BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Pertama,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasi diri (Chaer, 2007:33). Oleh karena itu, bahasa merupakan hal

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal yang lain (KBBI, 2003: 588).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pengarang karya sastra tentu mempunyai berbagai ciri khas dalam

BAB I PENDAHULUAN. metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah tempat masyarakatnya secara

ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU EBIT G. ADE SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keinginan, memberikan saran atau pendapat, dan lain sebagainya. Semakin tinggi

MACAM-MACAM MAJAS (GAYA BAHASA)

BAB I PENDAHULUAN. Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.

untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahasa adalah alat komunikasi manusia untuk

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Analisis Gaya Bahasa pada Lirik Lagu Grup Band Noah dalam Album Seperti Seharusnya (Edi Yulianto, 2015)

ANALISIS DIKSI DAN GAYA BAHASA PADA NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO. Jurnal Publikasi Skripsi

I. PENDAHULUAN. Dalam pembahasan bab ini, peneliti akan memaparkan sekaligus memberikan

BAB 3 METODE PENELITIAN

PENGGUNAAN GAYA BAHASA DALAM IKLAN DI RCTI. E- mail : ABSTRAK

Novel Selamat Tinggal Jeanette merupakan novel yang mempunyai latar belakang adatistiadat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi anggota

BABII LANDASAN TEORI. secara indah (Keraf, 2002: 112). Secara singkat (Tarigan, 2009:4) mengemukakan bahwa

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN GAYA BAHASA DALAM WACANA STIKER KENDARAAN BERMOTOR (TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK)

BAB 1 PENDAHULUAN. Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Hubungan bahasa

BAB II LANDASAN TEORI. penelitian dengan menggunakan kajian stilistika yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangsari memiliki beberapa upacara adat Jawa, salah satu di

I. KAJIAN PUSTAKA. yakni bentuk novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran

BAB 2 GAYA BAHASA IKLAN

GAYA BAHASA DALAM CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI

PEMANFAATAN GAYA BAHASA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU KARYA TERE LIYE. SKRIPSI Oleh :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. fiksi yaitu cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Tinjauan Pustaka

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM NOVEL TERJEMAHAN SANG PENGEJAR LAYANG-LAYANG (THE KITE RUNNER) KARYA KHALED HOSSEINI (KAJIAN STILISTIKA)

TEMA DAN GAYA BAHASA KARYA HAJI ABDUL MALIK

BAB II LANDASAN TEORI. curahan perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian (Moeliono (Peny.), 2003:

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. atau penyucian jiwa pada pembacanya, yaitu setiap orang yang intens membaca

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Karya sastra terbagi menjadi dua yaitu, karya sastra nonfiksi dan fiksi. Karya

II. LANDASAN TEORI. Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan istilah style

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut berjudul Gaya Bahasa Sindiran pada Rubrik Kartun Terbitan Kompas Edisi

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari sastra. Pemakaian bahasa dalam karya sastra mempunyai

IDENTIFIKASI BENTUK GAYA BAHASA DALAM KARIKATUR POLITIK PADA MEDIA INTERNET NASKAH PUBLIKASI

ANALISIS GAYA BAHASA IKLAN ELEKTRONIK PRODUK KOSMETIK. Fadlun Al fitri

ARTIKEL PENELITIAN. Diksi dan Gaya Bahasa Novel Moga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye. Oleh: ROSA MAULIDYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Gaya Bahasa Ironi dan Pesan Moral lagu-lagu SLANK dalam Album Anti

Gaya Bahasa dalam Karangan Bahasa Jawa Siswa Kelas VI SDN 2 Carat Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo Tahun Pelajaran 2011/2012

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung

ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA PADA PUISI KARYA SISWA SMA DI YOGYAKARTA SKRIPSI

INTISARI A. LATAR BELAKANG

ANALISIS GAYA BAHASA PADA PUISI AKU KARYA CHAIRIL ANWAR

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik Lethologica Karya Band Letto dan

KONTRIBUSI MINAT BACA PUISI DAN PENGUASAAN GAYA BAHASA TERHADAP KETERAMPILAN MENULIS PUISI BEBAS SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 LEMBAH GUMANTI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan sastra yaitu tentang gaya bahasa pada novel. Penelitian itu yang dilakukan

PEMANFAATAN GAYA BAHASA DALAM ARTIKEL OPINI HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI 2017

ANALISIS MAJAS DALAM NOVEL AYAH KARYA ANDREA HIRATA DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA

PEMAKAIAN MAJAS DALAM RUBRIK GAGASAN PADA SURAT KABAR SOLOPOS DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN DI SMP NEGERI 3 SRAGEN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pada Acara Indonesia Lawak Klub Di Trans 7 ini membutuhkan penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan

ANALISIS GAYA BAHASA NOVEL LA GRANDE BORNE KARYA NH. DINI

GAYA BAHASA IKLAN PRODUK KESEHATAN DAN KOSMETIK PADA HARIAN PAGI POSMETRO PADANG

GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU SEBAGAI BAHAN AJAR Oleh

GAYA BAHASA MARIO TEGUH DALAM ACARA GOLDEN WAYS SEBAGAI ALTERNATIF KAJIAN PENGEMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

ANALISIS GAYA BAHASA PERTENTANGAN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY ARTIKEL E-JOURNAL

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menyusun sebuah karya ilmiah, diperlukan sebuah konsep guna

Oleh Meizar Fatkhul Izza NIM

PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN KATA KHUSUS PADA KUMPULAN PUISI KETIKA CINTA BICARA KARYA KAHLIL GIBRAN

MAJAS Materi Kelas X. 1. Majas perbandingan 2. Majas penegasan 3. Majas sindiran 4. Majas pertentangan

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poeima membuat atau

JURNAL PENELITIAN ANALISIS PEMAKAIAN GAYA BAHASA PADA IKLAN PRODUK KECANTIKAN PERAWATAN KULIT WAJAH DI TELEVISI. Oleh : KUSUMAWATI K

PENGGUNAAN GAYA BAHASA DALAM DEBAT CALON GUBERNUR DAN CALON WAKIL GUBERNUR DKI JAKARTA PERIODE

BAB II LANDASAN TEORI. Indonesia di kelas VII SMP N 3 Cilacap Tahun Ajaran Hasil penelitian

MAJAS DALAM KUMPULAN PUISI SETIAP BARIS HUJAN KARYA ISBEDY STIAWAN ZS ARTIKEL ILMIAH RANI FUJIATI NINDRI NPM

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN RECTOVERSO KARYA DEWI LESTARI

Ditulis pada Sabtu, 14 Februari :03 WIB oleh damian dalam katergori others tag

MAJAS DALAM ROMAN HABIS GELAP TERBITLAH TERANG TERJEMAHAN ARMIJN PANE

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI PADA KUMPULAN CERPEN INSOMNIA KARYA ANTON KURNIA SKRIPSI

GAYA BAHASA NOVEL SAAT UNTUK MENARUH DENDAM DAN SAAT UNTUK MENABURKAN CINTA KAYRA JULIUS R. SIYARANAMUAL

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 3, Nomor 3, Desember 2015 ANALISIS GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN NOVEL MIMPI BAYANG JINGGA KARYA SANIE B.

MAJAS DALAM KUMPULAN PUISI DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA. Oleh

PENGGUNAAN GAYA BAHASA PADA IKLAN WEB PT. L OREAL INDONESIA (Studi Kasus PT. L Oreal Indonesia)

KRITIK SOSIAL MELALUI GAYA BAHASA DALAM PROGRAM SENTILAN SENTILUN DI METRO TV DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA.

BAB II LANDASAN TEORI. kata-kata indah yang menjadikan puisi memiliki daya tarik dan nilai keindahan.

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM SLOGAN IKLAN MINUMAN DI TELEVISI SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. analisis gaya bahasa pengarang dalam novel Derap-Derap Tasbih Karya Hadi S.

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian sejenis yang peneliti temukan dalam bentuk skripsi di

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM SLOGAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan karya sastra dari zaman dahulu hingga sekarang tentunya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis atau kalimat yang

BAB II LANDASAN TEORI. Lirik itu mempunyai dua pengertian yaitu (1) karya sastra (puisi) yang berisi curahan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca,

ANALISIS GAYA BAHASA CALON PRESIDEN PADA ACARA DEBAT DALAM PEMILIHAN UMUM 2014 SKRIPSI. Oleh: Ahmad Rizal Arafat NIM

GAYA BAHASA KOMENTATOR SEPAK BOLA DALAM ACARA INDONESIA SUPER LEAGUE DI STASIUN TELEVISI ANTV

II. LANDASAN TEORI. Sebelum dilakukan analisis sebuah karya sastra (puisi) perlu dipahami maknanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal akan tetapi

BAB II KAJIAN TEORI. Bahasa merupakan sarana penyampaikan pesan. Sastra menyampaikan. penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra sehingga

Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) GAYA BAHASA RETORIS KIASAN NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE. Oleh

GAYA BAHASA DALAM KUMPULAN CERPEN KACAPIRING KARYA DANARTO (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA)

NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN GAYA BAHASA)

Luthfi Muhyiddin Fakultas Tarbiyah Institut Studi Islam Darussalam Gontor Abstrak

Transkripsi:

8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer sudah pernah dikaji oleh beberapa mahasiswa. Berikut ini kajian yang berkaitan dengan novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Pertama, skripsi berjudul Konflik Sosial dan Politik dalam Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA oleh Khoirun Nisa mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, konflik sosial, konflik politik dan implementasi novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada data dan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh Khoirun Nisa tentunya berbeda dengan penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan Khoirun Nisa datanya berupa struktur, konflik sosial, konflik politik serta implementasi pada novel sebagai bahan ajar di SMA. Sedangkan pendekatannya menggunakan sosiologi sastra. Lalu dalam penelitian ini datanya adalah teks novel yang berbentuk kata-kata, kalimat-kalimat atau ungkapan yang mengandung gaya bahasa pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer. Lalu pendekatannya menggunakan stilistika. Kedua, skripsi berjudul Analisis Wacana Kritis pada Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer oleh Nela Dian Octora salah satu mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2015. Skripsi yang 8

9 kedua ini berbeda dengan penelitian miliknya Khoirun Nisa yang berjudul Konflik Sosial dan Politik dalam Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA. Perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan oleh Khoirun Nisa datanya struktur, konflik sosial, konflik politik serta implementasi pada novel sebagai bahan ajar di SMA sedangkan pendekatannya menggunakan sosiologi sastra. Adapun dalam penelitian yang dilakukan oleh Nela Dian Octora ini datanya berupa tokoh perempuan dalam posisi subjek dan posisi objek serta posisi pembaca yang ditampilkan pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer sedangkan pendekatannya menggunakan model Sara Mills. Dari kedua skripsi tersebut tentunya ada perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaanya terletak pada data dan pendekatannya. Dalam penelitian ini datanya berupa teks novel yang berbentuk kata-kata, kalimat-kalimat atau ungkapan yang mengandung gaya bahasa dalam novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan stilistika. Adapun persamaan dari kedua skripsi tersebut dari penelitian ini yaitu objek penelitiannya berupa novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, peneliti tidak menemukan ulasan maupun kajian ilmiah yang meneliti tentang gaya bahasa pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer sehingga peneliti meneliti tentang gaya bahasa dalam penelitian ini.

10 B. Novel Nurgiyantoro (2007: 9-10), istilah novel berasal dari bahasa Itali novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam prosa. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Dalam The American College Dictionary (dalam Suyitno, 2009: 36), novel merupakan suatu cerita prosa fiktif dalam panjang yang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Aziez & Hasim (2010: 2), novel merupakan suatu karya fiksi yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Jadi kesimpulannya novel merupakan suatu karya fiksi yang di dalamnya mengandung tokoh, alur, dan peristiwa rekaan dan panjangnya melebihi dari cerpen. C. Stilistika Menurut Ratna (2013: 3), stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya dan stil (style) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Adapun menurut lecch & short (dalam Nurgiyantoro, 2007: 279), stilistika menyaran pada pengertian studi tentang stile. Kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya.

11 Menurut Soeratno (2001: 172), secara etimologis stylistics berkaitan dengan style. Style artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaaan bahasa dalam karya sastra. Turner (dalam Soeratno, 2001: 172-173), stylistics atau stilistika merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa yang tidak secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya dan memusatkan pada variasi penggunaan bahasa dalam karya sastra. D. Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa Menurut Tarigan (2013: 4), gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Sedangkan Keraf (2004: 112-113), gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Penekanan style dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Siswantoro (2014: 115), menambahkan gaya bahasa merupakan suatu gerak membelok dari bentuk ekspresi sehari hari atau aliran ide-ide yang biasa untuk menghasilkan suatu efek yang luar biasa. Gaya bahasa dapat dapat memperkaya makna sehingga dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih intensif hanya dengan sedikit kata.

12 Menurut Kridalaksana (2001: 63), gaya bahasa merupakan pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Selain itu bisa diartikan sebagai pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu atau keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Selain itu, gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca (Pradopo, 2009: 93). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan gaya bahasa ialah pemakaian ragam kekayaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang dalam menulis atau bertutur untuk memberikan efek tertentu kepada pembaca. 2. Jenis Gaya Bahasa Menurut Ratna (2013: 164), gaya bahasa dibedakan menjadi empat macam, yaitu (1) gaya bahasa penegasan, (2) gaya bahasa perbandingan, (3) gaya bahasa pertentangan, dan (4) gaya bahasa sindiran. Beberapa jenis gaya bahasa dibedakan lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan cirinya masing-masing. Sedangkan menurut Keraf (2004: 116-127), dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya bahasa resmi, (b) gaya bahasa tak resmi, dan (c) gaya bahasa percakapan. Berdasarkan nada

13 yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya sederhana, (b) gaya mulia dan bertenaga, dan (c) gaya menengah. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dibedakan menjadi lima yaitu (a) klimaks, (b) antiklimaks, (c) paralelisme, (d) antithesis, dan (e) repetisi. Repetisi itu sendiri ada bermacam-macam yakni epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi dua yaitu (a) gaya bahasa retoris dan (b) gaya bahasa kiasan (Keraf, 2004: 127-145). Nurgiyantoro (2014: 218), menambahkan jenis gaya bahasa jumlahnya relatif banyak bahkan tidak sedikit literatur dan orang yang memasukan stile yang bermain dengan struktur. Dari sekian banyak bentuk gaya bahasa tampak bahwa gaya bahasa itu pada umumnya berupa gaya bahasa perbandingan dan sebagian majas pertautan. Gaya bahasa perbandingan yaitu simile, mertafora, personifikasi, dan alegori. Sedangkan gaya bahasa pertautan yaitu metonimi dan sinekdoki. Tarigan (2013: 6), mengemukakan ada empat bagian jenis gaya bahasa yaitu (1) gaya bahasa perbandingan meliputi : perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antithesis, pleonasme, tautologi, periphrasis, prolepsis, dan koreksio, (2) gaya bahasa pertentangan meliputi : hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, dan zeugma, satire, innuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, anti klimaks, apostrof, anastrof, apofasis, hysteron proteron, hipalase, sinisme, dan sarkasme, (3) gaya bahasa pertautan meliputi : metonomia, sinekdoke, alusi, eufemisme, elipsis, eponim, epitet, antonomia, erotesis, paralelisme, asindeton, polisideton, dan gradasi, (4) gaya bahasa perulangan meliputi : aliterasi, antanaklasis, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,

14 mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Dari beberapa pendapat di atas mengenai jenis gaya bahasa tersebut dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendapat Keraf karena menurut peneliti jenis gaya bahasa yang di kemukakan oleh Keraf sudah mewakili paparan mengenai jenis gaya bahasa dari pakar yang lain. Teori penelitian ini juga dibatasi pada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya makna karena data penelitian ini berupa novel. a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat Menurut Keraf (2004: 124-129), struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Adapun yang dimaksud dengan struktur kalimat disini adalah tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat tersebut, maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa antara lain: (1) klimaks, (2) antiklimaks, (3) paralesisme, (4) antithesis, dan (5) repetisi. 1) Klimaks Nurgiyantoro (2007: 303), mengemukakan klimaks adalah urutan penyampaian yang menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan. Sedangkan Tarigan (2013: 79), menjelaskan klimaks merupakan sejenis gaya bahasa

15 yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Keraf (2004: 124-125), menambahkan bahwa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Bila klimaks itu terbentuk dari beberapa gagasan yang berturut-turut semakin tinggi kepentingannya maka disebut anabasis, contoh: Tuan-tuan jangan terlalu banyak menghamburkan waktu, tenaga, dan fikiran bagi saya. Jadi kesimpulannya klimaks adalah gaya bahasa yang terdiri dari gagasan yang berturut-turut semakin tinggi tingkat kepentingannya. 2) Antiklimaks Keraf (2004: 125-126), mengungkapkan bahwa antiklimaks merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur, contoh : Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di ibu kota negara, ibu kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh Indonesia. Antiklimaks merupakan urutan penyampaian yang menunjukkan semakin mengendur kadar pentingnya sebuah gagasan (Nurgiyantoro, 2007: 303). Sedangkan Tarigan (2013: 81), menambahkan bahwa antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturutturut ke gagasan yang kurang penting. Jadi kesimpulannya antiklimaks merupakan gaya bahasa yang terdiri dari gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting.

16 3) Paralelisme Nurgiyantoro (2007: 302), paralelisme menyaran pada penggunaan bagianbagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal dan menduduki fungsi yang sama pula secara berurutan. Contoh : Diantara sejumlah warga terpaksa ada yang dipilih, dibatasi, bahkan adakalanya ditolak untuk diterima sebagai anggota. Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Tarigan, 2013: 131). Keraf (2004: 126), paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Jadi kesimpulannya paralelisme merupakan gaya bahasa yang mempunyai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata dan menduduki fungsi yang sama secara berurutan dalam sebuah kalimat. 4) Antithesis Menurut Ducrot & Todoov (dalam Tarigan, 2013: 26), mengemukakan antithesis merupakan sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantic yang bertentangan. Antithesis merupakan penyampaian gagasan-gagasan yang bertentangan (Nurgiyantoro, 2007: 302). Antithesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang (Keraf, 2004: 126-127). Contoh: mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan darinya.

17 Jadi kesimpulannya antithesis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata berlawanan atau bertentangan arti satu dengan lainnya. 5) Repetisi Repetisi merupakan gaya pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Kata atau kelompok kata yang diulang dalam repetisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, dan berada pada posisi awal, tengah, atau di tempat yang lain (Nurgiyantoro 2007: 301). Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting. Repetisi seperti halnya dengan paralesisme dan antithesis lahir dari kalimat yang berimbang. Macam-macam repetisi meliputi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Keraf (2004: 127-129) menjelaskan macam-macam repetisi itu sebagai berikut: a) Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh: Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketinggalan kita. b) Tautotes adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah kontruksi. Contoh : Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru. c) Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 299-300), mengemukakan anafora merupakan gaya bahasa yang menunjukkan adanya pertautan atau menampilkan pengulangan kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan, contoh : Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya. d) Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh : Bumi yang kau diami, laut yang kau layari adalah puisi

18 Udara yang kau hirupi, air yang kau tengguki adalah puisi e) Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh : Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin f) Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh : Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng g) Epanalepsis adalah perulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh : Kita gunakan pikiran dan perasaan kita Kuberikan setulusnya, apa yang harus kuberikan h) Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh : Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati, dalam hati: ah takapa jua yang ada Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: Mudahmudahan ada Kau! Siswantoro (2014: 210), mengatakan bahwa repetisi merupakan penggunaan gaya bahasa yang bertujuan untuk memberi penekanan kepada makna frasa. Jadi kesimpulannya repetisi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan kata atau kelomok kata yang sama yang terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan letak posisinya bisa di awal, tengah maupun akhir kalimat. b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris yang semata-mata merupakan penyimpangan dari kontruksi biasa untuk mencapai efek tertentu dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna (Keraf, 2004: 129).

19 1) Gaya Bahasa Retoris a) Aliterasi Menurut Siswantoro (2014: 136), aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan di posisi akhir atau di posisi awal kata, seperti bunyi /t/ pada pasangan tried atau true, bunyi /m/ pada pasangan might dan main, bunyi /n/ pada pasangan thin dan pin. Sedangkan Tarigan (2013: 175), menjelaskan aliterasi yaitu sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Contoh aliterasi seperti : Takut titik lalu tumpah. Kalimat tersebut merupakan aliterasi t terlihat dengan pengulangan konsonan t berturut-turut pada satu kalimat. Nurgiyantoto (2007: 303), menambahkan bahwa aliterasi merupakan penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonem-konsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata. Jadi kesimpulannya aliterasi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan bunyi konsonan di posisi awal, tengah, dan akhir kata. b) Asonansi Keraf (2004: 130), berpendapat bahwa asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Asonansi merujuk kepada pengulangan bunyi vokal dengan tujuan memberi tekanan makna pada kata tertentu dan menciptakan rangkaian suara yang musical, contoh: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Siwantoro ( 2014: 140), mengemukakan asonansi merupakan pengulangan bunyi hidup seperti bunyi /i/ pada pasangan he dan she. Jadi kesimpulannya asonansi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan bunyi hidup dengan vokal yang sama.

20 c) Anastrof atau Inversi Ducrot & Todorov (dalam Tarigan, 2013: 85), inversi merupakan permutasi atau perubahan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Dengan kata lain inversi merupakan perubahan urutan subjek predikat (SP) menjadi predikat subjek (PS). Sedangkan Keraf (2004:130), berpendapat bahwa anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Anastrof ini mengubah urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis dengan menyebutkan terlebih dahulu predikat sebelum subjeknya, contoh: Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Jadi kesimpulannya inversi merupakan gaya bahasa yang melakukan pembalikan urutan susunan kata subjek predikat menjadi predikat subjek. d) Apofasis atau Preterisio Keraf (2004: 130-131), berpendapat bahwa Apofasis atau disebut juga Preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya, contoh: Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara. Sedangkan Tarigan (2013: 86), mengemukakan preterisio adalah jenis gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, pengarang, atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi nampaknya menyangkalnya. Jadi kesimpulannya apofasis atau preterisio merupakan gaya bahasa yang menegaskan sesuatu tetapi menyangkal dengan cara berpura-pura.

21 e) Apostrof Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Dalam pidato yang disampaikan pada suatu masa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak. Dengan demikian dia tampak tidak berbicara pada hadirin, contoh: Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini. Sedangkan Tarigan (2013: 83), berpendapat apostrof merupakan sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Jadi kesimpulannya apostrof merupakan gaya bahasa yang mengalihkan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. f) Asindeton Nurgiyantoro (2007: 303), asindeton merupakan penggunaan pungtuasi yang berupa tanda koma. Keraf (2004: 131), berpendapat asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: Veni, vidi, vici, saya datang, saya lihat, saya menang. Contoh: kesesakkan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa. Asindeton merupakan gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, farasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (dalam Tarigan 2013: 136). Jadi kesimpulannya asindeton merupakan gaya bahasa yang

22 mengemukakan beberapa kata, frasa, maupun klausa secara berurutan tanpa menggunakan kata sambung dalam kalimat. g) Polisindeton Tarigan (2013: 137), polisindeton merupakansuatu gaya yang merupakan kebalikan asindeton. Dalam polisindeton beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Sedangkan Keraf (2004: 131), polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Polisindeton ialah bentuk pengulangan yang menggunakan kata tugas tertentu misalnya kata dan (Nurgiyantoro, 2007: 303). Contoh polisindeton sebagai berikut : Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?. Jadi kesimpulannya polisindeton merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan yang menggunakan kata penghubung secara berurutan dalam suatu kalimat. h) Kiasmus Keraf (2004: 132), berpendapat bahwa kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian. Kiasmus berisikan pengulangan dan sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Contoh: Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. Sedangkan menurut Ducrot & Todorov (dalam Tarigan, 2013: 180), mengemukakan kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan atau repetisi dan sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Jadi kesimpulannya kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan pengulangan dengan pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat.

23 i) Elipsis Keraf, (2004: 132), elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar. Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat itu disebut anakoluton. Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat tersebut dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis, contoh: jika anda gagal melaksanakan tugasmu..tetapi baiklah kita tiak membicarakan hal itu. Sedangkan Tarigan (2013: 133), memaparkan elipsis ialah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan pembuangan atau penghilangan kata yang memenuhi bentuk kata berdasarkan tata bahasa. Jadi kesimpulannya elipsis merupakan gaya bahasa yang menghilangkan unsur kalimat dengan posisi penghilangan bisa di awal, tengah, maupun akhir kalimat. j) Eufemisme Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang. Eufemisme mengandung ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2004: 132). Contoh: Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (=bodoh). Tarigan (2013: 125), mengungkapkan eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan. Jadi kesimpulannya eufemisme merupakan gaya bahasa yang berupa ungkapan secara halus sebagai

24 pengganti ungkapan kasar agar ungakapan tersebut tidak menyinggung perasaan seseorang. k) Litotes Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 58), litotes merupakan sejenis gaya bahasa yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Keraf, (2004: 132-133) mengemukakan litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Contoh: Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya. Jadi kesimpulannya litotes adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan cara merendahkan diri dari yang sebenarnya terjadi. l) Histeron Proteron Keraf (2004: 133), histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Histeron Proteron menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa, contoh : Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Histeron proteton juga bisa diartikan sebagai gaya bahasa yang membalikkan sesuatu yang logis dan membalikkan sesuatu yang wajar (Tarigan, 2013: 88). Jadi kesimpulannya histeron proteron merupakan gaya bahasa yang berupa kebalikan dari sesuatu yang logis ataupun kebalikan dari sesuatu yang wajar.

25 m) Pleonasme dan Tautologi Menurut Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 28), pleonasme merupakan pemakaian kata yang mubazir yang sebenarnya tidak perlu. Sedangkan tautologi merupakan acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menyatakan suatu gagasan atau pikiran. Keraf (2004: 133-134), menjelaskan pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan salah satu kata mubazir artinya tetap utuh. Sebaliknya acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya : (1) Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya. Ungkapan diatas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata : dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang merah itu. (2) Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Globe itu bundar bentuknya Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00, dan bundar tercakup dalam globe. Jadi kesimpulannya pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata mubazir dalam suatu kalimat tetapi jika dihilangkan, artinya tetap utuh. Sedangkan tautologi merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata yang berlebihan yang sebenarnya kata tersebut mengulang kembali gagasan yang sudah disebutkan di awal.

26 n) Perifrasis Menurut Keraf (2004: 134), perifrasis mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh: Ia telah beristirahat dengan damai (=mati, atau meninggal). Sedangkan Tarigan (2013: 31), mengungkapkan perifrasis merupakan gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Jadi kesimpulannya perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata yang berlebihan tetapi sebenarnya dapat diganti hanya dengan satu kata saja. o) Prolepsis atau Antisipasi Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Contoh : Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru (Keraf, 2004: 134). Sedangkan Shadily (dalam Tarigan, 2013: 33), menjelaskan prolepsis atau antisipasi berarti gaya bahasa yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi. Jadi kesimpulannya prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata terlebih dahulu sebelum peristiwa yang sebenarnya terjadi. p) Erotesis atau Pertanyaan Retoris Keraf (2004: 134-135), berpendapat bahwa erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar. Kalimat retoris ini tidak menghendaki adanya sebuah jawaban. Dalam pernyataan retoris

27 terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin, contoh : Rakyatlah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? Kalimat pada contoh tersebut merupakan erotesis karena tidak membutuhkan jawaban. Sedangkan Tarigan (2013: 130), menambahkan erotesis sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Jadi kesimpulannya erotesis atau pertanyaan retoris adalah gaya bahasa yang berupa penegasan kalimat pertanyaan yang tidak menghendaki adanya jawaban karena pertanyaannya telah menyindir dari jawabannya. q) Silepsis dan Zeugma Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, kontruksi yang digunakan secara gramatikal benar tetapi secara semantik tidak benar. Contohnya : Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya Fungsi dan sikap bahasa. Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan, demikian juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikalnya berbeda, yang satu berarti fungsi dari bahasa dan yang lain sikap terhadap bahasa.

28 Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun secara gramatikal. Tarigan (2013: 68), menjelaskan zeugma adalah kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun gramatikal. Misalnya : Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami. Jadi kesimpulannya zeugma merupakan gaya bahasa yang berupa gabungan dua kata yang sebenarnya hanya cocok untuk salah satu kata saja dalam sebuah kalimat. r) Koreksio atau Epanortosis Keraf, (2004: 135), koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud mula-mula menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah, contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. Sedangkan Tarigan (2013: 34), mengemukakan koreksio adalah gaya bahasa yang menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaikinya atau mengoreksinya kembali. Jadi kesimpulannya koreksio merupakan gaya bahasa yang awalnya menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaiki yang dianggap salah.

29 s) Hiperbola Menurut Keraf (2004: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Contoh hiperbola sebagai berikut : Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampirhampir meledak aku. Nurgiyantoro (2007: 300), mengemukakan hiperbola adalah suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebihlebihkan. Sedangkan Tarigan (2013: 55), menambahkan hiperbola adalah suatu cara yang berlebih-lebihan untuk mencapai efek. Jadi kesimpulannya hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan membesarbesarkan terhadap suatu hal yang sebenarnya hal tersebut biasa saja. t) Paradoks Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2004: 136). Paradoks menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan, contoh: Musuh sering merupakan kawan yang akrab. Kalimat tersebut merupakan paradoks karena mengandung pertentangan tetapi menarik perhatian karena kebenarannya memang ada. Nurgiyantoro (2007: 300), berpendapat bahwa paradoks merupakan cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Jadi kesimpulannya paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan fakta yang ada. u) Oksimoron Menurut Keraf (2004: 136), oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Oksimoron

30 sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks, contoh: Itu sudah menjadi rahasia umum. Sedangkan Ducrot & Tororov (dalam Tarigan 2013: 63), menambahkan oksimoron merupakan jenis gaya bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian suatu hubungan sintaksis, baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim. Jadi kesimpulannya oksimoron merupakan gaya bahasa yang menggabungkan katakata berupa penegasan untuk menimbulkan efek yang bertentangan. 2) Gaya Bahasa Kiasan Keraf (2004: 136) berpendapat bahwa gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Adapun jenisjenis bahasa kiasan meliputi: (a) persamaan/ simile, (b) metafora, (c) alegori, parabel, dan fabel, (d) personifikasi atau prosopopoeia, (e) alusi, (f) eponim, (g) epitet, (h) sinekdoke, (i) metonimia, (j) antonomasia, (k) hipalase, (l) ironi, sinisme, dan sarkasme, (m) satire, (n) inuendo, (o) antifrasis, dan (p) pun/ paronomasia (Keraf, 2004: 138-145). a) Simile Tarigan (2013: 9), menjelaskan simile merupakan perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Nurgiyantoro (2007:

31 298), mengungkapkan simile merupakan perbandingan yang langsung dan eksplisit dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan. Sedangkan Keraf (2004: 138), menambahkan simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu katakata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Perumpamaan atau perbandingan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam karya sastra, contoh: matanya seperti bintang timur. Jadi kesimpulannya simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang langsung dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan. b) Metafora Menurut Siswantoro (2014: 116), metafora merupakan perbandingan antara dua objek atau ide yang masing-masing sebagai tenor (yang dibandingkan) dengan vehicle (pembanding). Sedangkan Keraf (2004: 139), berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, dan sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Contoh: Orang itu buaya darat. Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2014: 224), juga mengemukakan bahwa metafora adalah bentuk pembandingan anatara dua hal yang dapat berwujud benda, fisik, ide, dan sifat yang bersifat implisit. Jadi kesimpulannya metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua objek secara langsung.

32 c) Alegori, Parabel, dan Fabel Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka ia dapat berwujud alegori, parable, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain. Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Nurgiyantoro (2014: 239), alegori merupakan sebuah cerita kiasan yang maknanya tersembunyi pada makna literal. Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut ceritacerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Tarigan (2013: 25), parabel merupakan cerita yang berkaitan dengan kitab suci dan merupakan alegori singkat yang mengandungv pengajaran mengenai moral dan kebenaran. Jadi kesimpulannya parabel adalah gaya bahasa yang berupa cerita dengan tokohnya manusia yang mengandung nilai moral. Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah seperti manusia. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuhan, atau makhluk tak bernyawa (Keraf, 2004: 140). Sedangkan Tarigan (2013: 24), menjelaskan fabel merupakan sejenis alegori yang di dalamnya binatang-binatang bicara dan bertingkah laku seperti manusia. Jadi kesimpulannya fabel merupakan gaya bahasa yang mengenai dunia binatang dengan tingkah lakunya seperti manusia.

33 d) Personifikasi atau Prosopopoeia Keraf (2004: 140-141), mengungkapkan bahwa personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-seolah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Contoh personifikasi sebagai berikut : Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami. Nurgiyantoro (2007: 299), mengemukakan bahawa personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifatsifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Personifikasi adalah jenis gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 2013: 17). Jadi kesimpulannya personifikasi merupakan gaya bahasa yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup seperti perilaku yang dilakukan manusia. e) Alusi Keraf (2004: 141), alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan persamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal. Contoh Alusio sebagai berikut : Bandung adalah Paris Jawa. Sedangkan Tarigan (2013: 124), menerangkan alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Jadi kesimpulannya alusi merupakan gaya bahasa yang menunjukkan secara tidak langsung kepada peristiwa, tokoh, maupun tempat dalam karya sastra.

34 f) Eponim Keraf (2004: 141), eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu. Contohnya : Kerakusannya persis Karun. Sedangkan Tarigan (2013: 127), menjelaskan eponim merupakan gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama tersebut dipakai untuk menyatakan sifat itu. Jadi kesimpulannya eponim merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama seseorang yang sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama tersebut dipakai untuk menyatakan sifatnya. g) Epitet Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang, contoh: Putri malam sudah bangun dari peranduannya (Keraf, 2004: 141). Sedangkan Tarigan (2013: 128), berpendapat epiteton merupakan gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal. Pada epiteton tampak adanya ajektif atau frasa deskriptif untuk menunjukkan sifat sesuatu yang menjadi subjek gaya. Frasa seperti itu biasanya disebut epitet. Jadi kesimpulannya epitet merupakan gaya yang berupa sifat atau ciri yang khusus dari seseorang untuk menggantikan nama seseorang atau suatu barang. h) Sinekdoke Menurut Siswantoro (2014: 117-228), sinekdoke terkait dengan tuturan yang menyatakan sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk

35 sebagian (totem pro parte). Sedangkan Keraf (2004: 142), berpendapat bahwa sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte), contoh: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00. Kalimat tersebut mengandung sinekdoke pars pro toto karena kepala merupakan bagian dari anggota tubuh manusia. Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4. Kalimat di atas mengandung sinekdoke totum pro parte karena mempergunakan keseluruhan (Indonesia dan Malaysia) untuk menyatakan sebagian (kelompok pemain sepak bola). Nurgiyantoro (2007: 300), menambahkan sinekdoke berarti menerima bersama-sama dan merupakan gaya yang tergolong gaya pertautan yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya (pars pro toto), atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Jadi kesimpulannya sinekdoke merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menyebutkan nama sebagian sebagai pengganti keseluruhan atau sebaliknya. i) Metonimia Metonomia merupakan sebuah gaya yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat (Nurgiyantoro, 2007: 300). Sedangkan Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Metonomia dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti

36 nama, contoh: Ia membeli sebuah kijang. Kalimat tersebut mengandung metonomia. Hal ini digambarkan dengan kata kijang merupakan merk sebuah mobil. Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 121), menambahkan bahwa metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Jadi kesimpulannya metonomia merupakan gaya bahasa yang memakai nama ciri atau hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. j) Antonomasia Keraf (2004: 142), antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epipeta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya : Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Sedangkan Tarigan (2013: 129), antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Jadi kesimpulannya antonomasia merupakan gaya bahasa yang menggambarkan suatu benda dengan simbol dan gelar sebagai pengganti nama yang sebenarnya. k) Hipalase Keraf (2004: 142) mengungkapkan bahwa hipalase merupakan gaya bahasa yang berupa sebuah pernyataan atau sindiran yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah. Ungkapan tersebut mengandung hipalase. Hal ini dikarenakan yang gelisah manusianya bukan bantalnya. Sedangkan Tarigan (2013: 89), menjelaskan hipalase merupakan gaya

37 bahasa yang menggunakan suatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Jadi kesimpulannya hipalase merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang berlainan dengan kata yang dimaksud. l) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme Menurut Keraf (2004: 143), sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan dibalik rangkaian kata-katanya, contoh : Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya! Menurut Tarigan (2013: 61), mengungkapkan ironi merupakan sejenis gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda bahkan sering kali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan. Jadi kesimpulannya ironi merupakan gaya bahasa yang bertujuan untuk menyindir seseorang secara halus dan tersirat. Selain ironi ada pula sinisme menurut Tarigan (2013: 91), sinisme merupakan ironi lebih kasar sifatnya namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya. Sedangkan Keraf (2004: 143), sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi namun kadang-kadang masih

38 sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Contoh : Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!. Jadi kesimpulannya sinisme merupakan gaya bahasa yang berupa sindiran dan biasanya terjadi ejekan. Keraf (2004: 143-144), sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Contoh: Kelakuanmu memuakkan saya. Sedangkan Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 92), sarkasme merupakan sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Jadi kesimpulannya sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi dan sinisme sehingga dirasa sangat menyakiti hati dan kurang enak di dengar. m) Satire Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Satire berisi kritik sosial baik secara terang-terangan maupun terselubung. Contoh: Maling-maling kecil kau adili Maling-maling besar kau lindungi Di mana letak keadilan Bila masih memandang golongan

39 Sedangkan Tarigan (2013: 70), menambahkan satire merupakan sejenis bentuk argumen yang beraksi secara tidak langsung, terkadang secara aneh bahkan ada kalanya dengan cara yang cukup lucu yang menimbulkan tertawaan. Jadi kesimpulannya satire merupakan gaya bahasa yang mengandung ungkapan ironi untuk menertawakan suatu masalah dan biasanya berupa kritik moral atau politik. n) Inuendo Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Contoh : Setiap ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum (Keraf, 2004: 144). Sedangkan Tarigan (2013: 74), mengemukakan inuendo merupakan gaya bahasa yang menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sekilas. Jadi kesimpulannya inuendo merupakan gaya bahasa ironi yang mengecilkan kenyataan yang sebenarnya dan tampak tidak menyakitkan sekilas. o) Antifrasis Menurut Keraf (2004: 144-145), antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, contoh: Engkau memang orang yang mulia dan terhormat. Antifrasis merupakan gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya (Tarigan, 2013:76). Jadi kesimpulannya antifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata dengan makna kebalikannya.