HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakterisasi Minyak Ikan. 1.a. Metode Pengukuran Bilangan Asam (AOCS Cd 3d-63, 1997)

METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Pembahasan Degumming

Bab III Metode Penelitian

TUGAS ANALISIS AIR, MAKANAN DAN MINUMAN ANALISIS LEMAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir


Bab IV Hasil dan Pembahasan

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB. Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Ester gula asam lemak merupakan non-ionik emulsifier yang bersifat

HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK IKAN UNTUK PRODUKSI ASAM LEMAK OMEGA-3 MENGGUNAKAN LIPASE DARI Aspergillus niger

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK

PENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

Lipid. Dr. Ir. Astuti,, M.P

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III RENCANA PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS.

A. Judul Praktikum : Uji Keasaman Minyak (Uji Lipid) B. Tujuan Praktikum : untuk mengetahui sifat Asam dan Basa Minyak. C. Latar Belakang : Lipid

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb.

OPTIMASI TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK IKAN UNTUK PRODUKSI OMEGA-3 DENGAN METODE RESPON PERMUKAAN SKRIPSI IDA NUR RAKHMI F

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

Lapisan n-heksan bebas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Bab IV Hasil dan Pembahasan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK IKAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENAMBAHAN PELARUT ORGANIK PADA MEDIA UNTUK HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK IKAN MENGGUNAKAN LIPASE DARI Aspergillus niger

I. PENDAHULUAN. energi dan pembentukan jaringan adipose. Lemak merupakan sumber energi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

Penentuan Bilangan Asam dan Bilangan Penyabunan Sampel Minyak atau Lemak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

LIPIDA (BAG. DUA) Ir. Niken Astuti, MP. Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, UMB YOGYA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB 3 METODE PENELITIAN. 1. Neraca Analitik Metter Toledo. 2. Oven pengering Celcius. 3. Botol Timbang Iwaki. 5. Erlenmayer Iwaki. 6.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

STUDI INHIBISI KOROSI BAJA 304 DALAM 2 M HCl DENGAN INHIBITOR CAMPURAN ASAM LEMAK HASIL HIDROLISA MINYAK BIJI KAPUK (Ceiba petandra)

I. PENDAHULUAN. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kalibrasi Termokopel

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

KIMIA. Sesi. Review IV A. KARBOHIDRAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Ikan Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui karakter awal minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini. Karakter minyak ikan yang diukur pada penelitian ini meliputi bilangan asam, kadar asam lemak bebas (% ALB) dan bilangan penyabunan. Ketiga karakter ini juga diperlukan untuk menghitung tingkat hidrolisis menurut Carvalho (2009). Menurut Rohman (2007), bilangan asam adalah jumlah KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram zat. Bilangan asam ini menunjukkan banyaknya asam lemak bebas dalam suatu minyak atau lemak. Berdasarkan hasil karakterisasi minyak ikan awal (Tabel 12), bilangan asam minyak ikan awal adalah 3,26. Besarnya nilai ini menurut Jedwards International, Inc (2005) menunjukkan bahwa kualitas minyak ikan yang digunakan untuk penelitian ini termasuk bermutu rendah. Tabel 12. Hasil Karakterisasi Minyak Ikan Awal Karakter Minyak Ikan Satuan Jumlah a a Bilangan Asam mg KOH/g 3,26 1,5 Kandungan ALB % 1,49 0,69 Bilangan Penyabunan mg KOH/g 204,81 180 Jedwards International, Inc, (2005) Kandungan asam lemak bebas di dalam minyak ikan dihitung dengan membagi bilangan asam minyak dengan faktor konversinya. Faktor konversi diperoleh dengan mempertimbangkan komponen asam lemak terbesar yang terkandung di dalam minyak ikan, yaitu asam palmitat (Lampiran 8). Berdasarkan hasil karakterisasi minyak ikan awal, kandungan asam lemak bebasnya mencapai 1,49%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan awal yang digunakan memiliki kandungan asam lemak yang cukup tinggi, sehingga mudah teroksidasi dan menjadi cepat berbau. Oleh karena itu, penyimpanan minyak ikan ini perlu dilakukan di dalam ruang pendingin dengan suhu penyimpanan di bawah suhu 0 o C. 26

Tabel 13. Komposisi Minyak Ikan Awal Jenis Komponen Total Komponen (%) Asam Lemak Jenuh (SFA) 36,64 Asam Lemak Tidak Jenuh Tunggal (MUFA) 18,95 Asam Lemak Tidak Jenuh Jamak (PUFA) 1,81 Senyawa Alkana 13,64 Squalan 2,25 Aldehid 1,71 Kolesterol 25,00 Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa hasil pengujian bilangan penyabunan lebih tinggi dari hasil pada literatur. Menurut Rohman (2007), bilangan penyabunan adalah jumlah KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas dan asam lemak hasil hidrolisis dalam 1 gram zat. Bilangan ini menunjukkan asam lemak yang terdapat di dalam minyak baik dalam bentuk terikat maupun dalam bentuk bebas. Bilangan penyabunan di dalam minyak tidak akan berubah nilainya karena merupakan penjumlahan dari bilangan ester dan bilangan asam. Bilangan ester merepresentasikan jumlah asam lemak yang terikat di dalam minyak atau lemak. Tingginya bilangan penyabunan hasil karakterisasi minyak ikan awal menunjukkan kemungkinan telah terjadinya reaksi oksidasi yang terjadi pada minyak ikan. Hal ini juga diperkuat dengan hasil dari analisis GC-MS (Tabel 13) yang menunjukkan bahwa minyak ikan tersebut juga mengandung senyawa alkana, squalen dan aldehida sebesar 17,60%. Senyawa-senyawa tersebut merupakan hasil oksidasi pada gugus rantai ganda yang terdapat pada asam lemak tak jenuh yang banyak terdapat dalam minyak ikan. Terputusnya rantai ganda tadi menyebabkan asam-asam lemak tadi berubah menjadi senyawasenyawa yang bisa tersabunkan berupa senyawa hidrokarbon dengan rantai alifatik tunggal, seperti alkana dan aldehida. Senyawa-senyawa tersebut tidak dapat terlihat dari hasil pengujian bilangan asam, tetapi terlihat dari hasil pengujian bilangan penyabunan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tingginya nilai bilangan penyabunan, meskipun bilangan asamnya tidak terlalu jauh berbeda bila dibandingkan dengan hasil dari literatur. 27

Berdasarkan hasil analisis GC-MS yang dilakukan terhadap minyak ikan awal (Tabel 13), ditunjukkan bahwa kandungan terbesar yang terdapat dalam minyak ikan adalah asam lemak jenuh, yaitu sebesar 36,64%. Kandungan lainnya yang cukup tinggi di dalam minyak ikan adalah kolesterol sebesar 25%. Selain itu, minyak tersebut juga mengandung asam lemak tak jenuh tunggal sebesar 18,95% dan asam lemak tak jenuh jamak (berupa asam eikosapentanoat) sebesar 1,81%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan minyak ikan didominasi oleh asam lemak jenuh, kolesterol, dan asam lemak tak jenuh, baik tunggal maupun jamak. B. Pengukuran Aktivitas Lipase secara Spektrofotometri Aktivitas lipase dinyatakan dalam satuan unit. Satu unit lipase menunjukkan banyaknya lipase yang dibutuhkan untuk menghidrolisis 1 µmol lemak atau minyak selama 1 menit pada suhu tertentu (Shimada, 1997). Tabel 14. Aktivitas Lipase dari Aspergillus niger menit ke- Unit/gram b 5 7939,98 10000-12000 Sumber : Label Kemasan Lipase dari Aspergillus niger (Amano Enzyme) Berdasarkan data pada Tabel 14, aktivitas lipase yang diperoleh lebih kecil daripada yang terdapat pada kemasannya. Definisi satu unit pada pengukuran aktivitas lipase secara spektrofotometri menurut Sigma (1994) adalah banyaknya lipase yang digunakan untuk melepaskan 1,0 nanomol para-nitro fenol per menit o pada ph 7,2 dan suhu 32 C dengan menggunakan para-nitrofenil butirat sebagai substrat. Aktivitas lipase yang terukur pada hasil pengukuran dengan metode spektrofotometri (Tabel 14) terlihat lebih rendah daripada yang tercantum pada kemasannya disebabkan oleh proses transportasi dan penyimpanan selama distribusi dari produsen hingga ke laboratorium. Lipase dari Aspergillus niger seharusnya disimpan pada suhu 4 o C. Materi penyusun enzim sebagian besar terdiri dari protein. Protein bersifat mudah rusak pada kondisi-kondisi ekstrim, b 28

sehingga memerlukan penanganan khusus dalam penyimpanannya. Perubahan suhu selama proses distribusi kemungkinan besar merusak sebagian kecil enzim, sehingga menurunkan nilai aktivitas enzim yang seharusnya. Menurut Pinsirodom (2001), prosedur pengukuran dengan metode ini didasarkan pada sifat lipase yang memiliki aktivitas esterolisis terhadap substrat karboksil ester baik asli maupun tidak. Substrat p-nitrofenil asil dihidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak dan p-nitrofenol. Senyawa p-nitrofenol akan menghasilkan kekeruhan larutan pada media yang bersifat basa (pka = 7,2). Penggunaan p-nitrofenil asil sebagai substrat menyebabkan prosedur pengukuran dengan metode ini menjadi sangat sensitif. Keunggulan lain dari metode ini adalah kecepatan pelaksanaannya dan membutuhkan sampel dalam jumlah sedikit (1 ml). Selain itu, metode spektrofotometri dapat digunakan untuk menganalisa selektivitas panjang rantai dari lipase yang diukur. Hal ini disebabkan oleh sifat substrat ester p-nitrofenil asil yang tersedia untuk rantai asil dengan panjang 2-12 rantai karbon. Penggunaan metode spektrofotometri disebabkan oleh keakuratan data yang diperoleh dibandingkan dengan metode lainnya, seperti metode titrimetri. Kelemahan metode titrimetri adalah ketidakakuratan indikator asam-basa yang digunakan, sehingga titik terjadinya perubahan ph tidak teridentifikasi secara jelas. Indikator yang dipergunakan menurut AOCS (1997) adalah larutan fenolftalein 1% dalam etanol. Indikator fenolftalein memiliki daerah ph antara 8,3-10,0. Titik di mana indikator fenolftalein berubah warna menjadi pink adalah pada ph 8,3 (Clark, 2005). Menurut Pinsirodom (2001), kebanyakan asam lemak merupakan asam lemah. Penggunaan larutan fenolftalein sebagai indikator titrasi asam-basa mungkin menyebabkan adanya beberapa jenis asam lemak yang tidak terdeteksi karena ph asam lemak tersebut cenderung bersifat basa (ph>9). C. Hidrolisis Enzimatis Tanpa Penambahan Pelarut Penelitian ini diawali dengan menentukan suhu dan ph yang paling optimum dalam melakukan hidrolisis minyak ikan secara enzimatis dengan 29

menggunakan lipase dari Aspergillus niger. Penentuan suhu dan ph yang optimum ini dilakukan pada campuran reaksi yang hanya menggunakan media air tanpa adanya penambahan pelarut toluena. Penentuan ini dimaksudkan untuk memilih suhu dan ph yang akan digunakan pada tahapan hidrolisis minyak ikan pada media yang ditambahkan toluena. 1. Pengaruh Suhu Suhu berpengaruh terhadap aktivitas dan stabilitas lipase (Wanasundara dan Shahidi, 1998). Oleh karena itu, penentuan suhu yang optimum dapat meningkatkan aktivitas enzim dan produksi hasil yang diinginkan. Pada penelitian yang telah dilakukan, daerah suhu yang diteliti berkisar antara 25 sampai 65 o C dengan rentang suhu tiap sampel adalah 10 o C. Gambar 5. Data tingkat hidrolisis minyak ikan dengan menggunakan media air pada berbagai perlakuan suhu Berdasarkan hasil tingkat hidrolisis yang tercantum pada Gambar 5, bentuk grafik hubungannya menyerupai kurva parabola, di mana pada suhu 25 o C tingkat hidrolisis berada pada titik minimum kemudian mulai naik seiring dengan peningkatan suhu hingga mencapai titik maksimum pada suhu 45 o C. Setelah melewati suhu 45 o C, tingkat hidrolisis menurun kembali 30

pada beberapa suhu berikutnya. Gambar tersebut menunjukkan bahwa suhu 45 o C menghasilkan tingkat hidrolisis yang paling tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tahapan penelitian selanjutnya, suhu yang dipergunakan adalah suhu 45 o C. Menurut Material Safety Data Sheet lipase dari Aspergillus niger yang diproduksi oleh Amano Enzyme, suhu optimum enzim tersebut adalah 45 o C. Berarti kondisi suhu optimum yang diperlukan oleh lipase dari Aspergillus niger yang dipergunakan tidak mengalami perubahan. 2. Perlakuan ph ph merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan aktivitas enzim. Hal ini disebabkan oleh sifat enzim yang komponen utamanya adalah protein sangat dipengaruhi stabilitas ph tempatnya berada. ph dapat meningkatkan aktivitas enzim, tetapi juga dapat menginaktivasi enzim dengan mengubah struktur enzim tersebut. Gambar 6. Data tingkat hidrolisis minyak ikan dengan menggunakan media air pada berbagai perlakuan ph Pada penelitian ini, range ph yang diamati adalah dari ph 5 sampai 9 dengan peningkatan ph tiap sampel adalah 1. Berdasarkan tingkat hidrolisis 31

yang diperoleh dari tiap-tiap nilai ph (Gambar 6), diperoleh bahwa ph 5 menghasilkan tingkat hidrolisis yang paling tinggi. Bila dibandingkan dengan tingkat hidrolisis pada kontrol, ph 5 merupakan kondisi yang paling optimum dan paling nyata perbedaan tingkat hidrolisis yang dicapai. Setelah melewati ph 5, tingkat hidrolisis yang terjadi cenderung menurun. Bahkan tingkat hidrolisis yang diperoleh nilainya jauh lebih rendah daripada tingkat hidrolisis pada ph 5. Berdasarkan kurva yang terdapat pada Gambar 6, buffer ph yang digunakan untuk tahapan penelitian selanjutnya digunakan buffer ph 5. Tingkat hidrolisis yang tinggi ini didukung oleh ph optimum lipase dari Aspergillus niger sebesar 5-7 menurut pernyataan Shahidi et al., (1998). Selain itu, hal ini juga didukung oleh studi Microbial Lipase Potential Biocatalyst for the Future Industry, yang menyebutkan bahwa stabilitas lipase berada pada ph 5-7,5. D. Hidrolisis Enzimatis dengan Penambahan Pelarut Toluena Hidrolisis spesifik minyak ikan merupakan hidrolisis yang berlangsung secara spesifik di titik yang diinginkan untuk terjadinya reaksi. Hidrolisis spesifik dapat tercapai dengan menggunakan katalis seperti enzim. Katalis enzim yang digunakan untuk membantu terjadinya reaksi hidrolisis adalah lipase. Pada penelitian ini, lipase yang dipergunakan berasal dari Aspergillus niger yang memiliki spesifisitas untuk memotong ikatan 1,3 pada triasil gliserol yang terdapat pada minyak ikan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh cara untuk mengekstraksi omega-3 (asam eikosapentanoat dan asam dokosaheksanoat) dari minyak ikan dengan memanfaatkan spesifitas kerja dari lipase. Omega-3 pada asam lemak banyak ditemui pada ikatan 2 asil gliserol pada minyak ikan. Penggunaan lipase dari Aspergillus niger diharapkan dapat membantu terjadinya ekstraksi omega-3 dari minyak ikan dalam bentuk asil gliserol secara lebih efisien. 32

Aktivitas enzim dapat ditingkatkan melalui beberapa cara seperti perlakuan suhu, perlakuan ph dan mengubah media terjadinya reaksi berdasarkan sifat hidrofobitasnya. Penggunaan pelarut toluena sebagai media reaksi hidrolisis diharapkan dapat meningkatkan aktivitas lipase dengan meningkatnya tingkat hidrolisis. Pelarut toluena dipilih berdasarkan nilai koefisien partisi yang dimilikinya yang diharapkan mampu mengadaptasi pertemuan fisik antara enzim dengan minyak ikan sebagai substratnya. Selain itu, penggunaan pelarut toluena juga diharapkan mampu meningkatkan stabilitas lipase Aspergillus niger yang digunakan. Hal pertama yang dilakukan pada penelitian ini adalah menentukan penambahan air yang optimum dengan menggunakan suhu dan ph optimum yang telah diperoleh pada hidrolisis enzimatis tanpa penambahan pelarut. Setelah penambahan air yang menghasilkan tingkat hidrolisis optimum diperoleh, kemudian menentukan ph dan suhu optimum pada hidrolisis enzimatis minyak ikan dengan penambahan pelarut toluena. 1. Pengaruh Penambahan Air Reaksi hidrolisis merupakan reaksi yang membutuhkan satu molekul air setiap kali memotong satu molekul trigliserida. Akan tetapi keberadaan air juga akan mengganggu terjadinya reaksi hidrolisis. Hambatan yang ditimbulkan oleh adanya air terutama jika dilihat dari air itu sendiri yang bersifat polar. Lipase dan minyak ikan bersifat non polar atau hidrofobik, sehingga keberadaan air dapat menyebabkan berkurangnya kontak fisik yang terjadi antara enzim dengan substratnya. 33

25 15 5 0 Gambar 7. Grafik hubungan tingkat hidrolisis terhadap penambahan air pada perlakuan penambahan air Berdasarkan Gambar 7, tingkat hidrolisis tertinggi dicapai ketika penambahan air dalam campuran reaksi sebesar 1%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat terlihat bahwa hubungan antara penambahan air dan tingkat hidrolisis cenderung menurun. Semakin tinggi penambahan air yang terdapat dalam campuran reaksi, tingkat hidrolisis yang diperoleh semakin menunjukkan penurunan. Meskipun untuk penambahan air 3% dan 5% terdapat sedikit peningkatan. Hal ini mungkin juga menunjukkan bahwa ada tidaknya kandungan air di dalam campuran reaksi tersebut, tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap aktivitas lipase Aspergillus niger. Penambahan air sebesar 1% menyebabkan adanya peningkatan aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan air dalam reaksi hidrolisis minyak ikan telah dicukupi dengan adanya penambahan air sebanyak 1% ke dalam media reaksi. Peningkatan penambahan air justru akan menurunkan tingkat hidrolisis atau menyebabkan adanya penurunan aktivitas katalitik enzim. Penambahan air yang terlalu banyak justru akan menghalangi terjadinya kontak fisik antara lipase dan minyak ikan karena kedua bahan tersebut bersifat hidrofobik. 34

2. Pengaruh ph Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah ph. ph dapat diibaratkan sebagai faktor lingkungan yang harus dipenuhi agar enzim dapat bekerja secara maksimal. Terlalu rendahnya ph dapat menyebabkan enzim terdenaturasi karena kondisi lingkungan yang asam dan terjadi deformasi bentuk enzim, sehingga enzim menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Namun, tingginya nilai ph juga dapat menyebabkan enzim menjadi inaktif. 25 15 0 Gambar 8. Grafik hubungan tingkat hidrolisis terhadap ph pada berbagai perlakuan ph Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 8, tingkat hidrolisis tertinggi diperoleh pada saat nilai ph mencapai 5. Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai ph, maka tingkat hidrolisis yang terjadi juga semakin rendah. Mulai dari ph 7, tingkat hidrolisis dapat dinyatakan telah memasuki fasa yang stasioner. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa stabilitas ph lipase Aspergillus niger tidak mengalami pergeseran. Hasil hidrolisis yang ditunjukkan antara hidrolisis yang menggunakan media air rata-rata memiliki tingkat hidrolisis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis yang menggunakan media pelarut toluena. 35

Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pelarut toluena ke dalam media reaksi ternyata tidak mampu meningkatkan aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger. Menurut Herees et al., (2008), pelarut toluena dengan nilai log P yang hanya 2,5 menyebabkan aktivitas enzim rendah. Pelarut yang memiliki nilai log P>4 diketahui berpengaruh lebih positif terhadap aktivitas enzim. Tampaknya kandungan air yang mengelilingi enzim tidak terganggu oleh pelarut dengan nilai log P tinggi, sehingga menyebabkan enzim tetap berada dalam kondisi sisi aktifnya tetap terbuka. Menurut Yang et al., (1994), pelarut dengan nilai log P<2 diketahui memang menurunkan aktivitas enzim. Meskipun nilai log P pelarut toluena berada di antara 2<log P<4, tampaknya lipase dari kondisi ini tetap memiliki pengaruh yang sama seperti pelarut dengan nilai log P<2. Lemke (1997) menyebutkan bahwa lipase memiliki sisi aktif yang tersusun atas asam amino serin, histidin dan glutamat. Sisi aktif tersebut dilingkupi dengan lid (tutup) yang tersusun atas asam amino triptofan yang bersifat hidrofobik. Penggunaan pelarut toluena awalnya diharapkan mampu menarik lid lipase yang bersifat hidrofobik agar tetap terbuka selama reaksi hidrolisis berlangsung. Terbukanya lid enzim ini akan memudahkan terjadinya kontak fisik antara lipase dan minyak ikan sebagai substratnya. Hidrofobisitas dari pelarut toluena cenderung non polar ke arah polar. Oleh karena itu, pelarut toluena memiliki kelarutan di dalam air yang cukup tinggi, sebesar 0,05 gram per 100 gram air bila dibandingkan dengan pelarut organik lainnya (Myers, 2009). Sifat toluena yang masih cenderung polar ini kemungkinan besar menyebabkan kurang efektifnya pembukaan lid yang bersifat hidrofobik pada sisi aktif enzim. 3. Pengaruh Suhu Dalam penelitian ini, aktivitas enzim dalam mengkatalisasi reaksi hidrolisis minyak ikan dilihat melalui tingkat hidrolisisnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, suhu merupakan salah satu faktor yang 36

mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan sifat dasar protein sebagai komponen utama pembentuk enzim. Penentuan suhu optimum ini juga diharapkan dapat mengetahui pengaruh perubahan suhu terhadap sifat katalitik enzim. Gambar 9. Grafik hubungan tingkat hidrolisis terhadap suhu pada berbagai perlakuan suhu Berdasarkan hasil yang telah diperoleh melalui penelitian tersebut, tingkat hidrolisis dari minyak ikan dalam media pelarut toluena tertinggi diperoleh ketika suhu campuran reaksi yang digunakan adalah 45 o C. Hal ini cenderung mirip dengan tingkat hidrolisis minyak ikan di dalam media air, di mana suhu optimum reaksi adalah 45 o C. Berdasarkan Gambar 8, tingkat hidrolisis pada suhu 25 o C menurun hingga suhu mencapai 35 o C, kemudian melonjak tajam pada suhu 45 o C. Setelah mencapai suhu 45 o C, tingkat hidrolisis untuk suhu berikutnya semakin menurun yaitu pada suhu 55 o C dan 65 o C. Selain itu, pola grafik hubungan antara suhu dan tingkat hidrolisis untuk hidrolisis kontrol, hidrolisis enzimatis tanpa dan dengan penambahan pelarut tampak sama. Ketiga jenis hidrolisis tadi mencapai tingkat hidrolisis yang terbaik pada saat suhunya 45 o C. Padahal untuk variasi suhu lainnya, tingkat hidrolisis yang dicapai cenderung menurun. Turunnya tingkat hidrolisis pada suhu selain 45 o C disebabkan oleh materi penyusun lipase yang merupakan protein globular. Menurut 37

Lehninger (1982), protein globular memiliki aktivitas biologis yang khas yang disebabkan oleh interaksi antar asam-asam amino penyusunnya yang ditunjukkan dengan terbentuknya lipatan-lipatan yang khas pada protein tersebut. Perubahan suhu dapat mengakibatkan molekul asam-asam amino tersebut terganggu dan menyebabkan ikatan protein tersebut terbuka menjadi struktur acak, tetapi perubahan tersebut tidak mengubah ikatan-ikatan kovalennya. Adanya deformasi atau perubahan bentuk protein globular tersebut menyebabkan protein tersebut kehilangan aktivitas biologisnya. Hal inilah yang sebenarnya menyebabkan turunnya tingkat hidrolisis pada suhu selain 45 o C. Hal lain yang dapat dilihat dari hubungan ini adalah fakta bahwa penambahan pelarut toluena tidak menggeser stabilitas termal lipase dari Aspergillus niger. Pernyataan ini ditunjukkan oleh fakta bahwa ketiga jenis hidrolisis memiliki suhu optimum yang sama serta pola grafik hubungan suhu dan tingkat hidrolisis yang sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa suhu optimum untuk lipase dari Aspergillus niger adalah 45 C. Berdasarkan Gambar 9, rata-rata tingkat hidrolisis minyak ikan di dalam media pelarut toluena pada berbagai pengaruh suhu lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis yang dilakukan di dalam media air. Perbedaan rata-rata tingkat hidrolisis yang terjadi juga disebabkan oleh penggunaan buffer ph yang berbeda pada kedua jenis penelitian tersebut. Tingkat hidrolisis minyak ikan di dalam media air pada berbagai pengaruh suhu menggunakan buffer ph 7 sebagai campurannya, sedangkan hidrolisis minyak ikan di dalam media yang ditambahkan toluena pada berbagai pengaruh suhu menggunakan buffer ph 5. o E. Analisis Produk Akhir Berdasarkan hasil keseluruhan dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditunjukkan bahwa tingkat hidrolisis tertinggi terjadi ketika penambahan air dalam campuran reaksi adalah 1%, ph campuran reaksi 5, dan suhu reaksi 45 o C. Dari hasil tersebut, kemudian asam lemak bebas hasil reaksi hidrolisis dianalisis 38

dengan menggunakan kromatografi gas. Hasil analisis kromatografi gas dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Gambar 10. Tingkat hidrolisis dan komposisi omega-3 di dalam: 1. Minyak ikan; 2. Asam lemak bebas hasil hidrolisis di dalam media air (45 o C, ph 5); 3. Asam lemak bebas hasil hidrolisis di dalam media air (45 o C, ph 7); 4. Asam lemak bebas hasil hidrolisis di dalam media yang ditambahkan toluena. Berdasarkan Gambar 10, kandungan omega-3 yang terdapat pada asam lemak bebas hasil hidrolisis di dalam media yang ditambahkan toluena adalah 3.01%. Bentuk omega-3 yang terdeteksi di dalam hasil hidrolisis tersebut adalah asam eikosapentanoat. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, tidak terdeteksi adanya asam dokosaheksanoat dalam jumlah kecil sekalipun. Bila dibandingkan dengan omega-3 yang diperoleh dari hidrolisis minyak ikan di dalam media air, tampak jelas bahwa kandungan omega-3 yang diperoleh lebih rendah. Selain itu, hidrolisis di dalam media air juga dapat mengekstraksi asam dokosaheksanoat dari minyak ikan awal dalam jumlah yang lumayan besar. Tingkat hidrolisis enzimatis pada media yang ditambahkan toluena lebih tinggi daripada hidrolisis enzimatis di dalam media air pada ph 7. Hal ini juga dapat disebabkan oleh ph optimum lipase Aspergillus niger yang diperoleh dari hasil hidrolisis enzimatis minyak ikan dalam media air sebesar 5. 39

Berdasarkan hasil analisis GC-MS pada minyak ikan awal (Gambar 10), jumlah asam dokosaheksanoat tidak terdeteksi. Sedangkan hasil ekstraksi melalui hidrolisis enzimatis di dalam media air (ph 5, suhu 45 o C) dapat menghasilkan asam dokosaheksanoat sebesar 0,86%. Munculnya kandungan asam dokosaheksanoat pada hasil hidrolisis disebabkan oleh adanya reaksi elongasi dan desaturasi pada asam-asam lemak hasil trigliserida yang telah terhidrolisis. Reaksi elongasi ini akan menghubungkan asam-asam lemak tak jenuh berantai pendek hingga bergabung dan reaksi desaturasi akan menyebabkan terbentuknya ikatan ganda pada ikatan tunggal serta membentuk asam lemak tak jenuh jamak, seperti asam dokosaheksanoat. 40