1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Silikon dioksida (SiO 2 ) merupakan komponen utama di dalam pasir kuarsa yang terdiri dari unsur silikon dan oksigen, biasanya di temukan di alam pada pasir kuarsa, batuan kuarsit, dll (Gustiono, 2012). Dalam bentuk murni silikon dioksida memiliki dua bentuk yaitu kuarsa dan kristobalit, yang memiliki titik lebur dan titik didih masing-masing 1.610 dan 2.230 C. Bentuk kristalnya, silikon dioksida murni berwarna putih dan memiliki struktur kristal heksagonal (Cotton,1989). Silikon dioksida jika direduksi menghasilkan silikon (Si). Beberapa metode reaksi yang telah digunakan untuk mereduksi silika dari pasir kuarsa menjadi silikon, misalnya menggunakan karbon (C) sebagai pereduksi (karbotermik) di lakukan pada suhu 1900-2100 C (Gustiono, 2012), kemudian menggunakan kalsium (Ca) sebagai pereduksi (kalsiotermik) pada suhu 720 C (Mishra, 1985). Bao (2007) telah menggunakan magnesium (Mg) sebagai pereduksi dengan suhu 650 C dan Wang (2002) menggunakan alumunium (Al) pada suhu 850 C. Tingkat kemurnian silikon diklasifikasikan kedalam tiga level (Gustiono, 2012), yaitu : (1) Metallurgical grade silicon (tingkat kemurnian 98 %), (2) Solar grade silicon (dengan tingkat kemurnian 99,9999 %), dan (3) Electronic grade silicon (dengan tingkat kemurnian 99,999999%). Silikon dalam bentuk kristal murni memiliki warna abu-abu metalik (O Mara, 1990), dan memiliki titik lebur pada suhu 1.400 C (Gray, T., 2009) Sadique (2010) telah melakukan reduksi abu silika (fume silica) dalam bentuk amorf yang di peroleh dari produksi logam silikon dan ferosilikon didalam tanur listrik dengan menggunakan metode reduksi magnesiotermik yang menghasilkan kadar silikon sebesar 99 %. Pada tahun 2014 Sabam telah melakukan reduksi silika dari pasir alam menjadi silikon secara magnesiotermik pada suhu 800 C dengan variasi waktu 4 jam, 5 jam, dan 6 jam menghasilkan kemurnian silikon berturut-turut sebesar 84,
2 0 %; 90,4 %; dan 94,3%. Tetapi dalam penelitian ini ukuran partikel yang dihasilkan besar jika dilihat secara visual dikarenakan silikon yang dihasilkan mengalami algomerasi yang diakibatkan panas yang di lepaskan oleh magnesium. Silikon dalam ukuran nano memiliki bentuk alotropik parakristal yang hampir mirip dengan silikon amorf. Warnanya sangat bervariasi tergantung pada ukuran partikelnya yang terdistribusi dari warna kuning hingga coklat. Variasi warna ini disebabkan oleh kesan kuantum pada kisi kristal itu sendiri (Delley,1993). Nanosilikon memiliki keunggulan dari serbuk silikon yang bukan nano dikarenakan memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga menghasilkan daya mobilitas elektron yang lebih tinggi. sehingga dapat dijadikan material yang bagus sebagai anoda pada Li-Ion untuk meningkatkan masa pakai baterai (Cho,2010). Pada tahun 2012 Kumar telah membuat nanosilikon dengan menggunakan microwave plasma, secara nukleasi uap homogen dari silikon yang dihasilkan oleh injeksi radial uap silikon tetraklorida dan menghasilkan nanosilikon dengan kemurnian 40% dan ukuran partikelnya 20 nm 50 nm. Kemudian Liang (2014) juga telah membuat nanosilikon dengan mereduksi cairan alkali silika menggunakan magnesium di dalam autoclave selama 10 jam pada suhu 180 C, menghasilkan nanosilikon dengan kemurnian 25% dan ukuran partikel 80 nm. Favor pada tahun 2014 telah membuat nanosilikon dari pasir pantai secara magnesiotermik dengan penambahan NaCl. Reaksi dilakukan pada suhu 700 C di dalam tanur listrik selama 6 jam dan menghasilkan nanosilikon dengan kemurnian 53,3 % dan ukuran partikel antara 8 10 nm. dan Suwandy (2015) juga telah membuat nanosilikon secara magnesiotermik dengan penambahan NaCl pada suhu 800 0 C selama 6 jam dan nanosilikon yang dihasilkan memiliki kemurnian 49,4 % dengan ukuran partikel pada range 42,585 nm 61,064 nm Berdasarkan penelitian sebelumnya, nanosilikon yang dihasilkan secara magnesiotermik memiliki ukuran partikel yang tidak merata. Hal ini disebabkan penggunaan magnesium dalam reaksi reduksi silika menjadi silikon akan menghasilkan suhu yang tinggi karena magnesium melepaskan kalor sekitar -245 kj/mol (Sadique, 2010). Kalor yang dilepas akan diserap oleh partikel silikon
3 sehingga akan membentuk algomerasi antar partikelnya dan menghasilkan ukuran partikel yang besar dimana (ΔH fusi Nanosilikon = + 50,2 kj/mol) (Luo,2013). Berdasarkan hal tersebut penulis ingin membuat nanosilikon dengan penambahan garam Kalium Klorida (KCl) yang sebelumnya digunakan Natrium Klorida (NaCl). Seperti diketahui Kalium dan Natrium berada dalam satu golongan yaitu golongan alkali yang memiliki sifat yang hampir sama. Sehingga penulis ingin mengetahui perbandingan ukuran partikel dengan menggunakan KCl. Menurut literatur (ΔH fusi KCl = + 26,53 kj/mol) (Dale and Sidney, 1995 ), hal ini diharapkan dapat menyerap kalor yang dilepaskan selama reaksi reduksi dalam penambahan magnesium. 1.2. Permasalahan Reaksi reduksi dengan magnesium sangat eksotermik sehingga menghasilkan kelebihan kalor yang akan menyebabkan produk silikon meleleh dan membentuk aglomerasi sehingga menghasilkan silikon yang memiliki ukuran partikel yang besar. Penambahan KCl diharapkan dapat menyerap kelebihan kalor yang dihasilkan oleh magnesium, sehingga dapat dihasilkan nanosilikon yang memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dan homogen. Adapun permasalahan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana membuat nanosilikon dari pasir alam dengan penambahan KCl 2. Bagaimana tingkat kemurnian dan ukuran nanosilikon yang dihasilkan dari pasir alam secara magnesiotermik dengan penambahan garam KCl. 1.3. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini dibatasi pada penggunaan pasir alam yang berasal dari Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Asahan yang digunakan untuk mensintesis nanosilikon dan penggunaaan KCl dalam menyerap kelebihan kalor yang dihasilkan oleh megnesium.
4 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan Penelitian ini adalah 1. Untuk membuat nanosilikon dari pasir alam dengan penambahan KCl 2. Untuk mengetahui tingkat kemurnian dan ukuran dari produk nano silikon yang dihasilkan dari pasir alam secara magnesiotermik dengan penambahan garam KCl 1.5. Manfaat Penelitian 1. Meningkatkan nilai ekonomis dari pasir kuarsa. 2. Memberikan informasi teknik sintesis nanosilikon dari pasir kuarsa secara magnesiotermik serta pengembangan dan pemanfaatan garam halida golongan alkali 1.6. Lokasi Penelitian Bahan pasir kuarsa diperoleh dari kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU, laboratorium Ilmu Dasar USU dan laboratorium Kimia Fisika FMIPA USU, Medan. Karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan di laboratorium Biokimia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 1.7. Metodologi Penelitian Pasir kuarsa terlebih dahulu dibersihkan dan dibuat dalam ukuran partikel 100 mesh. Kemudian diekstraksi silikanya dengan penambahan HCl pekat dan H 2 SO 4 pekat untuk melarutkan zat-zat pengotor berupa oksida- oksida logam dan senyawa- senyawa organik. Silika yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD). Silika yang diperoleh dicampur dengan larutan KCl dalam aquabidest lalu diultrasonik dengan frekuensi 19 Hz, kemudian filtratnya didekantasi dan padatannya dikeringkan. Padatan campuran silika dan KCl hasil ultrasonikasi di campur dengan magnesium powder kemudian diaduk hingga rata selanjutnya di tanur pada suhu 800 C selama 6 jam. Campuran hasil reduksi dimurnikan dengan dua metode: Metode pertama, hasil reduksi di murnikan dengan akuabides, HCl 2N, campuran HCl 2N dengan CH 3 COOH 25
5 %, serta campuran CH 3 COOH 25 % dengan HF 4,8 % dengan pemanasan pada suhu 80 0 C selama 3 jam. Metode kedua hasil reduksi di murnikan dengan campuran akuabides dan etanol, HCl 5 N, dan HF 10 % tanpa adanya pemanasan. Hasil pemurnian dari kedua metode dianalisa dengan menggunakan analisa XRD.