnya sehingga upaya konservasi yang dirintis mengalami hambatan dengan hilangnya koridor bagi banteng. Kondisi ini diperparah dengan tekanan yang besar dari manusia melalui jumlah penduduk yang padat dan perburuan liar, serta musuh alami berupa Anjing Liar (Cuon Alpinus). Penelitian ini akan dilakukan di luar kawasan konservasi (KPH Banyuwangi Selatan) yang saat ini merupakan kawasan produksi yang memiliki

6 kondisi kritis. Spesies yang dipilih untuk penelitian ini juga masuk dalam prioritas konservasi nasional.untuk itu penelitian ini memiliki nilai strategis yang sangat tinggi baik bagi bangsa maupun UGM pada khususnya. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan praktis bagi pengelolaan habitat dan pengelolaan kawasan hutan serta memberi kontribusi bagi perbaikan data populasi banteng yang krusial bagi konservasi banteng dan kesesuaian habitat banteng dalam sudut pandang spasial di alam. Pada akhirnya penelitian ini nantinya dapat memberikan masukkan dalam pengelolaan serta konservasi habitat banteng di kawasan Banyuwangi selatan terkhusus di KPH Banyuwangi Selatan dengan lebih efektif dan efisien serta dapat diaplikasikan di wilayah lain.