BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Warfarin merupakan antagonis vitamin K yang banyak digunakan sebagai antikoagulan oral untuk terapi tromboembolisme vena dan untuk mencegah emboli sistemik pada pasien dengan atrial fibrilasi dan katup jantung prostetik (Hirsh dkk., 2001). Penggunaan warfarin masih mendominasi diantara antikoagulan yang lain. Pasien yang diterapi dengan antagonis vitamin K di Swedia mencapai 200.000 orang, hampir 2% dari populasi, dan sebagian besar diterapi dengan warfarin (Arbring dkk., 2013). Selama beberapa dekade, warfarin merupakan satu-satunya antikoagulan yang tersedia untuk penggunaan klinis dalam mencegah kejadian tromboemboli vena dan arteri baik primer maupun sekunder. Warfarin terbukti sangat efektif dan digunakan oleh jutaan pasien di seluruh dunia (Ageno dkk., 2012). Warfarin bekerja dengan mengganggu siklus konversi vitamin K, yang akhirnya menghambat faktor koagulasi vitamin K-dependen (II, VII, IX, dan X) dan inhibitor protein C dan protein S. Hubungan dosis respon warfarin bervariasi pada subjek sehat, dan variasinya lebih besar pada subjek sakit (Hirsh dkk., 2001). Dua hal yang sangat menentukan efektivitas terapi dan mengurangi risiko perdarahan adalah intensitas terapi dan waktu mencapai rentang terapetik. Idealnya, INR (international normalized ratio) selalu berada dalam rentang terapetik, akan tetapi banyak faktor yang mempengaruhi. Diantaranya faktor farmakologi dan fisiologi, seperti interaksi obat-obat, atau obat-penyakit yang 1
mempengaruhi farmakokinetika dan farmakodinamika warfarin, faktor GI atau diet yang mempengaruhi availabilitas vitamin K 1 atau faktor fisiologi yang mempengaruhi metabolisme faktor koagulasi vitamin K-dependent. Faktor kepatuhan pasien juga sangat mempengaruhi. Terakhir, ketepatan dosis yang diberikan oleh dokter dan follow-up yang dilakukan untuk mengetahui ketepatan pendosisan (Ansell dkk., 2001). Jendela terapetik warfarin sangat sempit yaitu sebesar 1 4 mg/l (Rowland dan Tozer, 2011). Jika kadarnya melewati jendela terapetik, akan terjadi perdarahan. Sehingga untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan, dosis warfarin harus diberikan dengan tepat dan efek antikoagulannya harus dimonitor ketat untuk mencegah antikoagulasi yang berlebihan atau tidak adekuat. Efek antikoagulasi yang tidak adekuat atau berlebihan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi tromboemboli atau perdarahan (Sun dkk., 2006). Kejadian perdarahan terjadi pada 53% pasien dengan risiko tinggi (tiga atau empat faktor risiko), 12% pasien dengan risiko sedang (satu atau dua faktor risiko), dan 3% pada pasien dengan risiko kecil (tanpa faktor risiko). Kejadian perdarahan meningkat pada pasien lansia, dan risiko perdarahan intrakranial naik pada usia 75 tahun (Levine dkk., 2001). Penggunaan warfarin dimonitor berdasarkan efek farmakodinamik dari prothrombin time (PT) melalui nilai INR. Akan tetapi, INR memiliki beberapa keterbatasan dalam mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi efek antikoagulan, seperti kepatuhan pasien, resistensi terhadap antikoagulan, interaksi obat dan makanan, dan lain-lain. Pada beberapa situasi klinis, pengukuran kadar 2
warfarin dalam plasma sangat penting pada pasien yang PT nya meningkat tanpa diketahui penyebabnya. Pemantauan kadar warfarin dalam darah dapat membantu mendiagnosa dan memberikan terapi yang efektif pada intoksikasi berat. Selain itu, memantau kadar warfarin dalam darah juga membantu dalam menentukan ketidakpatuhan pasien dan resistensi antikoagulan (Sun dkk., 2006). Therapeutic drug monitoring (TDM) penting untuk dilakukan terutama untuk obat-obat dengan indeks terapi sempit seperti warfarin. Akan tetapi pelaksanaan TDM di Indonesia masih sangat jarang dan mahal. Perkiraan kadar obat dalam darah bisa dihitung dengan model farmakokinetika (Usman, 2007). Individualisasi regimen dosis obat berdasarkan kadar obat dalam plasma merupakan kegiatan monitoring kadar terapi obat dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan farmakoterapi atau untuk menilai respons penderita terhadap aturan dosis yang terjadi. Berbagai metode farmakokinetik dapat digunakan untuk menghitung dosis awal atau untuk aturan dosis (Shargel dkk., 2004). Maka perlu dilakukan penelitian untuk memperkirakan kadar warfarin dalam darah pasien berdasarkan perhitungan farmakokinetika, serta melihat outcome klinik pasien dilihat dari nilai INR. 1. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : a. Berapa perkiraan kadar warfarin dalam darah pasien setelah pemberian dosis terapi pada pasien rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta? b. Bagaimana hasil terapi pasien yang mendapat terapi warfarin dilihat dari nilai 3
INR? c. Bagaimana korelasi antara perkiraan kadar warfarin dalam darah dengan nilai INR? 2. Keaslian penelitian Penelitian tentang evaluasi dosis warfarin sejauh ini belum pernah dilakukan, namun penelitian tentang warfarin sudah banyak dilakukan. Penelitian terkait yang pernah dilakukan diantaranya : a. Penelitian oleh Yasser (2011) yang berjudul Perbandingan Dosis Warfarin 3 dan 5 mg Pada Pasien Atrial Fibrilasi Di RSAL Dr.Ramelan Surabaya. Penelitian bersifat eksperimental dengan teknik pengumpulan data dilakukan secara prospektif terhadap 20 pasien untuk mebandingkan lama waktu terapi mencapai target INR serta efek samping obat pada pasien AF setelah pemberian warfarin 3 atau 5 mg. Hasil penelitian menunjukkan lama waktu mencapai INR untuk warfarin 5 mg adalah 4,30 ± 0,21 hari, sedangkan warfarin 3 mg 5,40 ± 0,22 hari. b. Penelitian oleh Kwon dkk (2009) yang berjudul Determination of Plasma Warfarin Concentrations in Korean Patients and Its Potential for Clinical Application. Peneliti melakukan penetapan kadar warfarin plasma menggunakan metode high-performance liquid chromatography (HPLC) dan menentukan apakah dapat digunakan dalam praktek klinis, serta menganalisa hubungan antara dosis warfarin, kadar dalam plasma, dan INR. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara dosis warfarin dan kadar warfarin plasma pada pasien Korea dengan atrial fibrilasi. Selain 4
itu, monitor terhadap warfarin plasma dapat membantu dalam pengaturan dosis. c. Penelitian oleh Sun dkk (2006) yang berjudul Study on Warfarin Plasma Concentration and Its Correlation With International Normalized Ratio. Peneliti melakukan penetapan kadar warfarin plasma dengan metode HPLC dan mengukur nilai INR. Hasil penelitian menyatakan bahwa hubungan antara kadar warfarin plasma dengan INR sangat lemah, nilai INR hanya sedikit tergantung pada kadar warfarin plasma. Pengukuran kadar warfarin dalam darah dapat membantu dalam pengaturan dosis yang lebih akurat, terutama pada pasien dengan INR yang fluktuatif. 3. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : a. Memberikan informasi kepada pihak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta mengenai perkiraan kadar warfarin dalam darah dan hasil terapi pasien yang dilihat dari nilai INR b. Bagi farmasis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam melaksanakan praktek farmasi klinis terutama dalam hal pemantauan kadar warfarin beserta hasil terapinya c. Bagi institusi pendidikan, diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu acuan untuk melanjutkan penelitian lain tentang warfarin. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui perkiraan kadar warfarin dalam darah pasien setelah pemberian 5
dosis terapi pada pasien di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Mengetahui hasil terapi pasien yang mendapat terapi warfarin dilihat dari nilai INR. 3. Mengetahui korelasi antara perkiraan kadar warfarin dalam darah dengan nilai INR. 6