BAB II LANDASAN TEORI A. PEMBELIAN IMPULSIF Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana perilaku pembelian ini berhubungan dengan adanya dorongan yang menyebabkan konsumen melakukan pembelian dengan segera tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu. Berikut akan dijelaskan secara mendalam mengenai pengertian dari pembelian impulsif 1. Pengertian Pembelian impulsif AMA (American Marketing Association dalam Buendicho, 2003) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai kecenderungan perilaku membeli yang terjadi tanpa adanya perencanaan atau pemikiran terlebih dahulu. Pembelian impulsif ini terjadi secara mendadak terhadap suatu produk dan merek yang sebelumnya belum diputuskan (Cobb & Hoyer, 1972 dalam Buendicho, (2003)). Pembelian impulsif juga merupakan pembelian yang terjadi secara spontan, yaitu ketika individu melihat suatu produk baik langsung dari toko maupun dari katalog produk. Individu langsung melakukan pembelian ketika ia merasa produk tersebut cocok maka ia akan langsung melakukan pembelian tanpa melakukan pertimbangan terlebih dahulu (Beatty & Ferrel, 1998 dalam Buendicho, (2003)). Perilaku pembelian ini dikaitkan dengan pembelian yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap barang yang telah dibeli, misalnya uang yang dihabiskan untuk barang yang tidak perlu (Rook & Gardner, 1987 dalam Verplanken, 2001)).
Engel & Blackwell (1995) menambahkan pembelian impulsif sebagai suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko. Beberapa pengertian di atas menjelaskan pembelian impulsif terkait dengan pembelian yang dilakukan secara mendadak dan tanpa adanya perencanaan. Selain itu, ada beberapa tokoh yang mendefinisikan pembelian impulsif tidak hanya terkait dengan pembelian yang mendadak, tetapi juga menggambarkan adanya dorongan yang mendasari pembelian impulsif. Verplanken & Herabadi (2001) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang intens yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsukensi negatif, merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran (Rook dalam Verplanken, 2001) Pembelian impulsif juga disebut sebagai pembelian yang tidak terencana yang memenuhi karakteristik sebagai berikut : terjadinya pengambilan keputusan membeli yang relatif cepat, menjadi lebih emosional daripada rasional dan tidak termasuk pembelian untuk barang yang mudah diingat, dan memerlukan perencanaan dalam pembeliannya (Thai, 2003). Pengertian pembelian impulsif yang digunakan pada penelitian ini adalah pembelian yang tidak direncanakan secara khusus dan didasari oleh perasaan yang
mendorong untuk melakukan pembelian suatu produk untuk mendapatkan kepuasan dan kesenangan (Rook (1987); Verplanken & Herabadi (2001); Thai (2003)). 2. Elemen Pembelian Impulsif Verplanken & Herabadi (2001) mengatakan terdapat dua elemen penting dalam pembelian impulsif yaitu: a. Kognitif Elemen ini fokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu yang meliputi: 1. Tidak mempertimbangan harga dan kegunaan suatu produk 2. Tidak melakukan evaluasi terhadap suatu pembelian produk 3. Tidak melakukan perbandingan produk yang akan dibeli dengan produk yang mungkin lebih berguna. b. Emosional Elemen ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi : 1. Timbulnya dorongan perasaan untuk segera melakukan pembelian. 2. Timbul perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian. 3. Tipe-tipe pembelian impulsif Loudon dan Bitta (1993) mengemukakan empat tipe dari pembelian impulsif. Keempat tipe pembelian impulsif tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pure impulse buying adalah pembelian impulsif yang benar-benar tidak direncanakan karena ada barang yang baru.
2. Reminder impulse buying adalah pembelian yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya. 3. Suggestion impulse buying adalah pembelian yang dilakukan ketika pertama kali melihat suatu produk dan mengevaluasi kegunaannya. 4. Planned impulse buying adalah pembelian yang dilakukan karena faktor harga. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif menurut Thai (2003) adalah : 1. Kondisi mood dan emosi konsumen. Keadaan mood konsumen dapat mempengaruhi perilaku konsumen, misalnya kondisi mood konsumen yang sedang senang atau sedih. Pada konsumen yang memiliki mood negatif, pembelian impulsif lebih tinggi dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kondisi mood yang negatif (Verplanken & Herabadi, 2002) 2. Pengaruh lingkungan. Orang-orang yang berada dalam kelompok yang memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi akan cenderung terpengaruh untuk melakukan pembelian impulsif juga (Thai, 2003). 3. Kategori produk dan pengaruh toko. Produk-produk yang cenderung dibeli secara impulsif adalah poduk yang memiliki tampilan menarik (bau yang menyenangkan, warna yang menarik), cara memasarkannya, tempat dimana produk itu dijual. Tampilan toko yang menarik akan lebih menimbulkan dorongan pembelian impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001). Produk-produk yang cenderung di beli secara impulsif diantaranya: pakaian, majalah, barang
elektronik, barang-barang kebutuhan mandi dan alat musik (Dittmar & Drury, 1996 dalam Buendicho, (2003)). 4. Variabel demografis seperti kondisi tempat tinggal dan status sosial. Konsumen yang tinggal di kota memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi daripada konsumen yang tinggal di daerah pinggiran kota (Thai, 2003). 5. Variabel perbedaan individu. Kepribadian individu memiliki pengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001). Trait yang menyusun kepribadian individu merupakan aspek psikologis yang terkait dengan kecenderungan pembelian impulsif. Selanjutnya akan dibahas mengenai kepribadian yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif. B. BIG FIVE PERSONALITY Big Five Personality adalah salah satu teori yang menggambarkan kepribadian individu yang terdiri dari lima dimensi. Ke lima dimensi ini mewakili karakteristikkarakteristik yang khas yang terdapat dalam diri individu (Pervin, 2005). 1. Definisi Big Five Personality Gordon Allport mendefiniskan kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamis di dalam individu, sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan (dalam Suryabrata, 2002). Siagian (1986) mengatakan bahwa kepribadian seseorang menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk sikap, cara berfikir dan cara bertindak. Sikap, cara berfikir,
dan cara bertindak itu dapat dipastikan tidak terlalu sama antar individu yang satu dengan yang lain. Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi Big Five Personality. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999). Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005). Big Five Personality oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa bahasa yang digunakan orang sehari-hari, yang tidak hanya dimengerti oleh para psikolog, namun juga orang biasa (dalam Pervin, 2005).
2. Tipe-Tipe Big Five Personality Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Big Five Personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut. Pada sub bab ini, kelima dimensi tersebut akan dijelaskan dengan istilahistilah berikut: a. Neuroticism (N) b. Extraversion (E) c. Openness to New Experience (O): d. Agreeableness (A) e. Conscientiousness (C) Costa & McRae (1985;1992) menggambarkan kelima dimensi di atas sebagai berikut: Neuroticism berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain. Dimensi yang terakhir, yaitu Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial (Pervin, 2005). Untuk lebih jelasnya, kelima dimensi di atas akan dipaparkan pada Tabel 1. yang didapat dari hasil penelitian Costa & McRae (1985;1992).
Tabel 2. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model Dengan Skor Tinggi Dan Rendah Karakteristik dengan skor tinggi Sifat Karakteristik dengan skor rendah Kuatir, cemas, emosional, Neuroticism (N) Tenang, santai, tidak merasa tidak nyaman, Mengukur penyesuaian Vs emosional, tabah, nyaman, kurang penyesuaian, ketidakstabilan emosi. puas terhadap diri sendiri. kesedihan yang tak Mengidentifikasi beralasan. kecendrungan individu akan distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon coping yang tidak sesuai. Mudah bergaul, aktif, Extraversion (E) Tidak ramah, tenang, tidak banyak bicara, personoriented, Mengukur kuantitas dan periang, menyendiri, task optimis, intensitas interaksi oriented, pemalu, menyenangkan, kasih intrapersonal, level pendiam. sayang, bersahabat. aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, original, imajinatif, tidak ketinggalan jaman. Berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang. Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun. kesenangan. Openness (O) Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang mengetahui sesuatu yang tidak familiar. Agreeableness (A) Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Conscientiousness (C) Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecendrungan untuk menjadi malas dan lemah. Mengikuti apa yang sudah ada, down to earth, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni, kurang analitis. Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif. Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang.
Costa & McRae (dalam Pervin, 2005) membagi setiap dimensi dari Big Five yang terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah: a. Neuroticism terdiri dari: 1. Anxiety yaitu : memiliki kecemasan. 2. Self-consciousness yaitu : kesadaran diri. 3. Depression yaitu merasa rendah diri dan tidak berharga. 4. Vulnerability yaitu : mudah tersinggung. 5. Impulsifness yaitu : menuruti kata hati. 6. Angry hostility yaitu : memiliki amarah. b. Extraversion terdiri dari: 1. Gregariousness yaitu : suka berkumpul. 2. Activity level yaitu : memiliki level aktivitas. 3. Assertiveness yaitu : memiliki ketegasan. 4. Excitement Seeking yaitu : mencari kesenangan. 5. Positive Emotions yaitu : memiliki emosi yang positif. 6. Warmth yaitu : memiliki kehangatan. c. Openness to new experience terdiri dari: 1. Fantasy yaitu : memiliki khayalan yang berlebihan. 2. Aesthetics yaitu : keindahan. 3. Feelings yaitu : memiliki perasaan yang sensitif. 4. Ideas yaitu : memiliki ide-ide yang kreatif. 5. Actions yaitu : melakukan tindakan.
6. Values yaitu : memiliki nilai-nilai. d. Agreeableness terdiri dari: 1. Straightforwardness yaitu : suka berterusterang. 2. Trust yaitu : memiliki kepercayaan. 3. Altruism yaitu :mendahulukan kepentingan orang lain. 4. Modesty yaitu : memiliki sifat rendah hati. 5. Tendermindedness yaitu : berhati lembut. 6. Compliance yaitu : memiliki kepatuhan. e. Conscientiousness terdiri dari: 1. Self-discipline yaitu : memiliki disiplin diri. 2. Dutifulness yaitu : patuh kepada peraturan. 3. Competence yaitu : memiliki kompetensi. 4. Order yaitu : hidup teratur. 5. Deliberation yaitu : melakukan pertimbangan. 6. Achievement striving yaitu : mencapai prestasi. C. PENGARUH DIMENSI BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF Pembelian impulsif adalah perasaan yang intens yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negatif, merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran (Rook, 1987 dalam Verplanken, (2001)). Ketika
pembelian impulsif ini dilakukan, timbul konflik dalam diri konsumen yang disebut konflik heart vs mind (konflik antara fikiran dan perasaan), misalnya antara harga produk yang tinggi dan dorongan emosional untuk memiliki produk tersebut. Konflik ini pada akhirnya akan dimenangkan oleh dorongan emosional dimana konsumen merasakan kepuasan secara emosional karena telah memiliki barang yang diinginkan (Verplanken & Herabadi, (2001)) Thai (2003) mengatakan kepribadian individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan pembelian impulsif. Trait-trait yang menyusun kepribadian individu merupakan aspek psikologis yang terkait dengan kecenderungan pembelian impulsif (Rook, 1995). Trait-trait tersebut merupakan prediktor yang signifikan terhadap pembelian impulsif (Rook & Fisher,1995). Verplanken & Herabadi (2001) menemukan hubungan antara trait-trait yang dimiliki individu terhadap kecenderungan pembelian impulsif, misalnya orang-orang yang bertipe extraversion memiliki hubungan positif dengan pembelian impulsif. artinya orangorang pada tipe ini akan lebih menunjukkan kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi juga. Salah satu pendekatan dalam psikologi kepribadian yang dapat melihat traittrait yang terdapat dalam diri individu adalah teori big five personality. Big Five Personality merupakan suatu model hirarki kepribadian yang membagi kepribadian menjadi lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas dan sangat luas (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Kelima tipe kepribadian tersebut
adalah neuroticism, extraversion, openness to new experience, agreeableness, dan conscientiousness. Dimensi pertama yaitu Neuroticism mencakup perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Dimensi ini memiliki hubungan positif dengan pembelian impulsif. Sifat-sifat yang terdapat pada dimensi ini antara lain : kecendrungan individu akan distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon coping yang tidak sesuai (Costa & McRae ;dalam Pervin, 2005). Lazarus, Folkman, (1986) mengatakan respon coping berkaitan dengan kognitif dan emosional individu. Orang-orang Neuroticism memiliki respon coping yang tidak sesuai. Hal ini berhubungan dengan kecenderungan pembelian impulsif. Pembelian impulsif ditandai dengan adanya konflik yang terjadi antara pertimbangan kognitif dan emosional (Verplanken & Herabadi, 2001). Konflik ini dimenangkan oleh emosional yang menyebabkan individu melakukan pembelian yang tidak rasional. Untuk itu, orang-orang yang mempunyai kecenderungan tipe ini memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi pula. Dimensi yang kedua yaitu Extraversion meliputi perilaku mudah bergaul, aktif, banyak bicara, optimis, menyenangkan, kasih sayang dan bersahabat. Dimensi ini berkaitan dengan kebutuhan individu untuk mendapatkan stimulasi (Costa & McRae ;dalam Pervin, 2005). Individu yang bertipe ini, sangat tertarik akan adanya stimulasi-stimulasi yang baru. Hal ini berhubungan dengan kecenderungan pembelian impulsif. Orang yang memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi
ditandai dengan ketertarikan yang berlebihan terhadap stimulasi produk yang ditawarkan. Dengan demikian, dimensi ini memiliki hubungan positif dengan pembelian impulsif (verplanken & Herabadi, 2001). Orang-orang mempunyai kecenderungan tipe ini memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi pula. Dimensi yang ketiga yaitu openness to new experience yang mencakup perilaku rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, imajinatif (Costa & McRae ;dalam Pervin, 2005). Orang-orang dengan dimensi ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ketika individu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, berarti memiliki kontrol kognitif yang tinggi. Hal ini berhubungan negatif dengan kecenderungan pembelian impulsif. Menurut Verplanken & Herabadi (2001) individu yang memiliki kecenderungan pembelian impulsif lebih mengikuti dorongan emosional daripada kognitif. Maka, dimensi ini memiliki hubungan negatif dengan pembelian impulsif. Orang-orang dengan dimensi ini memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Dimensi yang keempat yaitu agreeableness meliputi perilaku seperti : berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang. Ciri-ciri di atas tidak berhubungan dengan ciri-ciri kecenderungan pembelian impulsif. Verplanken & Herabadi (2001), mengatakan orang-orang dengan kecenderungan pembelian impulsif sebagai pembelian adalah orang-orang yang tidak rasional dan didorong oleh adanya kepuasan setelah melakukan pembelian Dimensi ini tidak memiliki hubungan dengan pembelian impulsif.
Dimensi yang terakhir yaitu conscientiousness meliputi keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Orang-orang dengan dimensi ini memiliki tujuan dan perencanaan yang matang akan sesuatu. Hal ini berhubungan dengan kecenderungan pembelian impulsif. Rook (1987), mengatakan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak terencana. Individu yang memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi melakukan pembelian dengan tidak terncana. Hal ini berhubungan negatif dengan dimensi conscientiousness. Dimana orang-orang dengan dimensi ini memiliki perencanaan disetiap tindakan yang akan dilakukan. Orang-orang dengan dimensi ini memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah (Verplanken & Herabadi, 2001). Dalam penelitian ini, pendekatan big five personality inilah yang akan digunakan untuk melihat trait-trait yang terdapat dalam diri individu yang selanjutnya akan dilihat pengaruhnya terhadap kecenderungan pembelian impulsif. D. HIPOTESA PENELITIAN Hipotesa dalam penelitian ini adalah : 1. Hipotesa Mayor : Ada pengaruh dimensi Big Five Personality terhadap kecenderungan Pembelian Impulsif. 2. Hipotesa Minor : a. dimensi Neuroticism berpengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif. b. dimensi Extraversion berpengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif.
c. dimensi openness to new experience berpengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif. d. dimensi agreeableness tidak berpengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif. e. dimensi conscientiousness berpengaruh terhadap kecenderungan pembelian impulsif.