Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* Penderita sindroma Down atau yang sering disebut sebagai down s syndrom mampu tumbuh dan berkembang jika terdeteksi sejak dini, yakni sejak lahir atau maksimal pada usia tiga bulan pertama, termasuk kemampuan kognitifnya. Meski tidak setinggi atau sebaik orang normal, namun dengan bekal keterampilan yang distimulasi sejak dini, mereka kelak dapat bekerja seperti orang pada umumnya. Oleh karenanya, bila ada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan tersebut, perlu sekali membangun sikap yang lebih optimis untuk lebih memaksimalkan potensi yang ada dan sebaliknya mulai mengurangi perasaan sebagai beban bagi anggota keluarga yang lain. Sindroma Down dikemukakan pertama kali tahun 1866 oleh dr John Langdon Down dari Inggris sebagai kelainan genetik. Kelainan tersebut terjadi sebagai akibat adanya abnormalitas perkembangan kromosom dimana sepasang kromosom gagal untuk saling memisahkan diri saat pembelahan. Keadaan yang paling sering terjadi adalah terbentuknya kromosom nomor 21 yang tidak terdiri atas dua kromosom sebagaimana umumnya, melainkan tiga kromosom. Oleh sebab itu orang sering menyebutnya sebagai trisomi 21 yang mengakibatkan kelainan fisik dan keterbelakangan mental (retardasi me ntal). Umumnya penderita sindroma down ini mampu bertahan hidup sampai dengan usia 30-40 tahun. Salah satu faktor yang berperan dalam kelainan ini adalah usia ibu waktu hamil dan juga riwayat kehamilan sebelumnya. Resiko relatif ibu untuk melahirkan anak dengan sindroma down meningkat seiring pertambahan usia. Usia 25 tahun 1:1.200, usia 30 tahun 1:900, dan usia 40 tahun 1:100. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah melahirkan anak sindroma down harus dengan hati hati memantau perkembangan janinnya.
Deteksi Dini dan Tanda tanda Khas Pencegahan dan deteksi dini sangat disarankan untuk dilakukan, terutama pada bulan bulan awal kehamilan dengan cara pemeriksaan rutin ke dokter spesialis kandungan yang berkompeten. Melalui USG, deteksi dini dapat dilakukan pada usia kandungan antara 11 14 minggu. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan adalah dengan memeriksa ketebalan cairan di belakang leher, mengambil dan memeriksa cairan ketuban atau plasenta, dan pemeriksaan darah ibu hamil. Apabila ternyata janin dinyatakan positif menderita gangguan tersebut, maka orang tua bisa segera memutuskan dan menyiapkan segala hal terutama yang berkaitan dengan kesiapan mental. Perlu diketahui pula bahwa sindroma down bukan penyakit genetik, ataupun penyakit yang disebabkan oleh kuman maupun virus. Penyakit ini tidak menular sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk menghindari kontak atau mengucilkan penderitanya. Tanda tanda anak yang mengalami sindroma down ini tampak khas. Secara fisik, diantaranya adalah kepala belakang pipih / mengecil, dan kanal dalam telinga sempit yang mempengaruhi fungsi pendengarannya, tinggi badan relatif pendek dengan hidung datar. Karena ciri ciri fisik yang aneh menyerupai orang mongolia, maka sering juga dikenal dengan istilah mongolisme. Selain itu, ditemukan pula konsktruksi rahang dan mulut yang tidak normal sehingga mempengaruhi ketrampilan bicaranya, mata menjadi sipit karena adanya gangguan pada otot mata dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan, wicaranya terganggu karena gangguan konstruksi rahang dan mulut, serta lidah terlalu panjang, mata juling, atau katarak karena ada gangguan otot mata, rambut tipis, merah dan rontok, kaki dan tangan pendek termasuk ruas jari jarinya serta jarak antara jari satu dengan jari lainnya baik di kaki maupun tangan melebar. Lapisan kulit tampak keriput, serta otot dan sendi lemah. Selain gangguan gangguan tersebut, anak penderita sindroma down juga mungkin sekali menderita kelainan bawaan, seperti, gangguan jantung dan leukemia.
Penanganan Dari segi kognitif, tingkat kecerdasannyapun umumnya lebih rendah dari anak normal pada umumnya. Namun demikian, stimulasi untuk mengembangkan pelbagai aspek yang dibutuhkan bagi tumbuh kembangnya seperti aspek sensomotorik, fisik, komunikasi, sosial dan emosional, serta bantu diri, masih memungkinkan untuk membuat mereka bisa mengikuti sekolah dasar meski tidak secepat anak normal lainnya. Bahkan di luar negeri, penderita sindroma down bisa melewati bangku SMA bahkan juga sarjana atau memiliki ketrampilan lain yang sesuai dengan bakatnya seperti seni musik dan seni peran. Dalam hal ini yang terpenting adalah adalah membuat dan mendorong mereka mau belajar secara aktif sejauh kemampuan yang ada. Dalam kenyataannya rasa khawatir dan malu dibicarakan orang karena memiliki anak dengan gangguan sindroma down, menjadikan orang tua justru menyimpan dan selalu melindunginya di dalam rumah. Dengan melakukan hal tersebut, justru akan semakin menutup kesempatannya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan mengenal dunia luar. Pada prinsipnya, anak dengan gangguan sindroma down memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya. Tugas orang tualah untuk membawa dan membantu anak tersebut bergaul, bersosialisasi, tumbuh serta berkembang dan berkreasi dengan dunia sekitar. Sikap kasih, pengertian, dan empati akan menjadikannya merasa sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya. *Psikolog / Dosen Fakultas Psikologi USM