BAB I PENDAHULUAN. dengan baik adalah dengan mengukur tingkat investasi yang dimiliki oleh daerah

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 10 hambatan terbesar kegiatan investasi perusahaan adalah tidak memadainya

I. PENDAHULUAN. disebut sebagai desentralisasi. Haris dkk (2004: 40) menjelaskan, bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Suatu organisasi berdiri dengan maksud dan tujuan tertentu. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Hakekat pemerintahan adalah pelayanan kepada rakyat. Pemerintah ada

PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Investor Daily: Paket Kebijakan Plus Revolusi Mental Thursday, 19 May :39

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. 1. entitas ekonomi didasarkan atas kenyataan bahwa masing-masing pihak saling

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Konsep Good governance atau tata kepemerintahan yang baik merupakan

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat (pelayanan. demokratis sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban pemerintah terhadap perbaikan pelayanan publik termasuk dalam

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Demi mencapai tujuan tersebut, ini adalah kegiatan investasi (penanaman modal).

PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan terus mengalami dinamika perubahan. Permintaan pelayanan jasa

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI PERDESAAN MELALUI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP)

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Ikhtisar Eksekutif. vii

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Pintu yang diselenggarakan oleh BPMPTSP Kabupaten Purwakarta belum

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal Tahun 2011 KATA PENGANTAR

BAB II TATA CARA PENANAMAN MODAL

I. PENDAHULUAN. Pelayanan publik merupakan suatu kewajiban aparatur negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. Era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan tidak adanya batas-batas negara (

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Singkat Kantor Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN. 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BERITA DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

REFORMASI BIROKRASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017

STRATEGI JANGKA MENENGAH DPMPTSP KABUPATEN BUOL RENSTRA BAB IV TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tersebut agar terlaksananya tujuan dan cita-cita bangsa

BAB.I PENDAHULUAN Latar Belakang

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan salah satu upaya renovasi yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memberikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

Terselenggaranya Kepemerintahan yang baik, bersih dan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN BADAN PENANAMAN MODAL KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU KABUPATEN PELALAWAN (REVISI) TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG.

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, maka berbagai aturan di

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

DATA DAN INFORMASI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN (BPMP) KABUPATEN SUBANG TAHUN 2016

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Singkat Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kota

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

BERITA DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah berusaha agar semua wilayah

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

GUBERNUR SULAWESI BARAT

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 10 TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. menyambut baik kehadiran penanaman modal atau investasi di Indonesia, baik

BUPATI SINJAI BUPATI SINJAI,

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DAN PENANAMAN MODAL KOTA SALATIGA

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

Efektifitas Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Kota Kabupaten Pulau Morotai. Abstraksi

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012 KATA PENGANTAR

PEMERINTAH KOTA PEKANBARU PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR TAHUN 2017 TENTANG

BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU KABUPATEN KEDIRI

PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KOTA DENGAN BADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DEPOK,

RENCANA KERJA (RENJA) TAHUN 2016

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. sehinga dapat memberikan kualitas pelayanan prima terutama dalam rangka

BAB II PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA. A. Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

M A S A M B A KEPUTUSAN KEPALA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU DAN PENANAMAN MODAL LUWU UTARA NOMOR : / /BPPTSPM/I/2016/2009

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kompetensi suatu daerah dalam mengelola daerahnya berpengaruh besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan daerah tersebut. Salah satu instrumen penting untuk mengetahui seberapa jauh potensi daerah tersebut telah dikelola dengan baik adalah dengan mengukur tingkat investasi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Tingginya tingkat investasi bermuara pada pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai, sehingga pemerintah daerah dapat mengoptimalkan perannya dalam pelaksanaan pembangunan, pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang yang diantara kegiatan usaha perekonomian nasionalnya adalah Penanaman Modal atau Investasi. Penanaman Modal atau Investasi ini adalah segala bentuk kegiatan investasi, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun investasi asing. Penanaman modal ini diperlukan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan seperti diketahui memerlukan modal dalam jumlah yang sangat besar. Menurut Aminuddin Ilmar (2004:2), ada beberapa faktor internal yang menjadi kendala bagi negara berkembang dalam membiayai pembangunannya antara lain; tingkat tabungan (saving) masyarakat yang masih rendah, akumulasi modal yang belum efektif dan efisien, keterampilan (skill) yang belum memadai serta tingkat teknologi yang belum modern. Kendala kendala ini pada umumnya 1

oleh negara negara berkembang atau sedang berkembang dicoba untuk diatasi dengan berbagai macam cara dan alternatif diantaranya melalui bantuan dan kerjasama dengan luar negeri yang dibutuhkan untuk melengkapi modal dalam negeri yang dapat segera dikerahkan. Selanjutnya disebutkan ciri utama dari penanaman modal adalah dengan adanya tabungan atau saving yang besar melalui akumulasi modal dalam menggerakkan mesin industrialisasi. Sebab tanpa adanya akumulasi modal atau tabungan tidak akan mungkin tercipta suatu struktur industri mapan guna meningkatkan perekonomian negara. Indonesia saat ini sedang gencar melakukan pembangunan ekonomi melalui peningkatan investasi diberbagai sektor. Era pasar bebas dunia dengan globalisasinya sebagai pemicu terbukanya persaingan antar negara memaksa pemerintah untuk melakukan kebijakan kebijakan agresif sebagai upaya untuk mengoptimalkan semua peluang investasi yang ada. Kompetisi antar negara dalam memperebutkan investasi harus menjadi pendorong pemerintah untuk memperbaiki kebijakan di bidang investasi yang dapat memberikan stimulus positif bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Data survey terbaru dari World Economic Forum mengenai kompetisi global yang dituangkan dalam Global Competitiveness Report 2013-2014 Indeks daya saing Indonesia berada pada posisi 38 dari 148 negara mengalami lonjakan 12 peringkat yang baik dari sebelumnya peringkat 50 pada tahun 2012-2013, meski berhasil mengalami kenaikan peringkat dari tahun sebelumnya, namun hal ini belum bisa dijadikan patokan keberhasilan karena kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada pada posisi kelima dibawah 2

Singapura (urutan 2), Malaysia (24), Brunei Darussalam (26) dan Thailand (37).. Ini berarti kapasitas Indonesia dalam berkompetisi secara global dengan negara negara di dunia masih harus terus ditingkatkan. Laporan World Bank dalam kemudahan berbisnis (the doing business 2014 report) menujukkan Indonesia berada pada posisi 120 dari 189 negara yang disurvey. Hasil ini menurun empat peringkat dibandingkan dengan hasil survey tahun sebelumnya, dimana Indonesia menempati peringkat 116. Penelitian ini terkait dengan kemudahan berbisnis di negara negara di dunia. Terdapat 11 indikator yang digunakan dalam riset ini, yaitu kemudahan untuk memulai bisnis, kemudahan ijin mendirikan bangunan, kemudahan mendapat pasokan listrik, pendaftaran properti, kemudahan mendapatkan kredit, perlindungan terhadap investor, pembayaran pajak, perdagangan antar negara, penegasan mengenai kontrak dan penutupan usaha, serta ketersediaan dan peraturan tenaga kerja. Rangking diatas tersebut bila dibandingkan dengan negara negara di kawasan ASEAN yang merupakan negara terdekat dan juga merupakan saingan langsung dalam mendapatkan investor dari luar negeri, sekali lagi Indonesia sangat tertinggal jauh. Singapura menempati peringkat pertama, Malaysia (6), Thailand (18), Brunei Darussalam (59), Vietnam (99), Fili[ina (108). Peringkat Indonesia hanya lebih unggul dari Kamboja yang berada di peringkat 137. Kebijakan Otonomi Daerah yang membawa perubahan dalam tatanan pemerintahan ternyata belum bisa nmeningkatkan iklim investasi di Indonesia. Masih rendahnya kualitas publik, kurangnya kepastian hukum keamanan dan berbagai peraturan daerah yang tidak probisnis adalah bukti iklim 3

bisnis yang tidak kondusif. publik yang dikeluhkan terkait dengan banyaknya biaya yang tidak transparan, banyaknya pungutan baik resmi maupun liar, yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat dan preman. Hal ini tercermin dari hasil temuan Governance and Decentralization Survey (GDS) yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2002. Hasil tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat menganggap kualitas sebelum dan sesudah otonomi daerah tidak ada bedanya bahkan cenderung tambah buruk (Dwiyanto dkk, 2003; 97). Jenis Tabel 1.1 Penilaian Masyarakat terhadap kualitas publik saat ini dibandingkan sebelum otonomi daerah Jawa Bali Luar Jawa Bali Nasional Lebih Sama Lebih Lebih Sama Lebih Lebih Sama Lebih Buruk Saja Baik Buruk Saja Baik Buruk Saja Baik Sekolah 4,9 52,9 42,2 7,7 51,9 40,4 6,6 52,3 41,1 Puskesmas 2,6 52,6 44,8 4,2 54,7 41,1 3,6 53,9 42,5 Kantor Kelurahan/ 1,7 52,8 45,5 4,0 59,9 36,1 3,1 57,2 39,7 Kepala Desa Kantor Kecamata 1,1 58,7 40,2 2,5 63,4 34,0 2,0 61,7 36,3 Kantor Bupati/Walikota 2,2 58,1 39,7 3,5 60,9 35,6 3,1 59,9 37,0 Sumber : Dwyanto dkk, 2003;97) Padahal Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintahan daerah, terutama kabupaten/ kota, termasuk yang terkait dengan iklim investasi. Kewenangan untuk menyederhanakan prosedur perizinan, menghapus peraturan dan pungutan yang mengganggu atau memberatkan dunia usaha, mendorong pengembangan usaha kecil, dan menyediakan infrastruktur yang baik sebagian besar sudah berada di tangan pemerintah daerah. Berbagai 4

aspek tata kelola (governance) ekonomi ini perlu terus ditingkatkan untuk meningkatkan iklim investasi Indonesia. Dalam rangaka mendorong peningkatan kualitas publik di daerah, Mentri Dalam Negeri mengeluarkan peraturan Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Terpadu Satu Pintu. Peraturan ini mendorong pemerintah daerah untuk membentuk perangkat daerah Penyelenggara Terpadu Satu Pintu (PPTSP). PPTSP adalah perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sernua bentuk perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu, sistem satu pintu adalah dimana kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sarnpai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Dilihat dari tujuan pembentukannya, PPTSP diharapkan dapat menjadi sebuah instansi yang mampu menjembatani antara dunia birokrasi dan dunia usaha swasta. Karena selama ini banyak terdapat perbedaan persepsi antara birokrasi dengan dunia usaha terkait pengurusan perijinan khususnya perijinan usaha. Dimana birokrasi lebih mengutamakan legalitas dan kelengkapan administrasi sedangkan dunia usaha lebih menginginkan proses yang lebih efisien dalam hal administrasi maupun waktu, hal ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011 yang menyebutkan lebih dari 70% pelaku usaha memandang bahwa perijinan harus terbebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), bebas pungutan liar (pungli) dan efisien. 5

PPTSP sebagai perangkat daerah yang mempunyai tugas menyelenggarakan perijinan di daerah akan mempunyai peranan yang penting, karena PPTSP akan menjadi titik awal dari promosi daerah tersebut dalam menarik dan meningkatkan iklim investasi. Penyelenggaraan publik yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat akan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat dan dapat menghambat masuknya investasi serta pengembangan perekonomian daerah. Pada gilirannya, tidak menguntungkan daerah dan akan melemahkan atau mengganggu kemampuan daerah untuk membiayai otonominya (Hardiyansyah, 2011). Kabupaten Purwakarta sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga termasuk Kabupaten yang sedang giat membangun. Oleh karenanya Pemerintah Kabupaten Purwakarta giat dan gencar mengundang investor untuk datang dan menanamkan modalnya di Kabupaten Purwakarta. Pemerintah Kabupaten Purwakarta berusaha mempermudah birokrasi dan perizinan investasi di daerahnya, salah satunya adalah perizinan di bidang usaha. Usaha untuk mempermudah birokrasi dan perizinan investasi diwujudkan dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) yang diperkuat dengan Peraturan Bupati Nomor 26 tahun 2011 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan di Bidang Perizinan dan Non Perizinan pada Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu. Pembentukan BPMPTSP ini sebagai komitmen Pemerintah Kabupaten Purwakarta dalam perbaikan publik khususnya dalam perijinan. 6

Tujuan utama pembentukan BPMPTSP adalah untuk meningkatkan mutu publik Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta kepada masyarakatnya terutama dalam hal perijinan, hal ini tercermin melalui visi BPMPTSP menjadi lembaga yang mampu menciptakan iklim usaha yang dinamis dan berdaya saing, mitra usaha bagi investor dan prima. Sudah menjadi berita umum bahwa kualitas publik di Indonesia belum mampu memberikan yang memuaskan masyarakat, hal ini menandakan masih lemahnya kinerja, yang ditandai dengan dengan beberapa indikator seperti ketidakpuasan masayarakat yang umumnya terletak pada standar waktu, biaya dan cara. Hal ini pula yang terjadi pada ruang lingkup perijinan selama ini. Sebelum dibentuknya BPMPTSP, persoalan utama perijinan selama ini yang dirasakan oleh masyarakat adalah tidak tentunya waktu dalam penyelesaian perijinan, biaya yang sangat besar, birokrasi yang berbelit-belit sehingga masyarakat tidak mengetahui secara pasti harus kemana dan bagaimana cara memperoleh ijin. Semua hal itu akan coba dihapuskan dengan adanya pembentukan BPMPTSP. Karena sebagai satu unit terpadu, BPMPTSP menyediakan berbagai perijinan dengan waktu, biaya, dan prosedur yang jelas berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan program pemerintah pusat dalam upaya untuk meningkatkan iklim investasi dengan menyederhanakan perijinan melalui 7

pemangkasan waktu, biaya dan prosedur perijinan dengan pengefektifan fungsi terpadu satu pintu 1. Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan perijinan yang dilaksanakan oleh BPMPTSP Kabupaten Kabupaten Purwakarta belum bisa memuaskan masyarakat. Banyak keluhan dari masyarakat sebagai pengguna jasa layanan perijinan di Kabupaten Purwakarta. Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh masyarakat atas layanan BPMPTSP sebagai penyelenggara kebijakan perijinan terpadu satu pintu diantaranya: masih banyak anggota masyarakat yang kebingungan dan tidak mengerti akan fungsi dan keberadaan BPMPTSP; persyaratan perijinan yang dirasakan masih rumit dan berbelit-belit dan berdiri sendiri antar jenis perijinan, sehingga terjadi duplikasi persyaratan (misal IMB, HO, SITU, SIUP, TDP); ada beberapa proses perijinan yang masih berada di dinas teknis dan berkesan berbelit sehingga kadang-kadang pemohon seperti dipingpong; belum adanya keseragaman pemahaman prosedur dan mekanisme perijinan antar bidang sehingga kadang terjadi dualisme kebijakan. Menurut data yang diperoleh penulis dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Daerah (LAKIP) Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Purwakarta tahun 2009-2011, menunjukkan masih adanya keterlambatan dalam proses perizinan. Pada tahun 2009 terdapat 1.155 izin yang terlambat dalam proses penyelesaiannya, pada tahun 2010 menurun 1 Pidato Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional pada prosesi Penerimaan Mahasiswa Baru Program Profesi, Magister, dan Doktor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, 31 Agustus 2013 (Erman, 2013) 8

menjadi 1.251 izin dan pada tahun 2011 semakin menurun menjadi hanya 424 izin saja. Tabel 1.2 Prosentase Izin Tidak Tepat Waktu Penyelesaian No. Indikator Kinerja 2009 2010 2011 1. Izin yang telah diproses 5,013 5,581 6,593 2. Proses ijin tepat waktu 76,97% 77,60% 93,58 % Sumber : LAKIP Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu tahun 2009, 2010, 2011 (diolah) Kemudian dari data hasil Survey Indeks Kepuasan Masyarakat yang dilakukan pada Tahun 2011, Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Purwakarta melaksanakan Survey Kepuasan Masyarakat yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja Perizinan yang telah dilaksanakan oleh BPMPTSP. Hasil survey IKM menunjukan bahwa dari 14 unsur yang dinilai, unsur dengan nilai tertinggi kepastian biaya dan nilai terendah kepastian jadwal. Gambar 1.1 Indeks Kepuasan Masyarakat Tahun 2011 Sumber : Rencana Kerja (Renja) Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu Kab. Purwakarta Tahun 2011 9

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis merumuskan satu permasalahan penelitian yaitu : Bagaimana Implementasi Kebijakan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten Purwakarta 1.2 Pertanyaan Penelitian Sesuai dengan latar belakang penelitian, secara spesifik rumusan pertanyaan penelitian ini adalag sebagai berikut: 1. Bagaimana proses dan prosedur penyelenggaraan terpadu satu pintu di Kabupaten Purwakarta? 2. Faktor faktor internal dan eksternal apa saja yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan terpadu satu pintu di Kabupaten Purwakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan melakukan studi evaluasi terhadap proses pelaksanaan perizinan di Kabupaten Purwakarta sehingga kedepannya bisa memperbaiki kualitas yang ada, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui sejauh mana penyelenggaraan terpadu satu pintu di Kabupaten Purwakarta. 2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penyelenggraan terpadu satu pintu di Kabupaten Purwakarta. 1.5 Studi Terdahulu Kajian atau penelitian yang secara khusus (sepesifik) melakukan evaluasi terhadap proses pelaksanaan pemberian izin serta dampaknya terhadap 10

publik di Badan Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Purwakarta dari sudut pandang praktisi yang melakukan penelitian langsung sejauh pengetahuan penulis sampai saat ini belum ada yang melakukan.. Ada beberapa kajian dan penelitian sejenis yang dilakukan di beberapa tempat lain dengan fokus penelitian yang berbeda satu sama lain. Adapun beberapa kajian dan penelitian yang penulis temukan antara lain sebagai berikut: Nama Peneliti Muswizar Antoni (2010) Isnaini Muallidin (2011) Judul Penelitian Penyelenggaraan Perijinan (Studi Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 33/2008 tentang Penyelenggaraan Perijinan pada Pemerintahan Kota Yogyakarta Implementasi Reformasi Organisasi Perizinan untuk Meningkatkan Kualitas Tabel. 1.3 Studi Terdahulu Tujuan Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada proses implementasi kebijakan Walikota dan legitimasi kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaran perijinan Penelitian ini memfokuskan pada implementasi reformasi organisasi Metode Penelitian Kualitatif Kualitatif Hasil Penelitian Proses implementasi kebijakan cukup berhasil membawa perubahan dalam penyelenggaran perijinan namun ada beberapa kebijakan dalam proses reformasi birokrasi yang berkaitan perijinan yang tidak terlembagakan dalam bentuk Peraturan Daerah Reformasi Organisasi belum maksimal karena dari aspek formalisasi 11

Nina Darmayanti (2010) Hikmah Nuraini (2008) Publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) Studi pada unit Penyelenggara Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pasaman Reformasi Birokrasi Perizinan dan Investasi di Kabupaten Purbalingga perizinan dalam peningkatan kualitas publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Penelitian ini memfokuskan pada analisis efektifitas kebijakan dalam peningkatan kualitas layanan publik dengan melakukan evaluasi pada kebijakan penyelenggaraan PPTSP Penelitian ini difokuskan dalam melihat gambaran umum reformasi birokrasi yang teah dilakukan di Kabupaten Purbalingga khususnya dibidang perizinan dan investasi Kualitatif Kualitatif belum semua jenis perijinan dibuatkan dalam bentuk Perda, dan secara kuantitas maupun kualitas SDMnya masih sangat kurang Kebijakan penyelenggaraan terpadu satu pintu belum efektif dalam meningkatkan kualitas layanan publik hasil dari analisis lima indikator (kesederhanaan, kepastian, keterbukaan, biaya, dan ketepatan waktu ) Reformasi birokrasi perizinan di Kabupaten Purbalingga dapat berjalan dengan baik karena adanya komitmen yang kuat dari Kepala Daerah namun belum optimal karena belum didukung oleh reformasi di bidang yang lain. 12