BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada berbagai pedoman, norma dan standar yang telah diajukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

MATERI KULIAH ORTODONSIA I. Oleh Drg. Wayan Ardhana, MS, Sp Ort (K) Bagian Ortodonsia

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

Nama: Tony Okta Wibowo Nrp : Dosen Pembimbing : Bp. Moch Hariadi, ST M.Sc PhD Bp. Dr. I ketut eddy Purnama, ST,MT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

PENGENALAN SEFALOMETRI RADIOGRAFIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. RPE adalah suatu alat yang digunakan di klinik, bertujuan untuk mengoreksi

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sella tursika merupakan cekungan berbentuk sadel pada tulang sphenoid yang

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA. akan terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma. 7

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

III. RENCANA PERAWATAN

BIONATOR Dikembangkan oleh Wilhelm Balters (1950-an). Populer di Amerika Serikat tahun

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

GAMBARAN MORFOLOGI VERTIKAL SKELETAL WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER DAN JEFFERSON

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

ANALISIS MORFOLOGI MANDIBULA MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SUB-RAS DEUTRO MELAYU USIA TAHUN DITINJAU DARI RADIOGRAFI SEFALOMETRI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PENEMPATAN TITIK-TITIK CEPHALOMETRY 3D PADA CITRA MRI

Penetapan Gigit pada Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BPSL BLOK ORTODONTI 1 NAMA : NIM : KLP BUKU PANDUAN SKILL LAB SEMESTER IV TAHUN AKADEMIK

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN JARINGAN LUNAK WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER PADA MAHASISWA FKG USU RAS DEUTRO MELAYU

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

Transkripsi:

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Keberhasilan perawatan ortodonti sering kali dikaitkan dengan adanya perbaikan penampilan wajah termasuk morfologi vertikal skeletal. Morfologi vertikal skeletal wajah merupakan pola pertumbuhan tulang wajah secara vertikal, dalam istilah sehari-hari disebut dengan tinggi wajah. Ada tiga macam morfologi vertikal skeletal menurut Steiner yaitu: normodivergent (wajah ideal), hypodivergent (wajah pendek), dan hyperdivergent (wajah panjang). 8,10,12 Masing-masing tipe wajah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pada struktur gigi dan oklusi. 12 Analisis morfologi vertikal skeletal dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan metode sefalometri dan fotometri. 3 2.1 Radiografi Sefalometri Radiografi sefalometri adalah metode standar yang digunakan untuk mendapatkan gambaran radiografi tulang tengkorak, yang bermanfaat dalam pengukuran kranium dan orofasial kompleks dari pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti. Radiografi sefalometri pertama kali diperkenalkan oleh Pacini pada tahun 1922. Kemudian pada tahun 1931 Hofrath (Jerman) dan Broadbent (Amerika Serikat) menemukan teknik sefalometri yang telah terstandarisasi dengan menggunakan alat sinar-x dan pemegang kepala yang disebut sefalostat atau sefalometer. Foto radiografi yang diperoleh dengan alat chepalostat disebut foto sefalometri. 3,20

6 2.1.1 Macam-macam Foto Sefalometri Ada 2 jenis foto sefalometri yang dapat diperoleh yaitu: a. Sefalometri Frontal Sefalometri frontal adalah gambaran frontal atau anteroposterior dari tengkorak kepala, memberikan informasi yang berkaitan dengan lebar tengkorak, simetri dan proporsi vertikal tengkorak, kompleks kraniofasial dan struktur oral. 10 b. Sefalometri Lateral Sefalometri lateral adalah gambar dua dimensi tulang tengkorak kepala dari samping (lateral), memperlihatkan hubungan antara gigi, tulang, jaringan lunak dan vertical vertebra untuk diteliti secara horizontal dan vertikal. 20 Gambar 1.(A) Sefalometri lateral, (B) Sefalometri frontal 10 2.1.2 Titik-titik (Landmarks) Jaringan Keras pada Sefalometri Lateral Titik-titik sefalometri pada jaringan keras yang biasa digunakan dalam analisis sefalometri, yaitu: 3,6,9,10 a. Sella (S) : titik pusat geometri dari fossa pituitary.

7 b. Nasion (N) : titik yang paling anterior dari sutura frontonasalis atau sutura antara tulang frontal dan tulang nasal. c. Orbitale (Or) : titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan. d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion, biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila. e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula. f. Pogonion (Pog) : titik paling depan dari tulang dagu. g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton. h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu. i. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari mandibula. j. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basis kranial posterior. k. Porion (Po) : titik paling superior dari meatus acusticus externus. l. Pterygomaxilary (PTM) : kontur fissura pterygomaxulary yang dibentuk di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid. m. Posterior Nasal Spine (PNS) : titik paling posterior dari palatum durum n. Anterior Nasal Spine (ANS) : ujung anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal. o. Basion (Ba) : titik paling bawah dari foramen magnum. p. Bolton (Bo) : titik paling tinggi di titik kondil tulang oksipital.

8 Gambar 2. Landmarks sefalometri lateral 6 2.2 Analisis Steiner Analisis Steiner pertama kali diperkenalkan oleh Cecil Steiner 1953, seorang ortodontis di California. Banyak elemen dari analisis ini yang masih populer digunakan sampai saat ini. Steiner memanfaatkan garis SN sebagai titik acuan horizontal. 2,9 Steiner membagi analisisnya menjadi 3 bagian yaitu: 3,10 2.2.1 Analisis skeletal a. Sudut SNA Sudut SNA digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior maksila terhadap basis kranium. Sudut SNA dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-A. Nilai normal sudut SNA adalah 82 ± 2. 2 Jika nilai SNA lebih besar dari nilai normal, maka maksila diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNA kurang dari nilai normal, maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi. 3

9 Gambar 3. Sudut SNA 3 b. Sudut SNB Sudut SNB digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior mandibula terhadap basis kranium. Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-B. Nilai normal sudut SNB adalah 80 ± 2. 2 Jika nilai SNB lebih besar dari nilai normal, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNB kurang dari nilai normal, maka mandibula mengalami retrognasi. 3 Gambar 4. Sudut SNB 3

10 c. Sudut ANB Sudut ANB digunakan untuk menganalisis hubungan maksila terhadap mandibula. Sudut ANB merupakan selisih dari sudut SNA dan SNB. Nilai normal sudut ANB adalah 2 ± 2 (0-4 ). 2 Bila ANB bernilai positif menunjukkan posisi maksila lebih ke depan dari mandibula. Ini menunjukkan profil cembung. Sedangkan bila nilai ANB negatif menunjukkan posisi maksila lebih ke belakang dari mandibula. Ini menunjukkan profil cekung. 3 Pada analisis ini, Steiner membagi relasi rahang menjadi tiga kelas, yaitu: 1. Klas I Skeletal Klas I mempunyai nilai ANB normal (0-4 ) dan profil wajah cembung. Nilai ANB yang normal juga dapat diperoleh bila keadaan kedua skeletal rahang mengalami prognati ataupun retrognati. 2. Klas II Skeletal Klas II mempunyai nilai ANB lebih besar dari nilai normal (ANB > 4 ) dan profil wajah cembung. Nilai ANB yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu maksila yang mengalami prognati, mandibula yang mengalami retrognati dan kombinasi keduanya. 3. Klas III Skeletal Klas III mempunyai nilai ANB lebih kecil dari nilai normal (ANB < 0 ) dan profil wajah cekung. Nilai ANB yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu maksila yang mengalami retrognati, mandibula yang mengalami prognati, dan kombinasi keduanya.

11 Gambar 5. Sudut ANB 3 d. Sudut OP-SN Sudut ini menyatakan hubungan antara dataran oklusal terhadap kranium dan wajah serta mengindikasikan pola pertumbuhan wajah. Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis S-N dan dataran oklusal. Nilai normal sudut ini adalah 14. Sudut ini akan meningkat pada individu yang berwajah panjang atau mengalami pertumbuhan vertikal dan kasus open bite skeletal. Sebaliknya, sudut ini akan menurun pada individu berwajah pendek atau mengalami pertumbuhan horizontal dan kasus deep bite skeletal. 3 Gambar 6. Sudut OP-SN 3

12 e. Sudut MP-SN Sudut MP-SN adalah inklinasi dari dataran mandibula terhadap basis kranium anterior. 21 Sudut ini dibentuk dari pertemuan dataran mandibula (Go-Gn) dan garis S- N. Besar sudut MP-SN dapat menentukan pola pertumbuhan wajah seseorang. Nilai normal sudut ini 32. Nilai sudut MP-SN yang lebih kecil mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah horizontal, sedangkan sudut MP-SN yang lebih besar mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Inklinasi bidang mandibula sangat menentukan dimensi vertikal wajah. Tipe vertikal wajah menurut Steiner dapat dibagi 3 yaitu tipe pendek (hypodivergent) dengan sudut MP-SN <27, tipe normal (normodivergent) dengan sudut MP-SN 27-37 dan tipe panjang (hyperdivergent) dengan sudut MP-SN >37. 3,8,9 Gambar 7. Sudut MP-SN 3 2.2.2 Analisis dental. Analisis dental meliputi posisi insisivus rahang atas, posisi insisivus rahang bawah, sudut interinsisal dan posisi insisivus rahang bawah ke dagu. 10

13 2.2.3 Analisis jaringan lunak. Analisis jaringan lunak meliputi penilaian dari adaptasi dari jaringan lunak dengan ukuran, bentuk, dan postur bibir, ketebalan jaringan lunak dan struktur hidung yang berkaitan dengan wajah bagian bawah. 10 2.3 Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah Pertumbuhan skeletal vertikal wajah dimulai dengan cepat pada awal masa kelahiran, dan akan melambat sampai usia pra pubertas. Percepatan pertumbuhan akan terjadi kembali pada masa pubertas hingga mencapai puncak pada usia pradewasa dan menjadi lambat sampai mencapai dewasa. Tulang wajah akan mencapai 60% ukuran dewasa pada usia empat tahun. Pada usia 12 tahun, ukuran tulang wajah telah mencapai 90% ukuran dewasa. 22 Hubungan rahang atas dan rahang bawah sangat menentukan keharmonisan wajah. Daerah tuberositas merupakan salah satu pusat pertumbuhan rahang atas. Pertumbuhan rahang atas dalam arah vertikal terjadi karena proses aposisi tulang pada sisi lateral tuberositas dan sepanjang tulang alveolar. 3,22 Gambar 8. Pertumbuhan rahang atas pada daerah tuberositas maksila 23 Rahang bawah merupakan bagian wajah yang mempunyai struktur paling kokoh diantara struktur wajah lain. Rahang bawah memiliki daerah kartilago sebagai

14 pusat pertumbuhan, yaitu pada simfisis dan kondilus. Pertumbuhan kondilus bersamaan dengan pertumbuhan alveolus menyebabkan rahang bawah bertambah tinggi. Arah pertumbuhan rahang bawah pada daerah kondilus dan ramus menyebabkan rahang bawah bertambah tinggi dan panjang. 3,22 Gambar 9. Pertumbuhan rahang bawah pada daerah kondilus dan ramus 23 2.4 Tipe Pertumbuhan Vertikal Wajah Basis kranii anterior (Sella-Nasion) sering digunakan sebagai garis acuan untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MP- SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang vertikal wajah. Sebaliknya, individu dengan sudut MP-SN yang lebih kecil cenderung mempunyai wajah yang lebih pendek karena rotasi mandibula mendekati maksila. 8,24 Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Rotasi mandibula yang searah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke belakang. Ini menyebabkan pengurangan overbite atau bahkan menjadi anterior open bite. Rotasi pertumbuhan mandibula yang berlawanan arah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke depan. Ini menyebabkan pertambahan overbite. 8

15 Schudy membagi tipe pertumbuhan vertikal wajah atas 2, yaitu: 10,23,24 a. Wajah Pendek ( Hypodivergent ) Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang pendek dan lebar. 23 Ini disebabkan pertumbuhan anteroposterior yang berlebihan dibanding pertumbuhan vertikal. Tinggi wajah posterior lebih besar dibanding tinggi wajah anterior. 24 Wajah hypodivergent memiliki sudut bidang mandibula yang kecil. Gigitan dalam (deep bite) sering dijumpai pada pasien dengan jenis wajah ini. Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang lebar pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi berlawanan jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 12 Pasien hypodivergent (sindrom wajah pendek) cenderung memiliki rasa sakit myofascial parah dan gangguan temporomandibular karena jaringan keras kepala kondilus cenderung menekan fossa glenoid sehingga menimpa struktur vital seperti saraf auriculotemporal dan arteri temporalis superfisial yang dapat membuat rasa sakit. 25 Gambar 10. Hypodivergent memiliki sudut Gonial 69. 26

16 b. Wajah Panjang ( Hyperdivergent ) Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang panjang dan sempit. 23 Ini disebabkan rahang atas menunjukkan pertumbuhan vertikal yang berlebihan. Tinggi wajah anterior lebih besar dibanding tinggi wajah posterior. 24 Wajah hyperdivergent memiliki sudut bidang mandibula yang lebih besar dan kadang-kadang menyebabkan gigitan terbuka (open bite). Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang sempit pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi searah jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 12 Pasien hyperdivergent (sindrom wajah panjang) cenderung memiliki hambatan saluran nafas atas dan gangguan sendi temporomandibular karena jaringan keras dari rongga sinus sempit dan tertekan. 25 Gambar 11. Hyperdivergent memiliki sudut Gonial 76. 26

17 Gambar 12. (a) Hypodivergent, sudut MP-SN lebih kecil. (b) Hyperdivergent, sudut MP-SN lebih besar. 10 2.5 Suku Batak Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang disebut ras Melayu. Ras Melayu terdiri dari kelompok Proto-Melayu (Melayu Tua) dan Deutro-Melayu (Melayu Muda). Kelompok Proto-Melayu datang ke Indonesia pada 2000 SM dan kelompok Deutro-Melayu pada 1500 SM. 27 Kelompok Proto-Melayu menempati pantai-pantai Sumatera Utara (Batak), Kalimantan Barat (Dayak) dan Sulawesi Barat (Toraja) kemudian pindah ke pedalaman karena terdesak oleh kelompok Deutro Melayu. Suku yang termasuk kelompok ras Deutro-Melayu adalah orang-orang Aceh, Minangkabau, Lampung, Rejang Lebong, Jawa, Madura, Bali, Makasar, Melayu, Bugis, Betawi, Manado dan Sunda. 27 Suku Batak merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang merupakan penduduk terbesar. Suku Batak memiliki lima sub suku dan masing-masing mempunyai wilayah utama walaupun sebenarnya wilayah itu tidak sedominan batasbatas pada zaman yang lalu. Sub suku yang dimaksud yakni: 28

18 a. Batak Karo yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Karo, Deli Hulu, Langkat Hulu dan sebagian Tanah Dairi. b. Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun. c. Batak Pakpak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian Tanah Alas dan Gayo. d. Batak Toba yang mendiami wilayah daerah Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Silindung, daerah Pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran. e. Batak Angkola Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkola, Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan dan Batang Natal.

19 Kerangka Teori Suku Batak Sefalometri Lateral Vertikal Lateral Steiner Sudut MP-SN Wajah Pendek Wajah Normal Wajah Panjang Persentase

20 Kerangka Konsep Sudut MP-SN Wajah Pendek (Hypodivergent) Wajah Normal (Normodivergent) Wajah Panjang (Hyperdivergent)